Wajah Ruby memerah saat Liv bertanya soal pengaman. Tadi malam dia tidak terlalu memperhatikan hal lain selain tubuh Luois. Matanya hanya terfokus pada pria itu seolah dia terhipnotis.
Namun, dia ingat-ingat kalau tadi malam Louis menggunakan sesuatu di tengah-tengah permainan panas itu.Seharusnya, dia menggunakannya, kan?Ruby melirik sekelilingnya untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar pembicaraan mereka. Kemudian dia berbisik, “Aku rasa dia menggunakannya.”“Aku rasa?" Liv berdecak. "Kamu tidak melihat dengan jelas dia menggunakannya?”Ruby salah tingkah. Dia berdehem, lalu menatap Liv lagi. “Tidak. Malah aku tidak terpikir tentang hal itu.”Liv terbelalak. Dia tidak tahu harus mengatakan apa saking merasa shock dengan pengakuan polos Ruby."Ruby, itu poin penting ketika kamu melakukannya dengan pria. Tidak lucu jika dua bulan lagi kamu mendapati dirimu tengah...” Liv melirik sekitarnya lagi. “Hamil!”Hamil?Ruby langsung bergidik mendengar kata hamil yang dilontarkan Liv. Dia menggeleng. “Tidak mungkin. A-aku yakin dia pakai pengaman.”“Bagus kalau begitu,” Liv menyesap kopinya. “Aku tidak akan mau ikut terseret jika kamu hamil.” Liv menegaskan.Ruby mengangguk. Semoga saja!Dia juga tidak mau hamil sekarang. Karirnya masih panjang dan dia masih ingin menikmati masa mudanya.“Ngomong-ngomong, apa kamu melihat sosial mediamu? Orang-orang sedikit gila dengan unggahan Arden dan kekasih gay-nya itu.”“Aku menonaktifkan semua akunku,” Ruby meneguk kopinya. “Aku tidak mau kewarasanku terganggu karena membaca semua komentar-komentar di sana.”Liv mengangguk membenarkan. “Mereka memang mengeluarkan semua opini mereka masing-masing tanpa mengetahui kebenarannya. Ada yang memojokkanmu, namun banyak juga yang mendukungmu. Aku setuju kamu menonaktifkan akun media sosialmu untuk sementara waktu ini.”Ruby hanya diam. Kemudian matanya terarah pada ponsel yang diletakkannya di atas meja. Sebuah pesan masuk dari Arden.[Ruby, kamu di mana? Nanti malam bolehkan aku mampir? Ternyata masih ada barang-barangku yang tertinggal di sana.]“Dari siapa?” Liv menyadari wajah Ruby berubah saat membaca pesan yang baru masuk ke ponselnya.“Arden.”“Kenapa lagi dia menghubungimu?”“Dia bilang mau mampir ke apartemen. Masih ada barangnya yang tinggal.”“Kamu mengizinkannya?”“Tentu saja,” Ruby menyantap sepotong macaron pink yang tersaji di atas meja. “Toh aku tidak ingin melihat barang-barang itu di apartemenku. Itu akan mengingatkanku pada pengkhianatannya.”“Aku heran kenapa kamu tidak merusak barang-barangnya mengingat apa yang sudah dia lakukan padamu.” Ujar Liv.“Barang-barang itu tidak bersalah. Aku tidak berniat merusaknya.”“Kamu terlalu baik!"Ruby tersenyum. Dia membalas pesan Arden.[Sekarang saja, mumpung aku sedang di luar. Barang-barangmu sudah ku satukan di dalam boks dan kamu tinggal mengangkatnya saja.]Setelah itu dia meletakkan kembali ponselnya di atas meja dan menghabiskan sepanjang sore bersama Liv.Lagi-lagi, Ruby tak menyadari jika tindakan kaburnya ini akan membuat seorang Louis Winston tengah menghela napas terus-menerus di sebuah cafe.
