"Jangan! Jangan Kak, ini dosa! Kakak, jangaaan!" teriak gadis yang masih mengenakan seragam putih abu-abu itu meronta di bawah kendali beberapa pemuda.
"Tidaaaak!" Napas Yumna terengah-engah bangun dari tidurnya memeluk lutut dengan berlinangan air mata. Sudah lebih dari dua puluh tahun mimpi buruk itu terus saja menghantui malam-malamnya. Dua tangan berbalut kaos rajut putih itu meremas rambutnya kuat-kuat. Berharap semua kenangan itu tercabut bersama rontoknya surai di kepala. Sekeras dan sebanyak apapun mahkota hitamnya tercabut dari akar, memori kelam tak kunjung hilang. Mahkota yang sesungguhnya telah terenggut tak 'kan bisa kembali utuh. Sore itu dia harus pulang terlambat karena mempersiapkan kegiatan kelulusan angkatannya. Keluar dari gerbang sekolah dengan bersenandung riang sembari berlarian kecil menuju rumahnya. "Cantik? Kok baru pulang? Mau Abang anterin?" Salah seorang dari lima pemuda berpakaian layaknya preman jalanan menghentikan keceriaan Yumna. Gadis itu memutar arah dengan cepat dan mulai gemetaran. Wajah cemasnya tak bisa disembunyikan lagi. Langkahnya terhenti ketika seorang pemuda lain berdiri di hadapannya. "Maaf! Biarkan saya pulang, Kak! Bapak pasti khawatir menunggu saya di rumah," ucapnya memohon dengan suara bergetar. "Hai ... ini aku, Na! Tetangga depan rumah kamu! Yuk lah pulang sama aku! Nggak bakal digangguin mereka, kamu tenang aja!" kekeh pemuda itu merangkul bahu Yumna yang berangsur tenang setelah mendongak melihat wajah pemuda itu, Sony namanya. "Kak Sony? Syukurlah ... Kakak nggak takut kalo mereka ngeroyok kita? Mereka kayak lagi mabok lho, Kak ...," tanya Yumna lagi memastikan. "Iya ... mereka nggak bakal berani lawan aku! Ayo jalan! Nggak usah takut!" balasnya menggiring tubuh mungil gadis itu dengan mengalungkan lengan di bahu Yumna. Keduanya berjalan melewati lima pemuda yang berbisik-bisik dan sesekali tampak terbahak memandangi Yumna yang dirangkul Sony. Pemuda itu menoleh ke belakang dan mengedipkan mata pada sekumpulan pemuda tadi. Kelimanya berjalan sedikit sempoyongan di belakang Yumna dengan menjaga jarak sekitar 3 meter. "Mereka ikutin kita, Kak!" kata Yumna kembali dilanda ketakutan. "Tenaaang, nanti kita sembunyi di rumah tua di tikungan depan. Kamu kuat lari, 'kan? Hitungan ketiga, kita lari!" Sony mulai menghitung mundur dan menurunkan lengannya dari pundak Yumna. Berganti menggandeng tangannya. Saat hitungan terakhir keduanya berlari beriringan menuju tempat yang telah disepakati untuk bersembunyi. Rumah tak terpakai itu sudah rusak pintunya, banyak sarang laba-laba dan hewan lainnya yang menghuni. Pengap dan aroma jamur menyeruak memenuhi indera penciuman mana kala kedua muda mudi itu, terengah-engah masuk ke salah satu ruangan. Cahaya jingga di ufuk Barat mulai pudar, berganti kegelapan. "Kak, mereka tahu kita di sini?" bisik Yumna meringkuk di salah satu pojok ruangan temaram berjamur. "Ssstttt jangan katakan apapun!" balas pria berjaket kulit itu mulai kegerahan. Dia melepaskan pakaian tebalnya dan bersembunyi bersama di bawahnya. "Kamu ... masih harum, Na ...," bisiknya mengendus ceruk leher Yumna yang begitu dekat. "Ih! Kakak! Geli!" pekiknya menggeplak kepala Sony tak begitu keras. Pemuda itu terkekeh dan berdiri, tangannya melepaskan gesper di pinggang. Matanya menatap Yumna yang juga menatapnya keheranan. "Kakak mau apa?" tanya Yumna mulai curiga dan takut-takut. Tak ada jawaban dari Sony yang memetik jarinya seolah berisyarat memanggil seseorang. Dia terkekeh lagi tanpa mengalihkan pandangan pada gadis kecil yang sudah menggigil di pojokan. Gerakan menanggalkan semua kain yang melekat di kulitnya pun semakin beringas. Tawa terbahak-bahak kelima pemuda tadi sayup-sayup terdengar memasuki ruangan yang sama di rumah tua itu. "Apa yang kamu lakukan, Yumna? Pak Almeer tidak menyukai kopi dengan gula!" bentak seorang pria paruh baya yang memakai kacamata pada seorang Office Girl perusahaannya. Yumna tersentak, kembali sadar ke alam nyata dan hampir menumpahkan secangkir kopi di depannya. "Ma-af Pak! Saya-" ucap perempuan berhijab itu sambil menunduk tajam. "Cepat bawa ke ruangan saya! Tak perlu diganti!" sahut seorang bertubuh