“Ayah Nana mohon! Jangan teruskan perjodohan ini. Nana gak mau Yah! Nana belum siap menikah, apalagi menjadi istri kedua. Nana mohon, Ayah minta apapun akan Nana kabulkan, asal tidak menikahi suami orang!” Naima duduk bersimpuh di kaki sang ayah. Sudah dua jam dia duduk tanpa merubah posisi. Walaupun kakinya pegal tapi tak di rasa, ia mencoba menahan, demi sebuah tujuan agar ayahnya membatalkan perjodohan konyol itu.
“Nana, maaf. Ayah tidak bisa menerima alasanmu. Ini demi kebaikanmu Nak!” Sang Ayah melepas wajah sang anak dipangkuanNya. Ia berdiri berjalan ke pendopo rumah meninggalkan Naima seorang diri.
“Kebaikan yang mana Yah? Apakah menikahi suami orang adalah suatu kebaikan? Tidak Ayah! Itu sebuah kesalahan! Kesalahan karena merenggut milik orang lain!" ucap Naima menyusul sang ayah berjalan ke pendopo rumah.
Suasana sore itu cukup tenang, hamparan perkebunan teh membentang luas sejauh mata memandang. Hembusan angin sepoi-sepoi memberi kesan kedamaian untuk orang terlelap dalam buaian. Suara jangkrik menggema memberitahu bahwa kegelapan akan segera menyapa, sang surya yang mulai menguning meninggalkan cakrawala menuju keperaduannya.
“Nak, percayalah. Ayah ingin yang terbaik untukmu. Beribu cara akan Ayah lakukan demi kebahagiaanmu, walaupun harus bertaruh nyawa. Ayah rela nak, karena tujuan Ayah cuman satu. Ayah ingin hidup kamu bahagia tanpa kekurangan.”
Suasana tenang itu kini berubah menjadi sendu, isak tangis ayah dan anak terdengar. Menandakan kebimbangan dalam mengambil keputusan, mencoba bertahan untuk menolak takdir.
“Yah, Nana sudah bahagia tinggal bersama Ayah dan Ibu walaupun tak berkecukupan. Asal ayah tahu kebahagiaan Nana bukan tentang hidup mewah, ataupun harta berlimpah. Tapi kebahagiaan Nana adalah kalian, terlahir dari keluarga ini adalah kebahagiaan yang tak ternilai bagi Nana Yah!“
Dengan tatapan kosong Naima berbicara tanpa melihat wajah sang ayah.
“Ayah sangat sangat menyayangimu Nak. Ayah harap kamu menerima perjodohan ini! Soal rasa, nanti juga terbiasa. Asal kamu belajar membuka hati Nak.” Pak Maja menghampiri Naima memegang kedua bahunya.
“Tak semudah itu Yah! Perihal rasa tak bisa di paksa! Awal perjodohan ini pun sudah tak sehat Yah! Wanita mana yang mau di madu? Wanita mana yang mau berbagi? Tidak ada Yah! Tidak ada wanita yang ingin seperti itu, begitu pun Nana!” Ucap Naima memandang wajah sang ayah, ia melepas tangan ayah dibahunya.
“Ayah tau ini berat untuk kamu, tapi ayah yakin kamu bisa!"
“Nana tak yakin Yah, hati Nana menolak. Nana sudah coba membukanya, tapi hati kecil Nana tak mengizinkan. Ayah pernah bilang, segala sesuatu harus mengikuti kata hati, dan inilah jawaban hati Nana.” Naima mengusap dadanya perlahan, menetralisir sesak di dadanya.
Ternyata meluluhkan hati sang ayah tak semudah yang ia bayangkan.
“Nak tak semua orang memandang istri kedua itu rendah, perebut, ataupun tak laku. Tidak Nak, jika mereka berpikir seperti itu, maka tak akan pernah ada kata poligami. Mereka punya mata dan punya hati, mereka tak akan gampang menghakimi. Setiap orang punya alasan, entah atas nama cinta ataupun pengorbanan.” Pak Maja menghapus air mata di pipinya
“Terus, alasan Ayah apa? Sebegitu rela Ayah menjadikan Nana istri kedua Mas Dewa!” Naima menepis tangan Pak Maja di pipinya.
