Share

Pesan dari Sandra...

Simon berjalan-jalan di area taman pusat kota, ada banyak pasangan yang mendatangi tempat itu. Namun, Simon tak peduli tentang ini, yang jelas sekarang dirinya ingin mencari udara segar.

Entah kenapa kini Simon begitu haus. Di sebelah taman, ada satu bangku panjang yang kosong, di sekitarnya dia melihat mesin penjual otomatis. Simon berniat pergi ke sana untuk membeli sebotol air.

Saat hendak membayar Simon memeriksa sakunya dengan wajah bingung. “Ya ampun, aku lupa bawa dompet…”

Saat itu dia terpaksa kembali dan berbalik. Tiba-tiba Seorang wanita tinggi dengan rambut panjang bergelombang muncul di sana. “Kenapa nggak jadi?” tanyanya dengan nada cuek dan dingin.

Simon agak tidak nyaman mendengar gayanya bicara, namun ia mencoba tersenyum menyapa wanita itu. “Ah, lebih baik anda saja dulu, aku masih harus menjemput dompetku yang ketinggalan.”

Tanpa sengaja ia membeberkan semua hal yang baru saja menimpanya. “Astaga! Barusan aku bilang apa?” ujarnya sambil memukul bibirnya beberapa kali.

“Dompetnya nggak usah di jemput, biar aku saja yang traktir.”

Simon tak dapat menyembunyikan wajahnya lagi, dia sangat malu dengan keadaannya yang sekarang.

“Sudahlah, kamu nggak usah sungkan. Lagian aku baru mampir kesini, mungkin kita bisa saling berinteraksi. Kenalin aku Sandra.”

Wanita itu mengulurkan tangannya yang halus, Simon terlihat ragu, namun mengingat dirinya baru saja mengalami masalah, berkenalan dengan seorang wanita cantik mungkin membuatnya sedikit terhibur.

“Simon…” akhirnya ia menerima uluran tangan wanita itu.

Ini merupakan keuntungan bagi mereka, bisa bertemu di satu waktu secara kebetulan, Sandra mengambil dua botol minuman berwarna oranye, dan memberinya satu pada Simon. “Ambillah, sebenarnya aku butuh teman mengobrol, kamu sendirian?”

“Ah benar, kebetulan aku sendirian disini.” Sandra membulatkan mulutnya, “Syukurlah, jadi nggak akan ada yang cemburu jika kita mengobrol kan?”

Lagi-lagi Simon menggeleng, dia melihat ke bawah, membuka minuman yang baru saja di berikan oleh wanita itu.

“Hei, bagaimana kalau kita duduk di sana? Kukira, mungkin tempat itu lebih sejuk daripada disini.”

Sudah kebiasaan Simon selalu menyetujui perkataan seorang wanita, baik itu pacarnya, ataupun orang lain yang menyandang gelar wanita.

Mereka duduk di atas rumput jepang tepat di bawah pohon kenari. Masing-masing mereka sibuk menghirup minuman yang mereka punya. “Sebenarnya, aku baru kembali dari perjalanan dinas luar negeri. Yah, meski sebenarnya aku datang sehari lebih cepat, itu karena satu hal, kamu mungkin tahu maksudku.” sudut bibirnya berkedut, sorot matanya terlihat sendu.

Seakan mengerti, Simon menyamakan permasalahan mereka. “Kamu pasti baru saja di kecewakan…”

“Tepat, kenapa kamu bisa tahu?”

Simon mengangkat bahunya, padahal sebelumnya ia hanya iseng menjawab. “Aku bingung harus bilang apa, tapi sepertinya aku juga mengalaminya. Sama sepertimu…”

“Bisa kamu ceritakan?”

Sungguh Simon merasa aneh, padahal yang berniat curhat itu bukanlah dirinya, tapi Sandra.

Helaan nafas yang berat dan tak beraturan membuatnya menutup mata, kemudian membukanya perlahan. “Pacarku meminta putus dan dia pergi bersama laki-laki lain…”

“Ini sepertinya serius,” Sandra merespon berkomentar cepat.

Dia terdiam, Simon juga penasaran dengan kisah di balik wajah sendu itu. “Bagaimana denganmu?”

Sandra menggeleng, menghirup minumannya beberapa kali. Ia mengambil ponselnya dan mengetuk layarnya beberapa kali. “Kamu lihat video ini…”

Simon orang tak berpunya, dia agak ragu untuk menyentuh benda pipih keluaran terbaru dengan kesan eksklusif pada desainnya. Dibandingkan dengan ponsel keluaran lama miliknya, itu adalah 1 banding 8.

Ponsel butut!

Itu lebih layak di katakan pada ponsel milik Simon.

Pandangannya baru serius ketika melihat film pendek yang sedang diputar di ponsel Sandra. Suara er4ngan, rint1han dan d3sahan terdengar, membuat hatinya tidak nyaman.

