“Bu.. Nana mohon jangan terima perjodohan ini! Nana tak sanggup di madu. Nana tak ingin rumah tangga orang lain hancur gara-gara Nana. Nana tak ingin hidup Nana dipenuhi dengan pertengkaran, selalu dihinggapi rasa bersalah. Nana mohon Bu! Nana tak ingin banyak perselisihan, Nana hanya ingin hidup damai. Kita sama-sama perempuan, Nana tak ingin menyakiti perasaan perempuan lain, karena Nana pun tak ingin disakiti. Bu, Nana hanya ingin hidup tenang dan tentram dengan pasangan yang Nana pilih. Nana mohon, batalkan perjodohan ini! Bantu Nana meyakini Ayah, agar Ayah tak menerima perjodohan ini. Ibu sanggup melihat hidup Nana menderita? Ibu ingin hidup Nana hancur karena menikah dengan seseorang yang tak Nana cintai? Nana mohon Bu...”
Rengek wanita itu mengiba bersujud di kaki sang ibu. Dia tak berani mengangkat kepala, sebelum sang ibu memenuhi permintaannya. Sang ibu hanya bisa menangis tergugu menyaksikan anak gadis yang amat dia sayangi berada diambang keputusasaan, dia tak bisa membantu hanya bisa berdoa demi kebaikan hidup sang anak kedepannya.
“Yang sabar Nak. Maaf, Ibu tak bisa membantumu! Ayahmu keras Nak, segala keputusan yang sudah ditetapkan tak bisa dibantah. Ibu sudah coba membujuk ayah, tapi kamu tau sendiri Nak. Ayahmu tetap teguh pada pendiriannya.” Ujar sang ibu mengelus lembut kepala Naima.
Dua wanita itu menangis berpelukan, melepas segala beban berat yang mencengkram dada mereka.
Sumarni tak bisa membantah ucapan sang suami yang sudah tidak bisa di ganggu gugat lagi, walaupun beribu alasan penolakan yang dia berikan, dia tak bisa merobohkan tembok keras dan tegas sifat yang melekat pada diri suaminya.
“Nak, berlapang dadalah. Kamu harus bisa menerima takdir yang Tuhan tetapkan! Mungkin ini terbaik untuk mu. Ibu yakin segala sesuatu yang menurutmu buruk, mungkin itu terbaik menurut Tuhan, begitu pun sebaliknya. Ibu mohon, belajarlah menerima keadaan. Walaupun tak sesuai harapan, perbanyaklah doa mintalah petunjuk terbaik sama Gusti Allah Nak.” Sumarni memberi petuah kepada Naima yang belum berhenti menangis, sesekali di usap lembut rambut Nana untuk menenangkan.
“Bu, bukan Nana tak menerima takdir! Ini sangat menyakitkan bagi Nana, Nana masih ingin hidup bebas bu! Nana ingin mencari seseorang yang tepat untuk hidup Nana. Demi Tuhan, Nana tak bisa menerima perjodohan ini!” Jawab Naima mendongkakan wajah menatap sang Ibu dengan wajah bersimbah air mata.
“Bu.. apa salah, Nana ingin menentukan hidup Nana sendiri?? Nana ingin seperti orang lain Bu, yang bisa menemukan kebahagiaan yang mereka impikan. Tanpa keterikatan sebuah hubungan, apalagi perjodohan! Nana masih muda Bu, 22 tahun bukan kategori wanita berumur tua. Nana masih ingin mewujudkan segala keinginan Ibu dan Ayah, tapi bukan sebuah pernikahan. Nana tak masalah bila perjodohan ini dengan lelaki lajang ataupun duda! Tapi ini, Dia lelaki beristri! Apa tanggapan orang-orang! Ibu pasti tau dampak jika Nana menerima perjodohan ini? Nana pasti jadi bahan gunjingan masyarakat Bu! Nana bisa dijadikan bahan bullyan! Nana pasti dikucilkan! Belum lagi sumpah serapah orang pada Nana, membayangkan saja Nana sudah tak sanggup!" Nana memegang erat tangan Sumarni, dia meminta dukungan sang ibu untuk membenarkan perkataannya.
