Share

Ketika terbangun...

Sandra bangun dengan mata bengkak, kepalanya sangat sakit dan begitu berdenyut. “Ah, semoga saja setelah minum obat pereda nyeri sakit kepalaku hilang.”

Dia bangkit perlahan sambil mengernyitkan keningnya. “Aku akan menggunakan waktu satu hari dari sehari masa perjalanan dinas untuk aku jalan-jalan, jadi besok baru pergi ke kantor.”

Sebagai anak tunggal, saat ini Sandra telah meneruskan perusahaan ayahnya, jika pun tak ke kantor, semua itu tak masalah baginya, namun Sandra cukup disiplin dan tegas. Di kantornya dia sosok yang berwibawa.

Sandra menghibur dirinya dengan bersenandung kecil di kamar mandi. Setelahnya, begitu banyak hal yang ingin ia lakukan. Pembicaraannya dengan sang kekasih semalam, membuatnya begitu trauma. Jadi saat ini yang dilakukannya yaitu, harus move on.

Begitu keluar dari kamar mandi, Sandra mencari stelan terbaiknya, memoles wajah dengan make up tipis. “Aku nggak suka berdandan berlebihan, jika diizinkan, setelah ini aku mau pakai hijab.”

Setelah rapi, Sandra bersiap keluar rumah dan berhenti di depan mobil silver favoritnya. Saat itu Sandra menyalakan ponsel dan melihat banyak pesan baru dari nomor tak di kenal. “Blokir!”

Di detik yang sama, pesan yang lain masuk, dan ini dari nomor yang istimewa. “Balasan dari Simon..."

(Aku akan tunggu di taman pusat kota, see you...)

Sudut bibirnya tersenyum, Sandra segera menyetir dengan sangat cepat, rasa senang membuncah dalam dirinya yang tak sabar untuk bertemu kembali dengan sosok yang baru saja dikenalnya. Ia merasa ada yang berbeda pada Simon, padahal mereka baru satu kali bertemu.

Di sisi lain ia merasa sedih dan kehilangan rasa percaya dirinya sebagai wanita, bahkan juga harga dirinya. Wanita mana yang bisa menerima perselingkuhan?

Bahkan ia melihatnya langsung dengan mata kepala sendiri.

“Ah, sudahlah, memikirkannya membuatku geram. Aku nggak mau terus larut dalam masalah ini!” Sandra membuang jauh pikiran jeleknya, lalu memutar lagu agar rasa gundah dihatinya hilang.

Pukul 08.09 pagi, Sandra tiba di lokasi yang sudah di beritahu sebelumnya. Ia turun dan mengunci kembali mobilnya. Tak jauh dari sana seseorang yang tak asing berdiri menantinya sambil melambai.

Sandra tersenyum, langkahnya di buat secepat mungkin menghampiri pria itu. Pakaian yang digunakannya hari ini cukup simpel, jadi takkan menghambat geraknya.

"Sudah lama nunggu?"

Simon menggeleng, "Ngomong-ngomong kayaknya kafe yang di sana baru buka, kita duduk di sana aja yuk!"

Sandra berpikir sejenak, lalu niat iseng muncul, disertai dengan sedikit senyum terlihat di bibirnya. "Kamu nggak ketinggalan dompet lagi kan?"

Simon menggaruk kepalanya yang tidak gatal, namun ia sama sekali tak tersinggung dan malah menyunggingkan senyumnya. "Kali ini tentu tidak!"

"Aku hanya bercanda, kamu mungkin belum tahu sifatku yang ceplas-ceplos. Ya udah yuk, ayo kita ke sana."

Saat memasuki kafe, Sandra mencium aroma kopi yang yang nikmat memenuhi udara, membangkitkan perasaan yang menghirup aromanya. Mereka mengambil tempat duduk disekitar jendela.

Sandra bukannya langsung duduk, ia malah mengamati setiap inchi ruangan itu.

"Ada apa?" ternyata dari tadi Simon sudah memperhatikan Sandra.

