Share

Bab 3 Lamaran Spontan

last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-12 18:43:10

"KELUAR!!!" geramnya berteriak di depan pintu kamar mandi.

Dua tangannya bertumpu pada dinding dan melakukan lompatan untuk menendang pintu kuat-kuat.

BRAK!

Penghalang ruangan berbentuk persegi itu tumbang. Menampakkan seorang pria bertubuh tambun sedang merapikan jas juga rambutnya. Seketika matanya terbelalak saat menyadari dari pantulan cermin siapa yang mendobrak pintu.

"Pa–Pak Almeer?!" Bastian berpikir itu adalah sepupunya yang biasa mengerjai saat dia bersenang-senang dengan seorang karyawati.

Ya, dengan alasan tertentu, Direktur yang sudah saatnya pensiun itu sering bermain-main dengan para perempuan di kantornya. Dengan iming-iming sejumlah uang dan dinaikkan jabatan di perusahaan, rela melakukan hal kotor di sela pekerjaan.

"Menjijikkan! Mulai hari ini keluar dari perusahaan ini!" teriaknya menghantamkan satu pukulan ke wajah pria yang lebih pendek darinya itu.

Fendy menahan lengan atasannya saat sudah terangkat akan kembali memberi pukulan pada Bastian.

"LEPAS!" sentak Almeer menarik tangan dari Fendy yang memberi isyarat pada Bastian dengan gelengan kecil.

"Biar saya yang urus semuanya, Sir!" pangkas Fendy memutar tubuh boss-nya keluar kamar mandi.

Almeer berbalik, keluar kamar mandi dan berdiri mematung menatap sosok perempuan yang sudah tak karuan kondisinya.

Yumna menangis tersedu-sedu memeluk kakinya dan terus menjambak rambut. Membenturkan kepala pada lutut dan seperti menahan rasa sakit yang mendalam.

Traumanya kembali!

Pria yang berjalan seperti robot itu mendekati Yumna yang beringsut mengeratkan pelukan pada kaki yang ditekuk. Seperti ketakutan dan menggigil, menggigiti bibirnya hingga lecet dan berdarah.

"It's Okey ... Kamu sudah aman sekarang." bisik Almeer mengulurkan tangan.

Tapi Yumna semakin terisak dan mundur walau sudah di pojok sofa. Sorot matanya tak fokus dan gusar, benar-benar ketakutan.

Pria itu melepaskan jasnya dan menyelimutkan pada bahu Yumna. Sedikit membungkuk dan menangkup tubuh yang meringkuk itu dalam dekapannya sekaligus. Mengangkatnya perlahan meski si pemilik tubuh memberi penolakan.

Beberapa detik dalam pelukan Almeer, perempuan itu berangsur tenang, tak lagi meronta. Napasnya pun lebih tenang dan isakan mulai berkurang.

"Aku tak akan menyakitimu. Percayalah ...," bisiknya lembut, membawa Yumna ke ruangan. Sengaja dibuat khusus untuknya tempat beristirahat berupa sebuah kamar pribadi yang disekat dengan lemari buku besar. Tak banyak yang tahu tempat rahasia CEO Perusahaan itu.

Setelah membaringkan Yumna yang masih saja meringkuk memeluk dirinya sendiri, pria itu keluar. Membuatkan segelas minuman hangat dan dibawa lagi ke ruangan rahasia

"Minumlah dulu! Tenangkan dirimu!" ucapnya meletakkan gelas yang mengepulkan asap panas di atas nakas.

"Ja–jangan, jangan! Jan–ngaaan!" racaunya disela isakan yang tertahan.

Yumna terus menggeleng dan berusaha menegakkan tubuh beringsut menghindar dari Almeer yang hendak duduk di tepi ranjang.

"Oke, Oke! Tenanglah! Aku tidak akan melakukan apapun padamu. Kamu aman di sini, tenanglah!" Nevan berdiri lagi dan mengangkat dua tangannya di atas kepala. "Aku akan keluar dari sini saat kamu percaya padaku. Jadi tenanglah! Minum selagi hangat, hem?" lanjutnya.