“Nak, tak perlu kita mendengar omongan orang lain yang menjatuhkan kita, jangan ditanggapi. Toh, jika mereka lelah mereka akan berhenti sendiri. Kita hanya perlu tutup kuping serapat-rapatnya. Biar orang lain berkata apa, asalkan kita tidak seperti yang mereka tuduhkan.” ucap sang Ibu menasehati Nana
“Itu beda konteks Bu! Nana disini yang bersalah, sampai kapanpun Nana yang disalahkan. Lagian sekarang bukan zaman nya perjodohan, bukan lagi zamannya Siti Nurbaya Bu!" Sahut Naima berdiri membelakangi Sumarni.
“Ibu tau Nak. Ini juga bukan keinginan Ibu, tapi apa daya takdir yang menuntun menghampirimu. Ikhlaskan! Tabahkan hatimu! Ibu dan Ayah hanya ingin terbaik untukmu."
Sumarni memeluk erat Naima dari arah belakang, mereka menangis menumpahkan rasa sesak di hati.
-
-
Naima, nama gadis cantik berusia 22 tahun. Berparas ayu, berbudi pekerti luhur, dan memiliki sifat penyayang. Ia harus rela dijodohkan oleh sang ayah dengan anak sahabatnya yang sudah menikah. Ya, ia harus rela dijadikan istri kedua sang anak, entah apa alasannya, hanya orang tua mereka yang tahu.
Perjodohan itu terjadi karena sebuah kesepakatan balas budi, dimana Pak Maja ayah Naima berhutang budi kepada Pak Nurdin sahabat yang telah menolongnya dari jeratan lintah darat.
Pak Nurdin tak meminta balasan berupa materi, yang dia inginkan hanya Naima menikah dengan sang anak dan menjadi menantu idamannya. Dia jatuh hati kepada Naima karena perangai dan tutur katanya yang lembut.
Pak Maja selaku sahabat tak bisa menolak, dia hanya bisa pasrah atas keputusan Pak Nurdin. Dia tak ingin di cap sebagai sahabat tak tahu diri. Walaupun hati kecilnya menolak, dia harus belajar menerima demi kesejahteraan hidup sang anak kedepannya.
Bukan ia tak memikirkan perasaan sang anak. Tapi apa daya, dia tak ingin anaknya hidup dalam kekurangan. Cukup ia yang hidup dalam kesusahan, anaknya jangan sampai merasakan. Kehidupan sederhana yang mereka nikmati sekarang tak lain dari uluran tangan Pak Nurdin, dia yang membantu kehidupan Pak Maja dari sulitnya memenuhi kebutuhan hidup.
-
-
Dua anak manusia tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Asap rokok mengepul memenuhi ruangan, menjadi teman dalam kebisuan. Hujan turun rintik-rintik menambah syahdu kondisi di villa tersebut.
“Jangan pikirkan masalah anakmu Ja. Tenang saja! Aku tak mungkin menyengsarakan Nana. Aku janji akan menjaga anakmu! Aku sudah menganggap anakmu sebagai anakku sendiri. Aku minta maaf memaksakan kehendakku pada Putrimu. Entahlah melihat Nana mengingatkanku pada Meira anakku yang meninggal dua tahun lalu,” ucap Pak Nurdin memecahkan kebisuan dengan mata berkaca-kaca.
Dia berdiri mematung di depan kaca yang memperlihatkan suasana indah di sekitar vila sore itu.
“Bukan itu yang aku pikirkan Din. Tapi kesiapan Nana, dari kemarin dia sudah menolak perjodohan ini. Dia tidak siap menjadi istri kedua Din, terlalu banyak resikonya! Anakku masih labil, anakku ketakutan! Dia punya mimpi, aku tak sanggup harus mengubur mimpinya. Perjodohan ini pasti mengganggu psikisnya, ditambah omongan tetangga yang akan menyudutkannya. Aku takut Din!” Sahut Pak Maja dengan wajah yang sudah bersimbah air mata. Dia berdiri mensejajarkan diri dengan Pak Nurdin.
Di lubuk hati terdalamnya, tersimpan rasa cinta yang begitu besar kepada sang anak. Diantara kebimbangan hati, dia harus memilih kehidupan yang lebih layak yang tidak bisa dia berikan kepada sang anak.
