Share

Bab 6 : Gudang Senjata

Suras

Suras menggelar kertas besar yang menggambarkan denah gudang senjata Belanda yang tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa. Pemuda itu pernah memasuki kawasan gudang senjata untuk merenovasi septic tank yang ada disana, jadinya ia sedikit hapal secara kasar kawasan tersebut.

Kawasan itu berbentuk persegi panjang yang memanjang dari utara ke selatan, dengan tembok tinggi dan kawat berduri yang melintang di atasnya, menandakan bahwa kawasan itu sangat-sangat dilindungi.

Di sebelah barat ada gerbang utama yang besar dan tingginya sama dengan tinggi tembok, dengan dua posko jaga bertingkat di kanan dan kiri gerbang. 

Di sebelah kiri gerbang terdapat lapangan luas yang menjadi tempat berkumpul para tentara, di pinggir lapangan berjejer tank-tank dan kereta perang, serta di setiap sudutnya ada pohon-pohon besar. Di sebelah kanan gerbang, berseberangan dengan lapangan, berdiri gedung yang berbentuk leter U, dengan sisi kiri yang lebih besar, dan di sanalah semua senjata disimpan.

Karena di sebelah selatan kawasan banyak rumah-rumah pejabat, maka tidak bisa memanjat dari sebelah sana. Jadinya mereka harus menerobos tembok bagian utara, tapi karena berbatasan langsung dengan laut, mungkin akan sedikit sulit terlebih lagi karena temboknya yang tinggi.

Jika berhasil masuk ke dalam kawasan dengan perlindungan pohon besar yang ada di sudut, maka mereka harus mengendap-endap di balik tank-tank untuk menuju ruangan tempat senjata.

"Apakah gedung itu dijaga?" tanya Rumi.

"Sepertinya tidak, karena saat siang yang berjaga pun cuma di gerbang. Tapi pasti ruangannya dikunci." jawab Suras.

"Lalu bagaimana?"

"Kita lewat atap."

"Memangnya bisa?" tanya Dehjan ragu.

"Entahla, kita lihat saja nanti. Lagi pula ini masih percobaan pertama kita 'kan?!"

Rumi dan Dehjan mengangguk, mereka merasa bahwa persiapan sudah padat, dan kemungkinan mereka akan beraksi malam ini.

Mandra

"Kau kenapa Ardhiman?" tanya Mandra saat melihat rekannya itu sibuk menggaruk-garuk kepala sambil mecorat-coret kertas di hadapannya.

Ardhiman tidak menggubris, dan Mandra hanya menggeleng-geleng kepala karena ia sudah sering melihat Ardhiman membuat tulisan jika sedang tidak banyak pekerjaan, tapi kali ini ia seperti penulis yang sedang dikejar tenggat.

Mandra adalah rekan paling lama yang kenal dengan Ardhiman, mereka sama-sama tiba di batavia 5 tahun lalu. Dan Mandra sangat kagum dengan temannya itu karena Ardhiman yang hanya lulusan sekolah rakyat bisa berbahasa Belanda, sedangkan dia yang lulusan HIS masih terbata-bata.

Iyaa, Mandra adalah lulusan HIS. Hal ini karena saat itu ayahnya adalah salah satu guru di sekolah itu. Tapi tepat saat hari kelulusannya di HIS, ayahnya ditangkap dan diasingkan. Itulah yang membuat Mandra tidak bisa melanjutkan sekolahnya dan memilih merantau ke Batavia.

Karena jenuh melihat Ardhiman yang sedari tadi menggerutu, Mandra memilih untuk pergi ke bagian penjualan, di depan penerbitan ada lapak untuk menjual surat kabar dan buku-buku.

Dilihatnya jalanan Rijswijkstraate yang selalu ramai oleh kereta, sepeda, becak, dan pejalan kaki. Sesekali pemuda itu melirik ke gadis-gadis Belanda yang lewat di depan lapak. 

Lalu tiba-tiba terdengar keriuhan dari arah kiri, para Veldpolitie ternyata tengah meminggirkan keramaian jalan, karena jauh dari arah utara ada kereta-kereta besar yang akan menembus jalanan.

"Apa itu?" mungkin itulah yang menjadi pertanyaan orang-orang di sekitar Mandra, tidak terkecuali dirinya.

Lalu saat kereta-kereta besar itu sampai ke Rijswijkstraate, barulah terlihat ternyata kereta-kereta itu berisi tentara Belanda.

"Mereka dari mana?" gumam Mandra.

Dan tiba-tiba dari arah samping seseorang menyaut, "Mereka dari Belanda, dipindah tugaskan ke sini." kata seorang tukang becak yang duduk di becaknya sambari mengusap keringat dengan handuknya.

"Darimana bapak tau?" tanya Mandra.

"Hampir seluruh hidup saya berada di jalanan, jadi telinga ini banyak mendengar." jawab tukang becak itu sambil menunjuk telinganya.

Setelah kereta-kereta itu lewat, dan berbelok ke kawasan Koningsplein barulah jalanan kembali normal. Dan Mandra pun memilih untuk kembali masuk ke dalam gedung dan mengobrol dengan Madam Puff, penjaga lapak penerbitan.

