Share

Chapter 7

"Hah? Mancing ikan kakap di club? Ini maksudnya bagaimana? Saya bingung." Galih pusing mendengar kalimat tanpa ujung pangkal yang jelas. Apalagi mengenali seorang pria tampan metroseksual yang meneriakkan kata-kata mahal dari pakaian dan aksesoris yang dikenakannya. Siapa yang tidak kenal dengan pria yang tampak protektif di samping Merlyn ini. Pengacara muda Ethan Hartomo Putranto. Putra Hartomo Putranto, yang juga seorang pengacara gaek negeri ini.

"Tadi tetangga saya, Liz kan ulang tahun. Nah, Yessy mengusulkan untuk main ke club. Siapa tahu dapat kakap katanya. Terus saya minta ikut sama Liz. Tapi sampai di sini jangankan ikannya, kolamnya aja pun nggak ada, Bang." Adu Mer kesal. Galih dan Ethan saling bertatapan dan mereka akhirnya mengerti soal kata pancing memancing ini. Belum juga Galih memberi Merlyn nasehat, seorang gadis cantik menyeruak kerumunan. Saat si gadis melihat Mer, wajah tegangnya berangsur lega. Akhirnya Merlyn berhasil ia temukan.

"Mer, lo ini ke mana aja sih? Gue kan udah bilang, lo duduk aja di pojokan sono. Kalo lo ilang, gue bakalan di mutilasi kecil-kecil sama bokap lo! Syukurlah lo kagak ngapa-ngapa." Liz yang sedari tadi sudah membayangkan akan di sate oleh Chris dan Tian kalau ini incess oneng sampai hilang, mengomeli Merlyn. Syukurlah kalau akhirnya semuanya baik-baik saja.

"Wuihhh lo hebat beut ya, Mer? Lo malah duluan dapet kakapnya dibanding kami semua. Bukan kakap lagi ini mah, Mer. Tapi paus." Yessy merasa mendadak pengen mimisan saat melihat penampakan macho manly nya Ethan. Oneng sih boleh oneng, tapi nasibnya mah mujur terus.

"Hah kakap? Paus? Mana? Gue nggak berasa mancing kok tetiba lo bilang gue dapet ikan kakap dan paus aja. Mana ikan-ikannya?" Merlyn celingukan ke sana ke mari mencari ikan. Tapi yang ada malah orang yang terus berlalu-lalang membawa semacam tabung yang ada di laboratorium.

"Ini Mer, pausnya. Iniii!! Saolohhh lo lempeng bener sih Mer kayak pipa paralon." Yessy menunjuk-nunjuk dada Ethan agar Merlyn sadar.

"Ethan ganteng banget begini masa dibilang ikan. Ikan paus lagi, kan besar banget. Padahal Ethan kan badannya bagus banget kayak iklan susu yang di teve. Nggak gendut macam ikan paus. Liat nih, perutnya aja pasti kayak roti kotak-kotak yang ada di indomare*." Merlyn menatap wajah Ethan dalam-dalam dengan tangan terangkat. Bermaksud untuk mengelus perut six packnya. Galih seketika menahan laju tangan Merlyn yang hampir saja menyentuh perut Ethan. Apa-apaan ini?!

"Jangan sembarangan menyentuh orang lain Merlyn. Tidak baik. Paham! Apalagi laki-laki. Sama sekali TIDAK BOLEH. Mengerti?!" Galih menekankan kata laki-laki dan tidak bolehnya dengan suara geraman. Dengan patuh Merlyn mengangguk. Polisi itu selalu benar bukan? Entah kalau polisi yang lain. Tapi kalau abang polisinya sudah pasti benar. Titik.

Antrian untuk test urine telah sampai pada Yessy dan Merlyn. Merlyn menatap Galih dengan wajah kebingungan dan bersumpah kalau dia tidak hamil. Setelah Galih meyakinkannya kalau itu hanyalah sebuah prosedur test yang menyatakan bahwa dia tidak mengkonsumsi narkoba, barulah ia patuh untuk di bawa beberapa polisi wanita ke toilet club. Kalau saja ia tidak malu dan dianggap tidak professional, rasanya Galih ingin sekali ikut menemani Merlyn dan menunggunya di depan toilet. Merlyn tampak ketakutan dan kebingungan.