Jantungnya berdebar, video itu mengingatkannya pada Shania. Pandangannya menajam, ketika melihat dengan jelas orang yang ada dalam video, berlatar di sebuah kamar dan... Semua orang akan langsung tahu apa yang tengah terjadi disana.

Bahkan, ketika suasana dalam video itu menjadi terang, Simon terkejut, tubuhnya bergetar hebat, beberapa menit ia mematung, mendengarkan aktivitas dalam video.

Shania! Mereka melakukannya!

Simon merutuk, “Dasar gadis murahan, begitu rela dia menjual tubuhnya demi uang?”

“Dia pacarku, aku datang dari jauh demi menemuinya, sampai di apartemen itulah yang aku lihat.” Sandra berujar dengan wajah muram.

“Di-dia? Dia pacarmu?”

Satu anggukkan sudah membuatnya mengerti.

Sekujur tubuhnya mendadak dingin, ia gemetar. “Sha-Shania?”

Dirinya benar-benar sangat kecewa dengan gadis yang di pujanya selama tiga tahun terakhir.

“Hanya waktu yang membuktikan sebuah kesetiaan, dan membuktikan kalau dia bukan untukku…”

Sandra memiliki hati dan perasaan yang besar, Simon bisa melihat itu dalam dirinya yang tersakiti dan tak ingin lagi terluka.

Simon tanpa sadar mengamati wajah cantik yang menghipnotis dirinya. Wanita itu memiliki mata yang berbinar, senyumnya yang indah. “Hei, kamu ngelamun?” Reflek Simon terkejut setelah mendapat teguran dari Sandra.

Dan, sekarang, ia hanya terlihat seperti orang gagu saat berbicara. “Lucu, ini lucu sekali!”

Simon melihat wanita itu begitu manis saat tertawa gigi manisnya terlihat. Namun, tiba-tiba wanita itu malah menangis. Simon kaget sekali. “Loh? Bukannya tadi kamu tertawa? Apa yang terjadi?” Simon bingung.

Melihat wanita itu terisak, hatinya ikut merasa sedih. “Ada apa ini?”

***

Sandra bergegas memesan taksi online untuk pulang lebih awal. Ia tersenyum terus menerus, rasa senang membuncah di dirinya.

Tak jauh dari sana, sebuah mobil berlogo taxi terlihat mendekat ke tempatnya berdiri. Melihat itu, tanpa ragu Sandra masuk dan langsung bertanya, “Ini yang ke Apartemen Endless Willow kan?” Pengemudinya mengangguk.

“Baik, jalan.” taksi pun bergerak maju meninggalkam pusat kota.

Sejujurnya hari ini Sandra sangat lelah, dia bahkan belum sempat istirahat demi menemui pacar bajingannya itu. Terbuai dalam lamunannya, Sandra malah tertidur…

“Maaf Nona, kita akan berhenti dimana?” Suara ketukan jari disambung dengan pertanyaan pengemudi taksi membuat Sandra terbangun dari tidurnya.

“Ah, ya disini saja, maaf aku ketiduran,” Sandra mengangkat wajahnya, kemudian menuruni taksi. “Kalau begitu terima kasih.”

Begitu taksi berlalu, Sandra masuk ke apartemen tempatnya tinggal. Tubuhnya yang gerah, membuatnya langsung masuk kamar mandi dan menyalakan shower.

Suara gemericik air terdengar, ketika tubuhnya telah basah, tiba-tiba ia teringat sesuatu. Cepat-cepat dia menghentikan aktivitas kamar mandi, lalu mengambil handuk, keluar dari sana.

Di kamarnya, Sandra mengambil ponsel dengan wajah senyum. “Simon, dia tampan dan baik, mungkin aku bisa mengajaknya besok jalan-jalan.”

Detik itu juga, Sandra mengirim pesan singkat. “Beres…”

“Tunggu, tunggu. Harusnya aku nggak langsung senang, gimana kalau Simon nggak mau ketemu aku lagi dan malah menertawaiku soal kemarin."

Tiba-tiba Sandra teringat sesuatu, pandangannya beralih pada lemari besar yang tersandar di balik pintu kamarnya, segera ia menuju ke sana dan membuka isi lemari.

Ekpresinya berubah masam saat mendapati sebuah kotak kardus yang tersimpan rapi di lemarinya. Sandra meraih dan membuka kardus, matanya terpaku pada sebuah buku yang usang. “Diary lama..." Sandra membaca halaman awal isi tulisannya, dan menutupnya dengan cepat. "Aku akan pastikan diary lama ini akan jadi abu dalam sekejap, dengan begini aku nggak punya hutang apapun lagi yang harus dilunasi.”

