Home / Rumah Tangga / Pria Cacat Itu, Suamiku / Bab 6. Ternyata, kehidupan suaminya kurang begitu baik.

Share

Bab 6. Ternyata, kehidupan suaminya kurang begitu baik.

Author: Rea.F
last update Last Updated: 2024-08-06 17:26:27

“Ya. Awalnya memang aku terpaksa karena takut kalian jebloskan ke penjara. Tapi ada dua keberuntungan yang aku dapat. Pertama, aku bisa menembus rasa bersalahku pada kalian. Jadi aku tidak akan hidup dalam rasa bersalah. Kedua, karena sekarang aku sudah menikah dan punya suami, aku bisa lepas dari pria Brengsek yang sudah menghianatiku.”

Amar sebenarnya kesal dengan jawaban Azura, tapi dia berpikir siapa pria yang sudah bodoh menyia-nyiakan gadis secantik dan sebaik Azura? Bahkan Amar saja bisa menilai jika Azura ini meskipun Anak Sultan tapi adalah gadis yang baik.

Apalagi ayahnya, Varega Brahmana terkenal sebagai seorang Pengusaha kaya yang baik dan rendah hati. Juga sangat bijaksana, jika tidak mana mungkin Beliau mau menikahkan putrinya dengan dirinya. Bisa saja kan, mereka melakukan apapun untuk menentang kemauan ibunya. Biasanya orang kaya seperti itu. Mereka punya banyak uang untuk melakukan apapun jadi sangat gampang.

Malam sudah larut, mereka sudah selesai makan dan Azura sudah membantu Amar meminum obat.

“Amar, sebaiknya kita tidur. Besok pagi kita harus ke rumah sakit untuk melihat ibu.” Ucap Azura.

Amar menatap dipan tempat tidur miliknya. Dia ragu-ragu, memikirkan dimana gadis ini harus tidur.

“Ayo, aku bantu.” Azura ingin menopang tubuh Amar.

“Kamu tidur dimana?”

Azura terdiam, seperti tahu yang dipikirkan pria ini.

“Tenang saja, aku bisa tidur di ruang depan. Ada sofa juga disana.”

“Jangan, kamu tidur disini aja.”

Azura menyerngitkan kedua alisnya. “Terus kamu? Jangan bilang kamu yang mau tidur di sofa? Kamu masih belum sehat,”

“Aku akan tidur di kamar ibuku. Di sana ada kasurnya juga kok.”

Azura mengerti kemudian mengangguk. “Kalau gitu, aku antar kamu kesana ya? Aku khawatir kamu jatuh.”

“Tidak usah. Aku bisa sendiri. Di rumah ini tidak banyak barang dan tidak ada tangga. Tidak akan membuatku jatuh.”

Azura terdiam, hanya bisa menatap punggung Amar yang mulai menggerakkan kursi rodanya untuk keluar dari kamar itu. Azura menutup pintu dengan lembut saat Amar sudah jauh, dia kemudian naik keatas tempat tidur. Dia meraba kasur sebelum merebahkan diri. Kasur itu sudah mulai mengeras.

Dia kembali merasa sedih. Ternyata kehidupan suaminya ini, sepertinya memang kurang begitu baik.

Azura merebahkan tubuhnya, tidak ingin merasakan kasur yang tidak seempuk miliknya di rumah besarnya. Dia terlelap begitu saja. Mungkin karena kelelahan.

Pagi hari dia bangun karena deringan Ponselnya yang beberapa kali memanggil. Itu rupanya Edward. Dia lupa jika belum memblokirnya. Dia buru-buru memblokir kontak itu. Saat Azura meletakkan ponselnya kembali, deringan tanda panggilan masuk kembali terdengar.

Dia kembali memeriksa karena yakin jika itu pasti bukan dari Edward lagi. Dan ternyata benar. Itu panggilan dari rumah sakit.

Azura segera mengangkat panggilan.

“Halo, mbak Azura, kan? Ada kabar dari pasien bernama Bu Umah.”

“Iya sus, bagaimana?”

Sejenak Azura mendengarkan dengan seksama penjelasan dari sang suster rumah sakit.

“Benarkah sus? Alhamdulillah.. iya,iya. Terima kasih atas kabar baiknya.” Azura menutup panggilan. Wajahnya terlihat begitu bahagia sekaligus lega. Beberapa kali mengucap syukur dan segera berlari untuk mencari Amar.

Tapi ketika dia hendak ke kamar Bu Umah yang ada di dekat ruangan dapur, dia mendengar suara-suara dari dapur. Saat dia mengintip, dia melihat Amar sedang menyajikan sesuatu di atas meja makan. Dia tidak melihat kursi roda Amar di sekitar situ. Saat diperhatikan sekali lagi, rupanya Amar saat ini menggunakan sebuah tongkat untuk berjalan.

Sesaat Azura tertegun, tapi segera ingat akan kabar baik yang disampaikan pihak rumah sakit tadi. Dia berlari mendekat.

“Amar!” Amar menoleh, belum juga dia sempat bertanya, Azura sudah memeluknya dengan begitu cepat dan erat. Sampai Amar hampir saja terjatuh jika saja dia tidak segera bertahan di sisi meja.

“Ibu sembuh! Ibu kamu selamat. Aaa.. aku senang sekali!”

“I,iya. Tapi jangan begini. Aku, aku,”

Azura tersentak saat sadar, dia cepat-cepat menarik tubuhnya.

“Eh, maaf, maaf. Aku, aku sangat senang. Maaf ya.” Azura sangat tersipu. Bisa-bisanya dia memeluk pria itu tanpa perhitungan.

“Iya, tidak apa-apa. Aku hanya terkejut. Tapi ada apa? Kamu bilang ibuku selamat?” Tanya Amar.

“Eh, itu. Pihak rumah sakit baru saja menelponku. Katanya semalam, tidak lama setelah kita pulang ibu sempat kritis lagi. Jadi tim dokter segera mengambil tindakan operasi. Dan semua berjalan lancar. Saat ini ibu sudah melewati masa kritisnya. Hanya menunggu ibu sadar pasca operasi saja.”

Amar melebarkan matanya, “Benarkah?” Dia bertanya seperti belum percaya, tapi bibirnya tertarik membentuk senyuman bahagia.

“Iya benar. Kata dokter, kita bisa menjenguk ibu sore nanti saja. Biar seharian ini ibu istirahat total dulu.”

“Alhamdulillah…” Amar mengatupkan kedua tangannya. Dia begitu senang dan langsung lega.

“Azura.”

“Eh, iya.” Azura sedikit terkejut, ini kali pertama pria itu memanggil namanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab. Keluarga Yang Sempura

    Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 134. Masa depan mungkin penuh dengan ketidak pastian

    Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 133. Sangat bangga padanya

    Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 132. Masa depan yang cerah

    “Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 131. Keyakinan Baru

    Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te

  • Pria Cacat Itu, Suamiku    Bab 130. Kenapa belum bisa bicara?

    Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status