"Ah, tidak. Lagipula kenapa harus terburu-buru? Aku perlu melihat tatanan kafe ini…" gaya bicara Sandra tetap saja penuh wibawa.

Simon mengangguk, dia bisa memahami kriteria wanita seperti Sandra yang sedikit cuek, namun mengingat saat dia menangis, Simon tetap saja melihat sisi terlemah Sandra.

“Jadi, bagaimana dengan kafenya?”

“Tentu saja aku suka.”

Simon senang, ternyata pilihannya tak mengecewakan Sandra. "Black coffe, less sugar." Simon melirik Sandra, “Kamu pesan apa?”

“Aku ikut saja denganmu…”

“Dua gelas black coffe?”

Sandra mengangguk.

Waiter yang baru datang segera menuliskan pesanannya.

"Masih ada yang lain?" tanyanya dengan ramah.

Simon kembali melirik Sandra. "Tidak, mungkin nanti saja."

“Kenapa?”

“Ya, aku bingung mau pesan apa.”

“Baiklah, kalau gitu biar aku pesan, kamu suka pedas?”

Sandra mengangguk cepat.

“Baik tunggu sebentar.” Simon mendekati pelayan dan berbisik. Setelahnya si pelayan berlalu pergi

"Oh ya, ngomong-ngomong kemarin kita ngobrol masih setengah-setengah, aku masih ingin tahu banyak tentangmu, kamu nggak keberatan kan?"

"Tentang apa?"

"Belakangan ini kegiatan kamu apa aja? Um... maksudku aktifitas sehari-hari gitu. Aku takut kamu lagi sibuk-sibuknya kerja, ajakanku malah ganggu kegiatan kamu."

Simon menarik nafas panjang, lalu menggeleng. "Aku nggak kerja, kadang aku hanya melaut. Yah, dapet dikit-dikit lumayanlah bisa dijual..."

"Ikan segar kan? Wah, aku udah lama banget nggak makan ikan bakar. Terakhir aku mencicipinya waktu liburan ke China."

"Sepertinya kamu sering keluar negeri."

Sandra mengangguk, "Semua itu adalah tuntutan pekerjaan. Asal kamu tahu, setiap hari begitu melelahkan, aku ingin menjalani hidup yang lebih damai daripada ini."

Simon mengerutkan dahinya keheranan. "Kenapa? Bukannya bagus punya pekerjaan tetap. Nggak seperti aku yang hidup pengangguran."

Melihat ekspresi Simon, sontak Sandra berkata. "Tidak, kamu bukannya nggak punya kerja, melaut juga pekerjaan bukan? Itu lebih baik daripada meminta pada orang lain."

Simon melihat ke bawah, memperhatikan lantai yang di pijakinya. "Memang, tapi itu bukan pekerjaan tetap. Itu juga tergantung pada cuaca dan keadaan gelombang laut."

"Maksudnya?"

Simon menarik nafas, "Perubahan yang aku maksud itu, gelombang pasang yang membesar."

Sandra menyimak kata-kata itu dengan serius, "Ternyata sesulit itukah menjadi pelaut?"

Sandra lalu diam dan berpikir, keadaan menghening ketika mereka melanjutkan menyesap minumannya masih-masing.

"Simon..." Sandra membuat Simon terkejut.

"Kamu mau bekerja denganku?"

Kali ini Simon menanggapinya serius, ia memang berencana mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya. Meski terlahir dari keluarga miskin, ia berniat membangkitkan nama keluarganya agar berkehidupan yang layak, bahkan saat ini adiknya yang masih kuliah juga butuh biaya.

"Kamu serius? lowongannya dimana? Tolong kasih tau..." Pemuda itu benar-benar bersemangat, dan sudah tak sabaran. "Kamu tertarik? Emangnya kamu tau kerja apa?"

Semangatnya yang sempat menggebu, perlahan menyusut. Simon mencoba bersikap sedatar mungkin. "Kalau kerja halal ya jelas aku mau."

