“Ke mana kita sekarang?”
Setelah puas, Liv membereskan barang-barangnya dan menjejalkannya ke dalam tas setelah mereka terlalu lama menghabiskan waktu di coffe shop.Tatapan para pelayan coffe shop pada mereka sudah cukup menjadi sinyal jika mereka harus segera angkat kaki.Biasanya keduanya tidak melakukan hal itu, seperti sengaja duduk berlama-lama demi menikmati layanan wifi gratis.Mereka hanya punya banyak hal yang harus dibahas dan dibicarakan, namun mereka lupa jika waktu yang mereka gunakan cukup banyak.Ruby menyandang tas dan jaketnya. “Nanti saja kita bicarakan. Kita harus segera keluar dari sini.”Liv mengikuti Ruby keluar dari coffe shop. Keduanya tertawa cekikikan saat mengingat bagaimana para staff sengaja lalu lalang lewat di samping mereka untuk sekedar mengingatkan waktu.Setelah menyadari jika mereka memang sudah duduk di sana selama hampir tiga jam, Ruby seketika merasa bersalah.Di luar sedang turun hujan dengan lebat. Orang-orang banyak memadati coffe shop hanya untuk sekedar menghangatkan diri.Dan mereka mengambil kesempatan orang lain untuk menikmati segelas kopi di sore hari karena tidak ada tempat yang kosong.“Astaga, aku nyaris jatuh pingsan saat melihat tatapan mereka,” Ruby tertawa diikuti oleh Liv.“Benar. Aku juga tidak menyangka jika kita sudah terlalu lama duduk. Aku pikir kita baru duduk satu jam,” ujarnya sambil tertawa kecil.Keduanya berjalan bergandengan sambil melihat-lihat barang di dalam pusat perbelanjaan itu, tanpa sadar Ruby melewati cafe tempat Louis dan Edd bicara.Mata Louis menangkap sosok yang sangat mirip dengan Ruby. Dia mengenakan atasan turtle neck putih dan menggandeng seorang wanita.Dengan cepat Louis meletakkan sendoknya seraya berkata, “Aku keluar sebentar.”Louis berlari, mencoba mencari-cari Ruby diantara padatnya manusia yang memenuhi pusat perbelanjaan.Dia melihat sekelilingnya, namun dari begitu banyak wanita yang dia lihat, dia tidak menemukan sosok Ruby.Astaga, kenapa dia menghilang? Aku sangat yakin jika itu Ruby.“Ada apa Lou?” Edd berlari menyusul Louis.Louis menggeleng. Keyakinannya tidak memiliki bukti jika wanita yang tadi dia lihat adalah Ruby. “Aku salah mengenali seseorang,” gumamnya.Ruby dan Liv masuk ke salah satu toko yang menyediakan pakaian wanita. Mereka melihat-lihat, mencari pakaian yang cocok untuk mereka.“Kamu yakin akan belanja?” bisik Liv.Ruby mengangguk.“Bukankah kamu bilang mau berhemat?” bisik Liv lagi.“Itu dulu,” Ruby menggantung kembali kemeja yang dirasanya tidak cocok untuknya.“Aku pikir aku akan menikah dengan si brengsek itu, jadi aku berusaha menyimpan uangku sebaik mungkin. Dia selalu mengeluh jika dia kekurangan dana dan gajinya pas-pasan. Itu sebabnya aku terus berhemat dan pelit pada diriku sendiri.”“Baguslah,” Liv memilih satu buah mini dress dan memberinya pada Ruby untuk dicoba. “Jangan terlalu pelit pada dirimu sendiri. Ingat, kamu juga berhak bahagia. Mulai sekarang, cari laki-laki yang tidak bermasalah dengan keuangannya sehingga kamu bisa dimanjakan setiap saat.”“Baiklah, Miss Adeline. Aku akan melakukan yang kamu perintahkan,” gurau Ruby.