Share

Pria Cacat Itu, Suamiku
Pria Cacat Itu, Suamiku
Penulis: Rea.F

Bab 1. Dikhianati

Penulis: Rea.F
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-28 23:25:55

Azura menginjak pedal gas dengan emosi. Mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi.

Hatinya saat ini dipenuhi dengan rasa kecewa dan sakit hati. Bagaimana tidak? Sudah beberapa kali dia mendengar dari temannya tentang kabar yang mengatakan jika Edward sering bersama perempuan lain pergi ke hotel. Awalnya Azura tidak begitu mempercayai gosip yang dianggapnya murahan itu.

Tapi hari ini, saat beberapa kali panggilannya diabaikan oleh pria yang telah menjadi pacarnya selepas SMA itu, dia pergi ke perusahaan milik Edward untuk mencoba menemuinya karena ingin membahas permintaan orang tuanya yang menginginkan dia segera meminta keseriusan dari Edward.

Dengan mata dan kepalanya sendiri, Azura memergoki Edward sedang tumpah tindih dengan Alya sekretaris Edward sendiri.

Saat itu bukan hanya Edward sendiri yang terkejut ketika kelakuan bejatnya diketahui langsung oleh yang kekasih yang teramat ia kagumi, tapi Azura pun sangat terkejut dan syok. Tanpa berharap sebuah penjelasan atau tanpa ingin bertanya pada Edward, kenapa kamu tega mengkhianati aku seperti ini, Azura langsung menarik mundur langkahnya.

Meskipun Edward sempat berteriak memanggil, bahkan mengejar, tapi Azura tak mau lagi peduli. Dia pergi begitu saja dengan bersumpah dalam hati untuk tidak akan pernah memaafkan Edward.

Saat itu juga dia mengatakan pada Edward lewat pesan chat, "Kita sudah berakhir. Jangan pernah menemuiku lagi!"

Azura masih mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Pikirannya kacau sampai dia tidak lagi sadar jika sudah melaju lebih dari dua jam. Mobilnya sudah jauh meninggalkan jalanan kota. Melewati jalanan yang sepi pengguna.

Bayangan Edward tumpah tindih dengan Alya tadi kembali menari di benaknya.

"Kenapa?!" Dia berteriak melampiaskan emosi yang memuncak. Sungguh Azura menyesal. Selama ini dia mencintai Edward dengan setia. Meskipun dia dan Edward selalu hidup berjauhan dan harus menjalani LDR karena masing-masing harus belajar di luar negeri, tapi Azura selalu menjaga kesetiaan dan selalu percaya seratus persen pada Edward.

Pria itu bukan hanya selalu memberinya perhatian yang baik, juga sudah dekat dengan keluarganya bahkan Mereka sudah mendapatkan Restu dari keluarga Brahmana kecuali Azam, dan sialnya Azura begitu mencintai Edward melebihi apa pun.

Azura juga menyesal saat tidak pernah menggubris ucapan kakak kembarnya itu yang selalu mengatakan jika Edward bukan pilihan yang baik. Kala itu Azura tidak pernah menganggap ucapan Azam.

"Jika dia benar-benar serius padamu, jika dia benar-benar mencintaimu, dia akan segera melamarmu. Apapun keadaannya. Melamar, belum tentu harus secepatnya menikah. Hanya sebagai bukti bentuk keseriusan seorang laki-laki! Tapi dia tidak juga melakukan. Apa namanya, pria seperti itu jika bukan tidak berniat serius?”

Azura melamun, Azura termenung mengingat ucapan Azam. Namun dadanya seakan terhimpit beban yang begitu berat hingga dirinya harus mengatur napas dengan susah payah.

"Papa beri waktu satu bulan! Jika Edward belum juga melamarmu, maka putus saja kalian." Kala itu Ega pun berpendapat sama dengan Azam. Tapi Azura meyakinkan mereka jika sebentar lagi Edward akan melamarnya.

Benak Azura semakin kacau. Dia menepikan mobil di samping pembatas jalan yang membatasi jalan dengan jurang di sampingnya. Azura keluar mobil dengan memegangi dadanya yang terasa begitu sesak.

Sakit, kecewa, jijik, semua bercampur menjadi satu sebagai akibat dari penghianatan kekasihnya. Isi kepalanya terasa gelap dan Azura tidak dapat berpikir jernih.

Azura menopang tubuhnya pada pembatas jalan sambil matanya menatap ke dalam jurang. Dia tidak memedulikan beberapa kendaraan yang lewat di belakangnya bahkan saat ada beberapa pengendara bersiul atau menggodainya.

Yang ada dalam benak Azura saat ini adalah melompat ke dalam jurang dan tenggelam di dasarnya. Mati mungkin mampu melebur lukanya.

Pelan Azura menaiki pembatas jalan dan kini dia berpegangan pada besinya. Jika dia lepaskan pegangan tangan, maka bisa dipastikan dirinya akan berguling ke dasar jurang yang curam.

Diseberang jalan itu, tiba-tiba terdengar suara berteriak. “Amar, gadis itu sepertinya mau bunuh diri!”

Amar, pemuda yang sedang mengendarai motor bersama ibunya itu terkejut, dan menoleh ke arah telunjuk ibunya. “Ya Allah!” Pemuda itu segera menghentikan motornya.

“Tolong gadis itu, Amar! Dia bisa mati kalau terjun ke jurang itu!” Ibu pemuda itu berkata pada anaknya.

“Tapi, Bu..”

“Cepat, Amar! Jangan banyak berpikir! Ini urusan nyawa!”

