Share

Chapter 5

"Pak dokter, saya udah sembuh kok. Lihat badan saya sudah nggak panas lagi. Batuk-batuknya juga sudah reda. Saya sudah boleh pulang sekarang kan Pak Dokter?" Merlyn meraih tangan kanan Dokter Dika dan menyentuhkannya ke kening dan lehernya sendiri, demi untuk meyakinkan sang dokter.

"Yang jadi dokternya di sini siapa? Kamu atau saya? Kenapa malah jadi kamu yang mengatur-ngatur saya?" Dengan ketus Dika membalas kata-kata Merlyn. Tapi tidak urung dia membelai lembut kening dan leher pasien cantiknya. Masih sedikit hangat. Merlyn belum sehat betul.

"Yang merasakan sakit atau tidak itu tubuh siapa? Tubuh saya kan? Tapi kenapa malah Pak Dokter yang merasa lebih tahu?" Merlyn membalikkan kata-katanya dengan jenius pada Dika.

Tumben si oneng ini pinter? Mungkin signalnya sedang bagus-bagusnya.

"Oohhh... jadi kamu merasa lebih tahu soal kondisi tubuh kamu dibandingkan dengan saya? Baiklah. Kalau begitu saya akan menghubungi bunda kamu saja. Saya akan mengatakan kalau kamu sudah menjadi dokter-dokteran sendiri, atau kamu mau saya suntik dengan jarum suntik besar ini?"

Dika yang iseng ingin mengerjai Merlyn, mengambil sebuah jarum suntik dengan ukuran yang paling besar. Ukuran jarum hipordemik yang ditandai dengan nomor gauge atau huruf G, berbanding terbalik terhadap diameter jarum. Semakin besar nomornya, maka semakin kecil lah diameter jarum. Demikian pula sebaliknya. Sementara Merlyn yang melihat dokternya meraih jarum suntik yang paling besar lagi ukurannya, langsung saja melompat dan berlari keluar ruang rawat inapnya. Ketakutan telah memberikan kekuatan berlebih kepadanya. Jarum infus yang tadinya terpasang di lengan kirinya sampai tercabut lepas karena ia berlari begitu saja. Merlyn bahkan sampai melupakan alas kakinya.

Dika yang sama sekali tidak menyangka kalau Merlyn akan sehisteris itu saat melihat jarum suntik, memaki pelan seraya berusaha berlari mengejar. Sialnya kakinya malah tersandung tiang infus beroda yang membuatnya terjerembab jatuh seketika. Merlyn berlari tunggang langgang di sepanjang koridor rumah sakit sambil menangis ketakutan. Dia bahkan tidak menghiraukan tatapan bingung orang yang berlalu lalang di sekitar rumah sakit. Saat ini yang terbersit di benaknya hanya satu, berlari sejauh mungkin dari rumah sakit ini.

BUGHHH!

"Aduh! Merlyn nyaris saja jatuh terjengkang ke belakang saat tubuhnya menabrak keras salah seorang pengunjung rumah sakit. Untungnya orang tersebut dengan sigap segera menahan laju tubuhnya.

"Merlyn!"

"A--Aang polisi! Tolongin saya, Bang. Saya mau disuntik Dokter Dika dengan jarum suntik be--besar Bang. Huaaaa! I--itu dia dokternya, Bang! Saya nggak mau disuntik, Abang polisi. Saya takut!" Merlyn langsung melompat ke atas tubuh Galih yang kebetulan sedang mengantar ibunya untuk medical check up rutin. Merlyn kini mirip dengan seorang anak kecil yang digendong depan oleh ayahnya. Mer juga menyembunyikan wajahnya pada lekukan leher Galih. Ia sama sekali tidak mau turun dari gendongan Galih.

"Merlyn, turun! Ayo kembali ke kamar kamu sekarang." Dika yang telah berhasil menyusul Merlyn berusaha untuk menguraikan paksa pelukan kuat Merlyn pada pada leher Galih. Semakin Dika berusaha melepaskan, semakin kuat pula Merlyn mengunci leher Galih. Galih kini merasakan kalau lehernya telah basah oleh air mata Merlyn. Sedu sedan tangis terengah-engah dan gemetarnya tubuh Merlyn telah membangunkan naluri dasarnya sebagai seorang laki-laki, yaitu melindungi.