“Nah,” Liv memerinya lagi satu buah kemeja. “Coba dulu. Nanti akan ku nilai apakah kamu cocok mengenakannya atau tidak.”Ruby mengangguk. Dia membawa semua pakaian yang hendak dia coba. Saat membuka pakaiannya sendiri, tiba-tiba Ruby kembali teringat dengan cara Luois melepas tali pengikat bathrobenya.Dia juga menyukai cara pria itu melepas bathrobenya sendiri di atas tubuh Ruby. Mungkin dia memang tidak sengaja melakukannya, namun Ruby senang karena menurutnya itu seksi.Astaga, apa yang kamu pikirkan, Ruby? Sejak kapan kamu berubah jadi wanita seperti ini?Dari sekian banyak pakaian yang dicoba Ruby, Liv hanya menyetujui tiga saja. Walau sudah bersikukuh jika Ruby akan membelikan Liv pakaian juga, sahabatnya itu tetap menolak.Liv bilang dia masih punya stok pakaian yang dibelinya bulan lalu namun belum dipakainya.Liv tidak bisa dikatakan seorang shopaholic, namun hobby berbelanjanya jauh di atas Ruby. Liv akan rela begadang hanya untuk menunggu diskon tengah malam.Dan jika tiba akhir tahun, dia akan sulit ditemui di apartemennya. Akan lebih mudah mencarinya di dalam pusat perbelanjaan karena dia pasti di sana.Ruby menenteng paper bag belanjaannya dan berjalan menuju apartemen setelah memarkir mobilnya di halaman parkir.Dia naik melalui lift, dan saat pintu lift terbuka, dia terkejut mendapati Arden ada di sana. Ini sudah malam, seharusnya dia sudah pulang.“Untuk apa kamu di sini selarut ini?” tanya Ruby.Dia berjalan tanpa menghiraukan Arden yang langsung membuntutinya. Begitu tiba di depan apartemennya, Ruby memutar tubuhnya.“Kamu tahu kenapa aku menyuruhmu datang tadi? Itu karena aku tidak ingin bertemu denganmu.”“Aku tahu, By. Tapi aku ingin bicara denganmu.”Ruby menyilangkan tangannya di dada, menunjukkan sikap menantang yang dengan ekspresi yang tidak menyenangkan.“Kamu tahu, setelah aku dan Wilder menyatakan hubungan kami pada di media sosial, kami menerima banyak protes. Mereka mengatakan jika aku...”Ruby mengangkat alisnya, menunggu.“Aku menjebakmu.”Ruby tertawa kecil. Dia mengangguk membenarkan. “Lalu?”“Bisakah kamu membuat pernyataan di media sosialmu jika aku tidak menjebakmu?”“Apa katamu?” Ruby terkejut mendengar permintaan Arden yang tidak masuk akal itu. “Kamu memang menjebakku, lebih tepatnya menipuku,” ujar Ruby.“Ruby...”“Tidak! Demi apa pun, aku tidak akan berkomentar tentang hubunganmu atau pun dengan hubungan kita dulu. Jika kamu berani melakukan sesuatu, maka kamu harus tahu apakah tindakanmu itu beresiko atau tidak.”Ruby memutar tubuh dan menekan PIN pintu apartemennya, namun sebelum dia membuka pintu, dia kembali menoleh.“Aku tidak ingin dilibatkan dengan apa pun mengenai kamu. Jadi, jangan cari aku lagi. Aku mohon, demi enam tahun waktuku yang sudah kamu sia-siakan. Jauhi aku.”Ruby masuk ke dalam apartemennya, sedikit mengumpat karena kesal namun berusaha tetap tenang.Karena dia, Ruby sudah menonaktifkan semua akun media sosialnya. Tapi, aki-laki itu malah datang tanpa wajah bersalah padanya dan memintanya membuat pernyataan?Bukankah itu sedikit gila?Louis menatap lautan lepas di hadapannya, menunggu matahari menghilang di ufuk barat. Cahaya keemasannya dan suara-suara burung laut yang hendak kembali ke sarang masing-masing membuat suasana semakin hangat dan menenangkan. “Masih menunggunya di sini?” Edd menyusulnya, berdiri di samping Louis dengan kedua tangan diselipkan ke saku celana.Louis tidak menyahut. Dia menyisir seluruh pantai itu, berharap diantara puluhan orang yang memenuhi pantai, Ruby-lah salah satunya. Namun selama satu jam berada di sana, dia tidak menemukan sosok wanita yang dicarinya.“Mungkin dia turis,” Edd membuka kaca mata hitam yang menggantung di hidungnya yang tinggi. “Bukankah dia bilang dia baru saja mengetahui perselingkuhan kekasihnya? Bisa jadi sebenarnya dia berasal dari luar kota dan datang ke sini hanya untuk melihat kebenaran tentang kekasihnya. Karena dari berapa orang yang bernama Ruby yang sudah diselidiki, tidak ada satu pun mengarah ke ciri-ciri yang kamu sebutkan.”“Kamu sudah memeriksa s
