Share

Bab 3 : Curiga

Buitenzorg, 1935

Anararas

Pagi yang cukup cerah di kota hujan, Buitenzorg. Udara sejuk dapat dirasakan di kota ini bahkan di siang hari sekalipun. Kicauan burung pipit yang berpindah-pindah dari satu pohon ke pohon lainnya, menambah keasrian kota ini.

Terlihat di dalam hutan bambu di belakang rumah bergaya Eropa dan gudang yang cukup besar, Anararas mengenakan setelah beskap hijau tua dengan topi baret yang menggulung rambutnya, ia tengah memfokuskan tatapan ke arah papan yang berjarak sekitar 7 meter darinya, dengan tangan kanan menggenggam erat Rencong dan berancang-ancang akan membidik target di depannya itu.

Hwuusss… Ttaakkh! Dhuupk.

Dilayangkannya senjata dengan gagang kayu jati itu, tapi malah terjatuh setelah mengenai ujung papan. Gadis itu menghempas napas, sepertinya ia gagal lagi.

"Tenagamu harus kuat, agar dia menancap." sosok lelaki paruh baya menghampiri Anararas yang memang sedari tadi memperhatikan di belakang. Lelaki itu mengambil tempat di sebelah Anararas lalu mempraktikkan lemparan Rencong yang tepat.

Hwuusss… Ttaakkh!

Mata senjata tersebut membidik tepat di tengah target, dan juga membuat papan itu bergoyang seperti akan jatuh.

"Anar tidak minat belajar Rencong, Abu. Anar ingin belajar menembak!" ucap Anararas sambil memperagakan tangannya memegang senapan laras panjang.

"Perbaiki caramu memegang Rencong dulu, baru belajar memegang senapan!" jawab lelaki paruh baya itu.

Gadis itu hanya bisa merungut mendengar jawaban ayahnya. Lalu ia berjalan mengambil senjatanya yang jatuh ke tanah tadi dan berencana untuk mencoba lagi. Begitulah yang selalu dilakukannya beberapa minggu belakangan ini.

Anararas sudah sangat kenal dengan senjata tradisional asal tanah kelahiran ayahnya itu, tapi ia baru diperbolehkan memegang dan memperalajarinya setelah mendapatkan haid pertama, tepatnya sebulan yang lalu. Untuk gadis 15 tahun, bisa dibilang masa pubertas Anararas sangat terlambat.

Pukul 11 Anararas kembali ke rumah untuk membantu ibunya menyiapkan makan siang. Dari pintu belakang terlihat Rajini, anak dari salah satu pekerja di pabrik sepatu ayahnya, sedang mengambil air di sumur. 

Dihampirinya gadis yang sudah menemaninya selama 7 tahun itu, "Rajini, nanti sore temani aku ke Waroeng Alma yaa." 

"Iyaa, Ceu." terlihat raut gembira dari wajah Rajini, gadis itu selalu senang jika diajak Anararas jalan-jalan keluar.

Anararas kemudian masuk ke rumah, dan dari arah ruang tamu terdengar suara orang yang sedang berbincang. Bukan suara Abu ataupun Ibu, tapi ia mengenalinya. Dan saat Anararas mengintip, ternyata ada Mang Tisna yang sedang mengobati tangan Amar.

"Kang Amar kenapa?" Anararas menghampiri.

"Tertusuk gunting di pabrik." jawab Amar.

"Ya ampun, makanya hati-hati Kang. Itu sampai dijahit begitu? Kenapa tidak bawa ke rumah sakit saja?" Anararas sedikit meringis melihat Mang Tisna yang memainkan jarum dan benang di kulit Amar, membayangkan pasti sangat dalam luka itu.

"Tidak apa, kan ada dokter Tisna." jawab Amar sambil tersenyum ke arah Mang Tisna.

Anararas yang melihat tangan Mang Tisna begitu cekatan mengobati luka Amar membuat gadis itu terpukau, "Jadi tidak sabar untuk masuk Stovia." gumannya.

"Kalau mau masuk Stovia, Anar harus belajar yang rajin." ucap Mang Tisna.

"Hehheehe, siap Mang." gelak Anararas karena gumamannya ternyata didengar.

Mang Tisna adalah adik dari ibu Anararas dan dia merupakan lulusan Stovia 5 tahun lalu, setelah mengabdi di Bencoolen 3 tahun, ia kembali dan bekerja di Buitenzorg hingga sekarang. Dan katanya, tahun depan ia akan dipindahkan ke Ambonia. Sedangkan Amar adalah salah satu pekerja di pabrik, dan pemuda 24 tahun itu juga sangat dekat dengan ayah Anararas.

Saat Anararas akan berbalik untuk menuju dapur, matanya menangkap benda kecil berkilau yang sedikit panjang berwarna kuning keemasan dengan bercak merah, benda itu terselip di antara baskom air pembersih luka dan tas peralatan Mang Tisna. 

Mata gadis itu masih sangat sehat untuk menyimpulkan bahwa benda itu adalah selongsong peluru. Dan saat Anararas menatap ke arah peluru itu, tiba-tiba Amar menggeser baskom air sehingga benda itu tertutupi di mata Anararas.

