Share

Atasan

Louis menatap lautan lepas di hadapannya, menunggu matahari menghilang di ufuk barat. Cahaya keemasannya dan suara-suara burung laut yang hendak kembali ke sarang masing-masing membuat suasana semakin hangat dan menenangkan.

“Masih menunggunya di sini?” Edd menyusulnya, berdiri di samping Louis dengan kedua tangan diselipkan ke saku celana.

Louis tidak menyahut. Dia menyisir seluruh pantai itu, berharap diantara puluhan orang yang memenuhi pantai, Ruby-lah salah satunya.

Namun selama satu jam berada di sana, dia tidak menemukan sosok wanita yang dicarinya.

“Mungkin dia turis,” Edd membuka kaca mata hitam yang menggantung di hidungnya yang tinggi.

“Bukankah dia bilang dia baru saja mengetahui perselingkuhan kekasihnya? Bisa jadi sebenarnya dia berasal dari luar kota dan datang ke sini hanya untuk melihat kebenaran tentang kekasihnya. Karena dari berapa orang yang bernama Ruby yang sudah diselidiki, tidak ada satu pun mengarah ke ciri-ciri yang kamu sebutkan.”

“Kamu sudah memeriksa setiap nama Ruby?”

Edd mendesah.

Agak konyol. Bukan. Ini gila!

Tugas yang dilimpahkan Louis padanya kali ini begitu keterlaluan.

“Kamu tahu butuh waktu yang lama memeriksa satu per satu nama Ruby di kota ini,” jawab Edd.

“Aku tidak peduli Edd. Aku hanya ingin menemukannya, tidak peduli berapa lama waktu yang kita butuhkan.”

“Well,” Edd kembali mendesah. “Akan ku usahakan secepatnya, namun aku tidak menjanjikan hal yang positif.”

Diam-diam Edd merasa sedikit kasihan pada Louis. Bagaimana tidak? Sahabatnya itu baru saja merelakan mantan kekasihnya yang selama ini menghuni hatinya.

Dia bertemu seorang wanita yang sanggup menggugah batin dan perasaannya, namun wanita itu meninggalkan Louis begitu saja.

Dan sekarang Louis seperti setengah gila. Setiap sore agendanya selalu ke pantai dengan harapan bisa menemukan sosok Ruby di sana.

Namun sudah seminggu mereka melakukannya, Ruby tidak pernah muncul kembali di pantai.

“Bagaimana jika kamu tidak akan pernah menemukannya lagi?” tanya Edd tiba-tiba.

Hening.

Yang terdengar hanyalah suara hembusan angin dan deburan ombak yang memecah karang.

“Kita juga harus punya planning B, bukan?” tanya Edd lagi.

“Mau bagaimana lagi.” Louis menatap Edd. “Mungkin ini bagian dari takdir. Mungkin dia memang tidak ditakdirkan bersama denganku.”

Edd mengangguk pelan. “Tapi bagaimana jika ternyata dia seorang penyihir?”

Louis menatap Edd dengan mata menyipit. Jelas-jelas Edd sedang mengejeknya sekarang.

“Bisa jadi dia sedang berubah wujud ketika bertemu denganmu dan...”

“Hentikan,” potong Louis cepat. “Jika dia penyihir, maka kamu adalah burung gagaknya," ujar Louis kesal.

Dia buru-buru meninggalkan pantai. Edd tersenyum. Dia memang harus segera mengusir Louis dari sana sebelum kedua orang tuanya kembali meneror ponselnya, menanyakan apa yang terjadi dengan Louis.

***

“Dan apa kabar Ruby yang cantik pagi ini? Apa kamu baik-baik saja? Aku mendengar banyak hal selama aku bepergian.”

Sambil mengalihkan pandangannya dari layar laptop, Ruby berusaha untuk tidak menunjukkan reaksi apa pun ketika Dick Mario yang bertubuh gempal memasuki ruangannya.

Seperti biasa, atasanya yang tau bangka dan sudah menikah sebanyak lima kali itu, menyentuh bokong para wanita dengan santai, dan mengklaim jika hal itu hanya sebatas candaan dan sapaan biasa.

“Selamat pagi, Tuan Dick,” ujar Ruby datar dengan nada mengusir, dan matanya terus terarah pada layar laptop dan jemarinya menari diantara tombol-tombol.

Dia menghela nafasnya dalam saat atasannya itu memilih menghampiri mejanya dengan santai.

Teman-teman kerja Ruby sudah menjauh, sebagian membuat alasannya sendiri, entah itu mengambil kopi atau ke kamar kecil.

Yang lain, seperti Ruby yang tidak bisa meninggalkan mejanya karena desakan pekerjaan, mencoba bertahan dengan pura-pura tidak memperhatikan keberadaan Dick.

Namun, pria itu justru mencondongkan tubuh ke arah Ruby, hingga dia bisa mencium aroma krim cukurnya yang menyengat dan pedih di hidung Ruby.

Wanita itu masih mencoba bertahan sementara teman satu ruangannya yang lain terlihat menatapnya penuh simpati.

