Share

Pribumi Pemberontak
Pribumi Pemberontak
Penulis: ffunaway

Bab 1 : Anak Lelaki Kesayangan

Soerabaja, 1935

Rumi

Pagi yang cerah untuk mengantar kepergian Rumi dari kediaman Raden Laksono menuju pelabuhan, kicauan burung peliharaan Romo yang selalu Rumi maki setiap hari karena suara bising yang dihasilkan pasti akan ia rindukan nanti.

Setelah berpamitan kepada seluruh keluarga, akhirnya pemuda 18 tahun itu menaiki kereta Benz milik Romo yang akan mengantarkannya ke pelabuhan Tanjung Perak, ia akan naik kapal menuju Batavia.

Saat mesin kereta dihidupkan dan roda mulai bergerak meninggalkan kediaman megah itu, ada rasa kesedihan di hati Rumi karena harus meninggalkan tanah kelahirannya. Harus meninggalkan keluarganya, Romo, Ibu Agung, Mbakyu Minara, Tiyas, dan terlebih lagi harus berpisah dengan Biyung yang sangat ia sayangi, yang kini tengah mengintip dari pintu utama samping. Wanita paruh baya itu tidak mau mengantar kepergian anak laki-lakinya secara langsung dan itu membuat Rumi sedikit kecewa.

Kerata Benz keluar dari gerbang, dan mesih bisa Rumi lihat Tiyas melambai dengan begitu semangat, membuatnya kembali mengingat bahwa sebentar lagi adik kecilnya itu akan memulai masa pingitannya.

Sebelum benar-benar menuju pelabuhan, Rumi singgah ke alun-alun Contong, ia telah berjanji untuk bertemu dengan Dehjan(dibaca: Dehian) sebelum berangkat. Tapi saat tiba di sana, Rumi belum melihat batang hidung sahabatnya itu.

Setelah menunngu cukup lama, dari kejauhan terlihat seorang lelaki yang sangat Rumi kenali, dengan setelan kemeja putih serta jas dan celana beludru abu-abu, tidak lupa pula dengan topi flat cap berwarna selaras berlari ke arahnya. Sambil melambai-lambai lelaki itu menerobos lalu lalang pejalan kaki yang melintas, bahkan ia hampir saja menabrak seorang sinyo kecil yang baru saja turun dari kereta bapak Belanda-nya.

“Kenapa lama sekali, Bung?! Aku bisa ketinggalan kapal karena menunggu kau yang terlalu lama!!” marah Rumi saat Dehjan baru tiba di hadapannya dengan napas yang tersengal-sengal.

Rumi tahu benar, bahwa ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk bertemu. Setelah Rumi ke Batavia, Dehjan pun akan pergi ke tempat yang jauh. Jadi ia tidak ingin pergi tanpa pamit dengan sahabat karibnya itu.

Setelah Dehjan bisa mengatur napas, tiba-tiba lelaki itu langsung memeluk Rumi. “Tenang, Bung! Jangan marah-marah! Aku akan menyusulmu!”ucap Dehjan dan itu membuat Rumi seketika melepas pelukannya.

“Maksudnya? Kau tidak jadi ke Belanda?” tanya Rumi.

Untuk menjawab pertanyaan Rumi, Dehjan mengeluarkan amplop coklat dari saku dalam jasnya, lalu diberikannya kepada Rumi. “Kenapa harus pergi jauh ke negeri penjajah, kalau aku bisa belajar di negeri sendiri.”

Setelah mendengar jawaban Dehjan dan membaca surat dalam amplop coklat itu, kini Rumi yang membalas pelukan Dehjan. “Aku tunggu kau di Batavia, Bung!”

Biyung Arjani

“Biyung kenapa tidak melihat Raka Rumi pergi?” tanya Tiyas kepada Biyung yang tengah memilah-milah belanjaan di dapur.

Biyung berhenti dengan pekerjaannya lalu melihat Tiyas sembari merapikan sanggul gadis kecil itu. “Tadi Biyung sibuk dengan belanjaan yang baru datang.” alasan Biyung.

Karena ia tahu bahwa tidak sepantasnya seorang selir mengantar kepergian Rumi, atau lebih tepatnya Ndoro Mas Rumi, meski sekalipun Rumi adalah anak kandungnya sendiri.

“Tapi kenapa tidak disempatkan? Raka Rumi akan pergi jauh.”

Biyung tersenyum menanggapi ndoro kecilnya itu, “Rumah Ndoro Mas Rumi disini, suatu saat dia pasti akan kembali lagi ke sini.”

“Apa Raka Rumi akan kembali sebelum ning jadi Raden Ayu?” tanya Tiyas, mengingat dirinya akan memulai masa pingitan.

“Doakan saja dia kembali, lagipula Ndoro Mas Rumi pergi belajar untuk menjadi dokter. Jadi Ndoro Ajeng jangan khawatir.”