“Maafkan aku Ja! Memang aku salah, terlalu memaksakan keinginanku. Tapi aku tak bisa membohongi perasaanku, aku sangat menginginkan anakmu menjadi pendamping anakku. Dia wanita yang kupilih untuk merubah sikap Dewa Ja! Aku yakin hanya dia yang bisa merubahnya. Aku ingin mengamanahkan hartaku ditangan yang tepat Ja. Di tangan anakmu! Bukan ditangan anakku ataupun ditangan menantuku! Karena aku tahu sendiri kelakuan mereka seperti apa.” Sahut Pak Nurdin menepuk bahu sahabatnya, tatapannya sendu mengingat perangai sang anak dan menantu yang sering menyakiti hatinya.
“Tapi tidak harus perjodohan Din. Tanpa ada perjodohan pun, kau bisa menganggap anakku menjadi anakmu. Kau sahabatku dari dulu, aku sudah menganggapmu saudaraku. Aku tak tahu harus berbuat apa sekarang!"
“Aku hanya ingin ada ikatan dengan anakmu Ja, tak lebih dari itu. Aku punya alasan sendiri mengapa aku melakukan ini. Aku tak bisa menceritakan alasannya padamu sekarang. Tunggu waktu tepat! Aku akan menceritakan segalanya padamu!"
Ucap Pak Nurdin memegang tangan Pak Maja, dan mereka pun berpelukan.
“Ayah Nana mohon! Jangan teruskan perjodohan ini. Nana gak mau Yah! Nana belum siap menikah, apalagi menjadi istri kedua. Nana mohon, Ayah minta apapun akan Nana kabulkan, asal tidak menikahi suami orang!” Naima duduk bersimpuh di kaki sang ayah. Sudah dua jam dia duduk tanpa merubah posisi. Walaupun kakinya pegal tapi tak di rasa, ia mencoba menahan, demi sebuah tujuan agar ayahnya membatalkan perjodohan konyol itu.“Nana, maaf. Ayah tidak bisa menerima alasanmu. Ini demi kebaikanmu Nak!” Sang Ayah melepas wajah sang anak dipangkuanNya. Ia berdiri berjalan ke pendopo rumah meninggalkan Naima seorang diri.“Kebaikan yang mana Yah? Apakah menikahi suami orang adalah suatu kebaikan? Tidak Ayah! Itu sebuah kesalahan! Kesalahan karena merenggut milik orang lain!" ucap Naima menyusul sang ayah berjalan ke pendopo rumah.Suasana sore itu cukup tenang, hamparan perkebunan teh membentang luas sejauh mata memandang. Hembusan angin sepoi-sepoi memberi kesan kedamaian untuk orang terlelap dalam
“Puas kamu mempermalukan Ayah Ibu seperti ini! Puas kamu membuat keluarga kita malu!! Lihat Ayahmu! Dia sampai jatuh sakit!" Sang ibu menunjuk ke arah kamar, yang didalamnya tergeletak Pak Maja yang masih tak sadarkan diri.“Kami kecewa padamu! Entahlah, ibu pikir kamu sudah mulai menerima takdir. Tapi nyatanya, kamu masih mempertahankan egomu! Terlalu mengikuti perasaanmu tanpa memikirkan perasaan kami. Padahal harus kamu tahu kami melakukan ini demi kebaikanmu!” Ucap Sumarni kecewa dengan mata memerah. Sikap lemah lembutnya kini hilang, berganti dengan rasa marah dan kecewa.Ia pergi kebelakang rumah untuk menenangkan diri.Setelah penolakan itu, keluarga Pak Nurdin langsung undur diri dari rumah Naima. Wajah Pak Nurdin terlihat kecewa, dengan tatapan mata berkaca-kaca. Sementara Dewa menanggapinya cuek dengan tatapan wajah kosong, entahlah apa yang dirasa. Dia seperti orang linglung yang tak memiliki gairah hidup. Lain lagi dengan Niken bibirnya tersungging senyum sinis.Pak Maja s
“Na, Aku mohon jaga Papa untukku!”Suara itu menggema di telinga Naima, membangunkannya dari tidur lelap. Suara itu seperti nyata, tapi di kamar itu hanya ada dirinya sendiri.Meira kau kah itu?Guman Naima pelan.Naima tanpa rasa takut, bangun untuk melihat keadaan sekeliling. Tapi nihil, tak ada seorang pun. Hanya ada hembusan angin yang masuk melalui ventilasi udara diatas jendela kamarnya.Suasana kembali hening, kesunyian menghinggapi hatinya.Aku tidak janji untuk menjaga ayahmu, tapi aku akan berusaha untuk menjaganya. Karena untuk berjanji aku takut tak bisa menepati.--“Nana tumben kamu kesini Nak, ada perlu apa?” Tanya Pak Nurdin ramah. Ia tak memperlihatkan rasa kecewanya atas kejadian beberapa hari lalu.Naima mencium tangan Pak Nurdin. Setelah dipersilakan, ia duduk di sofa yang berseberangan dengan posisinya.“Nana hanya berkunjung saja Pak, kabar Bapak sehat?” Tanya Naima dengan wajah tertunduk. Ia malu untuk mengangkat wajahnya, karena rasa bersalah yang begitu besar
