Home / Rumah Tangga / Pria Cacat Itu, Suamiku / Bab 2. Pemuda Itu Telah Menyelamatkan Kamu.

Share

Bab 2. Pemuda Itu Telah Menyelamatkan Kamu.

Author: Rea.F
last update Last Updated: 2024-07-30 21:43:05

Azura tercengang hebat, dia menatap ke bawah. Seketika dia merasa ngeri dan tersadar akan perbuatan bodohnya. “Tolong…!” Dia berteriak sambil menggenggam erat pergelangan tangan pemuda itu.

“Bertahan, Nona! Tenang ya, jangan panik! Aku akan menolongmu!” Amar berusaha sekuatnya untuk menarik tubuh Azura ke atas. Tapi ketika tubuh Azura berhasil mendarat, tangan Amar terlepas dan kakinya hilang keseimbangan.

Tubuh pemuda itu terjun bebas ke dasar jurang menggantikan posisi Azura.

“Tidak….!” Azura menjerit sangat kuat melihat itu. Lalu kesadarannya mulai menghilang hingga dia mendengar suara-suara jeritan di sekitarnya meminta tolong. Lalu pandangannya pun menjadi gelap.

***

Azura mengerjapkan mata, dia menatap sekeliling. Ada cahaya lampu neon di atasnya terasa menyilaukan.

“Ini rumah sakit?” Dia mencoba mengingat apa yang terjadi. Ingatannya kabur, hanya ada kilasan kejadian terakhir; teriakan, lalu kegelapan.

Suara pintu terbuka perlahan. Seorang perawat masuk dan tersenyum padanya. Dia memeriksanya di beberapa bagian tubuhnya lalu mencatat sesuatu di buku catatan yang dia bawa. Setelah itu perawat itu keluar dan berganti dengan kemunculan Ega sang ayah Azura dan juga Riko, sekretaris ayahnya.

"Syukurlah kamu tidak apa-apa," ucap Ega dengan perasaan lega.

"Kata dokter kamu tidak apa-apa, kok. Hanya kaget saja," kata Riko menimpali.

Ingatan Azura perlahan-lahan kembali. Ingatan tentang apa yang telah terjadi.

"Pa, ada pemuda yang jatuh ke jurang karena menolongku...." Azura menghentikan ucapannya. Dadanya tiba-tiba berdebar mengingat nasib pemuda itu. Apa dia baik-baik saja atau tidak selamat?

"Pemuda itu yang sudah menyelamatkan nyawa kamu, Azura." Ega dan Riko saling melempar pandang untuk beberapa saat.

"Maafin aku, Pa. Aku menyesal sudah berniat untuk meninggalkan dunia ini. Aku kacau sekali, Pa," isak Azura.

Dia perempuan yang kuat, tapi sekuat-kuatnya perempuan jika dipatahkan hatinya dengan begitu tiba-tiba, dikecewakan luar biasa seperti ini, apalagi dirinya memiliki harapan yang besar dengan hubungannya bersama Edward, tentu hatinya remuk dan juga labil.

Azura yang masih sesenggukan mendengarkan ucapan sang ayah dan tentu saja membenarkannya.

"Terus, pemuda yang menolong itu bagaimana, Pa? Aku mau menengok dia," ujar Azura saat bayangan pemuda yang menolongnya terlintas dalam benaknya.

"Dia di ruang ICU. Kata dokter dia mengalami luka yang cukup parah di bagian kakinya." Riko yang akhirnya menceritakan apa yang terjadi pada Azura, “Ibunya syok dan jatuh pingsan. Kata dokter, ibu pemuda itu memang punya riwayat penyakit jantung. Sekarang juga sedang ditangani dokter.”

Azura benar-benar syok mendengarnya.

"Ya Allah," ucap Azura lirih. Pemuda itu membahayakan nyawanya sendiri demi menolongnya, orang yang sama sekali tidak dia kenal. Dan ibunya harus dirawat juga karena syok. "Terus bagaimana, Pa, Paman?" rengeknya kemudian.

