"Pak Yoga". Suara Clara begitu pelan terdengar di telingaku."I-Iya, Clara". Aku berkata tergagap."Bagaimana keadaanmu, apakah sudah membaik?". Aku kini khawatir dengan keadaanya."Sedikit lebih baik". Suara Clara masih terdengar pelan.Clara lantas berusaha duduk di atas ranjang dan menyandarkan punggungnya di kepala tempat tidur. Nampak raut lelah di wajah cantiknya, kemudian aku melihat Clara menutup matanya sebentar seolah ingin menyatukan sisa kekuatannya sore ini."Aku akan pindah ke kamarku Yoga". Kini Clara bicara."Kau tidur disini saja dulu untuk sementara". Kataku tegas, sedikit terhenyak akan perkataannya barusan."Kalau aku tidur disini, kau akan tidur dimana?". Clara bertanya penasaran."Dimana saja, di kamarmu juga boleh". Yoga berkata sambil berpikir."Jangan bicara omong kosong, aku menjadi tidak enak padamu". Clara masih mencoba untuk membantah perkataan Yoga."Kalau kau tidak enak kau bisa membayarnya". Aku mengajukan sebuah kompensasi.Clara kemudian mengernyitkan
Klek.... Bunyi pintu yang terbuka dan terdengar jugalah langkah kaki dan suara Yoga memenuhi ruangan ini, begitu juga ruang di telingaku. Aku melototkan mataku, sepertinya Yoga akan duduk di meja ini."Tuhan, bagaimana ini, apakah Yoga akan mengetahui aku sedang bersembunyi di sini?". Kini langkah Yoga semakin mendekat, degup jantungku pun kian menaik kencang. Aku mendengar suara pak Yoga juga semakin dekat ke arahku."Atur ulang semua jadwal meeting hari ini. Aku akan bereskan masalah itu sekarang". Perintah Yoga kepada sekretarisnya.Klik. Panggilan itu terputus. Yoga meletakkan handphonenya di atas meja. Clara terkejut dan spontan menutup mulutnya agar tak mengeluarkan suara. "Kenapa lagi masalah itu kembali datang. Dan kenapa mereka harus memakai Laura sebagai model produk mereka". Suara Yoga penuh amarah."Laura?". Kataku dalam hati.Aku mendongakkan kepalaku untuk sedikit mengintip ke luar dari balik bawah meja. Ada Yoga di samping meja sebelah kanan yang nampak dipenuhi amar
Aku tiba-tiba terdiam dan tak bisa berkata-kata, kini tubuh kami saling menempel. Yoga berada di atas tubuhku, aku bisa mendengar deru nafasnya yang menggebu. Aku menyadari posisi kami yang mungkin saja bisa membangkitkan jiwa lelaki Yoga."Apa yang akan kau lakukan?". Aku berkata segera ketika merasa wajah Yoga kembali mendekati wajahku dan deru nafasnya kembali menerpa hidung."Boleh aku menciummu lagi?". Suara serak Yoga terdengar deket sekali bahkan hembusannya lembut menerpa wajahku.Aku hanya diam dan mengangguk pelan. Aku benar-benar terhipnotis oleh Yoga sekarang. Kini, kurasakan nyata bibirnya menyentuh bibir lembutku, seketika aku memejamkan mata seolah menikmati cumbuan mesra dari Yoga.-----POV Yoga"Kesepakatan kita akan deal jika pak Yoga menyetujui model yang dipakai untuk produk kami adalah Laura Chyntia". Pak Roger, salah satu mitra kerjasama dalam pemasaran produk kosmetik, memberitahu aku di detik akhir perjanjian kerjasama kami. Aku yang mendengarkan persyaratan
"Ini adalah ciuman pertamaku". Clara bicara dengan pelan.Ketika mendengar itu aku sudah memastikannya secara langsung. Aku tahu ini adalah ciuman pertamanya, itu sebabnya jiwa kelakianku kian menggelora. Ada rasa lega ketika tahu bahwa aku lah yang pertama kali melakukan semuanya kepada Clara.Kini aku bertanya lagi kepada gadis kecil yang sudah menjadi istriku ini. "Bolehkah aku melakukannya?". Seperti ragu, Clara kini sedang berpikir. Mungkin saja dia merasa ini terlalu cepat, tapi apa salahnya kami juga sudah menikah dan halal bagi kami untuk melakukannya. Aku sepertinya mendapatkan jawaban, Clara sekarang memberikan aku senyuman termanisnya. Aku mengerti arti senyuman yang diberikan oleh Clara."Aku akan melakukannya, Clara". "Tapi...". Clara masih ragu dan belum melepaskan pegangan tangannya di salah satu tanganku yang masih menempel di salah satu kancing bajunya."Aku telah jatuh cinta padamu, Clara. Aku tidak berbohong. Jadi, apakah kita bisa menyatukan cinta kita berdua?". A
