Share

Bab 2 : Berita

Batavia, 1935

Dehjan

Matahari sudah turun, dan lampu jalan menyinari Batavia dengan cantiknya. Kawasan Noordwijk sangat ramai malam itu, walaupun becek bekas hujan tadi sore, tapi keramaian tetap memadati tempat itu. 

Dua pemuda dengan setelan jas beludru berdiri di depan kedai minuman, Batavia Bar. Rumi mengajak Dehjan yang baru kemarin tiba di Batavia untuk mencoba minuman paling laris dari bar ini.

"Kau mengajakku mabuk?" tanya Dehjan tak percaya. Rumi mengajak Dehjan ke tempat terlarang bagi seorang anak patih. Baru dua bulan Rumi di Batavia, tapi kelakuannya sudah menjadi-jadi. Pikir Dehjan.

"Santai, Bung. Kita sekarang di Batavia, lupakan tata krama dan peraturan kadipaten. Disini aku hanya seorang RUMI, bukan Raden Mas Rumi."

Dehjan hanya bisa tersenyum getir sambil menggelang-geleng kepala menanggapi sahabatnya itu, karena sikap pembangkang Rumi inilah yang membuat mereka masih berteman hingga kini.

Dua pemuda itu memasuki Bar tersebut, disambut dengan gemerlapnya lampu warna-warni dari sudut-sudut ruangan yang cukup luas. Lantai marmer serta lampu hias di langit-langit tengah ruangan yang sangat besar memberikan kesan glamornya bar itu. Dan pastinya hanya golongan Eropa, Indo, dan pribumi tertentu yang bisa masuk ke tempat itu.

Di sudut sebelah kiri dari pintu masuk, ada panggung orkestra. Di sana berdiri seorang wanita Indo yang siap untuk bernyanyi dan didampingi oleh tiga penari latar yang terlihat seperti pribumi.

Rumi mengajak Dehjan duduk di meja sudut kanan, berseberangan dengan panggung. Mereka memesan sebotol Arak Batavia, minuman keras yang cukup mendunia saat itu. Sebenarnya Dehjan tidak ingin minum, karena ia memang tidak pandai. 

Mengingat setahun yang lalu dia dan Rumi diam-diam mencoba bir Hitam Tjap Koentji di tepi Kalimas, bir yang mereka curi dari kedai Koh Ambun. Saat mengingat itu, Dehjan sangat tahu betapa tidak enaknya minuman keras.

"Kau tau, disini banyak rahasia Londo yang bisa kau dengar." ucap Rumi, nyanyian merdu gadis Indo di panggung membuat lelaki itu mendekatkan bibirnya ke telinga Dehjan.

"Maksudnya?"

"Kau tau siapa yang ditakuti pemerintah Hindia Belanda?" 

"Siapa?" 

"Kita! Pemuda! aktivis!" jawab Rumi tegas. "Makanya aku berencana membentuk organisasi perlawanan."

"Maksudnya yang seperti Boedi Oetomo?" tanya Dehjan.

Rumi menggelang sambil menuangkan arak ke gelas, lalu menenggaknya sampai habis. "Kau sudah baca berita tentang rumah meneer Belanda di Bandoeng yang dirampok, kejadiannya baru minggu lalu."

Dehjan mencoba mengingat-ingat berita di surat kabar yang ia baca minggu lalu, dan sepertinya dia pernah membaca berita itu. Dan seingatnya lagi, pelakunya juga sudah tertangkap.

"Perampokan itu tidak terjadi baru kali ini. Saat hari kelulusan kita di HBS aku sempat membaca berita perampokan di rumah meneer Semarang, dua bulan lalu saat aku naik kapal ke Batavia aku juga membaca berita perampokan di rumah maneer Buitenzorg. Dan minggu lalu di Bandoeng." jelas Rumi. "Dan aku yakin pelakunya pasti sama."

"Tapi pelaku perampokan di Bandoeng sudah ditangkap, beritanya juga sudah keluar sehari setelah berita itu." Dehjan mencoba kembali mengingat bahwa dia memang membaca berita tentang penangkapan pelaku perampokan itu.

"Dan kau percaya?"

"Ya baiklah jika memang pelaku yang ditangkap bukanlah pelaku yang sebenarnya, tapi apa hubungannya dengan gerakan perlawanan yang kau sebutkan tadi?" Dehjan tidak mengerti apa maksud yang sebenarnya dari sahabatnya itu.

"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Karena disini, gelas ini pun bisa mendengar." ucap Rumi sambil menunjuk gelasnya yang telah kosong, lalu menuangkannya kembali dengan arak hingga penuh. Ia juga menuangkan untuk Dehjan, kemudian mengajak sahabatnya itu bersulang.

Mereka kembali menikmati suasana yang sangat riuh, menyaksikan tarian Eropa yang ditampilkan di tengah bar, dan larut dalam nyanyian mendayu gadis Indo yang sama dengan yang tadi saat mereka baru masuk bar.