"Maaf Pak Dokter, ada apa ini sebenarnya?" Galih bukannya melepaskan Merlyn, tapi malah sebaliknya tanpa sadar terus saja mengelus-elus punggungnya. Berusaha menenangkannya yang masih berada dalam gendongan protektifnya.

"Anda mengenal pasien saya, Pak polisi?" Dika menjungkitkan sebelah alisnya. Entah mengapa ada rasa tidak suka di hatinya saat melihat kedekatan pasiennya dengan pria lain. Padahal Merlyn bukan siapa-siapanya. Hanya sekedar anak rekan seprofesi ayahnya.

"Iya, saya kebetulan mengenalnya. Bukannya saya bermaksud ingin menggurui, Pak Dokter. Tapi sebaiknya jangan menjadikan phobia atau ketakutan seseorang terhadap sesuatu sebagai bahan ancaman. Karena hal tersebut akan  menjadikan mereka terpaksa bersikap agresif terhadap dua opsi yaitu fight atau flight. Fight disini diartikan ia akan bertarung, memukul karena berfikir sedang dalam menghadapi kondisi berbahaya. Kemudian flight atau lari, kabur dari hal yang ditakutinya. Dan Pak Dokter lihat sendiri kan kalau Merlyn memilih opsi flight? Dia kabur ketakutan dari Anda."

Selama Galih menjelaskan, selama itu pula tidak henti-hentinya tangannya mengusap-usap punggung maupun bahu Merlyn yang berada dalam gendongannya. Dan semua itu tidak lepas dari pengamatan tajam mata ibunya.

"Merlyn! Sedang apa kamu di gendongan Pak Polisi? Ayo turun, Dek! Kamu sudah besar. Selain dengan Ayah dan Abang, kamu tidak boleh bersikap seperti itu terhadap orang lain." Dari jarak sekitar lima meter, Merlyn melihat kedatangan abangnya dan Tama. Mau tidak mau Merlyn turun juga dari gendongan Galih.

"Saya heran. Di mana ada Merlyn, kenapa di situ ada Anda ya, Pak Polisi?" Sindir Tama sinis. Galih hanya melirik sekilas pada Tama, sebelum memberikan jawaban yang cukup menohok.

"Itu juga sebenarnya pertanyaan yang ada dalam benak saya terhadap Anda, Pak Tama. Kenapa Anda jadi lebih mirip sebagai bodyguard keluarga Diwangkara alih-alih tetangga? Satu hal yang bisa saya katakan kepada Anda, saya bertemu Merlyn itu karena kebetulan yang ditakdirkan. Bukan kesempatan yang diusahakan."

Galih menjawab dengan nada datar saja, namun tidak bisa ia bantah kebenarannya. Makanya ia hanya mendengus kesal dan segera berjalan mengekori Merlyn dan Tian. Galih hanya bisa menatapi kepergian Merlyn dan kini digandeng oleh abangnya. Ia terus memperhatikan Merlyn sampai bayangan gadis itu berbelok ke sebelah kiri koridor rumah sakit.

"Nggak mau! Pokoknya Mer nggak mau dipasang infus lagi, Bang. Lihat ini tangan kiri Mer sampai gembung. Sakit sekali, Bang." Merlyn mengibaskan tangan Tian saat abangnya itu mengarahkannya kembali ke ruangannya. "Abang polisi, tolong Mer, Bang."

Bahkan dari jarak yang cukup jauh, Galih bisa mendengar suara teriakan Merlyn. Hatinya mencelos seketika. Ia tidak tega mendengar suara ketakutan Mer dari ruang inap pasien di sebelah kirinya. Mer bahkan sampai menjeritkan namanya. Pasti gadis itu sangat ketakutan sekali.

