Home / Romansa / Prime Time Bersama Mas Polisi / 4. Saling Menyalahkan.

Share

4. Saling Menyalahkan.

Author: Suzy Wiryanty
last update Huling Na-update: 2024-01-02 11:55:22

Ketika pandangan Kiran membentur dua gadis muda yang salah seorangnya mengenakan seragam khas babysitter, Kiran pun bergegas menghampiri. Dugaannya babysitter itu adalah pengasuh anak Pak Irman Sadikin. Sedangkan seorang gadis muda lagi yang berpiyama batik adalah suster Bu Yanti. Sedangkan seorang wanita paruh baya yang berdiri di antara mereka pastilah sang ART. Wajah ketiganya coreng moreng penuh jelaga. 

Keyakinan Kiran bertambah, saat melihat sang babysitter menggendong anak kecil yang terus menangis dan meronta-ronta saat akan dibaringkan ke bed periksa. Wajah anak balita itu juga penuh jelaga dan sesekali terbatuk di antara tangisnya.

"Aldy tiduran dulu di sini ya? Biar Pak Dokter gampang memeriksanya." Babysitter bersanggul cepol yang sudah acak-acak itu berusaha menenangkan anak asuhannya. 

"Pasti aku akan diamuk Pak Irman, karena tidak bisa menjaga Ibu. Bagaimana ini, bagaimana?" Gadis muda berpiyama batik menangis ketakutan. Kedua tangannya tidak bisa berhenti bergetar. 

"Kalau saja aliran listrik tidak padam, pasti aku bisa menyelamatkan Bu Yanti. Masalahnya saat itu sangat gelap sehingga aku tidak melihat saat Bu Yanti mendorong kursi roda ke balkon dan melompat ke bawah. Bu Yanti pasti sangat panik waktu itu."

Si gadis muda terus menyesali keadaan mengerikan tadi. Masih terngiang di telinganya jeritan memilukan nyonyanya saat terjun ke bawah. Jeritan mereka bertiga juga mengiringi jeritan sang nyonya. Mereka kemudian terbatuk-batuk hebat karena menghirup asap. Mereka tadi sempat berpikir bahwa mereka juga akan mengalami nasib yang sama. Nasib baik petugas DAMKAR mengevakuasi mereka tepat waktu. 

"Bukan kamu saja yang takut, Lis. Aku dan Bik Hasni juga. Pak Irman pasti akan menyalahkan kita semua karena peristiwa ini." Sembari menenangkan anak asuhannya, babysitter itu juga tampak putus asa. Kengerian tergambar jelas di raut wajahnya. Kiran mengamati mereka bertiga sambil menjaga sang gadis kecil. 

"Masalahnya akulah perawat Bu Yanti, Ran. Keselamatan Bu Yanti merupakan tanggungjawabku. Pak Irman pasti akan menghabisiku." Air muka gadis berpiyama batik makin pias oleh pemikirannya sendiri.

Tebakannya benar. Gadis muda berpiyama batik itu adalah suster pribadi Bu Yanti.

"Kamu juga sih, tidak bisa dititipi pesan. Sudah kubilang, tolong lihat Bu Yanti sebentar, karena aku akan mengambil handphone di kamar. Ini baru ditinggal sebentar, Bu Yanti sudah celaka." Sang suster memarahi sang babysitter.

"Aku 'kan harus menjaga Aldy, Lis. Dia ketakutan dan terus minta digendong. Mana gelap dan banyak asap lagi. Bagaimana aku bisa mengawasi Bu Yanti?" sergah sang babysitter.

"Lagian dalam keadaan darurat begitu, ngapain juga kamu mengambil handphone?" Sang babysitter balik menyalahkan sang suster.

"Aku ingin menerangi jalan dengan lampu flashlight, supaya kita semua bisa menyelamatkan diri. Bu Yanti itu memakai kursi roda. Kalau gelap gulita, bagaimana kita bisa melihat jalan untuk menyelamatkan diri?" terang sang suster.

"Sudah... sudah... jangan ribut lagi. Kita saling menyalahkan pun tidak akan mengubah keadaan." Sambil mengusap air mata sang ART berupaya melerai pertengkaran dua gadis muda di depannya. Selain takut disalahkan Pak Irman, sesungguhnya ia sangat sedih kehilangan majikannya. Bu Yanti sangat baik pada mereka bertiga.

Nyonya rumah yang lumpuh lompat dari balkon apartemen. Sementara tiga orang gajiannya selamat semua. Putra semata wayangnya ikut selamat karena berada dalam pengawasan sang babysitter. Ada bagian yang hilang dalam cerita ini. Rasanya agak ganjil kalau dari tiga orang ini, tidak ada satu pun yang memperhatikan sang nyonya rumah. Padahal seharusnya prioritas mereka adalah keselamatan sang nyonya rumah.