Sebenarnya gadis itu ingin bertanya, tapi diurungkannya karena melihat Amar yang seakan mencoba menutupi. Mungkin nanti saja, di waktu yang tepat ia akan bertanya. Mengingat memang banyak sekali kecurigaan Anararas terhadap Amar. Dan tidak hanya lelaki itu saja, tapi seluruh pekerja di pabrik, termasuk ayahnya.

Rajini

Ekspresinya tidak berhenti menggambarkan betapa enaknya Spikoe (semacam kue lapis) yang sedang ia kunyah, Rajini sudah makan tiga kue dan dirinya belum puas. Diambilnya satu lagi, dan dalam pikirannya ini akan menjadi yang terakhir. Tapi nyatanya ia masih mencomot kue itu lagi dan lagi hingga potongan terakhir. Sampai-sampai ia lupa menyisakan untuk Anararas, padahal gadis itulah yang membelinya.

"Tidak apa, makanlah semuanya! Aku sudah bosan." ucap Anararas.

Rajini senang sekali kalau sudah diajak Anararas untuk makan makanan enak orang Eropa, apalagi di Waroeng Alma, tempat yang hanya bisa dikunjungi pribumi kelas atas.

Walaupun sebenarnya mereka tidak benar-benar makan di dalam kedai kue itu, dan hanya nangkring di gazebo di depannya, tapi itu sudah sangat membahagiakan bagi Rajini.

Seperti biasa Anararas mengenakan setelah beskap, ia selalu saja menutupi identitasnya yang seorang wanita jika pergi berkeliling kota. Kecuali sekolah, ia akan mengenakan pakaian seperti gadis-gadis Eropa. Dan Rajini selalu mengenakan kebaya terbaiknya jika diajak Anararas jalan-jalan, karena ia tidak ingin mempermalukan anak juragannya itu.

Di tengah asiknya mereka menikmati kue dan hiruk pikuk sore di tengah kota Buitenzorg, mata Rajini teralihkan kepada seorang pemuda Eropa di ujung jalan yang tiba-tiba meloncat ke selokan, "Lihatlah Tuan itu, kenapa dia masuk ke selokan?" tanya Rajini, dan itu membuat Anararas yang awalnya sibuk membaca iklan minuman keras yang tertempel di tiang gazebo menjadi ikut melihat ke arah yang Rajini maksud.

Sampai akhirnya setelah cukup lama mereka menonton pemuda itu, barulah si pemuda keluar dari selokan sambil menggendong seekor anak kucing

Saat melihat itu, Anararas langsung mengalihkan pandangannya kembali ke iklan di tiang gazebo, baginya tindakan itu tidaklah heroik sama sekali mengingat apa yang bangsanya lakukan terhadap negeri jajahannya ini. Tapi bagi Rajini, hal itu bisa membuatnya tersenyum kagum.

Tuan Gian

Malam itu suhu di Buitenzorg sangat dingin sama seperti biasanya, suara katak diiringi nyanyian jangkrik menjadi pertanda bahwa tengah malam akan turun hujan.

Tuan Gian menikmati secangkir kopi di depan pabrik sepatunya. Ia kembali membaca surat kabar tadi pagi, ada berita yang sangat menarik perhatiannya.

"De Javasche Bank Overval - Batavia"

Begitulah kalimat yang tertulis dengan ukuran huruf yang besar, menandakan bahwa ini berita besar pula. Mungkin lebih tepatnya menjadi berita besar hanya untuk para pejabat dan saudagar yang uangnya disimpan di bank tersebut. 

Tuan Gian menutup kembali surat kabar itu ketika beberapa pekerjanya keluar dari pabrik, karena bahan kulit sepatu baru tiba sore tadi jadinya para pekerja harus lembur untuk menyusun barang di gudang.

Setelah para pekerja pulang, tinggallah Amar yang terkahir keluar. "Bagaimana tanganmu?" tanya Tuan Gian saat Amar sedang mengunci pintu pabrik 

"Tidak apa-apa, Tuan." jawabnya, lalu melanjutkan, "Tuan sendiri bagaimana?" tanya pemuda itu sambil melihat ke arah bahu kanan Tuan Gian.

Juragan pabrik sepatu itu hanya mengangguk sambil tersenyum, memberi tanda bahwa ia juga tidak apa-apa.

"Baiklah, saya permisi Tuan." izin Amar, tapi baru saja kakinya ingin melangkah, pemuda itu kembali melihat Tuan Gian. "Maaf Tuan, sepertinya Anar melihat gunting yang menusuk tangan saya." ucap pemuda itu.

Tuan Gian yang saat itu sedang menyeruput kopinya sempat berhenti dengan bibirnya yang masih mencium bibir cangkir, seperti sedang berpikir sejenak. Dan kemudian ia kembali menyeruput kopinya.

Amar masih menunggu pria paruh baya itu selesai minum untuk mendapatkan balasan.

"Ya sudah, biarkan saja." Jawab Tuan Gian sembari meletakkan cangkir kopinya ke tadahan.

Setelah mendengar itu, barulah Amar benar-benar meninggalkan Tuannya yang ternyata sedang bergelut dengan pikirannya.

"Anak itu selalu saja mendapat celah, pasti kecurigaannya makin bertambah." begitulah kesimpulan yang ada di benak Tuan Gian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status