"Bu. Ibu tunggu dulu di sini sebentar ya, Bu? Galih ada perlu." Tanpa mendengar jawaban dari ibunya  Galih langsung berlari mendatangi ruang inap di sayap kiri rumah sakit. Galih tidak perlu bertanya lagi pada perawat information center di mana ruangan Merlyn, karena suara jeritan Merlyn sudah terdengar membahana dari ruangan anggrek 3. Tanpa mengetuk lagi, Galih membuka begitu saja pintunya. Ia mengkertakkan giginya saat melihat Tian dan Tama memegangi masing-masing lengan kanan dan kiri Merlyn yang berteriak-teriak histeris ketakutan, sementara Dokter Dika memegangi lengan kanannya. Bermaksud untuk memasang kembali infus Merlyn. Karena punggung tangan sebelah kiri Merlyn membengkak, sepertinya Dokter Dika akan memindahkan selang infus dari tangan kiri ke tangan kanannya. Kejam sekali pemandangan seperti itu di mata Galih. Di mana tiga laki-laki berbadan besar, menggunakan kekuatan mereka terhadap seorang perempuan yang menangis ketakutan dan tidak berdaya. Apakah tidak ada cara yang lebih manusiawi dari pemaksaan kasar seperti ini?

Saat Merlyn secara tidak sengaja melihat ke arah pintu, wajahnya terlihat lega saat melihat kehadiran Galih.

"Bang polisi, tangkap mereka semua, Bang! Mereka menganiaya sa--saya, Bang. Saya tidak mau di infus. Sakit sekali tangan saya karena terus dicucuk-cucuk." Adu Mer sesenggukan. Ada kepercayaan penuh di matanya saat mereka berdua saling bertatapan. Galih dan semua laki-laki normal di dunia, pasti tidak akan tega jika melihat seorang wanita menangis. Istimewa wanita itu mempunyai tempat khusus di hatinya. Ada perasaan ingin menghibur, melindungi dan juga mencari solusi untuk menghalau kesedihan dan air matanya.

"Tolong jangan bersikap seperti ini, saudara-saudara sekalian. Saya tahu, memasang kembali infus itu tetap harus di lakukan. Tapi saya harap tidak dengan cara seperti ini. Tolong lakukan lah dengan cara yang lebih persuasif. Kasihan kalau pasien Anda sampai histeris seperti ini, Dokter," Galih berupaya untuk menasehati Dokter Dika.

"Saudara Tian, Merlyn ini kan adik Anda. Jangan lah begitu kejam terhadapnya. Saya kira Anda adalah orang yang paling memahami keistimewaan cara berfikir adik Anda. Ayolah, jangan membuatnya merasa ketakutan dan terancam. Selain itu, ada hukum hak azasi manusia yang ia miliki. Perlakukanlah sesama manusia dengan manusiawi." Tian terdiam saat mendengar nasehat Galih yang memang benar adanya. Galih berjalan mendekati Merlyn yang saat ini tengah duduk di ranjang. Menyapanya ramah.

"Kamu kenapa? Takut diinfus?" Galih bertanya lembut pada Merlyn yang langsung saja menganggukkan kepalanya.

"Apa yang membuat kamu takut?"

"Melihat jarum dicucuk ke tangan sendiri, rasanya ngeri. Pasti sakit sekali." Adu Merlyn sambil meringis seolah-olah jarum infus itu sudah benar-benar ditusukkan ke punggung tangannya. Bingo! Galih sudah menarik benang merahnya. Mindset Merlyn lah yang menakutinya, bukan rasa sakitnya.

"Kalau begitu jangan dilihat. Sebentar ya?" Galih membuka tas ranselnya dan mengeluarkan ponselnya. Mengotak-atik ponselnya sebentar dan memperlihatkannya pada Merlyn.

"Kamu kalau buka YouTub* suka nonton apa?" Galih berusaha mengalihkan perhatian Merlyn dengan browsing-browsing berbagai macam video-video drama korea populer yang paling hits. Biasanya para wanita sangat menggilai drakor bukan?

"Tutorial cara membuat boneka dari kain flanel, Bang?" Dengan segera Galih membuka website cara membuat boneka-boneka kain. Wajah Merlyn langsung sumringah. "Tuh... tuh... lucu-lucu kan Bang, bonekanya? Bajunya juga bisa dibikin model-model lain. Nah liat tuh, dipasangin pita beruangnya jadi lucu ya, Bang?" Merlyn dengan semangat menunjukkan cara-cara membuat boneka kain pada Galih. Setelah melihat perhatian Merlyn mulai beralih, Galih menggerakan kepalanya sekilas pada Dika agar segera dilakukan eksekusi. Dika yang memahami kode Galih, segera melakukan tindakan medis dengan cepat. Tubuh Merlyn memang tersentak sejenak, tetapi yang bersangkutan sama sekali tidak menyadarinya. Dia asik sekali menceritakan segala sesuatu tentang hobbynya membuat boneka-boneka.

