Share

Chapter 6

Hari ulang tahun Rumah Ceria bagi anak-anak penderita down syndrome telah tiba. Merlyn sudah meminta izin pada ayah dan bundanya untuk membawa Thunder, mobil kesayangannya ke sana. Tapi dengan catatan harus disopiri oleh Mang Yayat. Merlyn memang bisa menyetir sendiri, tetapi selalu saja ada insiden yang menyertainya. Kaca spion yang hancur atau meratakan pagar rumah tetangga, adalah sebagian kecil dari insiden yang diakibatkan oleh kecerobohannya. Oleh karena itu, untuk meminimalisir keadaan, sekarang Merlyn akan disopiri atau minimal ditemani jika ingin ke mana-mana.

Mobilnya saat ini telah dipenuhi oleh berbagai macam boneka kain flanel, makanan ringan bahkan balon-balon warna warni yang lucu. Mer sudah menabung lama untuk bisa membeli semua ini. Walaupun ayahnya pernah menawarinya untuk menggunakan uang ayahnya saja untuk membantu anak-anak panti, tapi Mer menolaknya. Masa mau beramal tetapi malah memakai uang orang lain? Itu kan namanya pembohongan publik. Yang punya uang siapa, yang di puji-puji siapa juga.

"Mer, ini gue ada puding buat anak-anak. Ntar lo bagiin ya? Sama ini sop buah. Pake duit gue ini semuanya Mer. Bukan minta Kak Tian. Tenang aja. Gue juga buat sendiri semuanya." Bintang tahu, Mer ini tidak suka bila diberi sumbangan dalam bentuk uang. Apalagi kalau uangnya hasil nodong sana sini. Pasti dia tidak akan mau menerimanya. Nggak berkah katanya.

"Ya udah, sini gue angkut. Gue jalan dulu ya, Bi. Bunda, Mer jalan dulu ya? Ayah sama Bang Tian belum pulang kerja ya? Kalo gitu Mer jalan dulu, takut kesorean. Assalamualaikum, Nda, Bi." Merlyn berangkat dengan hati gembira. Bunda dan kakak iparnya membalas salamnya dan mengiringi kepergiannya dengan lambaian tangan.

Setibanya di panti, Bu Wiwit menyambut kehadiran Merlyn dengan gembira. Yayasan Rumah Ceria adalah tempat rehabilitasi bagi penyandang tuna grahita. Di tempat ini mereka menerima pendidikan dan pengajaran, serta pelbagai terapi dan pelatihan kerja. Selain itu, Yayasan ini juga menerima penitipan dan perawatan bagi penyandang tuna grahita berat.

Merlyn sangat betah saat berada di sini. Ia sangat mengerti bagaimana saat kita dianggap lain dan aneh oleh orang-orang kebanyakan. Sewaktu kecil dulu, ia selalu menangis dan kesal saat orang-orang mengejeknya dengan kalimat oon, oneng bahkan idiot. Tetapi sejak bundanya membawanya ke panti ini, semua ejekan dan bullyan orang-orang itu tidak pernah lagi ia hiraukan. Teman-temannya di panti ini  dengan kemampuan mereka yang sangat terbatas saja, masih memiliki semangat yang sangat besar untuk berjuang. Mengapa ia yang sempurna dan diberi banyak kelebihan-kelebihan masih saja mengeluh dan banyak protes kepada Tuhan? Selama sering berkunjung ke tempat ini, ia belajar untuk selalu bersyukur dalam setiap keadaan. Baik di kala susah

maupun di saat senang.

"Mer, coba kamu bujuk itu si Suci di kamarnya. Dia menangis dan terus mengamuk karena kedua orang tuanya tidak jadi datang. Biasanya kalau sama kamu kan dia nurut." Bu Wiwit menghampiri Merlyn yang sedang sibuk membagi-bagikan boneka kain buatannya sendiri. Merlyn segera beranjak. Bermaksud untuk membujuk Suci.

"Oh Suci masih di kamarnya ya, Bu? Oke Mer akan coba membujuknya sekalian membagi-bagikan hadiah ini untuknya." Mer bergegas masuk ke kamar anak-anak. Ia mendapati Suci sedang duduk sedih dengan buku-buku cerita anak-anak yang sudah rusak karena dikoyak-koyaknya. Suci sepertinya emosi dan kecewa kepada kedua orang tuanya. Karena ia tidak bisa mengungkapkan semua  perasaannya lewat kata-kata, seperti ia memilih untuk melampiaskannya pada buku-bukunya.