Sandra menarik nafas, mengganti buku tadi dengan yang baru. “Akhiri yang lama, dan mulai yang baru. Jika cerita yang sama itu berlanjut, semua nggak akan berubah. Lebih baik membuat cerita yang berbeda, mungkin kehidupan yang pahit sekalipun akan tetap manis.”

Corat-coret pena mulai mengisi kertas putih kosong, sebuah kata-kata yang dirangkai adalah wujud dari isi hati Sandra sekarang.

Tiba-tiba, Sandra mendengar ada yang memencet passcode apartemennya. “Jangan-jangan itu Gerald, soalnya cuma dia yang tahu password kamar ini. Dia pasti datang untuk minta maaf.”

Sandra hanya diam dikamarnya, ia tak ingin bersikap gegabah dan ingin menenangkan dirinya. Meski saat ini perutnya lapar, dia rela menahannya agar tak keluar kamar. “Ah, aku lupa, bukannya di tas masih ada coklat sisa dari perjalanan pulang?”

Sandra mencarinya dan akhirnya hanya bisa mengunyah coklat hitam dari luar negeri. Setidaknya dengan mengunyah coklat yang sangat manis itu perasaannya menjadi lebih tenang.

Ruangan apartemen milik Sandra kadang digunakan untuk tempatnya bekerja, setidaknya dia tak perlu lagi membuang uang untuk mencari tempat lain. Sebagai pacarnya, tak asing jika Gerald mengetahui tempat ini.

Lama menunggu, akhirnya suara itu tak terdengar lagi. “Mungkin dia udah nyerah. Untung aku udah ganti kata sandinya.” Sandra tersenyum miring ketika mengetahui itu.

Namun, baru saja ingin tersenyum, ia malah di kejutkan dengan ketukan pintu yang berulang. “Sandra, buka pintunya. Kita masih harus bicara! Aku tau kamu di dalam!”

Sandra tak peduli, dia tetap di tempat sambil terus saja menikmati coklat tadi. Suara ketukan disertai teriakan suara pacarnya terus saja terdengar. “Jika kamu nggak mau buka, aku akan buat keributan!”

Sandra menarik nafas, wajahnya begitu kesal hingga dia segera melempar dengan kasar bungkusan coklat yang hampir habis, kemudian meminum air botol mineral yang juga dari tasnya.

Perlahan, Sandra berjalan ke pintu dan membukanya. Sosok Gerald langsung menerobos masuk dan menatapnya lekat.

“Sandra, aku…”

“Pergilah, aku jijik melihat wajahmu!” ujar Sandra sambil mendorong pria itu. “Sandra, maafkan aku…”

“Sudahlah, kamu nggak perlu repot datang kemari hanya untuk bilang kata itu. Biarkan seribu kali kamu mengatakannya, aku tetap nggak terima!”

“Sandra, aku mohon… kamu bilang kita bulan depan mau menikah kan? Kenapa nggak di persiapkan saja dari sekarang?”

Bukannya menjawab, Sandra mendorong pria itu keluar dari pintu dengan sekuat tenaganya “ Jangan pernah menginjakkan kaki di apartemen ini!”

“Sandra, kamu harus percaya sama aku, hubunganku dengan wanita itu nggak serius. Aku mana mungkin mau dengan wanita yang gampang menyerahkan tubuhnya hanya karena uang, yang aku cintai itu hanya kamu Sandra..."

***

Sepanjang jalan pulang, Simon terus memikirkan Sandra, mengingat sorot matanya, rasanya ingin sekali menjadi pelindung sosok Sandra.

“Gerald benar-benar biad4b, sayangnya Shania sudah terlanjur terhipnotis sama harta. Firasatku berkata Shania akan bernasib sama dengan Sandra."

Simon tiba di rumah setengah permanen yang hampir bobrok. Ia menginjakkan kakinya ke lantai yang sudah tak beraturan dan tikar yang sudah lusuh. Nafasnya terdengar berat, saat memperhatikan keadaan itu. Namun, ia tidak berani berkomentar dan memilih duduk di kursi sofa yang juga usang.

“Simon, kamu sudah tiba?” seorang wanita setengah baya menghampirinya dengan langkah tertatih.

“Iya, Bu. Maaf, aku nggak beli apa-apa.” wajah Simon berubah muram, “Bu, besok mungkin aku mau cari kerja buat biaya kuliahnya Ella, bentar lagi uang semesternya ‘kan harus di bayar.”

Sang ibu menatapnya dengan hangat, dan mencoba tersenyum. “Maaf nak, ibu nggak bisa bantu kamu apa-apa. Mudah-mudahan kita bisa terlepas dari semua ini.”

Simon mengangguk mengiyakan ucapan sang ibu, ingatannya melayang pada ponsel butut yang dia punya. "Aku harus men-charge baterainya."

Saat memperhatikannya, Simon membelalak. "Pesan dari Sandra?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status