Entah bagaimana cara pria itu mandi, apa dengan berdiri satu kaki atau dengan duduk di kursi roda, tapi Amar sudah keluar dari kamar mandi dengan keadaaan sudah berganti.
Padahal Azura tidak melihat Pria itu membawa handuk atau baju ganti saat masuk ke dalam kamar mandi tadi.
Azura segera melirik betis Amar yang mengenakan celana pendek itu. Perban di sana memang terlihat sedikit sedikit basah.
Azura cepat mengambil tasnya di mana tadi dia memasukkan kantong obat milik Amar dari rumah sakit.
Dia mengambil perban baru dan menghampiri Amar. “Perbannya basah. Biar ku ganti.”
“Aku bisa sendiri.” Tanpa melihat Azura, Amar mengambil kantong plastik dari tangan Azura.
“Kamu mandi saja.” Ucap Amar.
“Eh, i,iya. Tapi,” Azura tidak melanjutkan ucapannya. Amar menoleh, kali ini menatap Azura sekilas.
“Tidak ada ganti yang pantas untukmu disini. Hanya ada,”
“Baju ibu mungkin. Bolehkah aku meminjamnya? Besok aku bisa membeli ganti untukku.”
Amar mengerti, Azura mungkin sudah dari kemarin tidak mandi dan berganti sama seperti dirinya.
“Tapi, ibu hanya punya daster saja.”
“Tidak apa-apa. Apa saja asal malam ini aku bisa berganti.”
“Kalau begitu, kalau kamu mau, pakai saja bajuku. Ada berapa di dalam lemari itu. Tapi tidak ada yang bagus.”
Azura mengangguk setuju, pikirnya dari pada dia memakai daster, lebih baik dia memakai baju seorang pria saja. Dia segera melangkah dan membuka lemari. Dia memilih celana training dan kaos oblong. Meskipun warnanya sudah pudar tapi ukurannya lumayan kecil. Azura menebak jika pakaian ini adalah milik Amar saat dulu sebelum dia tumbuh dewasa dengan badan yang tinggi dan kekar seperti saat ini.
Azura segera pergi ke kamar mandi. Tidak ada shower disana. Hanya ada sebuah bak kamar mandi yang sederhana dengan gayung yang sudah pecah sedikit di bagian bawahnya. Untung masih bisa dipakai.
Azura membasahi tubuhnya tanpa membasahi rambutnya. Dia memang sengaja tidak ingin keramas karena merasa dingin. Dia celingukan. Hanya ada sabun mandi batangan dan satu sikat gigi.
Dia mendengus, tapi segera sadar sekarang dia sedang berada dimana.
Selesai mandi dia berganti. Azura menatap pakaian yang ia kenakan. Terlihat longgar, tapi ini tidak terlalu buruk dari pada harus mengenakan daster.
Dia keluar kemudian ke dapur. Azura bingung mau apa. Niatnya ingin memasak, ingin menyiapkan makan malam. Dia merasa sangat lapar, mungkin Amar juga. Tapi Azura tidak biasa memasak, juga tidak ada apa-apa di dapur ini yang bisa untuk dimasak.
Azura kemudian memutuskan untuk memesan makanan online saja. Sedikit merasa lega setelah selesai.
Dia duduk di sofa usang milik ruang tamu rumah ini untuk menunggu pesanan. Pikirannya melayang. Dia kembali termenung, melamunkan nasib dirinya yang harus berakhir di rumah ini. Menikahi pria yang sama sekali belum ia kenal. Tetapi melihat keadaan Amar, Azura merasa prihatin. Pria itu hidup hanya dengan ibunya saja. Pasti saat ini Amar sedang dalam rasa kekhawatiran karena memikirkan ibunya.
Azura berusaha menenangkan pikirannya.
Baiklah, menikahi pria itu juga tidak terlalu buruk. Sepertinya keluarga ini juga keluarga yang baik.
