Share

Bab 4 Jangan ambil Reyna!

Lagi-lagi Ariel tampak merenung memikirkan Dhani. Pria yang dulu sangat ia idamkan sekaligus pria pertama yang ia persembahkan kehormatannya. Ariel merasa gamang, apakah saat malam itu Dhani membohonginya mungkin karena ingin sekedar menginginkan tubuhnya saja.

"Ah, sudahlah ...." Ariel memilih tak ingin memikirkannya lagi. Itu sudah menjadi masa lalu dan bukankah saat itu Ariel sendiri yang menawarkan tubuhnya pada Dhani sebelum hari pernikahannya dengan Richard.

Tiba-tiba Ariel tersentak saat handphone-nya berdering. Di layar handphone-nya terpampang nama Miss Laura, wali kelas Reyna. Ariel pun segera mengangkat panggilan telepon dari Miss Laura.

"Ya, Miss?" sapa Ariel, "ada apa?"

"Ibu Ariel bisakah Ibu segera datang ke sekolah sekarang?"

Ariel merasa aneh, tidak biasanya Miss Laura memintanya untuk ke sekolah secara tiba-tiba. Tiba-tiba ia merasa khawatir pada buah hatinya di sana. "Ada apa ya, Miss? Reyna baik-baik saja, kan?"

"Reyna baik-baik saja, hanya saja ... sebaiknya Ibu datang ke sekolah untuk lebih tahu."

Ariel langsung mematikan panggilan teleponnya dan segera bersiap-siap menuju sekolah. Ariel langsung menuju ruang guru dan alangkah terkejutnya saat ia melihat di kursi depan meja Miss Laura, Richard sudah duduk di sana.

Pria itu menoleh ke arah Ariel. Ariel bisa merasakan pancaran yang menyeramkan saat Richard melemparkan pandangannya ke arahnya.

"Ibu, silahkan duduk!" kata Miss Laura mempersilahkan Ariel duduk di samping Richard.

Ariel pun segera duduk. "Ada apa dengan Reyna, Miss? Reyna baik-baik saja, kan?"

"Reyna baik-baik saja. Hanya saja dia membully temannya. Dia menggambar temannya dan mengejeknya di kertas gambarnya lalu memasukkam hasil gambarannya ke tas temannya. Alhasil temannya tadi menangis dan orang tuanya tak terima anaknya diperlakukan seperti itu," terang Miss Laura panjang lebar, dia kemudian menghela napas, "tapi untunglah mereka hanya membawa pulang anak mereka."

Ariel menghela napas lega. Untungnya tingkah Reyna tidak sampai melukai fisik teman-temannya. Setidaknya itu yang Ariel pikirkan.

"Miss Laura, bisakah hari ini kami memulangkan Reyna lebih cepat?" tiba-tiba Richard berujar.

"Tapi ini belum jam pulang, Pak."

"Aku harus memberitahu Reyna tentang kesalahannya," kata Richard lagi.

"Oh, baiklah. Tapi tolong disampaikan dengan bijak," kata Miss Laura.

.

.

.

Pak!

Richard memukul meja begitu keras di hadapan Ariel dan Reyna saat mereka berada di ruang kerja Richard. Ariel dan Reyna sampai tersentak kanget dan ketakutan melihat raut wajah Richard yang memerah dan tampaknya amat marah.

"Apa yang kau lakukan sampai Reyna melakukan itu ke temannya?" sergah Richard menggelegar pada Ariel, "selama ini aku mempercayaimu mendidik Reyna tapi kau malah membuatnya menjadi pembully."

"Ayah ... maafin Reyna!" Reyna mulai menangis melihat betapa menyeramkan ayahnya, "ini salah Reyna, Ayah ...."

"Richard, tolong biarkan Reyna keluar dulu ...."

"Diam kau!" sergah Richard lagi, "jelaskan saja apa yang sudah kau ajarkan ke Reyna."

"Richard, tidakkah kau sadar kalau kalau situasi kita ini bisa merusak psikis Reyna."