Sebenarnya setelah mendengar jawaban Biyung, Tiyas masih ingin bertanya lagi. Tapi diurungkannya karena melihat Ibu Agung yang berdiri di pintu dapur. Lalu gadis kecil itu memilih untuk meninggalkan dapur setelah mengucapkan salam kepada Ndoro Ayu besar rumah itu.

“Suruh Simbok bersihkan kamar bekas Minara, besok Tiyas mulai dipingit.” perintah Ibu Agung Garwita.

“Baik, Ndoro.” Jawab Biyung tanpa melihat Ibu Agung.

Bisa dikatakan bahwa Ibu Agung Garwita telah menggeser posisi Biyung sebagai ibu utama. Setelah Raden Laksono diangkat menjadi patih, lalu menikai Raden Ajeng Garwita yang tidak lain adalah keluarga bupati, membuatnya menjadi Ibu Agung di kediaman pejabat Soerabaja ini.

Bisa dikatakan lagi bahwa Biyung tidak sepenuhnya seorang selir, karena ia dalah istri sah. Oleh karena itu Biyung masih bisa memerintah budak-budak dibawahnya. Tapi posisinya tetaplah di bawah Ibu Agung.

Setelah Ibu Agung pergi, Biyung bergegas menemui Simbok. Wanita yang usianya lebih muda darinya itu sedang mencuci di sumur belakang.

"Simbok, Ndoro Ayu suruh bersihkan kamar bekas Ndoro Ayu Minara, untuk dipakai Tiyas."

"Baik, Yung."

Sebelum pergi, Biyung kembali berkata. "Besok sempatkanlah melihat Tiyas, dia pasti butuh wejangan dari ibunya."

Tuan Ong

Setelah perdebatan hebat dengan anak lelaki satu-satunya, Tuan Ong memilih untuk mengalah. Menuruti keingingan Dehjan untuk tidak pergi ke Belanda dan melanjutkan pendidikannya di RHS (Rechtshoogeschool), sekolah tinggi hukum di Batavia.

Sebenarnya ia hanya takut jika suatu saat nanti anaknya itu berubah menjadi seorang radikal terhadap pemerintah Hindia Belanda, karena ia memang sudah melihat bibit-bibit itu dalam diri anaknya. Apalagi saat tahu Dehjan berteman baik dengan anak seorang patih.

Mengingat bahwa anaknya itu pernah hampir dikeluarkan dari HBS karena berkelahi dengan anak Belanda Totok, dan dia berkelahi hanya karena membela anak patih itu.

Tuan Ong selalu mengajarkan Dehjan untuk menghormati orang kulit putih, karena dengan begitu orang bermata sipit seperti mereka bisa mendapatkan tempat di Hindia Belanda ini.

"Wa tahu kekhawatiran Papa, tapi tolong percayalah dengan anakmu ini. Seperti keinginan Papa, wa akan mendapatkan tempat di Hindia Belanda. Tapi dengan cara wa sendiri." ucapan Dehjan itulah yang membuat Tuan Ong memberikan izin untuk ananknya itu belajar di Batavia.

Perdebatan mereka tutup dengan syarat yang diberikan oleh Tuan Ong, "Jangan terlalu dekat dengan Rumi!"

"Kenapa? Kami bersahabat."

"Papa punya firasat buruk tentang dia."

Tapi tetap saja Dehjan tidak menuruti syarat yang diberikan Papanya itu, buktinya pagi itu Dehjan izin untuk pergi menemui seorang teman. Sebenarnya Tuan Ong sudah tahu siapa yang akan ditemui anaknya itu, setelah kemarin Dehjan mendapat surat bahwa ia diterima di RHS, pasti anak itu akan menemui Rumi.

Tuan Ong sudah mendengar bahwa Rumi juga akan belajar di Batavia, tepatnya di sekolah tinggi kedokteran. Pria paruh baya itu hanya bisa menghempas napas berat saat menyimpulkan bahwa Dehjan dan Rumi tidak bisa dipisahkan. Ia hanya berharap firasat buruknya itu hanya sekadar firasat.

Di tengah kekhawatirannya terdahap Dehjan tiba-tiba Elena, anak angkat Tuan Ong, mengejutkannya sambil memperlihatkan salah satu berita di surat kabar hari itu. "Papa sudah baca berita tentang perampokan di rumah pejabat Buitenzorg?"

Tuan Ong hanya terdiam melihat berita itu, menerawang dalam pikirannya yang sudah sangat tahu pasti siapa dalang dari perampokan itu. Tapi walaupun ia dekat dengan pejabat-pejabat Eropa, ia tidak bisa melaporkannya kepada pemerintah Hindia Belanda karena kelompok itu punya pengaruh yang cukup besar terhadap pabrik tembakaunya.

Hal ini membuat pria paruh baya itu berpikir kembali, sebenarnya ada di pihak siapa dia sekarang ini. Pemerintah Hindia Belanda atau pribumi pemberontak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status