"Siapa yang berulang tahun dan bernama Liz?" Galih langsung menyalak begitu Merlyn menghilang dari pandangannya.

"Sa--saya Pak Polisi." Takut-takut Liz mengangkat tangannya. Polisi ini galak sekali rupanya. Padahal tadi sewaktu berbicara dengan Merlyn suaranya lembuttt sekali. Giliran dengan dia aja, membentak-bentak melulu. Cih!

"Sebagai tetangganya saya yakin sekali kalau Anda mengetahui keistimewaannya. Kenapa Anda malah membawanya ke sini? Saya yakin orang tuanya paati sama sekali tidak tahu kalau putrinya Anda bawa ke tempat seperti ini." Galih mulai mengintimidasi Liz. Dia kesal sekali karena Liz telah membawa Merlyn ke tempat yang tidak ada faedahnya seperti ini. Liz langsung keder saat diingatkan pada Om Chris.

"Tadi saya memang sudah berniat untuk mengantarnya pulang, Pak Polisi. Tapi si Mer pengen ikut. Saya kan jadi nggak tega. Secara dia itu nggak boleh ke mana-mana. Om Chris dan Tian kan posesif parah orangnya. Mer ini kayak dipasung tak kasat mata sebenarnya, Pak Polisi." Liz mencoba membela diri.

"Maaf ya, Pak Polisi. Menurut hemat saya, justru Merlyn yang naif ini harus diajak untuk melihat dunia. Dengan terus melindungi dan mengurungnya di rumah, justru tidak akan membuka pikirannya. Saya kira dia perlu tahu soal dunia luar. Siapa tahu dengan begitu, naifnya akan sedikit berkurang. Dari cerita Liz tadi, sepertinya keluarganya terlalu melindunginya sampai ia menjadi tidak tahu apa-apa tentang dunia. Dia seperti seorang kanak-kanak yang terjebak pada tubuh seorang wanita dewasa. Dia berhak menentukan jalan hidupnya sendiri."

Ethan mulai bersuara. Sebagai seorang pengacara muda, dia tidak suka jika melihat seseorang menindas seseorang lainnya. Walaupun itu adalah orang tuanya sendiri. Setiap manusia memiliki dua hak fundamental yaitu hak persamaan dan hak kebebasan. Galih berdecak.

"Benar kalau Anda memandangnya dari sudut pandang Anda sebagai seorang pengacara. Tetapi dari sudut pandang saya sebagai seorang aparat, kita harus meminimalisir dampak kejahatan yang mungkin akan terjadi, jika kita lalai dan membiarkan orang yang memiliki keistimewaan seperti Merlyn ini salah jalan dalam bersosialisasi. Khususnya dengan orang-orang yang tidak ada hubungan darah dengannya. Anda tahu sendiri, di luar sana sarangnya ular dan buaya. Orang seperti Merlyn tidak bisa membedakan mana ular-ularan, apalagi buaya-buayaan. Dia bahkan tidak menyadari bahwa salah satu buaya jadi-jadian sudah mengintainya sedari tadi." Galih menyindir pedas. Wajah Ethan seketika memerah. Sialan, polisi ini menyindirnya rupanya!

"Saya nggak tahu apa-apa! Itu bukan punya saya! Bukan!!! Kenapa saya di borgol!" Merlyn kebingungan saat para polisi wanita tiba-tiba saja memborgol tangannya dan mendorong-dorongnya ke depan. Ia kebingungan dan ketakutan saat tangannya di borgol dan di kumpulkan di depan. Bersama dengan beberapa pengunjung yang terbukti positif mengkonsumsi narkoba. Galih, Liz dan Ethan tentu saja kaget luar biasa.

"Bripda Astuti, ada apa ini? Kenapa ia di borgol?" Galih menginterogasi salah seorang anak buahnya, yaitu Bripda Astuti.