Suara ketukan pintu membuat Azura tersentak dari lamunannya. Dia buru-buru membukakan pintu. Seorang kurir mengantar pesanan.
“Terima kasih ya.”
“Sama-sama mbak.”
Setelah selesai dengan urusan itu, Azura segera menutup pintu dan menguncinya, lalu pergi ke kamar lagi sambil membawa dua piring dan air minum.
Dia melihat Amar masih duduk melamun di atas kursi roda. Dia mendekat, meletakan semua yang ia bawa di atas meja kecil.
“Amar, kamu makan dulu ya? Kamu harus minum obatnya.”
Amar menoleh sedikit, lalu mengalihkan pandangannya. Sebenarnya Amar ingin membenci gadis ini. Gadis yang sudah membuatnya harus cacat seperti ini. Tapi melihat kelembutan dan mata yang penuh ketulusan itu, Amar tidak tega. Dia tidak bisa membenci Azura dengan mudah.
Amar menatap makanan yang sudah tersaji diatas meja kecil yang ada di hadapannya. Dia mendongak, “Apa ini kamu beli?”
Azura mengangguk kecil. “Aku memesan makanan. Maaf, aku belum terbiasa memasak. Lagian aku tidak melihat bahan makanan tadi di dapur. Tapi aku janji, besok aku mau belajar memaksa.”
“Ayo, ini enak kok. Juga kebersihannya terjaga.” Sambung Azura segera menyodorkan satu piring makanan pada Amar. Pria itu menyambut, dia masih menatap makanan itu. Bukan soal rasa atau kebersihan makanan ini, yang sedang dipikirkan Amar adalah harga makanan ini.
Dia bukan tidak tau harga untuk dua porsi makanan ini, sebab dia dulu juga pernah bekerja sebagai pengantar makanan online. Jika untuk membeli beras, tahu dan tempe, bisa kenyang untuk makan dalam seminggu. Ini namanya pemborosan! Tapi Amar segera tersadar. Bukankah gadis yang ia nikahi ini adalah putri dari Varega Brahmana? Sudah pasti masalah uang baginya adalah hal sepele.
“Kamu juga makan ya? Dari kemarin, mungkin kamu juga belum makan kan?” Ucap Amar, membuat Azura sedikit tertegun. Pasalnya, baru ini dia mendengar pria ini sedikit perhatian padanya.
“Iya, aku juga mau makan. Aku memang dari kemarin belum makan. Aku sangat ketakutan, sampai tidak sanggup untuk makan.”
Amar sekarang yang tertegun, gadis ini ternyata benar-benar merasa bersalah. Dia tidak seharusnya menyalahkan gadis ini.
“Lupakan saja yang sudah terjadi. Aku minta maaf, sudah marah padamu. Aku hanya sangat emosi. Hidup kami sudah banyak sekali menderita. Aku hanya takut jika harus kehilangan ibuku. Aku belum siap.”
Kedua mata Azura berkaca kaca. “Aku yang minta maaf. Aku sudah salah. Tapi kamu jangan khawatir. Aku berjanji akan menembus semuanya. Aku akan menjaga kalian sampai batas dimana kamu mengusirku nantinya.”
Amar menghentikan suapannya, dia sekilas menatap Azura.
“Mengusir? Maksudnya?”
“Ya kan, kamu menikahiku karena terpaksa. Ibu hanya ingin agar ada yang menjagamu. Siapa tau setelah kamu sembuh, aku tidak lagi dibutuhkan, jadi aku akan siap kapanpun jika kamu mau menceraikan aku.”
Hati Amar berdesir. Bercerai? Bahkan selama ini dia belum terpikir untuk menikah. Dia selalu minder jika ingin mendekati wanita manapun. Dia sadar diri dia siapa. Hanya pria biasa yang tidak punya apa-apa. Siapa juga yang mau dipersunting oleh-nya?