"Papa... mama... jahat. Tidak sayang... mama jahat... tidak datang... buang saja buku-bukunya...." Diantara racauan tidak beraturannya, air mata Suci tampak menetes mengaliri pipi mulusnya. Wajar saja dia kecewa. Untuk hari istimewa ulang tahun panti yang diselenggarakan setahun sekali saja, kedua orang tuanya tidak datang. Merlyn bersedih untuk Suci. Perlahan ia mendekati sang gadis remaja. Mencoba mengajaknya berbicara dari hati ke hati.

"Mana telepon Suci? Boleh Kakak pinjam sebentar?" Suci diam saja sambil kembali mengoyak-ngoyak buku ceritanya. Suci sepertinya tidak memahami kata-katanya. Merlyn mengambil ponsel Suci dari sakunya dan berinisiatif untuk menelepon orang tuanya. Panggilan teleponnya baru dijawab pada deringan terakhir.

"Hallo Bu Wiwit, kan saya sudah bilang kalau saya tidak sempat ke sana, Bu. Ada rapat pimpinan penting di sini."

Tolong beri pengertian pada Suci kalau saya tidak bisa datang karena ada keperluan ya Bu, Wiwit?

"Maaf Bu, saya Merlyn, Kakak pengurus panti. Bukan Bu Wiwit. Mana lebih penting bagi Ibu, anak kandung Ibu atau orang lain? Kalau Suci itu bisa berpikir seperti anak usia 15 tahun lainnya, pasti saat ini dia tidak akan mau Ibu masukkan ke panti ini. Justru karena ia istimewa dan lain daripada yang lain lah, makanya ia tidak bisa protes saat Ibu membuangnya ke sini. Padahal tempatnya yang sesungguhnya adalah di rumah Ibu. Dalam limpahan kasih sayang kedua orang tuanya," Merlyn tidak bisa menahan ungkapan perasaannya. Ia sangat tidak memgerti dengan cara berpikir ibunya Suci.

"Bu, Suci juga tidak pernah minta dilahirkan, bukan? Apalagi dilahirkan dalam keadaan seperti ini. Dunia sudah begitu kejam kepada Suci, Bu. Jangalah Ibu u bersikap lebih kejam lagi kepadanya. Suci itu anak kandung Ibu. Darah daging Ibu. Karena ibulah ia ada. Janganlah mengingkari keberadaannya, Bu."

"Kamu ini siapa hah berani-beraninya menasehati orang tua. Kalau kami tidak bekerja, uang bulanan untuk panti mau dibayar pakai apa? Daun? Mikir!"

"Saya memang bukan siapa-siapa, Bu. Tapi apa Ibu tidak merasa malu atau bagaimana gitu kalau saya yang bukan siapa-siapa Suci saja peduli, tapi Ibu yang Ibu kandungnya malah enggak. Hati Ibu itu buatan Tuhan atau buatan China sih, Bu? Atau jangan-jangan Ibu nggak pernah denger lagu yang judul nya Kasih Ibu ya? Makanya Ibu nggak tau bagimana seharusnya menjadi seorang ibu? Sebentar saya kasih linknya ya, Bu. Biar Ibu bisa meresapi setiap kata-katanya."

Setelah Merlyn mengirim link lagu Kasih Ibu, ia pun memutuskan pembicaraannya dengan ibunya Suci begitu saja. Nggak ada feed backnya ternyata. Cuma buang-buang pulsa sama nafas saja. Untungnya Suci sudah mau dibujuk untuk bernyanyi dan bermain bersama dengan anak-anak panti lainnya. Merlyn sungguh berbahagia. Ia menghabisakan sisa harinya dengan menghibur Suci dan anak-anak panti dengan beberapa permainan games sederhana.

Merlyn selalu menyadari bahwa ketika kita selalu membandingkan kehidupan kita dengan yang di atas kita, kita juga harus membandingkan kehidupan yang kita punya dengan yang ada di bawah kita. Karena selalu ada orang lain yang pasti berandai-andai ingin memiliki kehidupan yang kita punya sekarang, yang tidak kita syukuri. Biarlah keonengannya hakiki, yang penting niatnya yang ingin berbagi kasih dengan sesamanya itu absolute.

Hadehhh ngomong apa sih dia ini? Kok ia mendadak merasa pinter kayak motivator-motivator yang medsos ya?  Yang kurangnya hanya kata-kata Salam luar biasa! Ye kan?

==================================

"Liz, jadi acara ultah lo cuma begini-begini doang nih? Cuman tiup lilin 23 biji di rumah. Ahelah Liz... Liz... Lo itu udah 23 tahun, bukan 13 tahun. Sekali-sekali kita clubbing kek. Kan seru. Lagian ya, hari ini lo udah 23 tahun. Udah dewasa, Liz. Yuk kita ke Exodu*? Siapa tahu ntar kita dapet kakap di sana?" Merlyn yang tengah menghadiri acara ulang tahun Liz, tetangga sekaligus sahabatnya, mendengarkan dengan penuh perhatian saat salah seorang teman Liz mengajaknya clubbing. Ia ingin tahu apa artinya kata clubbing.