Ega menghela napas dalam-dalam. "Kita berdoa saja semoga pemuda itu segera sadar dan ibunya juga baik-baik saja. Papa berhutang budi padanya karena telah menyelamatkan nyawamu tanpa peduli dengan keselamatannya sendiri."

“Papa..” Azura langsung memeluk ayahnya dan menangis tersedu-sedu.

“Tenang sayang, tenang ya? Jangan terlalu cemas. Kita akan menghadapi sama-sama. Jangan khawatir. Papa disini untukmu.” Ucap Ega, mengelus lembut punggung Azura.

“Aku takut, Pa. Dua orang itu sama-sama kritis. Aku takut sekali.”

“Semua akan baik-baik saja. Tenang ya.” Ega mendudukan Azura di tepi ranjang sakit. membawanya ke bangku panjang.

Ega menatap Azura, dia menggenggam erat tangan putrinya dan bertanya, “Azura, kamu tidak biasanya begini. Kenapa tiba-tiba kamu nekat dan bertindak konyol seperti itu? Apa yang terjadi, Nak? Apa Azura sedang ada masalah? Cerita pada papa.”

Bukannya menjawab, Azura justru kembali memeluk Ega dan kembali menangis tersedu-sedu.

Ega membiarkan putrinya menangis dengan puas terlebih dulu. Setelah melihat Azura mulai tenang, barulah Ega bertanya lagi.

Kali ini meskipun masih dengan sesenggukan, Azura menceritakan semuanya. Dari awal dia memergoki Edward sedang bergumul dengan sekretaris pribadinya sampai dia tak sadar sudah mengendarai mobil hingga keluar kota dan melakukan hal paling bodoh itu.

“Azura menyesal, Pa. Sudah mengikuti emosi dan tidak bisa mengontrolnya. Seharusnya Azura pulang saja atau berhenti di kafe atau dimana agar tenang dulu.”

Ega menarik nafas berat, dia mengepalkan tangannya. Merasa begitu kecewa dengan sikap bejat Edward yang hampir saja ia percaya untuk menjadi menantu laki-lakinya.

Tapi dia tetap merasa bersyukur putrinya bisa mengetahui keburukan sikap pria itu sebelum hubungan mereka masuk lebih jauh. Dan bersyukur Azura selamat.

“Jangan khawatir, Papa ada di sini untukmu.” Ega kembali memeluk Azura dan menoleh pada Riko.

“Temui kepala rumah sakit ini. Dan katakan untuk melakukan yang terbaik untuk kedua ibu dan anak itu.”

“Baik, Mas.” Riko mengangguk kemudian berlalu.

Hingga beberapa jam lamanya mereka menunggu dengan perasaan gelisah, Riko pun sudah datang sejak tadi dari menemui kepala rumah sakit, Dokter yang menangani dua orang itu pun keluar.

Mereka yang ada segera menghampiri sang dokter.

“Bagaimana keadaan mereka?” Azura yang pertama bertanya.

Dokter terlihat menarik nafas berat.

“Dua pasien sudah mulai sadar. Tapi, justru ibu saudara Amar lumayan parah. Jadi kami harus melakukan operasi secepatnya pada jantung pasien. Dan masalahnya harapan selamat ibu itu hanya sekitar 25% saja. Tapi jika kita tidak usaha melakukan apapun, bisa jadi justru berakibat fatal.”

“Astagfirullahaladzim..!” Mereka beristighfar.

“Lalu bagaimana dengan pemuda itu, Dok?” Sekarang Ega yang bertanya.

“Saudara Amar sudah lebih baik, tidak terlalu parah. Hanya saja dia mengalami patah tulang kaki bagian kanan dan menyebabkan dia lumpuh bagian kanan.”

“Ya Allah..” Azura menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Kembali air matanya berjatuhan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab. Keluarga Yang Sempura

    Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 134. Masa depan mungkin penuh dengan ketidak pastian

    Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 133. Sangat bangga padanya

    Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 132. Masa depan yang cerah

    “Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 131. Keyakinan Baru

    Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 130. Kenapa belum bisa bicara?

    Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status