“Kamu menulis novel yang baru?” Dick membaca apa yang diketik Ruby di layar laptopnya.

Ruby paling tidak suka jika seseorang membaca apa yang sedang dia ketik. Ide mentah itu terkadang masih sangat berantakan dan perlu diperbaiki, dan keberadaan seseorang seperti Dick ini membuat idenya hilang dan pekerjaannya terganggu.

Dengan sedikit kasar Ruby melipat layar laptopnya, lalu tersenyum datar pada Dick.

“Jika Tuan Dick tidak keberatan, tolong tinggalkan mejaku Tuan. Aku perlu bekerja.”

“Apa yang mengejarmu?” Tangan Dick bergerak ke pundak Ruby, membuat gadis itu bisa mencium wangi alkohol yang masih menempel di kemejanya.

Dia ingin muntah saat ini juga ke tubuh Dick. Seandainya saja pria ini bukan atasannya, Ruby sudah mendepaknya sejak tadi.

“Tolong jaga sikapmu Tuan.” Ruby berdiri, menggeser tubuhnya, dan masih berusaha menahan diri.

“Memangnya kenapa?” Dick bertanya seolah-olah dia tidak melakukan apa pun.

Ruby menelan ludah. Dia menggeser kursinya sedikit menjauh dari Dick, lalu kembali melanjut mengetik. Ada naskah yang harus dikejarnya dan Dick sedang mempersulitnya sekarang.

Mau tak mau Ruby harus mengalah dan terus bekerja dan menganggap pria setengah tua itu tidak ada di sana.

“Boleh kupakai ini?”

Dick dengan sengaja mengambil sebuah pulpen yang terletak di atas meja, dekat ke dada Ruby. Dengan sengaja tangannya bersentuhan dengan dada Ruby dan membuat gadis itu meradang.

Di dekat laptop Ruby, jelas-jelas ada sebuah tempat pulpen. Kenapa dia harus mengambil yang sedang dipakai Ruby?

“Tuan Dick, sudah kubilang aku tidak suka jika Anda menyentuhku.” Ruby berdiri, menatap Dick tajam. “Aku tahu posisi Anda lebih tinggi dariku, tapi bukan berarti Anda bisa melecehkanku dan staff wanita di sini!” teriak Ruby lantang.

Teman-teman Ruby mematung menatap adegan menarik di depan mereka. Ruby memang terkenal berani dan tegas, dia sering maju untuk membela hak-hak teman-temannya yang lain.

Dan sekarang dia sedang bertarung menghadapi Dick Mario seorang diri.

“Kapan aku menyentuhmu, hah?” Dick balik membentak Ruby. “Kamu hanya staff biasa di sini. Jangan karena semua novel yang kamu tulis bestseller, kamu boleh bertindak sesukamu. Kalau bukan karena promosi yang kulakukan, kamu juga tidak akan menjadi seperti sekarang. Bagaimana bisa kamu memfitnahku dan mengatakan jika aku menyentuhmu?”

Ruby menelan ludahnya. Habis sudah kesabarannya menjadi seorang penulis novel di Quantum Media.

Sebenarnya, dia cukup menikmati kehidupan pekerjaannya di sini. Semuanya berjalan dengan baik dan seperti yang dikatakan Dick, semua novel yang dia tulis menjadi salah satu novel bestseller dan dia sudah menghasilkan banyak uang dari sana.

Satu-satunya hal yang membuatnya tidak betah adalah keberadaan Dick.

Sayangnya, Dick bukan hanya atasannya, namun dia juga anak dari Steffano Mario, pemilik sekaligus pendiri Quantum Media.

Melawannya sama saja mengorbankan masa depannya di perusahaan ini dan dia tahu betul resiko itu.

“Mungkin aku tidak punya bukti. Tapi mereka melihatnya.”

Dick menoleh. Semua mata tertuju pada mereka, bahkan staff lain yang bukan dari ruangan itu ikut mencondongkan kepala di pintu ruangan, sebagian melihat dari dinding kaca yang memisahkan ruangan Ruby dengan ruangan lain.

Dick masih merasa jika dia tidak melakukan apa pun, dengan kasar membanting pulpen milik Ruby ke lantai.

Ruby mengernyit melihat pulpennya rusak. Padahal pulpen itu sangat berharga baginya karena itu adalah pemberian orang tuanya. Dia menatap Dick tajam, lalu menunjuk pulpennya yang berserak di lantai.

“Tolong pungut pulpen saya, Tuan Dick.”

Wajah Dick memerah saat mendengar perintah Ruby.

Cara Ruby menunjuk terkesan kasar dan merendahkan, seolah-olah posisinya jauh lebih tinggi dari Dick. Dengan gemetar menahan tubuh gempalnya, pria itu meninju meja Ruby dengan kencang.

“Aku memecatmu, Ruby Estella! Kemas barang-barangmu sekarang semuanya dan jangan sampai aku melihatmu di sini lagi.”

Seketika ruangan itu hening.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status