"Wanita ini kedapatan membawa Methylenediozymethamphetamine atau MDMA dalam jumlah besar dalam tasnya, Komandan. Jadi ia terpaksa kami borgol dan amankan."

Galih terdiam. Ua sama sekali tidak menyangka akan ada masalah besar seperti ini. Merlyn sekarang mulai menangis. Wajar kalau ia ketakutan. Apalagi orang seperti dirinya yang tidak pernah berurusan dengan hal-hal kriminal, tiba-tiba saja diborgol dan dibentak-bentak oleh banyak orang. Merlyn pasti shock.

"Tapi ini bu--bukan punya saya. Saya sama sekali tidak punya obat seperti Incida*nya Bik Sari begini. Sungguh saya tidak bohong A--Abang polisi." Bripda Astuti dan beberapa anggota kepolisian lainnya saling berpandangan saat Merlyn memanggil Galih dengan panggilan abang polisi, alih-alih pak polisi.

"Tidak apa-apa Merlyn. Kalau itu bukan punya kamu, kamu tenang saja. Pasti ada orang yang sengaja menjebak kamu. Saya akan mendampingi dan menjadi pengacara kamu nanti di kepolisian." Ethan menyentuh bahu Merlyn sekilas. Berusaha memberikan ketenangan. Melihat suasana mulai memanas, Ethan langsung merubah sikapnya menjadi serius dan professional. Dia sudah merubah panggilan lo guenya menjadi saya kamu pada Merlyn. Suasana mulai genting dan tidak terkendali.

"Saya kira tidak perlu Pak Ethan. Tantenya adalah Maureen Diwangkara. Kalau-kalau Anda tidak tahu. Dan inilah maksud saya soal hal-hal yang tidak diinginkan tadi. Seperti inilah jadinya kalau orang seperti Merlyn salah mengartikan kebebasan dalam bersosialisasi. Ia mudah dijebak dalam dunia yang gila ini."

Galih menjawab datar namun sarat dengan rasa kesal. Ada rasa tidak suka yang diam-diam menyelinap di hatinya, saat melihat keposesifan Ethan terhadap Merlyn yang baru saja dikenalnya.

"Astaga, jadi kamu ini keponakannya Ibu Maureen? Saya mengenal Icha anak Om Dexter. Berarti kamu ini anaknya Om Chris dan adiknya Tian ya? Astaga, saya adalah teman Abang kamu, Tian. Kamu tenang saja Mer, saya akan mendampingi kamu hingga kasus ini clear."

Sekarang Ethan mengerti mengapa Tian selalu saja menghalanginya jika ia ingin main ke rumahnya. Ia memang terkenal sebagai seorang don juan dan tukang gonta ganti pacar. Rupanya Tian menyembunyikan adik istimewanya ini dari predator seperti dirinya. Wajar saja memang. Karena setelah melihat Merlyn, sepertinya dia memutuskan untuk serius mengejarnya. Tidak masalah gadis ini sedikit lama loadingnya. Yang penting hatinya baik dan bersih. Bonus cantiknya luar biasa lagi.

"Mer, kok bisa jadi begini sih? Gue harus bagaimana ini ngejelasinnya sama bokap lo, coba." Tepat pada saat itu, ponsel Liz berdering.

"Haduh Mer, ini bokap lo telpon, lagi. Gu--gue harus jawab apa coba? Mati gue kali ini Mer. Bisa dimakan mentah gue sama bokap lo!" Liz melemparkan ponselnya begitu saja ke sofa club, seolah-olah sedang memegang ular. Wajah Liz sudah seperti tidak dialiri darah saking pucatnya. Ia tahu dia sudah melakukan satu kesalahan besar.