Sebenarnya sejak dulu, Simon bertekad dan berusaha agar adiknya bisa tamat kuliah meski ia harus terus bekerja, Simon melakukan hal itu agar sang adik tak bernasib sama dengannya. terlalu

Ehhmm... Tiba-tiba suara Sandra kembali terdengar. “Tentu saja ada lowongan, tapi sayangnya kamu harus tinggal di luar kota…”

Ini pilihan yang berat baginya, jika ia setuju, siapkah jauh dari keluarga? Jujur, selama ini Simon tak pernah meninggalkan Ibu dan adik perempuannya. Namun, dia sangat membutuhkan pekerjaan ini agar berpenghasilan tetap.

"Baik, aku setuju..."

***

Sebuah mobil hitam perlahan berhenti di samping pintu komplek perumahan abadi, hal itu menarik perhatian para penghuni rumah yang ada di komplek itu.

Shania turun dari mobil dengan tubuh gemetar, saat itu seseorang berbicara dari dalam mobil, “Sementara ini jangan temui aku dulu, kita cukup berbalas pesan saja.”

Shania diam, ada gurat kekecewaan di wajahnya. “Aku tahu.”

Shania memegang erat tasnya sambil merunggut, sebelah tangannya memegang selembar cek yang nilainya seratus miliar, entah itu asli atau palsu, itu bukan hal penting sekarang.

Perlahan, Shania memasuki komplek dan berhenti di depan rumahnya. Saat membuka pintu, Ibunya melipat tangannya ke atas dada, kemudian berdiri dari sofa dan berjalan menghampiri Shania.

“Darimana saja kamu? kemarin semalaman kamu nggak pulang, bahkan juga nggak kasih kabar lewat telepon, kamu sengaja ingin ibu dan ayahmu cemas sampai mati?”

“Maaf bu, kemarin aku…,” Mata Shania berubah merah, cemas ibunya tidak lebih marah lagi, dia mencari akal agar mengurangi amarah ibunya, “Mungkin, aku harus berbohong.” batinnya.

“Kemarin temanku bikin acara pesta reuni khusus alumni kampus kami dulu.

Acaranya baru selesai, saat malam sudah sangat larut. Aku khawatir nanti di jalan nggak ada bus, kalau pun ada, belum tentu aman jika naik sendirian.”

Shania menjelaskannya dengan terbata.

“Lalu tadi malam kamu tidur dimana?”

“Aku tidur di rumah temanku, dan aku pikir malam itu Ibu dan Ayah mungkin k tidur, makannya aku nggak langsung telepon...”

“Kamu ini sudah besar Shania, kamu harus pintar jaga diri. Di luar sana ada banyak orang yang mengincar keper4wanan gadis sepertimu, lain kali kamu nggak boleh seperti kemarin lagi, kamu mengerti?”

Shania mengangguk seolah sudah benar-benar paham, di balik anggukkannya itu, hatinya malah gelisah karena melanggar nasehat ibunya. “Kenapa masih berdiri disitu? Cepat pergi cuci muka, Ibu baru saja masak sup, buat sarapan.”

Walau sebelumnya sangat emosi, namun melihat putrinya pulang dalam keadaan baik, hatinya mulai lega.

Shania adalah anak satu-satunya, dari pasangan suami istri Leslie dan Baron, hidupnya dengan keluarga Simon sebenarnya tak jauh berbeda, namun Baron adalah seorang pegawai negeri yang bekerja sebagai guru, walau masih golongan rendah, itu cukup lebih baik daripada tak berpenghasilan sama sekali, terlebih Baron tak punya keahlian lain, misalnya melaut seperti yang dilakukan Simon.

Shania masuk ke kamar setelah mandi. Ia menggigit bibirnya ketika mengingat pria yang kini di kencaninya, “Tak boleh ketemu sementara? Kenapa? Karena calon tunangan? Tenang Shania, mereka nggak akan berbaikan, nggak akan pernah!” Shania tersenyum menyeringai di depan cermin.

Setelannya kini telah berganti dengan pakaian kerjanya, matanya melirik pada selembar cek sebentar, dan memasukkannya kembali ke tas, sebelum ia keluar untuk sarapan bersama orangtuanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status