Pria itu kembali mengambil gelas dan menyodorkan ke arah Yumna yang masih saja menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri, tanda menolak.

"Apa kamu tahu? Aku juga memiliki trauma, sepertimu?" katanya sambil duduk di lantai berselonjor kaki dan bersandar di nakas samping tempat tidur. Kepalanya mendongak dan menatap langit-langit.

"Aku bukan ingin menghiburmu, tapi kembalinya aku ke Indonesia adalah–"

"Sir? Pak Nevan? Mister Nevan!" Fendy terlihat di pembatas kaca satu arah yang tak terlihat dari sisi luar. Pria berkaca mata itu celingukan dan mencari keberadaan Tuannya ke sana kemari di setiap sudut ruangan.

"Lihat kan? Kamu aman di sini! Nggak ada yang tahu kamar ini," kekehnya, "sekarang kamu juga sudah mengetahuinya," lanjut Almeer menoleh pada Yumna yang sudah berhenti terisak.

"Bibir kamu bengkak dan berdarah!" Berdiri dengan bertumpu pada tepi ranjang dan kaki kiri tetap lurus tanpa bisa ditekuk, Nevan berusaha agar tak terlihat kaku di depan perempuan yang masih asing untuk tahu sebuah rahasia besarnya.

"Kakiku kesemutan," kekehnya saat menyadari Yumna memperhatikan dan menampakkan wajah bingung.

'Apa dia sungguhan robot? Dia juga terus saja mengatakan tak akan menyakitiku? Dia tak punya keinginan terhadapku seperti kebanyakan pria?' Dalam hatinya terus bertanya sembari mengalihkan pandangan. Enggan bertemu tatap dengan dua bola mata kecoklatan itu.

"Tunggu di sini! Aku akan memesankan gaun untukmu!" Setelah berpesan pada Yumna dia pergi keluar ruang rahasia itu.

Gerak-geriknya masih bisa dilihat dari partisi kaca dalam bilik rahasia dimana Yumna berada sekarang. Pria dengan langkah kaki kaku dan seperti tak memiliki lutut yang bisa ditekuk itu mengambil kotak P3K lalu tampak menghubungi seseorang melalui ponselnya.

Yumna melihat ke sekeliling dengan perasaan takjub. Orang kaya membuang-buang uangnya hanya untuk membuat ruangan rahasia. Sedangkan dirinya yang miskin sampai rela berhutang demi mengenyangkan perut saja. Pemandangan yang sangat kontras dibanding dengan kamarnya di rumah.

Saat sedang membenahi kerudungnya, Yumna tersentak kaget dan mempercepat merapikan meski masih asal-asalan. Merapatkan pakaian di dadanya yang tadi terkoyak. Dia masuk ke dalam selimut dan semakin gemetaran. Menyadari bahwa dirinya mungkin akan berakhir sama saja dengan dua puluh tahun silam.

"Heeei ... Yumna? Kamu benar-benar takut padaku?" kekeh CEO itu meletakkan paper bag berlogo sebuah butik muslimah, "ganti pakaianmu dan keluarlah!" lanjutnya memberi perintah.

Tak ada gerakan dari Yumna yang masih larut dalam ketakutannya.

"Aku akan memotong dari gajimu agar kamu tak merasa berhutang! Ambillah!" tegasnya lagi sedikit mengancam tapi tetap dengan tersenyum.

"Bukan itu, Pa–Sir. Saya ... tidak bisa bekerja seperti ini. Maaf, ini tidak bisa saya lanjutkan," ucap Yumna lirih sambil menundukkan kepala.

"Hhhh ... aku tahu, pasti berat jadi kamu, Yumna! Ini adalah pekerjaanmu yang pertama sebelum kamu bekerja di Panti 'kan? Kalo kamu tidak menerima pekerjaan ini bagaimana dengan pengobatan ayahmu, hem?"