“Kamu terlihat berantakan!” Edd menarik kursi dan duduk di depan Louis.Keduanya memang sedang mampir di sebuah cafe di dalam pusat perbelanjaan.“Kamu berlebihan!” Louis meminum air."Masih memikirkan gadis itu?""Terlihat sangat jelas, bukan?"Keduanya diam saat pelayan datang mencacat pesanan mereka."Aku sangat penasaran seperti apa gadis yang membuatmu berubah seperti ini.""Ruby, Edd. Namanya Ruby!" tegas Louis.Edd mencoba untuk tidak tersenyum. Pria di hadapannya ini terlihat sangat frustasi dan dia tidak boleh menambah bebannya lagi.“Ruby itu sangat manis dan atraktif." Louis menatap Edd, mengantisipasi respon sahabatnya itu. “Aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak menciumnya dan menyentuhnya.”“Astaga Louis,” Edd terkesiap, namun ekspresi itu hanya pura-pura. Louis sudah berkali-kali mengatakannya dan telinga Edd nyaris terbakar. “Bukankah selama ini kamu selalu dipengaruhi oleh Angela?”“Benar, dan itu juga yang membuatku heran. Sejak melihat wanita itu pertama kali, aku sudah terpikat padanya. Hal ini tidak pernah terjadi padaku sebelumnya, kamu tahu kan?”Tentu saja Edd tahu. Dia bahkan lelah mengenalkan para wanita untuk Louis karena sahabatnya itu selalu menolak dengan berbagai macam alasan.Dan sekarang dia tergoda oleh wanita yang baru saja ditemuinya!“Aku tahu seharusnya aku tidak melakukan itu," Louis menatap Edd. "Kamu tahu maksudku apa, kan?"Edd mengangguk. "Aku tahu.""Tapi wanita itu berbeda. Sangat sulit untuk menolaknya dan aku sepertinya menyukainya!"“Pada pandangan pertama? Aku pikir hal-hal seperti ini tidak akan terjadi dalam hidupmu.”Keduanya berhenti bicara saat pelayan restoran mengantarkan pesanan mereka.“Edd, aku mengajakmu keluar bukan untuk sekedar bersenang-senang. Aku ingin bertanya apakah mungkin kamu mengenalnya.”Ckk!Edd nyaris tertawa."Kamu tidak punya fotonya, tidak kontaknya, tidak nama belakangnya. Bagaimana caraku mengetahui siapa Ruby yang kamu maksud?"“Entahlah.” Louis terlihat frustasi."Ada ribuan bahkan jutaan wanita yang menggunakan nama Ruby di belahan bumi ini. Kamu tidak memintaku untuk mengeceknya satu-satu kan?”Louis terlihat kecewa, namun Edd benar. Tidak mungkin mereka memeriksa satu per satu orang yang bernama Ruby.“Oke. Kita akan usahakan cara lain. Di mana dia tinggal?”Louis menatap Edd. “Jangan bilang kamu tidak tahu di mana dia tinggal.”