"Berani berbuat harus berani bertanggung jawab, Ibu Liz. Angkat dan katakan yang sebenarnya pada orang tua Merlyn. Sekarang!" Galih membentak Liz. Kalau saja bisa, Galih ingin sekali menelepon orang tua Merlyn sekaligus juga menenangkan Merlyn. Saat ini Merlyn terlihat makin kebingungan kala dikumpulkan dengan belasaan orang yang hasil tes urinenya positif. Wajahnya pias dan sedih. Hasil urine Merlyn memang negatif. Tapi barang bukti pil XTCnya itu malah lebih memberatkan posisinya saat ini. Makanya ia sampai diborgol.

"Ha--hallo Om Chris. Mer--"

"Kalian ada di mana Liz? Ponsel Mer ditinggal, rumah kamu juga kosong. Kalian sekarang ada di mana hah?!"

Liz menjauhkan telinganya dari ponsel, saking kuatnya suara Chris yang berteriak marah kepadanya. Liz tidak tahu harus menjelaskan mulai dari mana. Apalagi saat dia melihat Merlyn disuruh berjongkok dengan para pengunjung yang terjaring razia. Liz tidak tega melihatnya. Karena ia tahu pasti, Merlyn pasti hanya dijebak oleh seseorang.

"Elizabeth Khalif Ahmad, kalian sekarang ada dimana?!"

Liz semakin ketakutan. Saat Om Chris memanggil nama lengkapnya, itu artinya ayah Merlyn itu pasti sedang marah besar.

"Ka--ka--kami ada di Exodu* Om. Om cepat ke sini ya? Mer di tangkap polisi om. Diborgol lagi. Hiks... hiks... hiks...."

"APAAAAA?! Kok bisa? Om akan segera kesana."

Liz hanya bisa menangis ketakutan bercampur rasa sesal, karena telah membawa Merlyn ke tempat ini. Gadis polos itu pasti dimanfaatkan oleh orang-orang yang sedang kepepet untuk menghilangkan barang bukti.

"Sekarang semua berdiri! Berbaris yang rapi. Briptu Hendrawan, bila hasil test urine para pegawai ini ada yang positif, langsung geledah lokernya!!!" Galih memberikan perintah dengan suara tegas. Walaupun ia terus saja memberi perintah-perintah kepada para anak buahnya, tapi tatapannya sebentar-sebentar tertuju pada Merlyn  yang sekarang terlihat seperti orang linglung. Ia cuma berdiri diam dengan tangan terborgol. Seorang pengunjung pria yang berdiri di samping kirinya, dengan sengaja menyenggol bahunya dengan ekspresi wajah cabul. Sepertinya pengunjung itu sedang mencari-cari kesempatan untuk menyentuh Merlyn. Galih segera maju menghampiri.

Bughhh!!! Bughhhh!!!

"Jaga sikap Anda! Jangan sampai saya melihat lagi tangan kotor Anda menyentuhnya!" Galih sepertinya tidak dapat menahan gerakan tangannya sendiri yang dengan refleks langsung saja memberikan beberapa bogem mentah kepada si pengunjung cabul. Briptu Hendrawan dan Bripda Gede saling berpandang-pandangan. Belum pernah sejarahnya mereka melihat atasan mereka kehilangan kendali seperti itu hanya karena salah seorang tersangka yang diisengi tersangka lainnya. Tetapi saat melihat wajah Merlyn, mereka berdua sama-sama mengulum senyum maklum. Mereka langsung tahu bahwa Merlyn adalah wanita yang beberapa hari lalu nyaris terjaring operasi mereka, dan memanggil atasan mereka dengan sebutan abang polisi dengan mesra. Gebetan atasannya rupanya. Pantas saja ngamuk besar atasannya. Cinta sudah bicara rupanya.

"Kamu tidak apa-apa, Merlyn." Galih menghampiri Merlyn yang kini berdiri semakin mepet ke tembok. Merlyn hanya menggelengkan kepalanya dengan lesu. Merlyn menjadi pendiam sekali. Ia bahkan sama sekali tidak mau memandang wajah Galih. Sedari tadi ia terus saja menundukkkan wajahnya. Galih merasa serba-salah. Dia ini polisi yang sedang bertugas menjalankan tugas negara. Tidak professional rasanya bila ia mengistimewakan Merlyn di antara para pengunjung yang terjaring razia lainnya. Khususnya Merlyn saat ini terkena Operasi Tangkap Tangan. Walau ia yakin pasti ada sesuatu yang salah di sini. Tapi ia harus bertindak sesuai prosedur. Kalau ia sampai bertindak gegabah, demosi pasti sudah menunggunya.