"Lagian bonyok lo kan masih di luar negeri. Ayuk kita rame-rame clubbing. Biar berkesan nih ultah lo!" Merlyn memperhatikan sepertinya Liz, mulai tergoda dengan ajakan teman satu kantornya, yang kalau tidak salah bernama Yessy.

"Ayok deh. Gue juga pengen happy-happy sesekali. Tapi bentar ya, gue balikin si incess dulu ye ke rumahnya. Ntar gue di sate bokapnya kalo incess lugunya gue bawa clubbing."

Rumah Liz memang hanya berjarak sekitar tiga atau empat rumah dari rumahnya sendiri. Makanya ayah dan bundanya tadi mengizinkannya menghadiri ulah tahun Elizabeth alias Liz.

"Emangnya kalian mau mancing di mana sih malem-malem begini? Gue boleh ikut nggak? Gue bisa mancing kok. Kan gue suka nemenin ayah gue mancing kalo hari minggu. Boleh nggak, Liz?" Mer berusaha merayua Liz. Ia ingin ikut mancing juga bersama dengan teman-teman Liz. Ia bosan setiap hari di rumah terus.

"Mancing? Siapa yang mau mancing, Neng geulis? Kami teh mau clubbing, bukan mancing." Kang Erga salah satu teman Liz tertawa geli melihat kesalahpahaman Merlyn. Liz sudah memberitahukan teman-teman baiknya ini, kalau Merlyn memang agak istimewa. Liz tidak ingin kalau teman-temannya membully Merlyn. Liz tumbuh besar bersama Merlyn yang berusia dua tahun di atasnya. Liz juga sangat menyayanginya.

"Tadi kata Yessy siapa tahu bisa dapet ikan kakap. Itu kan artinya kalian mau memancing. Gue boleh ikut, nggak?" Merlyn tetap bersikukuh dengan pemikirannya sendiri. Ia juga terus meminta untuk ikut mancing bersama dengan teman-temannya. Liz menjadi kasihan juga melihatnya. Dia tahu betapa ketatnya ayah dan abangnya menjaga Merlyn sehingga Merlyn tidak mempunyai privacy sedikitpun. Kasihan. Kalau diajak sebentar saja, nggak apa-apa kali ya? Liz pun akhirnya mengganggukkan kepalanya. Wajah Mer menjadi berseri-seri. Ia senang sekali. Setidaknya ia bisa mencoba petualangan baru bersama Liz dan teman-temannya. Tidak melulu hanya memancing bersama dengan ayahnya.

Mereka tiba di Exodu* tepat pada pukul sepuluh malam. Merlyn yang baru pertama kali menginjakkan kaki ke club, langsung merasa sesak nafas seketika. Aroma minuman beralkohol dan rokok yang saling bercampur baur di udara ternyata bisa menyesakkan dada. Belum lagi suara musik yang di putar sekencang-kencangnya. Jantungnya sampai seolah-olah ingin melompat keluar saking berisiknya. Belum lagi suasananya remang-remang seperti ini. Tempat pemancingan seperti apa lah ini? Bukannya banyak jenis-jenis ikan yang ia temui, tetapi malah orang-orang yang saling berpelukan dan menari-nari.

Liz berkali-kali berpesan padanya agar tetap duduk manis saja. Jangan pernah berbicara dengan orang asing, apalagi menerima minuman dari mereka, sementara Liz dan teman-temannya sedang menari-nari dengan gembira. Ia tadi sebenarnya juga diajak menari oleh Liz. Hanya masalahnya sepertinya musiknya tidak cocok dengan tarian yang akan ia bawakan. Karena ia hanya bisa menarikan tarian tradisional. Seperti tari kecak, tari piring atau manortor. Cemana pulak mau manortor kalau musiknya jedag jedug macam ni. Ye kan?

"Hi babe, sendirian aja nih? Kenalan dong. Nama gue Ethan Putranto. Lo siapa?" Seorang pria tampan seusia abangnya tiba-tiba saja duduk ganteng di depannya. Pria bahkan masih menggunakan jas kerja seperti ayah dan abangnya. Pasti laki-laki ini belum mandi tadi sore karena masih memakai pakaian kerja. Jorok banget!

