Share

Bab 5 : Aliansi Batavia

Ardhiman

Ardhiman selalu mencuri waktu untuk mencorat-coret kertas dengan tulisannya jika tidak ada pekerjaan. Ia memang suka menulis dan sebenarnya ingin menerbitkan tulisannya, tapi ia tidak percaya diri dengan tulisannya.

Akhir-akhir ini ia mulai suka menulis kritikan-kritikan untuk pemerintah, atau hal-hal yang tiba-tiba terpikir di kepalanya seperti, pribumi bukan monyet, masa depan Hindia Belanda, masa depan Indonesia, dan Indonesia merdeka.

Sejak bekerja di penerbitan dan membaca banyak berita ataupun tulisan-tulisan yang masuk, khususnya tulisan yang berbau radikal, pikirannya makin terbuka. Tapi sayangnya, tulisan yang dianggap radikal itu tidak bisa diterbitkan. Dan alhasil berakhir di tempat sampah.

Ardhiman sendiri bisa berbahasa Belanda karena dulu saat kecil ia pernah berteman dengan bocah Eropa yang tinggal di dekat rumahnya. Namanya Josee, dia mengajarkan Ardhiman bahasa Belanda, bahkan meminjamkan banyak buku kepadanya. Tapi sayang, karena tiba-tiba dia harus kembali ke negeri asalnya, Belanda. Dan hingga saat ini mereka tidak pernah bertemu lagi, mungkin sudah 11 tahunan.

Sore hari saat pulang bekerja, Ardhiman menyempatkan pergi ke pasar Tenabang untuk membeli bacang ketan Nyonya Ling, karena ia baru saja menerima gaji hari ini. Dan mungkin ia juga akan membeli beberapa alat tulis, agar tidak perlu lagi meminjam diam-diam di kantor.

Saat sedang santai melewati lorong-lorong pasar yang tidak terlalu ramai, tiba-tiba segerombolan anak-anak berlarian dan menabraknya, hingga tasnya tertarik dan jatuh karena talinya terputus. "Dasar bocah edan!!!" amuk Ardhiman saat melihat barang-barangnya jadi berserakan, tidak terkecuali kertas-kertas hasil tulisannya.

Ia buru-buru memunguti semua kertasnya itu agar tidak dibaca oleh orang-orang, itupun jika orang-orang itu bisa membaca huruf Belanda. Tapi sayang, salah satu kertasnya diambil oleh seorang pemuda, dan dibaca tidak hanya oleh pemuda itu tapi juga dibaca oleh temannya. Dan dari pakaian yang dikenakan, mereka terlihat seperti pribumi bangsawan pesuruh Belanda (mungkin). Ardhiman menutup matanya pasrah jika ia harus ditangkap karena tulisannya itu.

Dua pemuda itu bergantian melihat Ardhiman, dan kemudian mengembalikan kertasnya. "Hati-hati." ucap pemuda itu dengan tatapan datar dan mengancam.

Ardhiman buru-buru mengambil kertasnya itu dan juga sesegera mungkin membereskan barang-barangnya yang masih berserakan di tanah. Yang ada di pikirannya hanyalah ia harus segera pulang, lupakan bacang ketan dan alat tulis baru, keselamatannya adalah nomor satu.

Ardhiman langsung berbalik dan berjalan cepat meninggalkan dua pemuda tadi, tapi tiba-tiba salah satu pemuda mengejar dan merangkul Ardhiman, "Bung Ardhiii-man?" ucap pemuda itu.

"Ahh tamat sudah, kenapa aku harus menulis perihal kemerdekaan hari ini!!" rutuknya dalam hati.

"Kau pulang ke arah mana?" tanya pemuda itu lagi dengan nada mengintimidasi.

Ardhiman tidak sanggup menjawab, jantungnya berdegup kencang. Ia pasrah.

"Sudahlah Rumi, jangan menakutinya!" ujar pemuda satunya yang berdiri di belakang.

Lalu pemuda yang adalah Rumi itu tertawa, tidak berhenti karena hal itu sangat lucu baginya.

"Kampret!!" maki Ardhiman dalam hati, kini jantungnya berdegup kencang bukan lagi karena gugup, tapi karena emosi. Tapi ia masih menahannya sampai pemuda itu berhenti tertawa.

"Maaf Bung, maaf, maaf. Aku tidak bisa menahan karena lucunya ekspresimu." ucap Rumi masih dengan tawanya. "Lagian kau berani sekali menulis kata-kata seperti itu."

Ardhiman masih diam, lalu pemuda satu lagi yang merupakan Dehjan bersuara, "Melihat tulisanmu yang berbahasa Belanda, sepertinya kau orang terpelajar. Tapi kenapa penampilanmu tidak meyakinkan?" 

"Itu bukan milik saya, itu ditulis oleh tuan saya." jawab Ardhiman, tapi itu adalah jawaban bodoh karena mana mungkin dua pemuda itu percaya, Ardhiman kembali merutuki dirinya.

"Sudahlah, tidak usah berbohong. Kau tenang saja, Bung. Kami tidak di pihak Belanda, kami masih anak negeri." kini Rumi yang sudah berhenti tertawa kembali merangkul Ardhiman. "Kau hebat dan berani, cocok menjadi bagian dari kami."

Ardhiman tidak mengerti, dan tiba-tiba ia diajak dua pemuda itu pergi setelah kedatangan satu orang pemuda lagi, Tapa. Mereka akan pergi ke suatu tempat yang mungkin bisa mengubah hidup Ardhiman.

__

Di sebuah rumah di kawasan elit Koningsplein, Rumi dan kawan-kawan berkumpul. Membicarakan rencana mereka tentang perlawanan.