Yumna terkesiap menatap pada Almeer yang tahu banyak tentangnya.

"Dari mana Anda tahu, Sir?" tanyanya ragu.

"Bagaimana jika menjadi istriku?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pria yang Menikahiku Ternyata ...   Bab 30 Akhir yang Belum Berakhir

    Suara langkah kaki dan teriakan memecah kesunyian malam. Nevan masih terduduk di lantai gudang, tubuhnya disandarkan pada dinding tua yang dingin. Matanya sedikit terpejam, tapi pikirannya tetap waspada. Sony berdiri di depannya, pisau di tangan, siap menuntaskan dendam lamanya. “Gue udah cukup bersabar,” desis Sony sambil mengarahkan pisau ke leher Nevan. “Sekarang lo bakal bayar semua yang keluarga lo lakuin ke gue.” Nevan membuka matanya perlahan, menatap tajam ke arah Sony meski tubuhnya sudah lemah. “Anda pikir dengan membunuh saya semuanya akan berakhir? Anda salah besar!” Sony tertawa kecil, dingin dan penuh ejekan. “Gue nggak peduli soal menyelesaikan masalah. Gue cuma peduli lo menderita seperti yang gue rasain!” Namun, sebelum Sony sempat melakukan apapun, pintu gudang meledak terbuka dengan keras, membuat mereka berdua terkejut. Asap tipis memenuhi ruangan, diiringi langkah kaki cepat. Suara keras yang familiar menggem

  • Pria yang Menikahiku Ternyata ...   Bab 29 Kebenaran yang Menghancurkan

    Suara langkah kaki Sony semakin jauh, tapi ketegangannya masih terasa seperti tali yang mencekik. Nevan mengatur napas dengan susah payah, wajahnya basah oleh keringat dingin. Oleefia tetap berlutut di sampingnya, dengan tangan gemetar mencoba menekan luka di bahu Nevan menggunakan kain seadanya yang kini mulai berwarna merah pekat. “Lo nggak apa-apa, kan?” tanya Oleefia lirih, suaranya hampir bergetar. Nevan menoleh perlahan, menatapnya dengan sorot mata lelah tapi hangat. “Aku masih hidup, itu udah cukup.” Alden berdiri tidak jauh dari mereka, matanya tajam mengamati koridor tempat Sony baru saja pergi. “Kita nggak bisa santai. Dia pasti nggak akan tinggal diam. Kita harus keluar dari sini.” Oleefia menoleh tajam ke arah Alden. “Lo pikir Nevan bisa lari dalam kondisi kayak gini? Lo nggak lihat lukanya?” Alden mendesah, menekan rasa frustrasinya. “Kalau kita tetap di sini, kita semua bisa mati. Gue nggak mau ambil ris

  • Pria yang Menikahiku Ternyata ...   Bab 28 Jejak Luka dan Kebenaran yang Tersingkap

    Suasana ruang interogasi rumah mewah keluarga Baldwin berubah menjadi medan perang emosi. Pria berwajah bengis itu—Sony duduk di tengah ruangan, kedua tangannya terikat dengan kuat di kursi. Mata liciknya melirik ke sekeliling, mencoba mencari celah untuk menyelamatkan diri. Di seberang meja, Almeer berdiri tegak, rahangnya mengeras, sedangkan Alden sibuk memasang alat perekam suara di meja. Di sudut ruangan, Yumna berdiri dengan wajah pucat. Trauma yang selama ini menghantuinya kini terpapar jelas, membuat tubuhnya sedikit bergetar. Namun, Oleefia berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya dengan erat. “Bunda, ada Olee di sini. Bunda nggak sendirian.” Suaranya pelan tapi penuh keyakinan, memberikan kekuatan pada Yumna. Nevan, dengan kaki palsunya, berdiri di dekat pintu. Tatapan matanya tajam, menyimpan kemarahan yang siap meledak kapan saja. “Kali ini dia nggak bakal lolos,” gumamnya pelan, nyaris seperti janji pada dirinya sendiri. “Kenapa