Setelah kejadian itu, hubungan Pak Nurdin dan Naima semakin dekat. Mereka bagaikan Ayah dan anak. Nana sering berkunjung ke rumah Pak Nurdin untuk bermain atau hanya sekedar ingin memastikan bahwa ayah dari sahabatnya itu baik-baik saja. Dia ingin menjaga Pak Nurdin sesuai permintaan sahabat terbaiknya.Hubungan kedua keluarga itu kini semakin erat, tidak ada sekat penghalang menyatunya kedua keluarga tersebut, walaupun tanpa sebuah ikatan yang diharapkan.Kondisi ayah Naima sudah membaik, ia bahagia melihat kondisi putrinya kini sudah kembali ceria, tidak seperti minggu-minggu lalu. Beban dipikirannya pun berkurang, ternyata kejadian menolak lamaran itu tak sesuai dengan pikiran buruknya. Dan sekarang malah berbuah manis, hubungan ia dengan sahabatnya itu malah semakin erat.-“Hallo ... Assalamualaikum Pak,” ujar Naima menjawab panggilan telpon yang berasal dari Pak Nurdin.“Waalaikumsalam Nana. Gimana kabarmu Nak? Ayah Ibumu sehat?” Tanya Pak Nurdin di sebrang sana.“Alhamdulillah
Naima terus berlari menghindari 4 preman yang terus mengejarnya. Perasaannya kalut setelah melihat Reza tergeletak bersimbah darah akibat di keroyok preman tak dikenal tersebut. Ia tak mungkin menyia-nyiakan pengorbanan Reza yang rela mempertaruhkan nyawa agar dirinya bisa selamat.Tanjakan-tanjakan terjal Naima lewati tanpa melihat kearah belakang. Nafasnya memburu dengan air mata yang bercucuran. Ia menghentikan pijakan kaki nya setelah sadar terlalu jauh berlari masuk ke dalam hutan. Pandangan nya langsung menyapu ke sekeliling, ke tempat asing yang baru pertama kali dipijaknya. Tangisnya semakin nyaring, dengan dada yang berdetak cepat. Alas kaki yang ia kenakan entah terlepas kemana, tapak kakinya kini bersemu merah bercampur darah, akibat tusukan ranting-ranting tajam di sepanjang perjalanan.“Ibu... Ayah ... Tolong Nana...” Rintihan pelan Naima seraya menyandarkan tubuhnya di bawah pohon yang berumur tua. Akarnya yang menjuntai besar menjadi pegangan agar dirinya tidak jatuh te
“Apa kau tidak papa?” Naima tidak bisa merespons ucapan seorang lelaki bersuara tegas yang kini berjongkok sambil menahan sebelah bahunya. Lidahnya kelu, dahinya berkeringat menahan rasa sakit dengan dada yang semakin sesak. Ia melihat samar-samar seorang lelaki berbaju bangsawan yang menatapnya dengan perasaan bersalah. Ia kembali merasakan goncangan pelan di tubuhnya sebelum kesadaran kembali merenggutnya.Pria berparas tampan dengan perawakan gagah itu mengusap wajahnya, ia merenungi apa yang harus dilakukan. Ia tak mungkin meninggalkan wanita yang tengah terluka itu sendirian. Karena bagaimanapun, wanita itu terluka akibat kecerobohannya. Dan jika ia membawa ke tempatnya, apa alasan yang harus diutarakan kepada kedua orang tuanya. Tidak mungkin mereka akan menerima wanita itu dengan begitu saja. Karena bagaimanapun, wanita itu tetaplah orang asing.Pria itu pun mendesah frustasi. Setelah yakin dengan keputusan yang diambil, dengan sekali entakkan ia mem
Srett.. Dug.. dug.. Brugghhh“Sudah seminggu ini Pangeran kehilangan fokus, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?” Tanya pria muda berpakaian serba hitam dengan iket dikepalanya. Ia membantu seorang pria yang tersungkur disampingnya. Ia kemudian memapah pria yang memiliki postur tinggi itu menepi ke pinggir lapangan tempat mereka latihan.“Aku tidak papa Cakra. Jangan khawatir. Kau latih saja prajurit, aku tidak papa sendiri.” Jawabnya singkat seraya menekuk kedua lututnya. Ia mendongakkan kepala ke langit biru, melihat kearah awan yang bergerak mengikuti tiupan angin. Benaknya kembali memikirkan kejadian satu minggu lalu, ketika ia membawa seorang wanita asing yang terluka ke rumah salah satu mantan abdi dalem nya ketika kecil.Apa kamu baik-baik saja disana? Semoga kamu sudah sehat seperti semula. Aku yakin Abah Arya dan Nyai Ratna pasti menerimamu dengan baik. Maafkan aku yang tak sengaja memanahmu, aku terlalu terkejut malam itu.