“Ayah punya alasan Nak! Alasan yang tak bisa Ayah beritahu padamu!"
“Tapi Yah, Nana butuh kejelasan dari semua ini. Agar Nana bisa menerima semua ini secara perlahan-lahan. Jika alasannya pun tak jelas, beritahu Nana bagaimana cara menerimanya!” Suara Naima naik satu oktaf terbawa suasana
“Alasannya nanti kamu tau sendiri! Sudah jangan membantah Ayah! Suka tidak suka kamu harus menerima perjodohan ini! Ayah tak mau tahu! Lusa Pak Nurdin kerumah kita, untuk melamarmu persiapkan dirimu! ” ucap Pak Maja dengan nada suara yang meninggi.
Pak Maja meninggalkan Naima, dia langsung masuk kedalam kamarnya.
Adzan magrib berkumandang, menambah syahdu suasana hati Naima. Keputusan sang ayah sudah bulat, tidak bisa di bantah lagi. Bagaimana pun caranya, dia harus menerima, tak bisa berkelit ataupun menyangkal.
-
-
Desa Ci jangkar, merupakan sebuah perkampungan di kaki Gunung Waleran. Gunung yang menjulang tinggi yang menjadi ikon pendakian, sekaligus tempat mata pencahariaan penduduk setempat. Gunung itu terkenal dengan adanya Tapak Sewu, Tapak sewu merupakan sejenis hutan larangan. Tempat ini tidak terjamah oleh manusia, konon siapa saja yang masuk kesana tak akan pernah pulang dengan selamat. Saking angkernya tempat tersebut, jalur pendakian tidak melewati tempat itu, melainkan berputar melawan arah kejalur kiri, karena hutan terlarang berada di jalur pendakian sebelah kanan yang terdapat banyak jurang terjal, dan posisinya berada di pos 4, yang dekat dengan puncak gunung tersebut.
Ada 5 pos keamanan di gunung waleran, setiap pos di jaga 4 Sampai 5 orang. Setiap pos di jaga ketat, agar menetralisir kejadian yang tak diinginkan. Saking ketatnya, pendaki harus berangkat perombongan dipandu satu petugas sampai pos 2, dan rombongan itu harus berjumlah ganjil, tidak boleh genap.
Kebanyakan pendaki berasal dari luar daerah, yang didominasi para pemuda pemudi dari kota.
-
-
“ Naima, buka pintunya Nak! Keluarga Pak Nurdin sudah datang!” Sumarni mengetuk pintu Naima dengan pelan,
Ceklek
“Masuk Bu!" Jawab Naima dengan wajah lesu.
“Kenapa belum siap-siap Nak? Pak Nurdin sudah datang bersama Dewa dan istrinya.” ucap sang ibu membelai lembut pipi Naima.
“Aku berharap mereka tak datang kesini Bu, tapi akhirnya datang juga.” ujar Naima pasrah memegang tangan sang ibu.
“Gak boleh gitu Nak! Hargai itikad mereka, jauh-jauh mereka datang kesini." ujar Sumarni dengan mata mengembun, lalu ia berjalan ke arah lemari pakaian Naima.
“Sini ibu bantu kamu bersiap!” Sumarni mengalihkan pembicaraan. Dia memilih pakaian yang akan digunakan Naima, padahal sebenarnya dia menghindari Naima agar tidak melihat air mata yang lolos di sudut matanya.
-
-
“Disaksikan oleh Niken istri pertama, dan kedua orang tuamu. Dengan mengucap bismillah...” Ucap Pak Nurdin terjeda dengan raut wajah serius menatap Naima
“Naima, apa kamu bersedia menerima itikad baik keluarga Bapak untuk meminangmu menjadi istri kedua anak Bapak yang bernama Dewa?”