tinggi berdiri menjulang di ambang pintu pantry dapur khusus para petinggi perusahaan tempat Yumna bekerja. Perempuan yang di dadanya terkalung kartu identitas bernama Yumna Qaissara itu mengangguk sopan sedikit membungkuk. Pria yang tiba-tiba datang itu adalah Direktur Eksekutif tertinggi di Perusahaan tempatnya bekerja. Almeer Baldwin berusia 43 tahun, utusan Komisaris Besar induk Perusahaan yang ada di Inggris. Dia baru saja tiba seminggu lalu dari Negara The Black Country itu dan akan memimpin kantor real estate megah di Indonesia. Yumna mengikuti sang CEO dengan membawa nampan dan secangkir kopi pesanan di atasnya. Entah mengapa dia sangat tidak nyaman berada di dekat petinggi itu. Sebelumnya dia tak pernah gugup atau cemas dalam segala pekerjaan. Baru kali ini ada getaran tak biasa dengan sosok yang baru dikenal. "Letakkan di meja dan tunggu di sana! Ganti rugi gajimu 3 bulan jika kopi ini tak mampu membuatku tertarik!" ucap Almeer menunjuk ke pojok ruangannya dengan nada candaan diiringi kekehan. Seketika kepala Yumna mendongak dan menatap tak percaya dengan apa yang dikatakan atasannya itu. Bagaimana mungkin secangkir kopi harus diganti dengan 3 bulan bekerja? Tak masuk akal dan sungguh sangat kejam! "Tapi Pak!" protesnya menggeleng, mencoba mengiba. "Belum tentu aku tak suka 'kan? Kamu pikir aku akan sekejam itu?" kekeh pria berambut kecoklatan itu merasa lucu dengan ekspresi perempuan berhijab di depannya saat terkejut. "Siapa namamu?" tanyanya lagi meraih gagang cangkir dan duduk dengan manis di kursi kebesarannya sambil menyilangkan kaki. "Yumna Qaissara, dia sudah berumur, Sir! Sebaiknya cari yang lain! Sudah tak pantas lagi dengan Anda!" sahut pria berkacamata yang sedari tadi mengekor pada Tuannya, Fendy, asisten pribadi Almeer. "Saya tidak bertanya padamu!" gertaknya melayangkan tatapan tajam. Sang big boss meletakkan cangkirnya lagi ke meja dan beranjak mendekati Yumna yang gemetaran. Postur tubuh boss-nya itu menjulang tinggi apalagi tatapan menelisik seperti sedang menguliti dirinya. Perempuan itu mundur selangkah saat satu tangan Almeer meraih name card yang menggantung di dada Yumna. Dia meneguk saliva yang terasa lekat dengan tubuh mulai gemetaran. "Nama yang unik!" gumam sang CEO, "benarkah usiamu 40 tahun? Apa kamu menggunakan identitas ibumu?" lanjutnya dengan terus memindai wajah Yumna yang menunduk tajam. Pria itu berbalik badan perlahan, tampak kaku dan seperti robot. Yumna mengerjapkan mata dan memperhatikan langkah atasannya yang kembali ke kursi. Cara duduknya pun tak seperti orang pada umumnya. 'Apa dia bukan manusia? Kaku sekali?' batin Yumna bertanya-tanya.Suara langkah kaki dan teriakan memecah kesunyian malam. Nevan masih terduduk di lantai gudang, tubuhnya disandarkan pada dinding tua yang dingin. Matanya sedikit terpejam, tapi pikirannya tetap waspada. Sony berdiri di depannya, pisau di tangan, siap menuntaskan dendam lamanya. “Gue udah cukup bersabar,” desis Sony sambil mengarahkan pisau ke leher Nevan. “Sekarang lo bakal bayar semua yang keluarga lo lakuin ke gue.” Nevan membuka matanya perlahan, menatap tajam ke arah Sony meski tubuhnya sudah lemah. “Anda pikir dengan membunuh saya semuanya akan berakhir? Anda salah besar!” Sony tertawa kecil, dingin dan penuh ejekan. “Gue nggak peduli soal menyelesaikan masalah. Gue cuma peduli lo menderita seperti yang gue rasain!” Namun, sebelum Sony sempat melakukan apapun, pintu gudang meledak terbuka dengan keras, membuat mereka berdua terkejut. Asap tipis memenuhi ruangan, diiringi langkah kaki cepat. Suara keras yang familiar menggem
Suara langkah kaki Sony semakin jauh, tapi ketegangannya masih terasa seperti tali yang mencekik. Nevan mengatur napas dengan susah payah, wajahnya basah oleh keringat dingin. Oleefia tetap berlutut di sampingnya, dengan tangan gemetar mencoba menekan luka di bahu Nevan menggunakan kain seadanya yang kini mulai berwarna merah pekat. “Lo nggak apa-apa, kan?” tanya Oleefia lirih, suaranya hampir bergetar. Nevan menoleh perlahan, menatapnya dengan sorot mata lelah tapi hangat. “Aku masih hidup, itu udah cukup.” Alden berdiri tidak jauh dari mereka, matanya tajam mengamati koridor tempat Sony baru saja pergi. “Kita nggak bisa santai. Dia pasti nggak akan tinggal diam. Kita harus keluar dari sini.” Oleefia menoleh tajam ke arah Alden. “Lo pikir Nevan bisa lari dalam kondisi kayak gini? Lo nggak lihat lukanya?” Alden mendesah, menekan rasa frustrasinya. “Kalau kita tetap di sini, kita semua bisa mati. Gue nggak mau ambil ris
