Jika berbicara tentang masa lalu Jane bingung harus memulainya dari mana. Dari yang pahit atau yang paling pahit, kah? Wanita itu sering berpikir jika sebenarnya tidak akan ada yang tertarik dengan sebuah kisah kelam. Namun, siapa yang menduga jika ternyata kisah sedih bisa mendongkrak seseorang untuk lebih bersimpati. Jujur Jane tak membutuhkan hal semacam itu. Ia mungkin akan menceritakan sedikit tentang masa lalunya, bukan untuk dikasihani. Namun, hanya untuk pengingat bahwa kupu-kupu cantik pun pernah direndahkan lantaran dulunya hanya seekor ulat menjijikkan. Saat itu umur Jane masih dua belas tahun. Jane tinggal di sebuah kawasan kumuh. Suasana di daerah itu selalu terlihat mendung dan murung. Lingkungan terpinggirkan dan barangkali dilupakan oleh orang-orang berkuasa. Daerah yang penuh timbunan sampah yang mana ternyata memiliki banyak manusia yang mendiaminya.Jane tidak pernah menginginkan dirinya dilahirkan di situasi yang cukup bisa dikatakan buruk. Sebagai anak, ia ti
"Aku mendengar kau sakit oleh karena itu langsung terbang kemari meskipun tidak bisa lama-lama disini. Dia jam lagi aku harus kembali ke kota.”Jane menghela nafas dan mengangguk. Tatapannya tertuju pada pot bunga kecil yang ada di tengah meja. “Kau kenal Vincent?”Lilibet yang tadinya hendak minum lemon teanya harus tertunda saat ia mendengar nama seseorang yang tak asing baginya. Dahinya mengkerut sebelum kemudian terkekeh. “Wah, kau sudah bertemu dengn pria itu? ya, dia temanku.”“Jadi penginapan ini milik ibunya? miliknya?”Lilibet mengangguk. “Yap, secara tidak langsung memang milik Vinct. Aku penasaran bagaimana kalian bisa bertemu, maksudku pria itu cukup cuek terhadap wanita.”Jane mengedikkan bahunya.“Pertemuan yang tidak berkesan, aku berkunjung ke kafe miliknya dan yeah pertemuan yang tidak disengaja lainnya terjadi.”“Sayang sekali, ku kira kau bertemu dengnnya dengan cara yang romantis, mungkin.”“Dia sudah memiliki calon istri.”“Wow, benarkah? Aku merasa kau terliha
Naomi, tahun ini wanita itu berumur dua puluh lima tahun dan sejak tiga tahun lalu mendapatkan tugas untuk bekerja di sebuah klinik kesehatan yang bertempat di sebuah pelosok.Tempat itu, jujur bukan tempat yang selama ini ia impikan ketika memilih terjun di dunia kesehatan. Naomi benar-benar menyesal ketika surat tawaran kerja ia tandatangani tanpa pikir panjang lantaran terlalu tenggelam dalam euforia kelulusan dengan predikat bagus. Penyesalan benar dirasakan. Kawasan pantai itu sebenarnya tidak buruk sama sekali, bisa dikatakan indah dan masih asri, belum banyak orang-orang luar ke sana. Sayangnya bagi Naomi yang sejak bayi sudah menikmati kecepatan teknologi, hidup di tempat itu adalah neraka baginya. Jaringan internet dan komunikasi cukup buruk, ditambah penduduk di area itu cukup sensitif dengan pendatang. Sampai beberapa bulan kemudian ia bertugas, barulah Naomi merasakan kenyaman di pesisir tempat ia bekerja. "Nona, bisakah Anda datang ke rumah saya—" Naomi yang saat itu
“Jadi kau tertarik padanya?”Vincent yang tadi sempat berniat meninjau pendapatan kafe memilih untuk mengurungkan niatnya. Pandangan matanya kembali pada Jeremy yang nampak berpikir. Ia memang baru saja menceritakan pada Jeremy apa yang dirasakan pada wanita asing yang bahkan belum sebulan ia kenal. “Apa kau pikir aku tertarik padanya?”Jeremy berdecak. “Sangat terlihat dari caramu menceritakan tentang Jane, kau terlihat konyol. Maksudku, sadar tidak jika ini pertama kalinya kau menceritakan soal wanita padaku?”Vincent tertegun, ia baru menyadarinya. Tentu saja dirinya belum pernah bercerita tentang wanita manapun lantaran selama ini, ia disibukkan dengan perkembangan kafe. “Oy, sadar tidak jika selama ini kau juga tidak penah menceritakan apapun tentang Naomi,” kata Jeremy mencoba memancing reaksi apa yang ditunjukkan kawannya dan ternyata sesuai dengan ekpektasinya. Vincent terlihat bingung. “Kenapa aku harus menceritakan tentang Naomi, bukankah ia juga menghabiskan banyak wak