Tapi sepertinya, Takdir sedang memainkan perannya. Tiba-tiba hari ini dia sudah Menikah. Dia memiliki seorang istri yang begitu cantik dan dari kalangan atas. Seperti bermimpi. Tapi, entah dia harus bersyukur atau bersedih atas Pernikahannya ini. Dia belum mengerti apa rencana Tuhan padanya.
“Jangan memikirkan itu dulu, aku hanya berharap aku cepat sembuh seperti sedia kala dan ibuku bisa kembali lagi ke rumah ini. Aku juga minta maaf, jika harus membuatmu terpaksa masuk dalam kehidupanku yang serba kekurangan ini.”
“Eh, tidak apa-apa. Jangan dipikirkan. Aku maumenikah denganmu bukan Karena terpaksa kok. Aku, aku senang.”
Amar mendongak. “Senang?”
Waktu terus berjalan, dan hari-hari di rumah keluarga Brahmana tetap dipenuhi dengan cinta dan dukungan. Amara terus menunjukkan kemajuan, dan meskipun tantangannya belum sepenuhnya berakhir, setiap hari memberikan harapan baru bagi keluarga ini. Rayyan, yang selalu setia di samping adiknya, menjadi kakak yang tak hanya penuh kasih, tapi juga semakin dewasa dalam memahami apa artinya keluarga. Pagi itu, Azura bangun dengan perasaan damai. Hari ini adalah hari istimewa bagi keluarga mereka—ulang tahun ke-4 Amara. Di dapur, Amar sudah sibuk menyiapkan sarapan spesial untuk anak-anak, sementara Rayyan dengan penuh semangat membantu menghias ruang tamu dengan balon dan pita warna-warni. “Amara pasti akan suka ini,” ujar Rayyan penuh kegembiraan sambil menempelkan balon-balon ke dinding. “Dia suka warna-warna cerah, kan, Paman?” Amar tersenyum sambil mengangguk. “Betul, Rayyan. Kamu benar-benar tahu apa yang adikmu suka. Terima kasih sudah membantu Paman.” Rayyan tersenyum lebar, me
Azura mengangguk setuju. “Dan Rayyan juga. Dia selalu sabar, penuh cinta kepada adiknya. Aku tahu ini tidak mudah baginya, tapi dia benar-benar menunjukkan bahwa dia adalah kakak yang luar biasa.”Amar menatap Rayyan dengan penuh kasih sayang. “Kita memang beruntung punya anak-anak seperti mereka. Mereka mengajarkan kita banyak hal tentang kesabaran, ketekunan, dan cinta.”Azura tersenyum hangat. “Ya, mereka adalah alasan kita bisa melalui semua ini. Melihat mereka bahagia adalah hadiah terbesar untuk kita.”---Setelah sarapan, Amar dan Azura membawa anak-anak mereka ke taman bermain yang tak jauh dari rumah. Ini adalah akhir pekan yang cerah, dan mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di luar rumah, menikmati udara segar sambil membiarkan Amara melatih kakinya di tanah yang lebih lembut.Di taman, Rayyan berlari-lari dengan ceria, sementara Amara memegang tangan Azura, mencoba berjalan di atas rerumputan yang lembut. Setiap langkah kecil yang diambil Amara disertai denga
Azura meraih tangan Amar, merasakan kebersamaan dan dukungan yang telah menjadi fondasi keluarga mereka selama ini. “Kita sudah menempuh perjalanan yang panjang, tapi aku tahu bahwa ini semua belum selesai. Amara masih memiliki jalan panjang di depannya.” Amar mengangguk setuju. “Betul, tapi aku tidak ragu lagi. Dengan dukungan kita, dia akan menghadapi setiap tantangan dengan kekuatan yang sama seperti yang selalu dia tunjukkan.”Di tengah rutinitas terapi dan perawatan Amara, keluarga Brahmana juga mulai merencanakan langkah-langkah ke depan. Mereka tahu bahwa meskipun Amara menunjukkan kemajuan yang signifikan, masih banyak yang harus dilakukan untuk mendukung perkembangan fisik dan mentalnya.Suatu siang, Amar dan Azura kembali menemui Dokter Setyo untuk berkonsultasi mengenai perkembangan terbaru Amara dan apa yang perlu mereka lakukan ke depannya. Saat mereka duduk di ruangan dokter, Azura merasa lebih tenang dibandingkan pertemuan-pertemuan sebelumnya. Ada keyakinan dalam diri