  • Pria yang Menikahiku Ternyata ...   Bab 27 Taruhan Berbahaya

    Oleefia merasakan dinginnya bilah pisau di lehernya. Tubuhnya kaku, napasnya tertahan. Pria bertopeng yang mencengkeramnya menyeringai, penuh kemenangan, sementara Alden dan Nevan berdiri beberapa langkah di depannya, wajah mereka penuh ketegangan. “Lepasin dia!” Alden berbicara dengan nada rendah tapi tegas. Matanya menatap tajam ke arah pria bertopeng itu. Pria itu tertawa kecil. “Oh, kamu pikir bisa memerintahku? Aku punya kendali di sini, bocah!” “Lo nggak tahu apa yang bakal lo hadapi kalau sentuh dia sedikit saja!” ancam Nevan, suaranya dipenuhi kemarahan yang sulit ditahan. Ia melangkah maju, tapi pria itu semakin menekan pisau ke leher Oleefia, membuat gadis itu memejamkan mata. “Jangan bergerak, atau dia akan kehilangan nyawanya!” ancamnya lagi. Alden mengangkat kedua tangannya perlahan, mencoba menenangkan situasi. “Oke, oke. Kita nggak akan bergerak. Tapi lo lepaskan dia dulu. Kita bisa selesaikan ini tanpa ada yang t

  • Pria yang Menikahiku Ternyata ...   Bab 26 Ancaman dari Kegelapan

    Malam di rumah keluarga Baldwin terasa hening, tetapi ada ketegangan yang menggantung di udara. Oleefia berbaring di tempat tidurnya, mencoba mengusir pikiran tentang pesan misterius yang diterimanya. Namun, bayangan ancaman itu terus berputar di kepalanya. Ia bangkit dan berjalan ke balkon lagi, berharap udara malam bisa menenangkan pikirannya. Angin lembut menyapu wajahnya, tetapi ada sesuatu yang aneh. Mata Oleefia menangkap bayangan di sudut halaman. Ia memperhatikan dengan seksama, tetapi tidak ada apa-apa di sana. “Mungkin cuma imajinasi gue,” gumamnya sambil berbalik ke dalam. Namun, sebelum ia melangkah pergi, suara lembut tapi menyeramkan terdengar dari kejauhan. “Jangan terlalu percaya diri, Oleefia.” Oleefia membeku. Suara itu jelas-jelas menyebut namanya. Ia menoleh lagi ke luar, tetapi tidak ada apa pun selain kegelapan. Tangannya gemetar saat ia meraih ponsel di atas meja, mencoba menghubungi Alden.Di ruan

  • Pria yang Menikahiku Ternyata ...   Bab 25 Pengungkapan yang Menggetarkan

    Sisa suara langkah di koridor terdengar semakin jelas. Alden menguatkan dirinya, berdiri dengan tubuh menahan rasa sakit di bagian dada yang masih berdenyut akibat dorongan pria bertopeng sebelumnya. Di sebelahnya, Oleefia memegang erat pipa besi yang mulai dingin di tangannya. “Semua aman!” Suara berat milik seorang pria paruh baya memecah kesunyian. Alden mengenali suara itu dengan baik—ayahnya. Pria bertopeng menoleh ke arah suara, namun sebelum ia sempat melarikan diri, tembakan peringatan melesat ke dinding di sampingnya. “Jatuhkan senjatamu!” perintah Ayah Alden tegas, berdiri gagah dengan pistol teracung. Di belakangnya, beberapa petugas terlihat menyusuri ruangan sempit itu. Pria bertopeng itu mendecak marah. Dengan tatapan penuh kebencian, dia membuang pisaunya ke lantai, mengangkat kedua tangan. “Kalian pikir sudah menang?” ejeknya. “Aku nggak butuh menang darimu,” sahut Ayah Alden dingin. “Kami cuma butuh ke

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status