"Kelompok kita ini bersifat rahasia, pastinya agar kita tidak tertangkap. Rencana yang akan kita jalankan adalah rencana besar, kalau tertangkap mungkin kita akan dihukum mati." jelas Rumi kepada teman-temannya.

"Jadi apa yang akan kita lakukan?" tanya Tapa, pemuda yang sebelumnya merasa ragu dengan kelompok itu memutuskan untuk tetap ikut

Tapi sebelum Rumi menjawabnya, tiba-tiba Ardhiman menyela. "Tunggu dulu, Bung! Aku ingin bertanya, ini sebenarnya perkumpulan apa? Kalian membawaku ke sini tanpa menjelaskan apapun!"

"Aliansi Batavia!" seru Dehjan. "Itu nama perkumpulan ini." Dehjan menjelaskan apa maksud dari kelompok mereka ini. Sampai akhirnya Ardhiman paham dan mencoba mengikuti diskusi kali ini.

"Jadi kapan kita membantai Londo-Londo itu?" tanya Suras.

"Tidak Bung! Kita tidak akan membunuh untuk sekarang. Kita harus mengumpulkan modal dan anggota." jelas Rumi. "Jadi aku berencana untuk kita berlatih dulu, karena aku tidak yakin kalian semua bisa menggunakan senapan."

"Kau meremehkanku?!" gertak Suras.

"Bukan! Maksudnya untuk yang lain. Jadi kau harus mengajarkan kami." pinta Rumi.

"Jadi kapan kita akan berlatih?" tanya Tapa.

"Kita tidak bisa membuat jadwal khusus kapan untuk berlatih, dan kita tidak bisa menjadikan rumah Dehjan ini sebagai markas utama, karena akan mudah dicurigai. Oleh karena itu kita butuh penulis untuk menjadi media penyampaian." ucap Rumi sambil melihat Ardhiman.

"Kenapa kau melihatku?!" sebenarnya Ardhiman sudah mengerti maksud Rumi, "Aku tidak bisa!" tandasnya.

"Kau bisa! Aku akan mengabarimu dimana dan kapan kita berkumpul, lalu nanti kau buatlah tulisan dengan kode tertentu yang menjelaskan tempat dan hari."

Ardhiman masih tidak percaya, ia masuk ke dalam perkumpulan ini. Tapi entah kenapa ia betah dan merasa ini memang tempatnya. Dan akhirnya lelaki itu menyanggupi, mungkin ini adalah cara yang akan dilakukannya untuk menjawab pertanyaan yang ada di kepalanya perihal kemerdekaan. Apakah negeri ini bisa merdeka? jawabannya Bisa! Jika pemuda-pemuda seperti orang-orang di hadapannya ini berjuang untuk melawan, termasuk dirinya. Ia jadi teringat dengan salah satu tulisan radikal yang masuk ke kantor, "Masa depan negeri ada di tangan pemuda!"

"Lalu bagaimana dengan senjata? Dari mana kita mendapatkannya? Untuk berlatih menembak kita perlu senapan. Sedangkan aku hanya punya dua pucuk." tanya Suras.

"Karena kita belum punya uang yang cukup, maka kita akan merampok gudang senjata KNIL." jawab Rumi yakin.

"Kau gila?!" Tapa, Danar, dan Ardhiman tidak percaya dengan apa yang dikatakan orang yang mereka anggap pemimpin itu.

"Kalian tenang saja, aku sudah menyiapkan rencana untuk perampokan ini. Dan lagi pun hanya aku, Dehjan, dan Suras yang akan beraksi."

Rumi sudah sangat mantap dengan organisasinya ini, sebuah permulaan yang cukup baik karena mendapatkan anggota yang lumayan meyakinkan. Walaupun Danar, Tapa, dan Ardhiman harus dilatih lagi.

Mereka menutup diskusi dengan berkenalan lebih dalam satu sama lain, saling memahami keadaan dan latar belakang kehidupan mereka masing-masing.

"Apa yang akan kalian lakukan jika negeri kita merdeka?" tanya Danar tiba-tiba, dari tadi ia hanya banyak mendengarkan. Tapi belum juga dijawab oleh yang lain, ia sudah bersuara, "Kalau aku, ingin sekali bermain sepak bola." jawabnya penuh antusias.

"Kau bisa bermain sepak bola sekarang, tidak harus menunggu merdeka, sepak bola tidak dilarang untuk pribumi." sanggah Suras.

"Tapi aku ingin bermain di tanah negeri ini, Indonesia. Bukan di tanah terjajah, Hindia Belanda ini." 

Mendengar jawaban Danar membuat pemuda lainnya tersenyum. Lalu dilanjutkan oleh Ardhiman, "Aku akan menjadi bos di penerbitanku sendiri"

"Wahh, kalau begitu aku akan membuka toko buku yang besar di Noordwijk." Tapa tidak kalah dengan harapannya.

"Aku akan pulang ke Borneo." jawab Suras singkat tanpa ekspresi.

Tidak ada balasan dari yang lain sampai akhirnya Dehjan melanjutkan, "Kalau begitu aku akan pulang ke Soerabaja, aku akan mengatakan pada ayahku bahwa aku tidak perlu lagi mencari tempat di mata Belanda." 

Sempat hening sesaat karena belum ada jawaban dari Rumi.

"Bagaimana dengan Bung Rumi?" tanya Danar.

Rumi masih diam, ia belum tahu pasti apa yang akan ia lakukan saat negeri ini sudah merdeka. Tapi yang terlintas di kepalanya adalah, "Aku akan tetap bertahan hidup sampai negeri ini mencium kebebasan!" tegas Rumi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status