Ruby hanya diam saat mendengar perintah pemecatannya dan menunggu hingga Dick keluar meninggalkan mejanya. Saat Ruby memungut pulpennya yang rusak, teman-temannya yang lain mengerumuninya.“Ruby, kamu baik-baik saja?”“Astaga By. Dick si Gempal memecatmu, kamu yakin tidak apa-apa?”“Bagaimana dengan proyek novel barumu?”Ruby hanya mendesah mendengar pertanyaan demi pertanyaan dari teman-teman kerjanya. Ruby tersenyum.“Semuanya akan baik-baik saja.”Dia membereskan barang-barang miliknya. Toh dia memang tidak betah lagi bekerja di sana sejak Dick menjadi atasannya. Walau perusahaan ini memberinya banyak hal, termasuk kenangan berharga yang tidak bisa dibelinya, keberadaan Dick membuatnya tidak ingin berlama-lama lagi di sana. Selama lima tahun bekerja di Quantum Media, Dick-lah satu-satunya penghalang yang berbahaya.Dengan santai Ruby meninggalkan perusahaan setelah membuat laporan resmi ke ruangan HRD. Dia sepakat akan tetap menyelesaikan naskah yang sedang dikerjakannya dan men
“Kamu sungguh-sungguh dipecat?” Liv menatap Ruby yang membaca buku dengan serius.Ruby hanya menganggukkan kepalanya, menyesap kopinya lalu membuka lemaran baru buku yang dipegangnya. “Jadi sekarang apa rencanamu?” tanya Liv lagi.Ruby memilih menutup bukunya. Dia mengamati Liv yang terlihat simpati padanya. Dia bergumam pendek, terlihat menimbang-nimbang. “Aku akan menulis secara independen.”“Lalu karya-karyamu?”“Karena sebelumnya aku sudah menandatangi kontrak dengan Quantum Media, maka karya yang kubuat di sana harus tetap kubagi dengan perusahaan itu. Dan aku juga masih harus mengerjakan dua proyek lagi. Setelah menyelesaikannya, aku akan mulai menulis sendiri.”Liv menyeruput kopinya, mengangguk-angguk setuju. “Kamu masih menggunakan nama samaranmu yang lama? Perusahaanmu tidak keberatan?”“Tidak. Aku tetap bisa menggunakannya, sudah ku bicarakan dengan mereka.”“Ada buktinya?”“Tentu saja.” Ruby tersenyum, mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya. “Aku tidak akan melupa
Ruby berjalan perlahan menuju garis pantai. Dia berdiri, mengamati deburan ombak sebentar lalu menarik nafasnya dalam-dalam. Didera oleh berbagai tuntutan dari Quantum media –dugaan Ruby itu adalah ulah Dick si maniak seks itu, dia nyaris tidak tidur selama dua malam penuh.Kepalanya sakit, lehernya tegang dan sekujur tubuhnya lelah luar biasa. Namun walau lelah, Ruby harus segera menyelesaikan sisa proyek yang dipegangnya. Dia sudah terlanjur menandatangani kontrak dan hal itu digunakan Dick untuk membuatnya kewalahan.Dan berjalan-jalan sebentar di pantai adalah jawaban untuk merilekskan otot-otot tubuhnya yang kaku.Saat matahari sore meninggalkannya dan gelap secara cepat melingkupi, Ruby berjalan pelan diantara pasti-pasir putih yang lembut. Karena memiliki kenangan secara pribadi terhadap pantai ini, Ruby selalu merasa jika Louis berada di sekitarnya.Namun itu mustahil. Mana mungkin pria itu mencarinya?Saat itu, dia tiba-tiba mendengar suara seseorang memanggilnya.“Ruby?”Ru