Amar mengangguk, “Iya, Bu. Tunggu sebentar.” Amar yang baru saja akan pulang kerumah dari rumah sakit mengantar Ibunya berobat itu pun segera menstandarkan motornya dan segera berlari mendekati Azura.

"Hei, Nona! Hentikan!"

Azura menoleh, dia melihat seorang pemuda yang baru saja turun dari motornya dan berjalan tergopoh-gopoh ke arahnya. Di kursi belakang motor tampak seorang perempuan paruh baya dengan ekspresi wajah cemas.

Azura tidak mengenal pemuda itu, pun si perempuan tua yang kini berdiri di samping motor.

"Apapun masalah kamu, tolong jangan lakukan itu." Si pemuda membujuk Azura. Namun Azura justru naik pitam. Siapa dia beraninya mencampuri urusannya.

"Tidak usah ikut campur. Aku tidak kenal kamu dan kamu tidak tahu apa-apa!" hardik Azura dengan mata menyala marah.

Si pemuda menggeleng. "Tolong jangan lakukan, Nona. Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah." Dia ulurkan tangannya pada Azura dan mendekatinya pelan.

"Mundur, jangan mendekat!" Ancam Azura. Namun Amar tidak memedulikan seruannya. Dia menangkap satu tangan Azura dan menarik sekuat tenaganya. Tapi malangnya, Azura sudah melepaskan tangan yang lain sehingga berat badannya memaksa dirinya terjatuh. Tetapi Amar masih bisa menahan tubuh Azura dengan satu tangan memegang pergelangan tangan gadis itu dan satu tangan bertahan di besi pembatas jalan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab. Keluarga Yang Sempura

    Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 134. Masa depan mungkin penuh dengan ketidak pastian

    Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 133. Sangat bangga padanya

    Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 132. Masa depan yang cerah

    “Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 131. Keyakinan Baru

    Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 130. Kenapa belum bisa bicara?

    Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 129. Keterlambatan Motorik

    Dokter Setyo membuka map yang berisi hasil pemeriksaan Amara dan mulai menjelaskan. “Amara memang menunjukkan perkembangan yang baik dalam beberapa bulan terakhir. Namun, setelah pemeriksaan lanjutan, kami menemukan indikasi bahwa Amara mungkin mengalami gangguan neurologi yang lebih serius dari yang kami perkirakan sebelumnya.”Kata-kata itu menghantam Amar dan Azura seperti palu yang menghancurkan tembok pertahanan mereka. Azura merasa tenggorokannya tercekat, sementara Amar mencoba tetap tenang meski pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.“Gangguan neurologi?” ulang Amar dengan suara rendah. “Apa maksud Anda?”Dokter Setyo menghela napas, lalu melanjutkan. “Berdasarkan gejala yang kami amati, ada kemungkinan Amara mengalami suatu kondisi yang disebut cerebral palsy. Ini adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan otaknya untuk mengontrol gerakan dan koordinasi otot. Dalam kasus Amara, ini mungkin yang menjadi penyebab utama dari keterlambatan perkembangan motoriknya.”Azura

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 128. Gangguan lain

    Setelah makan siang bersama, Wulan mengajak Azura duduk di taman belakang rumah sambil mengawasi Rayyan yang bermain bola. Amara duduk di stroller di dekat mereka, sesekali tersenyum melihat Rayyan berlarian mengejar bola. Di momen seperti ini, Azura merasakan ketenangan yang jarang dia dapatkan dalam rutinitas harian yang padat.Wulan mulai berbicara dengan lembut. “Azura, Ibu tahu bahwa merawat Amara bukanlah hal yang mudah. Setiap hari pasti penuh dengan tantangan. Tapi ingatlah, kamu tidak sendiri dalam menjalani ini.”Azura menatap wajah Wulan yang penuh kasih, merasakan dukungan yang tak terbatas dari wanita yang telah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. “Ibu, terima kasih untuk segalanya. Kehadiran Ibu dan Ayah sangat berarti bagi kami. Kadang aku merasa terlalu banyak mengandalkan kalian.”Wulan menggelengkan kepala. “Kamu tidak perlu merasa seperti itu. Keluarga ada untuk saling mendukung. Dan Amara, dia adalah cucu kami. Kami mencintainya seperti halnya kami mencintai k

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 127. Latihan

    Setiap minggu, Amar dan Azura membawa Amara ke pusat terapi untuk melanjutkan sesi dengan Ibu Lia. Setiap kali mereka datang, Ibu Lia selalu menyambut mereka dengan senyuman hangat dan semangat positif.“Amara semakin kuat,” kata Ibu Lia saat mereka memasuki ruangan terapi. “Saya bisa melihat kemajuan yang luar biasa dalam perkembangan otot-ototnya. Ini berkat latihan yang konsisten di rumah. Kalian berdua melakukan pekerjaan yang hebat.”Azura merasa hatinya melambung mendengar kabar baik itu. Meskipun kemajuan yang diperlihatkan Amara masih kecil, setiap langkah maju adalah kemenangan besar bagi mereka.Sesi terapi hari itu fokus pada latihan keseimbangan. Ibu Lia menempatkan Amara di sebuah matras lembut dan membantunya mencoba duduk tanpa bantuan. Meski sesekali tubuh Amara oleng ke samping, dia tetap berusaha untuk duduk tegak dengan senyum kecil di wajahnya.“Kita tidak perlu memaksanya,” jelas Ibu Lia. “Yang terpenting adalah memberinya waktu untuk beradaptasi dengan tubuhnya s

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status