Semua mata memandang wajah Naima, mereka menunggu keputusan yang akan Naima ambil. Sang Ayah harap harap cemas menunggu jawaban yang akan putrinya ucapkan.
Naima menarik nafas sejenak, dengan sorot mata memandang semua orang yang ada diruangan itu,
“Ayah, Ibu, Pak Nurdin, Mas Dewa dan Mbak Niken, dengan kesungguhan hati. Maaf saya menolak lamaran ini!"
Jederrr
Ucapan Naima mengagetkan semua orang diruangan itu.
“ NAIMAAAAA!!!”
“Cakra Cakra..”Panggil Naima pelan mencari keberadaan Cakra di antara para penduduk yang sedang berkumpul di halaman rumah. Wajah mereka panik bercampur bingung mendengar perdebatan Nyai Ratna dan Mak Ijah dibalik dinding bambu. Mereka dibuat heran dengan perselisihan tersebut, biasanya Mak Ijah dan Nyai Ratna selalu akur, tak pernah terlibat percekcokan apapun.Di kejauhan Naima melihat Cakra yang sedang berdiri mematung dengan wajah heran dan panik setelah mengecek beberapa pengawal di perbatasan yang sudah tergeletak tak sadarkan diri tanpa ada alasan yang jelas. Di tubuh mereka tidak ada luka secuil pun namun anehnya mereka serempak tak sadarkan diri seperti orang yang benar-benar mati. Cakra dibuat bertanya-tanya, kejadian tersebut penuh dengan teka-teki yang harus dipecahkannya. Ia tak boleh gegabah dalam mengambil keputusan, karena tidak ada Sagara ataupun Abah Arya sebagai tetua, ia tidak akan mendahului mereka dan menghancurkan rencana yang telah mereka susun. Pikirannya s
Naima mengatur nafasnya pelan, menetralisir detak jantungnya yang berpacu cepat. Ia menutupi wajah paniknya dengan tenang.“Bukan tidak ingin, sebagai wanita yang ditetuakan di sini Saya berhak melihat dan memastikan persalinan Iyah baik-baik saja Mak. Memastikan ibu dan anaknya selamat tanpa kekurangan apapun!” Ucap teguh Nyai Ratna tanpa rasa takut. Naima yang berada di pojokan itupun di buat kagum dengan sikap gigih ibu angkatnya, yang ingin memastikan semuanya baik-baik saja walaupun banyak penolakan yang dihadapi.Naima kini sadar, setelah menyaksikan perdebatan yang membingungkan dan janggal tersebut. Ia juga paham, jika persalinan menggunakan dukun beranak tidak boleh banyak orang di dalam ruangan. Tapi di saat keadaan seperti ini, dia sangat menyetujui usulan Nyai Ratna untuk tidak membiarkan Mak Ijah hanya berduaan saja dengan ceu Iyah. Ia semakin takut sesuatu akan terjadi ketika melihat gelang di tangannya yang semakin mengeluarkan cahaya terang. Aku harus cepat-cepat
“Jangan ada yang menggangguku! Tidak boleh ada yang di dalam! kalian keluarlah aku akan membantu persalinannya sendiri!” Ucap wanita tua yang menggelung rapi rambut putihnya, menatap satu persatu penduduk kampung yang berdiri di pintu agar keluar mematuhi ucapannya. Naima yang berdiri di pojokan merasa heran dengan Mak Ijah, yang baru datang dan malah mengusir orang di dalam yang menemani Ceu Iyah. Nyai Ratna pun menautkan alisnya, setiap ada yang melahirkan di kampung tersebut dia biasanya menemaninya, dan Mak Ijah pun tak pernah keberatan dan malahan senang. Mereka berdua merasakan ada sesuatu yang ganjal dari sifat Mak Ijah, Sagara dan Abah arya. “Betul apa yang dikatakan Mak Ijah, kalian keluarlah! Jangan ada yang di dalam biar Mak Ijah yang menangani kelahiran Ceu Iyah dengan tenang.” Ujar Abah Arya mengusir halus Nyai Ratna dan Suaminya Ceu Iyah agar segera meninggalkan tempat tersebut.Nyai Ratna menatap kearah suaminya dengan wajah bingung, ia menggelengkan kepala. Ia tak m