Disamping menikmati semua itu, pikiran Dehjan menerawang ke masa lalu. Membuatnya kembali mengingat sesuatu tentang pemberontak, perampokan, dan pembunuhan. "Aliansi Harga Mati." gumamnya. Dia seperti pernah membaca kalimat itu, tapi entahlah kapan dan dimana. 

Dehjan kembali menuang arak ke gelas hingga penuh, tapi saat ia akan meneguknya, tiba-tiba Rumi menepuk bahu Dehjan dan membuat arak di gelas yang ia pegang sedikit tumpah. "Ayo keluar! Kepalaku pusing, ingin muntah rasanya."

Tapi belum juga Dehjan meletakkan gelasnya kembali, kepala Rumi sudah jatuh ke meja. Dan itu membuat Dehjan menghempaskan napasnya. "Lagaknya mantap sekali mengajak minum, satu botol berdua saja sudah teler begini." gumam Dehjan yang kini berusaha memapah Rumi keluar dari Bar.

Ardhiman

Pukul 23.11 Ardhiman baru saja keluar dari gedung tempatnya bekerja, News en Co. Hari ini ia lembur karena harus menunggu mesin ketik baru yang tiba malam ini. Harusnya barang itu tiba tadi siang, tapi pengecekan barang masuk di pelabuhan diperiksa sangat ketat untuk mencegah penyelundupan senjata ilegal yang baru-baru ini terjadi. Begitulah informasi dari tulisan yang masuk kemarin dan terbit tadi pagi. Menjadi orang yang bekerja di penerbitan dan selalu tau informasi lebih dulu itu cukup menyenangkan, pikir Ardhiman.

Lelaki itu menyusuri kawasan Noordwijk menggunakan sepeda ontel, saat malam kawasan ini sangat menawan bahkan di sudut-sudut gedung sekalipun. Karena ia tinggal di belakang klooster Ursuline, maka tidak ada salahnya untuk melewati kawasan elit Belanda itu.

Sebenarnya saat melewati area orang Eropa itu ada sedikit rasa cemburu ketika melihat pemuda-pemuda pribumi yang bisa berkumpul dengan anak-anak kulit putih. Selalu ia membandingkan dirinya yang hanya lulusan sekolah rakyat, tapi selalu pula ia menampar dirinya untuk bersyukur. Karena beruntung sekali ia bisa diterima dan bekerja di penerbitan, dan berutung pula karena pribumi biasa sepertinya bisa menguasai bahasa belanda, itulah alasan kenapa ia bisa diterima bekerja di penerbitan orang Belanda itu

Masih menyusuri jalan Noordwijk dengan kayuhan santai, Ardhiman sangat hafal sekali dengan jalanan ini. Di sebelah kanan jalan ada kanal yang terang dengan lampu-lampu di tepinya, dan di sebelah kiri jalan berjejer pertokoan, restoran, dan tempat nongkrong anak-anak Eropa dan pribumi bangsawan.

Dari jejeran gedung-gedung pertokoan itu, Ardiman melihat dua orang pemuda keluar dari Bar Batavia, yang membuatnya jadi memperhatikan dua pemuda itu adalah karena mereka pribumi. Pribumi yang beruntung, yang bisa bersenang-senang karena punya banyak uang, begitu pikir Ardhiman.

Dari dua orang itu, satu sedang mabuk dan satunya lagi yang memapah si Mabuk. Mereka berjalan menyeberangi jalan menuju kanal, dan bisa Ardiman lihat si Mabuk memuntahkan isi perutnya. "Ckckck, mereka memang kaya tapi jorok." gumamnya saat melewati dua pemuda itu.

Keesokan harinya, seperti biasa Ardhiman berangkat pagi-pagi sekali karena harus mengurus percetakan surat kabar yang terbit hari ini. Walaupun lembur tadi malam sangat keterlaluan, tapi apalah daya Ardhiman harus tetap datang pagi, karena dia bukanlah bos.

Saat tiba di kantor, semua orang sudah tiba dan beberapa rekannya sudah sibuk di mesin cetak. 

"Ardhi, cepatlah! Ada berita hangat hari ini!" panggil Mandra yang melihat Ardhiman masih berdiri mematung di pintu ruang percetakan. Ardhiman hanya penasaran, berita apa yang sangat hangat dibicarakan ini sampai-sampai mereka sudah begitu sibuk.

Pemuda itu mengambil salah satu surat kabar yang sudah tercetak,

Overval bij De Javasche Bank (Perampokan di De Javasche Bank)

Begitulah headline di halaman utama surat kabar. Ardhiman sebentar berpikir, "Hebat juga mereka bisa merampok bank, pasti banyak yang mereka dapat."

Lalu pemuda itu menggantungkan tasnya di tempat biasa, dan saatnya mulai bekerja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status