"Apa saja kerja kalian sampai Ibu menjadi korban, hah?" Gelegar suara bentakan membuat Kiran menoleh ke pintu UGD.

Pak Irman Sadikin dan Demitrio!

Gawat, Kiran seketika berbalik. Tanpa kentara ia mengeluarkan topi dan masker dari dalam ransel. Selanjutnya ia mengenakan dua atribut itu dalam diam, agar Demitrio tidak mengenalinya. Kiran kemudian menyerahkan gadis kecil tadi pada ibunya. Sekarang adalah saatnya bekerja.

"Kamu, Lisna! Tugasmu adalah menjaga Ibu. Kamu ini perawat pribadinya. Di mana kamu saat Ibu melompat dari balkon hah? Di mana?" Pak Irman Sadikin tiba-tiba mencengkram leher sang perawat yang bernama Lisna.

"Saya... saya..." Lisna tidak bisa menjawab. Tenggorokannya dicengkram erat oleh Pak Irman dengan sebelah tangan. Lisna semakin gelagapan, saat Pak Irman mengeratkan cengkramannya. Tangan Lisna menggapai-gapai udara. Ia panik. Paru-parunya serasa akan meledak karena kehabisan udara.

"Cukup, Pak Irman. Jangan main hakim sendiri!" Demitrio melepaskan cengkraman tangan Pak Irman. 

"Kita dengar saja penjelasan Lisna." Demitrio melirik Lisna yang seketika bersembunyi di punggungnya. 

"Papa... Papa..." 

Ketegangan di UGD terurai dengan suara tangisan Aldy. Bocah kecil yang sedang berada dalam gendongan sang babysitter,  memanjangkan kedua tangannya pada Pak Irman.  Pak Irman segera menggendong putranya.

"Aldy tidak apa-apa, Nak?" Pak Irman menciumi sang putra lega. Ia menjauhkan putranya sebentar. Mengamati keadaan putranya secara menyeluruh, sebelum kembali memeluknya erat. Selain cemong-cemong oleh jelaga, keadaan putranya baik-baik saja. Syukurlah. 

"Mama... mama..." Terbata-bata Aldy memanggil-manggil mamanya. Kedua mata beningnya seolah-olah ingin mengadu.

"Aldy sama Mbak Rani dulu, ya? Ayah mau kerja dulu." Pak Irman menyerahkan Aldy pada sang babysitter. Aldy meronta. Ia tidak mau melepaskan kedua tangan dari leher Pak Irman. 

"Aldy sama Mbak dulu? Yuk kita jalan-jalan?" sang babysitter membujuk anak asuhnya. Aldy memalingkan wajah dari sang babysitter. Sementara kedua tangan gemuknya tetap memeluk erat leher sang ayah.

"Aldy dengan Mbak Lisna aja ya?" Kali ini sang suster yang mencoba membujuk Aldy. Sayangnya, lagi-lagi Aldy berpaling. 

"Bagaimana ya, Pak Rio? Aldy tidak mau saya tinggal." Pak Imran mengecup ubun-ubun sang putra. Ia sangat sayang pada putra semata wayangnya ini. 

"Kalau begitu biar teman saya saja yang menjaganya. Biasanya anak kecil suka padanya," usul Demitrio.

"Boleh saja kalau teman Pak Rio mau." Pak Imran setuju.

"Sebentar." Demitrio berbalik. Ia kemudian berjalan lurus-lurus mendekati seseorang yang sedari tadi bersembunyi di belakangnya. Kiran yang melihat Demitro membalikkan badan, segera menghadap dinding. Ia pura-pura tertarik memandangi jarum infus pasien.

"Ayo, ikut saya!" Kiran kaget saat Demitrio tiba-tiba saja menarik tangannya. Ternyata, Demitrio mengetahui keberadaannya!

"Apa-apaan sih, Om Demit! Lepasan tangan saya. Sakit tahu." Kiran berusaha melepaskan cengkraman Demitrio pada pergelangan tangannya. 

"Kamu ada di sini untuk mengendus berita bukan? Ya sudah, ikuti saja saya." Demitrio membawa Kiran ke hadapan Pak Imran.

"Ki, bujuk Aldy sebentar. Saya ingin berbicara dengan  mereka bertiga." Demitrio menunjuk Pak Imran tiga orang lainnya.

Lo mau ngerjain gue, Om Demit? Yang ada gue yang ngerjain lo. Mana mungkin anak kecil ini mau gue gendong.

"Ayo Aldy, sini sama Kakak?" Kiran mengembangkan tangannya. Kiran yakin, Aldy pasti akan memalingkan wajahnya juga. Mana mungkin Aldy mau digendong oleh orang asing. Di luar prediksi BMKG, Aldy menyambut uluran tangannya!