"Nah, sudah kan dipasang infusnya? Sakit nggak?" Galih tersenyum geli melihat Merlyn memandangi dengan takjub infus yang sudah terpasang rapi di punggung tangan kanannya.

"Nggak tahu." Jawab Merlyn bingung.

"Lho, kok nggak tahu sih?" Galih masih mengulum senyum. Ia suka menggoda Merlyn karena jawaban Merlyn selalu tidak dapat diprediksi dan selalu mengundang tawa. Hidup akan jadi lebih hidup bila ada didekatnya.

"Karena nggak terasa. Jadi saya nggak tahu sakit atau nggak. Nggak dibilang satu dua tiga sih, jadi kan saya nggak tahu." Jawaban Merlyn kembali mengundang tawa semua orang yang ada di dalam ruangan.

"Karena semua sudah selesai, saya pamit pulang dulu ya, Mer? Semoga kamu cepat sembuh." Galih berdiri dan siap-siap untuk pulang. Ibunya masih menunggunya di kursi taman rumah sakit.

"Abang polisi, minta nomor telepon dong." Kata-kata Merlyn membuat semua yang ada dalam ruangan kembali tertegun.

"Kamu nggak boleh minta nomor telepon orang lain sesuka hatimu, Dek. Itu nggak sopan namanya." Tian buru-buru menegur adiknya.

"Abang polisi itu bukan orang lain. Tapi polisi. Tugas seorang polisi kan memang menolong orang lain? Jadi kalau misalnya Mer nanti mau disuntik, dikejar-kejar angsa, ada tikus di panti atau ada kecoak di kamar mandi, Mer bisa tinggal telepon abang polisi aja. Ah satu lagi, kalau Mer kedinginan juga. Pelukan abang polisi itu anget, harum lagi. Mer saja bisa sampai bisa ketiduran. Mer suka. Jadi kan Mer bisa tinggal telepon saja," jawab Merlyn enteng. "Terima kasih ya, Abang Polisi. Tidak sia-sia ayah membayar pajak mahal-mahal untuk negara. Karena negara kan harus menggaji Abang. Ya kan, Bang?"

Galih sempat tertegun sekian detik, saat mendengar deklarasi Merlyn yang membutuhkan seorang polisi untuk mengusir angsa, tikus dan kecoak. Tapi untung saja hasil akhirnya bagus. Ia menyukai pelukannya, katanya. Itu adalah kata-kata pelipur lara paling dahsyat yang pernah didengarnya. Tanpa banyak basa basi, Galih segera merobek secarik kertas dan menuliskan nomor ponsel pribadinya pada Merlyn.

"Pinjem kertas dan pulpen Abang sebentar." Tukas Merlyn lagi. Setelah Galih menyodorkan sebuat notes kecil dan pulpennya pada Merlyn, gadis itu menulis dengan susah payah sederet angka dengan tangan kirinya.

"Ini nomor saya ya, A ang polisi. Entah nanti Abang mau pesen-pesen boneka kain flanel atau apa gitu, Abang bisa menghubungi saya. Abang nggak usah khawatir, khusus untuk Abang, akan saya kasih diskon 10%." Galih hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya pada Merlyn. Ia kemudian menganggukkan kepala kembali kepada tiga orang lainnya yang ada dalam ruangan, sebelum akhirnya meninggalkan ruang inap Merlyn. Ia sudah meninggalkan ibunya cukup lama di taman rumah sakit.

"Dia gadis yang kamu sukai bukan, Lih?" Ibunya langsung saja membombardirnya saat ia tiba di taman rumah sakit. Galih diam saja karena dia juga tidak tahu harus menjawab apa. Di usianya yang mencapai angka tiga puluh lima ini, dia memang belum pernah sekalipun jatuh cinta. Ia tidak punya waktu, tepatnya.