Di Keraton kerajaan, malam ini cukup ramai. Di halaman keraton, kereta kencana silih berganti datang mengantarkan para bangsawan yang akan menghadiri acara perjamuan. Mereka menggunakan pakaian terbaik, agar mendapatkan kesan baik sekaligus menjadi pusat perhatian di acara malam ini.Di Keputren, Sagara sedang mematung memandang tampilannya di depan cermin. Pakaian kerajaan yang melekat ditubuhnya nampak gagah penuh wibawa, tak lupa ia melapisinya dengan jubah berwarna abu-abu yang sangat kontrak dengan kulit kuning Langsatnya. Ia mengusap wajah lembut, lalu mengingat rapi rambut sebahunya ke belakang. Tak lupa ia mengenakan iket kepala yang dilapisi mahkota, menandakan bahwa ia merupakan penerus satu-satunya kerajaan besar itu.Sagara lebih nyaman mengenakan pakaiannya sendiri, tanpa perlu bantuan Kasim kerajaan yang sudah menunggunya di luar kamar.“Semoga malam ini cepat berlalu!” Gumamnya pelan seraya berjalan kearah pintu keluar. Di halaman Kepu
Ketika masuk ke dalam ruang tengah, Naima tertegun melihat lelaki yang duduk tegap di depan abahnya. Lelaki itu sangat tampan dan memesona dengan iket yang melingkar dikepalanya. Baru pertama kali ini ia melihat wajah lelaki yang nyaris sempurna. Ternyata wajah di balik tudung kepala itu sangat mempesona.Sadar dengan kehadiran orang lain di tempat itu, Sagara menolehkan kepalanya ke samping. Ia pun diam mematung ketika tatapan matanya bertemu dengan mata jernih naima yang sedang menatapnya, ia tak mampu lama memandang mata itu. Ia langsung mengalihkannya dengan wajah yang sedikit memanas. Untung saja cahaya di ruang itu mampu menyamarkan wajah merah di pipinya.Naima kembali menundukkan pandangannya, ia meletakkan teko di tengah-tengah mereka lalu memundurkan sedikit tubuhnya ke belakang.“Nak, Pangeran ini yang membawamu kesini untuk Abah obati. Dia yang menolong mu!” ujar Abah Arya sembari tersenyum. Naima membulatkan mata menatap sebentar kearah
Nyai Ratna, namun ia kembali heran ketika orang tua angkatnya yang tiba-tiba berdiri menyambut lelaki itu, seraya sedikit membungkukkan tubuhnya hormat. Naima mematung memperhatikan mereka yang kini duduk di lantai yang beralaskan papan.Siapa lelaki itu sebenarnya? Abah dan Ibu sangat menaruh hormat padanya. Lelaki itu nampak sangat di segani.“Nak duduk sini! Jangan berdiri disana!” Perintah Abah Arya yang menyandarkan kebingungan Sagara terus menggerakkan kanvasnya dengan senyum yang tak lekang dari bibirnya. Perasaannya tiba-tiba berbunga-bunga setelah mengunjungi desa Buaran tadi pagi. Ia menggerakkan tangannya dengan lihai dengan tatapan mata yang berbinar. Ia tak tahu akan melukis apa, tapi ia hanya mengikuti instingnya saja.“Selesai!” Ia tertegun sebentar, mengamati objek lukisannya. Ya, lukisan seorang wanita dengan surai rambut tergerai dengan senyum yang merekah. Untuk pertama kalinya ia melukis wajah seorang wanita.