“Memang,” sahut Louis penuh penyesalan.“Bagaimana dengan pekerjaan? Kamu tahu dia bekerja di mana dan profesi apa yang dilakukannya?”Louis menggeleng, hingga membuat Edd nyaris berteriak karena marah. “Louis, kamu...”Louis juga menyadari kesalahannya. Sepanjang bicara dengan Ruby, mereka tidak membahas hal-hal yang bersifat pribadi.Mereka tidak bicara tentang pekerjaan, alamat, atau kehidupan masing-masing.Satu-satunya hal pribadi yang mereka bahas adalah ketika Ruby mengutarakan jika dia baru saja dikhianati. Hanya itu.Edd mendesah, menatap Louis yang termenung.“Sudahlah. Mungkin kalian ditakdirkan hanya sebatas bertemu sekali saja.”"Tapi aku tidak ikhlas!""Kamu tidak punya pilihan. Jangan memaksa kehendakmu.""Edd...""Anggap saja dia datang untuk sekedar menghibur perasaanmu, oke? Mungkin semesta tahu hatimu terlalu dalam dilukai oleh Angela.""Jika begitu, harusnya semesta juga tahu aku menginginkan Ruby.""Semesta tak bisa kamu perintah, Lou. Dia tahu kamu menginginkan Ruby, tapi mempertemukan kembali dengan gadis itu tak ada dalam rencana semesta ini."Pengadilan memutuskan untuk menyita semua aset milik Brenda dan mengembalikan perusahaan milik almarhum Frans pada Ashley. Perusahaan milik Frans terbukti tidak terlibat dalam usaha pencucian uang dan juga pertambangan liar yang selama ini dilakukan Brenda. Dan karena Ashley tidak memiliki kemampuan bisnis sama sekali, akhirnya untuk sementara waktu Louis dan James akan berada di belakangnya untuk mengendalikan laju perusahaan hingga Ashley benar-benar siap. Liv kembali pada kehidupannya, menyibukkan diri dengan segala kegiatannya dalam mengurus perusahaan milik keluarganya. Levin juga akhirnya memutuskan pensiun dini dari satuannya dan memilih membantu Liv untuk sama-sama mengembangkan perusahaan yang sudah didirikan oleh orang tuanya dengan susah payah. Mark kembali ke luar negeri, dengan cepat menyelesaikan sisa kontrak yang sudah dia tanda tangani sebelumnya. Sembari melakukan pekerjaannya, pria itu setiap hari dibayang-bayangi oleh ciuman tak sengaja antara dia dan Liv. Walau s
“Terimakasih banyak, kalian sudah menyiapkan kejutan ini walau kami tidak terlalu terkejut.”Louis dan Ruby berdiri dan masing-masing mereka mengangkat gelasnya. Selorohnya itu disambut tawa kecil dari sahabat-sahabatnya, tidak terkecuali Mary. Gadis kecil itu ikut tertawa dan mengangkat gelas berisi jus jeruk, mengikuti orang dewasa di sampingnya.“Sudah ku bilang dia akan protes,” gumam James pelan, namun suaranya masih terdengar oleh mereka.“Memang kami tidak terlalu terkejut,” kata Louis tak mau kalah. “Aku pikir ketika kalian mengatakan menyiapkan makan malam bersama, mejanya sudah kalian tata dan semua makanan sudah disediakan. Tapi apa? Aku dan Ruby yang belanja kebutuhan untuk memanggang malam ini dan aku juga masih ikut mengangkat meja ke luar sini,” protesnya.“Kamu hanya menggeret sebuah kursi,” sangkal Mark. “Itu pun langsung diambil alih oleh Mary.”Mary mengangguk. “Ya, Dad. Aku mengantikanmu tadi.”Louis berdecak, menatap satu-satu wajah semua orang di sana dengan pera