"Tidak, Bu. Galih hanya menjalankan tugas Galih sebagai seorang pelayan masyarakat. Tidak ada hal-hal yang bersifat romansa di dalamnya." Galih menjawab pertanyaan ibunya dengan cara diplomatis."

"Bukannya Ibu ingin mengecilkan hati putra Ibu sendiri. Tapi gadis itu bukan kelas kita, Nak. Ibu tahu siapa orang tua gadis itu. Christian Diwangkara yang kemarin dulu masuk televisi penerima award sebagai pengusaha property terbaik kan, Lih?"

"Darimana ibu tahu?" Galih tidak menyangka ibunya tahu tentang silsilah keluarga Diwangkara.

"Ibu melihat Bapak Christian memeluk gadis itu di televisi, dan mengatakan bahwa dua princessnya adalah penyemangat hidupnya. Nyawanya serta hidup matinya. Kamu tahu apa artinya itu, Lih?" Galih menggelengkan kepalanya. Ibunya adalah seorang guru sementara almarhum ayahnya dulu adalah seorang dosen filsafat. Cara berkomunikasi dalam keluarganya itu sangat unik. Tata bahasa kedua orang tuanya sangat indah dan santun. Bagi yang tidak memahami mungkin akan mengakibatkan multi tafsir. Ia dididik dengan minim kata jangan. Kedua orang tuanya mengganti kata jangan dengan kalimat sebaiknya.

"Itu artinya ia tidak akan memberikan harta paling berharganya pada sembarang orang, Nak. Mengerti, Galih?"

"Bila anaknya sudah memutuskan untuk hidup bersama dengan sederhana, ayahnya bisa apa, Bu? Anaknya kan juga sudah dewasa. Bisa memutuskan sendiri keinginannya. Ayahnya tidak berhak sama sekali mengintervensinya. Hidup kan tidak melulu soal harta. Sebaik-baiknya wanita itu kan dia yang mau diajak membangun hidup dari nol bersama-sama." Galih menjawab datar. Dia ini seorang polisi. Pemikirannya selalu berdasarkan konsep sebab akibat dan berdasarkan hukum dan perundang-undang yang berlaku. Yang lainnya, ia tidak mau tahu.

"Hidup tidak sesederhana itu, Nak. Mengajak seorang wanita untuk bersama-sama hidup susah sebenarnya bukan goal yang bisa kamu banggakan. Karena itu tandanya kamu tidak siap pasang badan demi mengusahakan kebahagiaannya. Seumur hidup ayah dan ibunya sudah mati-matian membahagiakannya. Kok kamu datang-datang mau mengajak hidup anak orang hidup susah seenaknya?"

Ibunya tersenyum maklum. Putranya menolak mengatakan kalau dia jatuh cinta. Tetapi lihat lah putranya mati-matian mencari pembenaran atas jawabannya sendiri.

"Ibu mengatakan ini semua dengan maksud agar Galih mau menerima perjodohan dengan Arini, bukan?" Galih langsung menembak pada sasaran. Ia tidak sabar diajak berbicara berputar-putar yang tidak ada juntrungannya.

"Bukan. Ibu mengatakan ini semua agar kamu tahu diri. Agar kamu bisa menyelamatkan dirimu sendiri sebelum kamu tenggelam terlalu dalam nanti. Walaupun kamu menolak Arini, ibu akan tetap mengatakan semua ini kepadamu. Dengar Nak, Ibu tidak membenci gadis itu apalagi kekayaannya. Ibu hanya ingin memperingatkan kamu untuk sadar diri. Eling. Gadis itu jauh di atas kita keberadaannya, Nak. Ibu hanya tidak mau kalau nanti kamu patah hati. Ingat nak, sak beja bejane wong kang lali, isih bejo wong kang eling lan waspada. Seuntung-untungnya orang lupa, masih untung orang yang selalu ingat dan waspada."

"Kalau untuk masalah hati saja harus dikotak-kotakkan dengan yang namanya kasta. Lalu untuk apa Tuhan menciptakan perasaan cinta?" Galih seolah-olah berbicara dengan dirinya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status