“Jadi sebenarnya apa yang membuat Jane sering terserang panik?” tanya Vincent. Pertanyaan itu kemungkinan terdengar lancang mengingat hubungan mereka tidak terlalu dekat. Jasmine yang tadi duduk di samping Jane yang masih tertidur setelah lelah menangis menghela nafas dan beranjak. Temannya itu memang sering terserang demam jika paiknya kambuh. "Sebaiknya kita keluar,” ucap wanita itu dan Vincent mengangguk. Ia melirik Jane yang masih terlelap sebelum keluar kamar mengikuti Jasmine. Vincent duduk di sofa tepat di depan Jasmine. Pria itu memperhatikan sekitar. Melihat apa yang kurang dan apa yang perlu diperbaiki dari penginapan milik ibunya itu.“Aku cukup terkejut ketika tahu kau pemilik penginapan ini.”Vincent menggaruk pelipisnya dan terkekeh.“Masih milik ibuku, terlalu dini untuk mengakui. Aku hanya bertugas membenarkan beberapa hal jika ada kerusakan. Kau bisa mengatakan padaku jika ada sesuatu yang bermasalah disini.”Jasmine mengangguk. Ujung matanya memperhatikan Vincen
Angin berhembus tipis, membuat helai rambut wanita itu menjadi berantakan. Namun si pemilik enggan merapikannya. Ia hanya ingin membiarkan rambutnya tersapu angin. Kepalanya menunduk, melihat pasir putih yang ada di bawah kaki. Nampak kasar namun tidak menyakitkan. Jane tersenyum kecil ketika ia melihat ada beberapa kepiting kecil yang nampak berlarian kembali ke rumah mereka ketika ia melangkah. Air laut pagi itu tidak dingin seperti biasanya. Dalam hati wanita itu bertanya-tanya apakah hari ini sudah memasuki musim panas?Jane tidak tahu, lantaran ia juga tidak pernah mencari tahu tentang seberapa lama ia meninggalkan gemerlap dunia hiburan yang sudah membesarkan namanya. Ketika ingat hal itu, ia merindukan Lucas, pemuda yang tak pernah mengeluh akan pekerjaannya, ia merindukan Thomas, pria tua mata keranjang namun sangat menyayanginya, dan LIlibet, ah wanita itu meskipun baru bertemu dengannya beberapa hari lalu. Ia juga merindukan omelannya. Jane kembali tidak bisa menyembunyik
Jane kebingungan ketika melihat Jasmine yang nampak berantakan dan langsung memasuki kamar ketika datang. Ia tak menyapanya dengan riang seperti biasanya. Membuatnya enggan mengatakan apa yang ingin disampaikan terkait dengan surat yang didapat dari Lukas. Ujung matanya melirik pada pria yang juga sama berantakannya, tengah menggelepar bak ikan kekurangan air di daratan di atas sofa ruang tamu. Jeremy yang biasanya rapi, hari ini juga terlihat kacau.“Kalian bertengkar?”Pria itu terlonjak, matanya membulat, dan bahunya menegang. Namun ketika menemukan tatapan bingung Jane ia memilih memperbaiki posisi duduknya dan mengalihkan pandangan ke arah kamar Jasmine yang tertutup. Telapak tangannya yang lebar meraup wajahnya dan mengeram rendah.Dahi Jane mengerut ketika di tengah kebingungannya ia menemukan sesuatu yang janggal. Beberapa bekas keunguan nampak terlihat jelas ada di leher pria itu, kulitnya yang memang putih membuatnya nampak sekali bahkan meskipun mengenakan jaket akan percu
“Kau mungkin bisa berdoa agar Tuhan mengasihimu dan mengeluarkan kamu dari sini.”“Aku tidak percaya pada Tuhan.”Percakapan itu Jane lakukan ketika usianya menginjak lima belas tahun dan itu tahun ketiganya di rumah bordil. Benar, orang tuanya menjualnya ke tempat setan dan ia sudah beberapa kali berganti tempat. Setiap malam sesuai jadwal, ia akan menjadi salah satu penghibur—yang tidak terlalu diminati. Mungkin karena keadaan fisiknya yang lemah, entahlah. Jane diam-diam cukup bersyukur akan hal itu. Namun, dibalik kegelapan itu. Ia bertemu dengan Angel, bukan nama asli, pun dirinya juga tidak memakai nama asli. Orang-orang sering memanggil dirinya blue. Angel, cukup berdedikasi padanya. Wanita yang memiliki renang umur jauh diatasnya itu mengajari Jane cara berbicara bak orang normal dan ternyata berhasil meskipun membutuhkan waktu hampir setengah tahun.Sebenarnya Angel melakukan itu bukan secara sukarela, wanita itu dibayar bos mereka untuk membantu Jane bisa berbicara setela