“Kamu bisa melakukannya, sayang,” bisik Azura lembut, matanya berkaca-kaca. “Coba langkah kecil... hanya satu langkah kecil.”Dengan dorongan cinta yang luar biasa dari keluarganya, Amara tampak berusaha keras. Tangannya masih berpegang pada sofa, tapi dia mengangkat kakinya perlahan, mencoba melangkah ke depan. Meski kakinya gemetar, dengan bantuan sofa dan keberanian yang tiba-tiba, dia melangkah.Amar dan Azura saling berpandangan, mata mereka dipenuhi oleh air mata bahagia. Amara, putri kecil mereka, yang selama ini menghadapi banyak tantangan, akhirnya berhasil melakukan sesuatu yang mereka tunggu-tunggu selama ini—langkah pertamanya.Setelah satu langkah, Amara terhuyung-huyung, dan Azura segera mengulurkan tangan untuk menahannya. Amara jatuh pelan ke pelukan ibunya, dan meskipun dia belum sepenuhnya bisa berjalan, satu langkah kecil itu sudah terasa seperti kemenangan besar.“Kita berhasil, sayang. Amara berhasil!” bisik Azura, sambil mencium kening putrinya.Rayyan melompat-l
Rayyan tersenyum kecil, tampak puas dengan jawaban Pamannya. “Aku akan ajarin Amara banyak kata kalau dia sudah bisa bicara,” ujarnya penuh semangat. “Aku mau dia bisa cerita banyak hal ke aku.”Amar tertawa kecil, merasa hangat melihat betapa besar cinta Rayyan untuk adiknya. “Kamu memang kakak yang baik, Rayyan. Amara beruntung punya kamu.”Mereka terus bermain bersama sampai Azura kembali dari sesi terapi bersama Amara. Wajah Azura terlihat sedikit lebih cerah dari biasanya, meskipun terlihat lelah. Amar menyadari itu dan bertanya, “Bagaimana terapi hari ini? Ada kemajuan?”Azura mengangguk sambil menggendong Amara yang tertidur. “Ibu Lia bilang Amara mulai merespons suara lebih baik. Dia belum bisa meniru suara atau kata-kata, tapi dia mulai merespons ketika diajak bicara. Itu langkah kecil, tapi aku rasa ini kemajuan yang baik.”Amar tersenyum mendengar kabar itu. Setiap perkembangan, sekecil apa pun, selalu menjadi sumber kebahagiaan bagi mereka. “Itu luar biasa, Azura. Amara te
Azura memandang Amar dengan penuh rasa syukur, meski ide itu menyesakkan hatinya. “Aku tahu kamu ingin melakukan yang terbaik, Amar. Tapi kamu sudah bekerja keras setiap hari. Jika kamu mengambil pekerjaan tambahan, kapan kamu punya waktu untuk istirahat? Untuk kami, untuk aku dan untuk Amara?”Amar tersenyum lelah. “Istirahat bisa menunggu, Azura. Prioritas kita sekarang adalah memastikan Amara mendapatkan semua yang dia butuhkan.”Azura merasa terharu mendengar kata-kata Amar, tapi dia juga tahu bahwa kelelahan bisa menghancurkan mereka berdua jika tidak berhati-hati. “Aku tidak ingin kamu terlalu memaksakan diri, Amar. Kita harus mencari cara yang lebih seimbang.”Mereka terdiam lagi, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan—keuangan, kesehatan mental mereka, serta masa depan Rayyan dan Amara. Azura meremas tangan Amar dengan lembut, mencari kekuatan dalam kebersamaan mereka.---Hari itu, setelah berbicara dengan Amar, Azura merasa perlu u