"Benarkan apa yang saya katakan? Anak kecil sangat suka dengan teman saya ini," sindir Demitrio. Rasa puas jelas tergambar di air mukanya. Kiran mengkertakkan geraham melihat ekspresi wajah Demitrio.

"Ayo kita ke ruangan lain saja untuk berbicara. Aldy biar teman saya ini yang menjaganya. Saya sudah meminta izin pada petugas rumah sakit." 

Sembari menyunggingkan seulas senyum mengejek pada Kiran, Demitrio mengajak Pak Irman dan tiga orang lainnya ke ruangan lain. Dengan begitu si reporter reseh bernama Kirania Sakti Raffardan ini, tidak akan bisa menguping pembicaraannya. Dia pikir  dia yang paling hebat kah? Hah, yang benar saja.

Di belakang Demitrio, Kiran mengangkat kepalan tangannya. Ia seolah-olah akan menggebuk Demitrio dari belakang. Ketika aksinya dipergoki oleh petugas di UGD, Kiran pura-pura menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Awas ya lo, Om Demit. Tunggu aja pembalasan gue!

Notes.

5W+1H adalah singkatan dari Who (Siapa), What (Apa), When (Kapan), Where (Dimana), Why (Mengapa), dan How (Bagaimana).

Bobol gambar adalah kehilangan mengambil  gambar karena telat datang ke lokasi. 

Bobol angle adalah luput memberitakan hal-hal yang menarik karena kurang gesit mencari berita.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Prime Time Bersama Mas Polisi   55. Akhir Bahagia ( End).

    Kiran berpegangan erat pada handle mobil, saya laju kendaraan oleng ke kanan dan kiri. Hari ini dirinya dan tim akan melakukan liputan tentang rekontruksi pembunuhan Ryan Pratama. Sejak dua hari lalu dirinya dan tim yang terdiri dari Andika, Mardi, Bang Barry, Bang Husin dan Renny sudah berada di Kalimantan. Pagi ini akan diadakan rekontruksi pembunuhan Ryan oleh dua orang penduduk setempat dan juga Bu Katarina."Kita ini naik mobil atau naik kuda sih, Dik? Tulang gue kayak mencar-mencar dari sendinya karena terpental-pental terus." Kiran meringis. Hujan yang turun semalam telah membuat jalan menjadi licin dan berlumpur. Ditambah kontur tanah yang sulit untuk dilewati, membuat penumpang yang ada di dalam mobil terpental-pental."Ya gimana dong, Ki. Kita 'kan melalui jalan alternatif yang bisa menghemat waktu minimal 40 menit dari jalan normal yang bisa memakan waktu sampai dua jam. Mana kanan kiri jurang lagi. Kalian semua banyak-banyak doa aja." Andika menjawab sembari berkonsentrasi

  • Prime Time Bersama Mas Polisi   54. Plotwist Nan Tragis.

    "Klien saya tidak melakukan seperti apa yang kalian tuduhkan pada. Pak Irman tidak pernah punya hubungan apa pun pada Rani. Apalagi memprovokasi Rani agar mencelakai Bu Yanti. Semua yang dituduhkan tidak benar!" Frans Damanik membantah semua tuduhan yang disangkakan pada kliennya."Benar begitu, Pak Irman?" Demitrio memfokuskan pandangan pada Pak Irman tampak nervous."Maaf, bisa diulangi lagi pertanyaannya?" Pak Irman menggosok-gosok kedua telapak tangannya gugup. Benaknya terus berputar memikirkan jawaban demi jawaban yang harus ia berikan."Apa benar Anda tidak punya hubungan apa pun dengan Rani Permata Sari?" Dengan sabar Demitrio mengulangi pertanyaannya."Benar." Pak Irman menjawab singkat."Anda juga tidak pernah memprovokasi Rani untuk mencelakai Bu Yanti?" lanjut Demitrio lagi."Be--nar, Pak." Pak Irman mulai gugup. Ia berkali-kali melirik pengacara di sampingnya. Ia takut memberi jawaban yang salah."Baik. Kalau pengakuan Anda seperti itu, saya akan memperdengarkan sesuatu."

  • Prime Time Bersama Mas Polisi   53. Pahitnya Kenyataan.