Matahari sore mengantarkan sinarnya yang hangat menyusup diantara celah-celah pepohonan. Suara burung riuh rendah, terdengar ramai ketika mereka kembali ke sarangnya. Bunga-bunga liar tumbuh dengan subur karena disiram hujan selama beberapa hari, namun menjelang sore, kelopak bunga berwarna biru dan ungu itu perlahan menguncup.Ruby menyapukan pandangannya ke seluruh halaman belakang rumahnya. Di sana, pada sebuah meja panjang dan kursi yang berderet, Louis, Mark, James, Ashley, dan Mary sedang sibuk menata makanan di atas meja.Dia baru saja kembali dari bulan madunya bersama Louis, dan tahu-tahu sahabatnya sudah menunggu dan menyiapkan kejutan lain untuknya, yaitu makan malam bersama. Ashley berjalan dengan langkah yang ringan, tersenyum menyapa Ruby ketika dia mengambil anggur ke dalam rumah.Suasana itu terasa amat hangat, walau seandainya Edd ada di sana, akan semakin sempurna.Liv, terlihat duduk menyendiri di teras rumah. Sepertinya dia masih enggan bergabung dengan sahabatnya
Rasanya seperti menunggu bertahun-tahun! Itulah yang dirasakan Ruby saat kendaraan mereka malah terjebak macet. Mobil-mobil mengular di sepanjang jalan, membuat mereka terjebak dan tidak bisa kembali atau mengambil jalan lain.Posisi alamat yang diberikan James adalah jalanan di pinggir jurang. Dan hanya dengan membacanya saja Ruby tahu apa yang dilakukan sahabatnya itu di sana. Dia melipat kedua tangannya, terus berdoa dan menyebut nama Liv di bibirnya.Ruby tidak mau kehilangan Liv. Tidak!Kehilangan Edd saja membuat kehidupan mereka nyaris tidak berwarna. Seolah dunia ini berhenti berputar dan benda-benda diam di tempatnya. Mereka jarang tertawa, pun kalau tertawa, mereka akan merasa bersalah pada Edd dan diri mereka sendiri. Mereka ingin menangis, tapi air mata mereka terasa sudah mengering.Ruby melihat jam tangannya lagi, lalu menggulung gaun after party-nya yang memanjang hingga ke mata kaki. Louis meliriknya, memahami betapa Ruby sangat khawatir pada Liv. Karena itu sembari me
“Ini buruk,” desis Ruby, melihat Ashley masuk kembali ke dalam ruang ballroom dalam keadaan lesu.Sejak pertama menyadari kalau Liv tak ada di sana, perasaannya sudah tidak nyaman sama sekali. Kekuatan telepati dalam diri mereka menyadarkan Ruby kalau Liv tengah menghadapi kesulitan, entah karena dia melakukannya dengan sengaja, atau seseorang mempersulitnya.Dia melirik Louis, kedua bola matanya seolah memohon agar dia bisa pergi dari sana untuk mencari Liv. Toh, acara utama sudah selesai dan ini hanya acara tambahan. Dia ingin mencari Liv sendiri, berharap dia tidak terlalu terlambat untuk melakukannya.“Tidak mungkin, Babe.” Louis menggeleng, tahu isi hati Ruby. “Kita tidak mungkin meninggalkan para tamu begitu saja.”“Kan ada Mom dan Dad,” bisik Ruby memohon. “Please, aku yakin sekali Liv tidak dalam keadaan yang baik.”“Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi bagaimana bisa kita pergi dari sini sementara kitalah tujuan para tamu ini untuk hadir?”Itu alasan yang tepat, dan Ruby tidak b
“Aku tidak melihat Liv,” bisik Ruby pada Louis di tengah-tengah moment ketika para tamu menyalami mereka.Louis berjinjit, mencoba melihat sekitarnya. Benar, dia tidak melihat Liv sama sekali. James dan Ashley terlihat bermain bersama Mary. Apa dia pergi ke suatu tempat untuk istirahat?“Mungkin dia ke toilet,” sahut Louis.“Tapi perasaanku tidak nyaman,” gumam Ruby lagi. “Aku takut terjadi sesuatu padanya.”Louis menggenggam tangan Ruby, tersenyum untuk meyakinkan istrinya itu.”Tidak akan terjadi sesuatu padanya.”Ruby mencoba tenang, tapi pada kenyataannya dia tak pernah bisa merasa tenang. Pernikahan mereka diundur berkali-kali karena Ruby merasa tidak enak pada Liv. Dia merasa dirinya tidak boleh bahagia di atas kehilangan Liv.Dan Ruby baru mengatakan ya pada ajakan Louis ketika kejadian itu sudah berlalu setahun. Tapi walau begitu, Ruby masih melihat kepedihan di mata Liv saat dia berterus terang pada sahabatnya itu jika dia akan menikah.Liv memang memberinya restu dan Ruby tah