"Yoga, ini aku, Laura. Apakah kau sudah memutuskan untuk menyepakati kesepakatan itu. Aku tunggu di kantormu siang ini, bye". Begitulah isi pesan yang dikirim Laura ke suamiku tadi malam. "Kesepakatan?". Apa maksud Laura?. Kini aku menerka-nerka.Suara gemericik air di kamar mandi tidak terdengar lagi, buru-buru aku meletakkan benda pipih itu di atas meja. Pak Yoga pasti telah selesai membersihkan diri. Aku tak mau ketahuan sudah mengutak-atik ponselnya.Sambil berbaring, aku kembali memikirkan kembali isi pesan Laura. Kesepakatan apa yang sedang ia tawarkan kepada Yoga?.Pintu kamar mandi pun terbuka, pak Yoga keluar dengan hanya menggunakan handuk. Mataku tak sengaja melihat dada bidang suamiku itu. Pak Yoga yang melihat aku menatap bagian itu, terkekeh pelan. Aku kembali ketangkap basah olehnya."Mau lagi?". Yoga berkata menggodaku."Tidak". jawabku singkat.Lantas aku memalingkan pandanganku seketika dan berbaring membalik arah dan menutupi tubuhku. Aku malu sekali saat ini. Kena
Ada apa, pak Dodi?". Suara khas Yoga terdengar di ujung telepon."Halo, pak Yoga. Maaf pak, bisa bapak ke rumah sakit sekarang, non Clara jatuh dari tangga"."A-apa?". Suara yoga agak keras terdengar hingga mengejutkan bi Siti.-----Dua jam yang lalu"Kau mulai lagi". Frengky menyapaku pagi ini dengan kiasan kembali."Mulai apa?". Kataku cuek.Kemudian aku berjalan pelan untuk memasuki ruangan kerjaku yang berada di lantai paling atas gedung ini. Frengky mulai ikut berjalan dan berada di belakangku. "Apa yang membuatmu senang, aku sudah mulai mendengar suara siulanmu lagi". Frengky mulai mensejajarkan langkahnya."Ah, kau bisa saja". Yoga kini tersenyum."Aku yakin kau telah jatuh cinta". Kata Frengky yakin."Tebak sajalah, kau penasaran rupanya". Yoga mempermainkan kata agar tidak ketahuan."Baiklah, aku yakin dengan pendapatku, Yoga". "Terserah kau saja.""Ada kabar buruk untukmu". "Kabar buruk apa, katakan jangan berbelit". "Ada Laura di ruanganmu". Kini Frengky serius berbicar
Aku yang baru saja sampai rumah sakit langsung berlari menuju arah ruang gawat darurat. Terlihat di ujung lorong, pak Dodi dan bi Siti sedang mondar mandir. Mungkin mereka sepertiku yang merasakan gelisah dan kekhawatiran atas keadaan Clara."Bagaimana pak Dodi, bi Siti?". Aku mengajukan pertanyaan kepada dua orang paruh baya di depanku."Maafkan kami pak, kami telah lalai. Non Clara masih di dalam". Bi Siti yang menjawabku sambil menunjukkan ruangan di depanku.Aku menggusarkan rambutku kasar. Aku tak bisa menyalahkan mereka. Aku juga tidak tahu apa yang telah terjadi di rumahku saat Clara terjatuh. "Pak...". Suara bi Siti menghentikan frustasiku sejenak."Hmmm, anu pak". Bi Siti terbata-bata ingin mengatakan sesuatu seperti ragu."Ada apa bi?"."Tadi sebelum non Clara jatuh, dia menyuruh bibi untuk memanggil pak Dodi kayaknya mau pergi pak, tergesa-gesa"."Pergi?". Aku mengernyitkan dahiku."Mau pergi kemana Clara, bi?". Kataku mulai menginterogasi mereka."Tidak tahu, pak. Saat sa
"Kau siapa?".Suara pertama yang keluar dari mulut Clara seperti petir yang menyambar gendang telingaku. "A-apa, apa katamu Clara?". Suaraku tersendat menanggapi pertanyaan yang dilontarkan oleh Clara barusan."Kau siapa?". Ia mengatakan itu lagi.Clara memang berkata pelan namun seolah bagaikan suara petir yang kembali menggelegar di ruangan ini."Aku suamimu, Yoga". Mulutku pun berpihak padaku seperti ingin memberikan pembenaran.Clara menggeleng pelan dan melihat sekeliling. "Aku dimana?".Pertanyaan Clara selanjutnya kembali menamparku dengan sebuah kenyataan."Apa maksudnya semua ini?". Jiwaku memberontak mencari jawaban.Seolah menyadari apa yang sedang terjadi pada Clara, dokter segera memeriksa kembali kondisi istriku, "Permisi pak, boleh saya cek kembali ibu Clara?".Aku mundur beberapa langkah memberi ruang pada dokter tanpa suara yang keluar dari mulutku. Manik mataku hanya menatap wajah Clara yang penuh dengan raut kebingungan."Kau sudah sadar, Clara?".Suara mama Clara