Suasana ruang interogasi rumah mewah keluarga Baldwin berubah menjadi medan perang emosi. Pria berwajah bengis itu—Sony duduk di tengah ruangan, kedua tangannya terikat dengan kuat di kursi. Mata liciknya melirik ke sekeliling, mencoba mencari celah untuk menyelamatkan diri. Di seberang meja, Almeer berdiri tegak, rahangnya mengeras, sedangkan Alden sibuk memasang alat perekam suara di meja. Di sudut ruangan, Yumna berdiri dengan wajah pucat. Trauma yang selama ini menghantuinya kini terpapar jelas, membuat tubuhnya sedikit bergetar. Namun, Oleefia berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya dengan erat. “Bunda, ada Olee di sini. Bunda nggak sendirian.” Suaranya pelan tapi penuh keyakinan, memberikan kekuatan pada Yumna. Nevan, dengan kaki palsunya, berdiri di dekat pintu. Tatapan matanya tajam, menyimpan kemarahan yang siap meledak kapan saja. “Kali ini dia nggak bakal lolos,” gumamnya pelan, nyaris seperti janji pada dirinya sendiri. “Kenapa
Oleefia merasakan dinginnya bilah pisau di lehernya. Tubuhnya kaku, napasnya tertahan. Pria bertopeng yang mencengkeramnya menyeringai, penuh kemenangan, sementara Alden dan Nevan berdiri beberapa langkah di depannya, wajah mereka penuh ketegangan. “Lepasin dia!” Alden berbicara dengan nada rendah tapi tegas. Matanya menatap tajam ke arah pria bertopeng itu. Pria itu tertawa kecil. “Oh, kamu pikir bisa memerintahku? Aku punya kendali di sini, bocah!” “Lo nggak tahu apa yang bakal lo hadapi kalau sentuh dia sedikit saja!” ancam Nevan, suaranya dipenuhi kemarahan yang sulit ditahan. Ia melangkah maju, tapi pria itu semakin menekan pisau ke leher Oleefia, membuat gadis itu memejamkan mata. “Jangan bergerak, atau dia akan kehilangan nyawanya!” ancamnya lagi. Alden mengangkat kedua tangannya perlahan, mencoba menenangkan situasi. “Oke, oke. Kita nggak akan bergerak. Tapi lo lepaskan dia dulu. Kita bisa selesaikan ini tanpa ada yang t
Malam di rumah keluarga Baldwin terasa hening, tetapi ada ketegangan yang menggantung di udara. Oleefia berbaring di tempat tidurnya, mencoba mengusir pikiran tentang pesan misterius yang diterimanya. Namun, bayangan ancaman itu terus berputar di kepalanya. Ia bangkit dan berjalan ke balkon lagi, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya. Angin lembut menyapu wajahnya, tetapi ada sesuatu yang aneh. Mata Oleefia menangkap bayangan di sudut halaman. Ia memperhatikan dengan seksama, tetapi tidak ada apa-apa di sana. “Mungkin cuma imajinasi gue,” gumamnya sambil berbalik ke dalam. Namun, sebelum ia melangkah pergi, suara lembut tapi menyeramkan terdengar dari kejauhan. “Jangan terlalu percaya diri, Oleefia.” Oleefia membeku. Suara itu jelas-jelas menyebut namanya. Ia menoleh lagi ke luar, tetapi tidak ada apa pun selain kegelapan. Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel di atas meja, mencoba menghubungi Alden.Di ruan
Sisa suara langkah di koridor terdengar semakin jelas. Alden menguatkan dirinya, berdiri dengan tubuh menahan rasa sakit di bagian dada yang masih berdenyut akibat dorongan pria bertopeng sebelumnya. Di sebelahnya, Oleefia memegang erat pipa besi yang mulai dingin di tangannya. “Semua aman!” Suara berat milik seorang pria paruh baya memecah kesunyian. Alden mengenali suara itu dengan baik—ayahnya. Pria bertopeng menoleh ke arah suara, namun sebelum ia sempat melarikan diri, tembakan peringatan melesat ke dinding di sampingnya. “Jatuhkan senjatamu!” perintah Ayah Alden tegas, berdiri gagah dengan pistol teracung. Di belakangnya, beberapa petugas terlihat menyusuri ruangan sempit itu. Pria bertopeng itu mendecak marah. Dengan tatapan penuh kebencian, dia membuang pisaunya ke lantai, mengangkat kedua tangan. “Kalian pikir sudah menang?” ejeknya. “Aku nggak butuh menang darimu,” sahut Ayah Alden dingin. “Kami cuma butuh ke