“Assalamualaikum.”Naima terlonjak kaget mendengar suara salam dari belakang tubuhnya. Ia yang masih berjongkok pun membalikkan tubuh lalu berdiri.“Waalaikumsalam.” Jawabnya lirih menatap aneh kearah seorang lelaki yang menggunakan tudung kepala dengan jubah putih ditubuhnya. Ia yakin di balik tudung kepala itu adalah seorang laki-laki, karena dilihat dari posturnya yang tinggi dan tegap.Di balik tudung kepala, seorang lelaki tertegun menatap wanita cantik yang berada di depannya. Walaupun tak menggunakan polesan, kecantikan wanita itu sangat memesona.Hatinya sedikit ragu, apakah wanita yang ada di hadapannya ini adalah wanita yang dibawanya beberapa hari lalu. Karena malam itu, ia tak mengingat jelas wajah wanita yang dibopongnya karena hari sudah malam. Ia pun tak menyangka, wanita yang dibopongnya itu benar-benar wanita cantik.“Maaf, mau cari siapa ya Mas?” Lelaki itu langsung tersadar dari lamunannya tanpa membuka
Di Keraton kerajaan, malam ini cukup ramai. Di halaman keraton, kereta kencana silih berganti datang mengantarkan para bangsawan yang akan menghadiri acara perjamuan. Mereka menggunakan pakaian terbaik, agar mendapatkan kesan baik sekaligus menjadi pusat perhatian di acara malam ini.Di Keputren, Sagara sedang mematung memandang tampilannya di depan cermin. Pakaian kerajaan yang melekat ditubuhnya nampak gagah penuh wibawa, tak lupa ia melapisinya dengan jubah berwarna abu-abu yang sangat kontrak dengan kulit kuning Langsatnya. Ia mengusap wajah lembut, lalu mengingat rapi rambut sebahunya ke belakang. Tak lupa ia mengenakan iket kepala yang dilapisi mahkota, menandakan bahwa ia merupakan penerus satu-satunya kerajaan besar itu.Sagara lebih nyaman mengenakan pakaiannya sendiri, tanpa perlu bantuan Kasim kerajaan yang sudah menunggunya di luar kamar.“Semoga malam ini cepat berlalu!” Gumamnya pelan seraya berjalan kearah pintu keluar. Di halaman Kepu
Srett.. Dug.. dug.. Brugghhh“Sudah seminggu ini Pangeran kehilangan fokus, ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?” Tanya pria muda berpakaian serba hitam dengan iket dikepalanya. Ia membantu seorang pria yang tersungkur disampingnya. Ia kemudian memapah pria yang memiliki postur tinggi itu menepi ke pinggir lapangan tempat mereka latihan.“Aku tidak papa Cakra. Jangan khawatir. Kau latih saja prajurit, aku tidak papa sendiri.” Jawabnya singkat seraya menekuk kedua lututnya. Ia mendongakkan kepala ke langit biru, melihat kearah awan yang bergerak mengikuti tiupan angin. Benaknya kembali memikirkan kejadian satu minggu lalu, ketika ia membawa seorang wanita asing yang terluka ke rumah salah satu mantan abdi dalem nya ketika kecil.Apa kamu baik-baik saja disana? Semoga kamu sudah sehat seperti semula. Aku yakin Abah Arya dan Nyai Ratna pasti menerimamu dengan baik. Maafkan aku yang tak sengaja memanahmu, aku terlalu terkejut malam itu.