“Apa kalian mencium aroma harum yang memanjangkan hidung ini?” Tanya Nyai Genir dengan senyum menyeringai. Ini mengendus-endus bau yang entah berasal dari mana, matanya membulat sempurna dengan mata yang memerah. Ini merupakan satu pertanda baik menurutnya. Satu langkah cepat untuk mengapai tujuannya.Wewe Gombel yang berdiri di samping Mak Rompang pun tersenyum lebar. Ia menganggukkan matanya yang berkilat merah.“Aku menciumnya Nyai. Ini aroma wangi darah wanita yang akan melahirkan. Ini santapan besar untuk kita. Kita sudah lama tak meminum darah wanita yang melahirkan.” Nyai Genir itupun tertawa.“Hehehehe Hehehehe. Kau benar sekali Dasim.” Ia menyetujui ucapan anak buahnya. Sudah lama ia tak meminum darah wanita melahirkan yang bisa mengurangi penuaan diwajahnya.“Kau betul sekali. Perintahkan anak buahmu untuk mencari wanita melahirkan itu. Nanti malam aku akan mendatanginya langsung. Sudah tak sabar rasanya meminum apa yang harus kuminum hehehehehe.” Wewe gombel yang b
“Nyai tolonggg! Ceu Iyah mau melahirkan.” Teriak seorang wanita menggedor pintu dapur, ketika Nyai Ratna sedang menanak nasi. Nyai Ratna yang mendengar Ceu Iyah melahirkan langsung meninggalkan dapur menuju rumah yang bersebelahan dengan rumah Maryam.Cakrawala mulai menguning, sang surya meninggalkan peraduannya menandakan kegelapan sebentar lagi menyapa.“Bagaimana ini?” Tanya ibu-ibu panik. Mereka mondar-mandir di depan pintu rumah dengan bingung. Siapa yang akan menolong persalinan Ceu Iyah sementara Mak Paraji di kampung tersebut mengungsi ke rumah anaknya di kampung sebelah.“Kasian itu Ceu Iyah sudah kesakitan. Bayinya sebentar lagi akan lahir. Siapa yang berani menyusul Mak Ijah di rumah anaknya?” Tanya salah satu ibu bertubuh gempal. Mereka pun bingung, saling pandang satu sama lain karena jauhnya akses ke kampung sebelah. Di saat keadaan genting seperti ini mereka tidak berani berpergian kemana-mana, apalagi sendirian dengan kondisi perjalanan jauh.Jarak dari Buaran ke
Naima memandang wajah itu, untuk meyakinkan. Ia ingat dengan perkataan kakek tua perihal gelang sepasang yang harus ia berikan kepada orang yang Ia cintai agar saling terhubung, lalu ia pun mengambil gelang yang berada disakunya untuk diberikan pada Sagara. “Ulurkan tangan kananmu Pangeran!” Ucap Naima pelan. Sagara dengan alis bertaut menyondorkan tangannya pada Naima. “Ada apa?” Tanya bingung Sagara menatap pergerakan pujaan hatinya yang mengeluarkan sebuah gelang dari tangannya. “Sini aku pakaikan!” Naima meraih tangan Sagara lalu memakainya. “Untuk saya?” Ia pun kembali menganggukkan kepala seraya tersenyum. “Untukmu! Gelang ini sepasang. Aku mendapatkannya dari seorang kakek tua penjual barang antik di pasar. Dia bilang, kalau gelang ini diberikan pada orang yang kita percayai dan kita cintai, kita akan terhubung satu sama lain. Akupun tak tahu, terbukti atau tidaknya. Yang jelas aku ingin memberikannya padamu, supaya gelang ini memiliki pemiliknya.” Jelas Naima dengan