"Ada dua orang pegawai yang positif, Komandan. Tapi loker mereka negatif. Apa kita bisa membawa mereka semua ke markas, Komandan!" Bripda Gede memberi laporan akhir.

"Bawa mereka semua ke markas untuk di periksa penyidik."

"Siap laksanakan!!!" Bripda Gede memberi hormat ala militer dengan menyentuh sedikit ujung topinya. Galih merasa begitu tidak tega saat melihat Merlyn yang gemetaran karena terus saja dibentak-bentak oleh anak buahnya. Setiap bahu Mer tersentak, setiap itu pula Galih mengkertakkan giginya. Mau menolong dia harus professional. Mau di biarkan saja, hatinya kok rasanya remuk redam. Ini lah akibatnya kalau ia sudah mulai membawa-bawa masalah hati dalam pekerjaannya. Bisa bubar jalan semua strategi-strategi yang sudah dikonsepnya siang malam bersama team intinya ini.

"Hati-hati jalannya! Jangan saling dorong. Bugh!!!" Galih emosi saat melihat salah seorang pengunjung club yang sepertinya sedang sakaw, mendorong Merlyn kasar hingga nyaris terjerembab ke depan. Merlyn tidak bisa leluasa bergerak karena kedua tangan dalam keadaan terborgol. Keseimbangan tubuhnya menjadi tidak stabil.

"Kamu nggak apa-apa, Mer?" Tanya Galih khawatir. Lagi-lagi Mer hanya menggeleng tanpa mau melihat pada Galih sama sekali.

"Kenapa kamu tindak mau berbicara dan memandang wajah saya, heh? Kamu... kamu marah sama saya?" Akhirnya Galih tidak tahan juga didiamkan oleh Merlyn. Saat ini Galih mengangkat dagu Merlyn dan memaksanya menengadah. Gadis ini senang menangis rupanya. Pantas saja dia terus saja menundukkan wajahnya.

"Kamu tidak usah khawatir ya, Mer? Kalau kamu tidak bersalah, kamu pasti akan segera dibebaskan." Galih mengusap lembut pipi basah Merlyn dengan sayang. Kasihan gadis ini.

"Saya memang tidak bersalah, Bang. Saya tidak tahu kenapa ada obat-obatan sebanyak itu ada di tas saya. Tadi pada saat test urine, mbak polwannya bilang, nggak boleh bawa tas di toilet. Jadi tasnya saya tinggal dipojokan. Setelah tes urine selesai dan bawaan kami di periksa semua, baru mbak polwannya bilang di tas saya ada barang bukti. Saya aja nggak tahu kalau di tas saya ada obat-obatan. Sungguh Abang polisi, saya tidak bohong." Air mata Merlyn berjatuhan lagi. Matanya kini tampak membengkak karena terus-terusan menangis. Galih merogoh saku celananya dan menyeka mata dan pipi basah Merlyn dengan sapu tangannya.

"Ingus saya juga udah banyak ini, Bang. Belum dibersihkan?" Merlyn mendongakkan wajahnya. Memperlihatkan pada Galih kalau hidungnya juga basah. Tanpa banyak bicara Galih membersihkan hidung Mer yang langsung saja membersitkan semua isinya pada sapu tangan Galih.

Briptu Hendrawan, Bripda Gede bahkan Ethan yang sedari tadi sibuk menelepon ke sana ke mari sampai menghentikan pembicaraannya, saat melihat pemandangan tidak biasa yang tersaji di depannya. Demi apa coba seorang Kompol Galih Kurniawan Jati membersit cairan hidup seorang gadis yang sedang terjaring razia OTT kalau bukan karena cinta?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yusuf Mamay
apakah novel ini kelanjutan dr novel beatyfull heart?? q suka ceritanya bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status