Plak.

Satu tamparan mendarat ke pipi Ariel hingga wanita itu tersungkur ke lantai. Richard menamparnya dan Ariel tak menyangka pria itu bisa melakukannya padanya.

"Jelas-jelas kau yang lebih banyak berperan mendidik Reyna dan sekarang malah kau yang menyalahkan aku?"

Tanpa terasa Ariel menitikkan air matanya. Sakit, tapi di dalam dadanya jauh lebih sakit. Harga dirinya seperti diinjak-injak oleh suaminya sendiri.

"Aku sudah mempercayaimu tapi kau memang tidak bisa diandalkan Dasar wanita bodoh!"

Ariel hanya bisa diam, tak sanggup membelas ucapan Richard yang semakin menghinanya. Sementara tangis Reyna semakin menggelegar melihat ibunya diperlakukan sedemikian.

"Mulai sekarang aku yang akan mendidik Reyna. Biar aku membawanya ke rumah Vanesha, dia memang jauh lebih baik dibanding kamu."

Ariel tampak panik. Ia segera bangkit dan mengejar Richard yang sedang menarik Reyna keluar dari sana.

"Richard, kumohon jangan bawa Reyna pergi!" Reyna memohon sembari memeluk kaki Richard hingga langkah pria itu terhenti. "Reyna adalah anakku, dia sering ketakutan tidur jika aku tak di sampingnya ...."

Richard seakan tak peduli dengan tak ada sedikin belas kasihan pun pada istri pertamanya itu hingga ia menepis tangan Ariel di kakinya dengan kakinya dan terus melangkah meninggalkan Ariel.

"Richard, jangan bawa Reyna pergi!" teriak Ariel sambil menangis.

Ariel terus mengejar Richard hingga mobil yang dinaiki Richard dan Reyna mulai berjalan. Dan saat mobil itu melaju kencang, Ariel hanya bisa berlutuk di aspal sambil meratapi dirinya yang dipisahkan dengan putrinya sendiri.

.

.

.

Beberapa hari berlalu tanpa Reyna. Ariel hanya menghabiskan waktunya di kamar, duduk meringkuk di sudut kamarnya sembari memandang ke arah jendela. Beberapa kali ia menghela napas panjang. Kamarnya yang serba putih tanpak berantakan karena tak ia bereskan.

Notifikasi handphone-nya terus berbunyi tapi ia hanya menunggu notifikasi telepon karena berharap Reyna akan meneleponnya. Beberapa hari tanpa Reyna membuat Ariel merasa sangat kesepian.

Tiba-tiba handphone Ariel berdering. Dengan sangat antusias ia meraih handphone-nya namun itu bukan dari nomor Richard ataupun dari Vanesha. Tapi, siapa tahu itu dari Vanesha yang menghubunginya dengan nomor lain. Karena Ariel tahu Vanesha adalah wanita yang baik.

Ariel mencoba menerima panggilan telepon itu. "Halo?"

"Ariel, bagaimana kabarmu?"

Suara pria dan Ariel tahu betul siapa pemilik suara itu. Itu suara Dhani.

"Dhan?"

"Hai, kau baik-baik saja, kan?" tanya Dhani, "kau tidak merespon tag teman-teman yang lain. Kupikir mungkin kau lagi sakit."

"Aku ...." Ariel tak bisa menahan air matanya untuk jatuh.

"Ariel kau kenapa? Ada masalah, kah?"

"Iya ...."

"Mau cerita? Aku pasti mendengarmu ...."

"Jangan sekarang ... aku tidak bisa ...."

"Aku punya restoran di balai kota, namanya Riel Resto," kata Dhani, "kau bisa datang ke sana mencariku kapan saja kau mau."

"Aku istirahat dulu ya, Dhan."

"Okay, take care ...."

Ariel menutup panggilan teleponnya lalu ia membenamkan wajahnya sambil menangis. Kali ini air matanya tak terkendalikan, ia sangat merindukan Reyna, anak satu-satunya pelipur laranya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status