Terkejut mendapat perlawanan dari Ruby, Louis mematung dan melepaskan tubuh Ruby perlahan-lahan. Dia tersenyum pahit, perlahan mengelus wajahnya. Tidak sakit. Ruby juga tidak mengerahkan tenaga untuk menamparnya.Tapi yang sakit malah berada di dadanya. Dadanya terasa ditusuk oleh ribuan jarum yang membuatnya bahkan bisa merasakan efek tusukan itu hingga ke jemarinya.Namun ini pantas. Bagaimana bisa dia mencium Ruby sesuka hati?Ketika dia menemukan jika wajah Ruby memerah dan bibirnya bengkak, perasaan bersalah menelusup di dada Louis.“Ruby, maafkan aku.”Nafas Ruby tertahan. Pundaknya naik turun menahan emosi yang bergulung-gulung didadanya karena kerinduannya pada Louis dan karena dia tahu Louis sangat jauh di luar jangkauannya.“Ruby...” Louis membelai bibir Ruby yang memerah dan bengkak karena ulahnya. “A-aku tidak berniat seperti itu. Malam itu...”“Jangan bahas apapun lagi tentang malam itu. Tuan Louis, aku harus pergi!” Ruby jelas merasa sangat bersalah. Dia buru-buru berl
“Aku sudah membelikan dua buah tiket.” Liv yang sedang memakai sheet mask duduk di sofa apartemen Ruby. Dia merapikan maskernya sambil terus mengarahkan matanya pada drama komedi yang sedang ditayangkan di televisi.Ruby yang sedang mengetik naskah dilaptopnya mengangkat alis. Dia menghentikan sementara aktivitasnya lalu menoleh. “Tiket?” Dia mengernyit.“Ya. Aku mengambil cuti selama seminggu jadi kita bisa pergi liburan,” sahut Liv santai.“Liburan?” Ruby lebih kaget lagi.“Mmm. Kenapa kamu terlihat kaget? Ini bukan pertama kalinya kamu berlibur.”“Bukan. Tapi untuk apa?” Ruby masih belum mengerti.“Untukmu,” sahut Liv pendek. “Aku tahu kamu masih sedih dan malu dengan kegagalan hubunganmu. Apalagi akhir-akhir ini Arden mengunggah banyak sekali fotonya dengan pria itu dan orang banyak masih membahas dirimu disetiap postingannya. Aku tahu kamu selalu memikirkannya.”“Tidak juga,” gumam Ruby, kembali mengetik di laptopnya. “Ini sudah beberapa bulan dan aku sudah semakin ikhlas. Aku ti
Louis meletakan kunci mobil ke atas tempat kunci yang terbuat dari kayu yang divernis halus. Dengan enggan dia melangkah masuk dan menyalakan lampu di apartemennya. Ketika usianya memasuki dua puluh tiga tahun, Louis memutuskan untuk mandiri dan pindah dari rumah orang tuanya. Dia membeli satu unit apartemen tak jauh dari kantor utama perusahaan dari komisi pertamanya setelah menggantikan Antonio yang sakit kala itu.Dia mengambil sebotol wine dari lemari penyimpanan beserta satu buah gelas dan membawanya ke balkon. Sambil menikmati pemandangan malam kota yang berninar, dia duduk santai di balkon yang terletak di lantai dua puluh dua tersebut. Louis menuang winenya, menyesapnya sedikit lalu angannya kembali terbang.Dia sama sekali tidak bisa melupakan Ruby. Wanita itu bak memiliki pelet yang kuat, yang melekat dan sangat mempengaruhi emosinya. Baginya, Ruby bagaikan dewi yang bisa dia puja setiap saat. Louis memejamkan matanya. Dia mengingat dengan jelas bagaimana ranumnya bibir R
Sementara Liv masih membereskan kartu identitas dan beberapa barang lainnya, Ruby menunduk, menutupi wajahnya dengan rambut panjang menjuntai.Jantungnya berdetak sangat cepat saat mendengar langkah kaki tegap yang melintas dibelakangnya. Ruby menggigit bibirnya pelan. Dia ingin melihat Louis dengan jelas, namun dia tidak punya nyali untuk menoleh.Kebetulan macam apa ini? Ternyata hal-hal seperti ini benar-benar terjadi?Dia datang ke sini untuk melupakan Louis, dia ingin ingatannya berhenti memutar setiap detail kebersamaannya yang singkat dengan pria itu.Ruby ingin bangkit dan melanjutkan hidupnya dengan normal. Siapa yang menyangka liburan kali ini malah membuatnya kembali mengingat siapa Louis?Sementara ketika Louis lewat melewati meja resepsionis, empat orang staff yang sedang melayani beberapa tamu hotel terlihat menundukkan tubuh mereka menyapa Louis. Namun satu hal menarik, tiba-tiba saja Louis mengendus wangi yang sedikit familiar dengan penciumannya. Dia menoleh, namun d