"Gue Merlyn dan gue nggak sendirian ke sini. Rame-rame sama temen-temen yang lain. Itu mereka semua sedang menari-nari." Mer menunjuk Liz dan teman-temannya yang sedang berjoget heboh. Ia lupa pada pesan Liz yang mengatakan kalau ia tidak boleh berbicara dengan orang asing.

"Menari-nari? Itu namanya ngedance, Babe. Kenapa lo nggak ikutan ngedance kayak mereka?" Pria itu menggerakkan  kepalanya kearah Liz dan teman-temannya.

"Musiknya nggak cocok, Ethan. Gimana gue mau menari serampang dua belas kalau musiknya seperti orang barat ngamuk-ngamuk begini? Ye kan?" Pria di depannya ini tersenyum geli.

"Ini namanya musik rap, Babe. Umur kamu berapa? Apa udah boleh nih masuk club? Hmmm..."

"Dua puluh lima. Udah besar kan? Liz aja yang baru dua puluh tiga tahun sudah sering ke sini." Mer langsung membela diri. Dia takut dirazia lagi karena disangka masih anak-anak! Ethan tersenyum. Hampir selama tiga puluh tahun usianya, dan belasan tahun mengenal berbagai macam karakter wanita, yang model begini ini belum pernah ditemuinya. Wanita cantik ini seperti seorang kanak-kanak yang terjebak dalam tubuh orang dewasa. Lucu dan menyenangkan sekali mengobrol bersamanya. Untuk pertama kalinya, Ethan hanya ingin mengobrol santai dengan seorang wanita tanpa berniat untuk menidurinya.

"Kamu mau minum?" Ethan berusaha memperpanjang waktu mengobrol. Gadis naif ini sepertinya tidak akan mengerti kalau ia sedang sikodein. Merlyn dengan cepat menggelengkan kepalanya.

"Nggak boleh kata Liz, Than. Selain mahal, minuman di sini juga tidak baik untuk kesehatan. Semuanya beralkohol. Lagipula, nih,  gue bawa minuman sendiri dari rumah. Murah dan sehat. Hehehe..."

Ethan kembali tersenyum. Gadis ini benar-benar naif. Ayahnya yang pengacara kondang negri ini, Hartomo Putranto, pasti tidak akan percaya ada orang yang masuk club dalam keadaan sebersih ini. Ayahnya selalu mengatakan kalau jodoh kamu boleh nemu di club, pasti orangnya tukang mabok. Ayahnya salah kan? Toh ada juga gadis baik-baik masuk ke sini.

"Kita duduk di dekat bartender, yuk? Gue mau order minuman. Gue traktir lo minuman yang kadar alkoholnya rendah. Mau?" Ethan menghela lembut tangan Merlyn. Tatapan Merlyn mengikuti arah yang ditunjuk oleh Ethan. Wah kursinya cantik sekali!

"Duduk di kursi yang tinggi itu ya? Keren ya kursinya? Mau deh kalau cuma duduk. Tapi kalau untuk minumnya, tidak usah. Terima kasih." Ethan tertawa dan mempersilahkan Merlyn mengikutinya. Merlyn dengan semangat membuntuti langkah Ethan dan mencoba duduk di kursi bartender. Wow! Dia jadi tinggi sekali!

"Hello. What can I get for you?" Sapa sang bartender berdasi kupu-kupu ramah.

"I want something cold and fresh.

Do you have any specials on?" Ethan bermaksud memesankan Merlyn cocktail yang segar.

"Sure, we have passion fruit cocktail mix with dragon fruit. Have you tried dragon fruit before?"

Belum lagi Ethan sempat menjawab, teriakan-teriakan ketakutan dan suara-suara bentakan kembali mendominasi ruangan. Banyaknya pria-pria berseragam polisi membuat para pengunjung panik dan meneriakan kata-kata razia berkali-kali. Liz dan teman-teman serentak mendatangi tempat Merlyn duduk tadi namun mereka tidak menjumpai gadis naif itu di manapun. Liz langsung stress. Ia bisa dimutilasi ayah Merlyn kalau anak gadisnya hilang.

Ethan yang melihat Merlyn ketakutan dan kebingungan, segera menghelanya agar berdiri tepat di sampingnya.

"Tidak apa-apa, Merlyn. Ini hanya razia biasa saja. Polisi hanya akan melakukan test urine untuk--"

"Gue kan nggak hamil, Than. Ngapain harus periksa urine segala. Lagian gue juga---"

"Lho Merlyn. Ngapain kamu ada di tempat seperti ini ?" Galih kaget melihat gadis lugu bin naif seperti Merlyn ini ada di club malam. Ayah dan abangnya ke mana sih ini?

"A--Abang polisi! Mer ke sini mau mancing ikan kakap, sama Liz, Bang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status