    "Saya tidak tahu apa-apa soal kejahatan Pak Irman, Pak Polisi. Saya ini cuma seorang pembantu. Mana mungkin saya terlibat dengan semua kejahatan beliau. Tolong lepaskan saya!" Bik Hasni langsung berdiri saat melihat kehadiran Demitrio. Perwira polisi yang satu ini memang bolak-balik menanyainya dalam peristiwa tewasnya Bu Yanti beberapa waktu lalu."Saya menahan Ibu bukan karena masalah Pak Ilham. Tapi perihal tewasnya Bu Yanti. Mengapa Ibu malah membahas soal kejahatan Pak Irman? Apa Ibu ikut terlibat dalam kejahatan itu?" sindir Demitrio."Tidak, Pak Polisi. Saya justru tidal tahu apa-apa. Begitu juga soal tewasnya Bu Yanti. Saya ini pengasuhnya sedari kecil. Mana mungkin saya mencelakakan beliau. Yang menjahati Bu Yanti itu Rani dan Lisna bukan? Kenapa jadi yang dituduh!" Bik Hasni panik. Semuanya jadi kacau sekarang."Duduk kembali, Bu. Anda tidak perlu terburu-buru menjelaskan segala sesuatunya. Kita punya waktu yang sangat lama untuk berbincang-bincang." Demitrio mengangkat tan

  • Prime Time Bersama Mas Polisi   52. Cemburu Menguras Hati.

    "Jangan mendorong-dorong saya. Saya bisa jalan sendiri!" Bik Hasni menyikut polisi yang mendorong-dorong bahunya. Matanya liar mengamati sekitar. Ia mencari-cari kehadiran sang putri. Karena tidak menemukan apa yang dicarinya, Bik Hasni mengamuk."Mana Marni?" seru Bik Hasni panik. Ia takut kalau sang putri kenapa-kenapa."Marni berada dalam mobil yang lain. Kalau Anda tidak mau didorong, segera ke dalam mobil!" hardik Demitrio keras. Ramainya warga sekitar yang menonton, membuat mereka tidak leluasa bergerak. Mobil yang dikendarai IPTU Rahman harus membunyikan klakson berulang kali, baru berhasil keluar dari kerumunan."Mengapa Marni tidak ikut di mobil ini saja? Kenapa harus dipisah segala?" Sembari masuk ke dalam mobil, Bik Hasni terus protes."Karena kami ingin mendengarkan keterangan yang valid dari kalian berdua. Makanya kalian berdua harus dipisah. Sekarang duduk yang benar dan jangan banyak tingkah. Paham?" bentak Demitrio lagi.Bik Hasni terdiam. Benaknya berpikir keras untuk

  • Prime Time Bersama Mas Polisi   51. Tikus-Tikus Mulai Terjebak.

    Kiran duduk ngelangut di dalam mobil. Ia terkantuk-kantuk kala menunggu Andika yang tengah membeli gorengan di pinggir jalan. Ditambah suara hujan rintik-rintik yang jatuh di kap mobil, membuat mata Kiran semakin redup. Mereka berdua baru saja pulang meliput berita mantan mentri yang terbukti melakukan korupsi dan gratifikasi. Sedari pagi hingga malam, mereka berdua sibuk memburu berita ini. Wajar jikalau saat ini perut mereka berdua keroncongan. Walau sebenarnya Kiran lebih kepingin tidur saja daripada makan."Sepet banget mata gue elah. Kudu diganjel ini biar tetep fokus gue nyetirnya." Demi membuat matanya melek, Kiran bermain ponsel. Siapa tahu dengan mengscroll-scroll media sosial, kantuknya akan hilang. Kiran terkekeh saat mendapati konten gaya panggung artis dangdut lawas yang naik ke atas alat musik di panggung. Sang biduan menyanyikan lagu Gudang Garam dengan suara lantang."Tadi aja lo lelenggutan ngantuk berat. Sekarang lo malah ngakak patah kayak orang gila. Kagak jelas em

  • Prime Time Bersama Mas Polisi   50. Kasmaran Tingkat Dewa.

    "Ya tapi kenapa tiba-tiba, Om? Kita baru pacaran dalam hitungan bulan. Eh, si Om udah main lamar aja. Apa Om nggak mau kita saling mempelajari karakter masing-masing dulu?" Kiran meriang karena mendadak akan dilamar. Sungguh, setitik debu pun ia tidak menduga akan dilamar dengan cara sat set begini. "Apalagi yang harus kita pelajari, Ki? Karaktermu? Saya sudah mengenalmu sedari dalam kandungan Tante Cia. Selain kedua orang tuamu, mungkin saya adalah orang yang paling memperhatikan tumbuh kembangmu."Kiran menepuk kening. Demitrio benar. Ia memang sudah sebel pada Demitrio sedari kecil. Ia tumbuh besar dengan kehadiran keluarga Atmanegara. Kedua orang tua mereka bersahabat sejak remaja. Ia juga menyaksikan perubahan Demitrio dari seorang remaja tanggung hingga sedewasa sekarang. Mereka berdua terlalu mengenal satu sama lain."Atau jangan... jangan... kamu tidak bersedia saya lamar ya, Ki?""Bersedia dong, Om. Mau dilamar orang gagah perkasa sakti mandraguna begini kok ya nggak mau? Sa

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status