“Apa kau tidak papa?” Naima tidak bisa merespons ucapan seorang lelaki bersuara tegas yang kini berjongkok sambil menahan sebelah bahunya. Lidahnya kelu, dahinya berkeringat menahan rasa sakit dengan dada yang semakin sesak. Ia melihat samar-samar seorang lelaki berbaju bangsawan yang menatapnya dengan perasaan bersalah. Ia kembali merasakan goncangan pelan di tubuhnya sebelum kesadaran kembali merenggutnya.Pria berparas tampan dengan perawakan gagah itu mengusap wajahnya, ia merenungi apa yang harus dilakukan. Ia tak mungkin meninggalkan wanita yang tengah terluka itu sendirian. Karena bagaimanapun, wanita itu terluka akibat kecerobohannya. Dan jika ia membawa ke tempatnya, apa alasan yang harus diutarakan kepada kedua orang tuanya. Tidak mungkin mereka akan menerima wanita itu dengan begitu saja. Karena bagaimanapun, wanita itu tetaplah orang asing.Pria itu pun mendesah frustasi. Setelah yakin dengan keputusan yang diambil, dengan sekali entakkan ia mem
Naima terus berlari menghindari 4 preman yang terus mengejarnya. Perasaannya kalut setelah melihat Reza tergeletak bersimbah darah akibat di keroyok preman tak dikenal tersebut. Ia tak mungkin menyia-nyiakan pengorbanan Reza yang rela mempertaruhkan nyawa agar dirinya bisa selamat.Tanjakan-tanjakan terjal Naima lewati tanpa melihat kearah belakang. Nafasnya memburu dengan air mata yang bercucuran. Ia menghentikan pijakan kaki nya setelah sadar terlalu jauh berlari masuk ke dalam hutan. Pandangan nya langsung menyapu ke sekeliling, ke tempat asing yang baru pertama kali dipijaknya. Tangisnya semakin nyaring, dengan dada yang berdetak cepat. Alas kaki yang ia kenakan entah terlepas kemana, tapak kakinya kini bersemu merah bercampur darah, akibat tusukan ranting-ranting tajam di sepanjang perjalanan.“Ibu... Ayah ... Tolong Nana...” Rintihan pelan Naima seraya menyandarkan tubuhnya di bawah pohon yang berumur tua. Akarnya yang menjuntai besar menjadi pegangan agar dirinya tidak jatuh te
Setelah kejadian itu, hubungan Pak Nurdin dan Naima semakin dekat. Mereka bagaikan Ayah dan anak. Nana sering berkunjung ke rumah Pak Nurdin untuk bermain atau hanya sekedar ingin memastikan bahwa ayah dari sahabatnya itu baik-baik saja. Dia ingin menjaga Pak Nurdin sesuai permintaan sahabat terbaiknya.Hubungan kedua keluarga itu kini semakin erat, tidak ada sekat penghalang menyatunya kedua keluarga tersebut, walaupun tanpa sebuah ikatan yang diharapkan.Kondisi ayah Naima sudah membaik, ia bahagia melihat kondisi putrinya kini sudah kembali ceria, tidak seperti minggu-minggu lalu. Beban dipikirannya pun berkurang, ternyata kejadian menolak lamaran itu tak sesuai dengan pikiran buruknya. Dan sekarang malah berbuah manis, hubungan ia dengan sahabatnya itu malah semakin erat.-“Hallo ... Assalamualaikum Pak,” ujar Naima menjawab panggilan telpon yang berasal dari Pak Nurdin.“Waalaikumsalam Nana. Gimana kabarmu Nak? Ayah Ibumu sehat?” Tanya Pak Nurdin di sebrang sana.“Alhamdulillah
“Na, Aku mohon jaga Papa untukku!”Suara itu menggema di telinga Naima, membangunkannya dari tidur lelap. Suara itu seperti nyata, tapi di kamar itu hanya ada dirinya sendiri.Meira kau kah itu?Guman Naima pelan.Naima tanpa rasa takut, bangun untuk melihat keadaan sekeliling. Tapi nihil, tak ada seorang pun. Hanya ada hembusan angin yang masuk melalui ventilasi udara diatas jendela kamarnya.Suasana kembali hening, kesunyian menghinggapi hatinya.Aku tidak janji untuk menjaga ayahmu, tapi aku akan berusaha untuk menjaganya. Karena untuk berjanji aku takut tak bisa menepati.--“Nana tumben kamu kesini Nak, ada perlu apa?” Tanya Pak Nurdin ramah. Ia tak memperlihatkan rasa kecewanya atas kejadian beberapa hari lalu.Naima mencium tangan Pak Nurdin. Setelah dipersilakan, ia duduk di sofa yang berseberangan dengan posisinya.“Nana hanya berkunjung saja Pak, kabar Bapak sehat?” Tanya Naima dengan wajah tertunduk. Ia malu untuk mengangkat wajahnya, karena rasa bersalah yang begitu besar