__

Terang bulan mengiringi langkah tiga orang pemuda yang adalah Suras, Rumi, dan Dehjan, mereka sedang berjalan ke utara menyusuri hutan menuju laut. Suara malam dan tapakan sepatu menemani langkah mereka, dengan pakaian serba hitam, masing-masing menggendong sebuah tas, dan mengalungkan senapan. Kecuali Suras. 

Suras memilih membawa 3 mata tombak yang ia kaitkan di pinggangnya dan meminjamkan senapan kepada Rumi dan Dehjan, sebenarnya ia kurang yakin apakah dua pemuda itu bisa menggunakan senapan.

Mereka masih menelusuri hutan hingga akhirnya terlihatlah tembok tinggi dengan lumut-lumut yang mengisi seluruh sisi, terus berjalan hingga ke ujung daratan sampai mereka melihat daun-daun menyembul dari balik tembok, dan daun-daun itulah yang menjadi tanda tempat mereka akan memanjat.

Dehjan mengeluarkan tali tambang dari tasnya, lalu memberikannya kepada Suras. Di sini Suras lah yang akan memanjat dahulu untuk mengikat tali di atas. Dehjan yang kemudian berdiri di bahu Rumi, lalu Suras memanjat tubuh teman-temannya itu. 

Sempat kesulitan bagi Suras untuk menggapai atas tembok, sedangkan mereka harus tetap menjaga keseimbangan agar menara yang mereka buat tidak rubuh dan malah jatuh ke laut yang tepat di sebelah kanan mereka, sampai akhirnya dengan sedikit loncatan barulah Suras berhasil menggapainya.

Setelah sampai di atas tembok ia langsung membungkus kawat duri dengan kain yang ia bawa dalam tas agar mereka bisa duduk dengan leluasa, dan barulah Ia mengikat tali tambang ke dahan pohon yang dipastikan kuat.

Sembari mengikat tali, ia sesekali mengintip dari celah-celah daun untuk melihat situasi di lapangan. Sepi, hanya ada beberapa tentara yang berkumpul di dekat gerbang, dan beberapa lagi berjalan keluar dari gedung tengah. Sepertinya, aman, pikir Suras.

Setelah mengikat, ia langsung melempar tali ke bawah agar Rumi dan Dehjan bisa memanjat ke atas. Sampai akhirnya mereka bertiga berhasil mendarat di tanah dalam kawasan gudang senjata itu, tepat di bawah pohon, dan bersembunyi di balik kegelapan.

Satu per satu mereka mulai mengendap di balik tank-tank besar yang berjejer hingga ke bagian gudang senjata, sejauh itu perjalanan masih berjalan dengan lancar hingga tank terakhir. Namun tiba-tiba gerbang utama dibuka. Bunyi melengking dari engsel gerbang yang berkarat membuat seluruh kawasan yang awalnya senyap jadi menggelegar.

Kereta-kereta besar memasuki kawasan menuju lapangan, tank-tank yang berjejer termasuk tank yang menjadi perlindungan mereka tersorot oleh lampu kereta. Sekitar 5 kereta masuk dengan membawa puluhan tentara, dan itu membuat kepanikan menyerang mereka.

 "Bagaimana ini?" bisik Suras yang berada di paling belakang.

Rumi sempat berpikir sejenak, sampai akhirnya ia mengibaskan tangan, memberi isyarat untuk mundur. Karena ia merasa akan lebih sulit jika tentara sebanyak itu berada di sini, dan kalau ketahuan mereka pasti akan tertangkap.

Akhirnya mereka kembali mengendap menuju pohon, dengan sangat hati-hati dan tidak semudah sebelumnya. Hingga mereka berhasil sampai ke pohon lalu memanjat, tapi karena gerakan pohon yang terlalu rusuh karena mereka panik, membuat beberapa tentara yang baru turun dari kereta mengalihkan pandangan ke pohon itu. Lalu tiba-tiba…

Doorrrr!!

Suara tembakan dari salah satu tentara ke arah pohon itu, dan tembakan itu berhasil membidik bahu Suras yang sudah berada di atas tembok sehingga ia tidak bisa menjaga keseimbangan dan tubuhnya jatuh ke laut. Suara jeburan air sampai ke telinga para tentara, lalu salah satu tentara bertanya pada si tentara yang menembak, "Kenapa kau menembak?"

"Kata komandan, disini banyak monyet! Mungkin saja itu monyet yang sedang kawin." jawabnya sambil tersenyum puas.

Rumi dan Dehjan yang melihat tubuh Suras terjun bebas ke laut terkejut bukan main, lalu Rumi berbisik. "Bersihkan jejak dan kaburlah cepat! Aku akan menyelamatkan Suras!!!"

"Kau gila?!! Tidak! Kita harus menyelamatkan diri dulu, Rumi!" baru saja Dehjan menentang perintah sahabatnya itu, tiba-tiba tubuhnya didorong ke arah mereka memanjat tadi, dan jatuh menimpa tanah lalu disusul tali tambang dan kain yang menimpa dirinya. Sedangkan Rumi meloncat bebas ke laut.

Suara jeburan air kedua terdengar lagi di telinga para tentara, lalu kembali si yang menembak tadi berkata, "Mungkin pasangannya yang juga mau mati bersama."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status