Detroit berdiri beberapa meter dari pintu masuk sebuah gedung yang cukup besar dan dipenuhi dengan orang-orang dan mobil-mobil yang berlalu lalang di sekitarnya. Matanya menatap ke sebuah foto yang terpasang di depan pintu masuk gedung itu sambil menghela napas. Lalu dia mengeluarkan secarik kertas dari saku jasnya dan kembali menghela napas panjang. Hari ini adalah hari di mana dia harus merelakan David Johnson, salah satu bawahannya yang juga rekan kerja Scott, untuk menikah dengan Essie Green, salah satu desainer grafis dengan Cinderella complex di kantornya.
Kelihatannya tidak ada masalah, bukan? Namun siapa yang menyangka kalau dia akan menyukai David Johnson, seorang pria yang jelas-jelas straight dan berakhir dengan mendatangi pesta pernikahan pria yang dia sukai dengan orang lain? Dan sekarang, dia bahkan masih belum beranjak dari tempatnya berdiri, seakan sedang mempertimbangkan kembali keputusannya untuk datang dan memberikan ucapan selamat untuk kedua mempelai itu.
"Hei! Baru sampai ya?"
Dia menoleh ke arah orang yang menepuknya. Scott Sinclair, sahabatnya sekaligus satu-satunya orang yang mengetahui kalau dia adalah gay, tengah mengatur napasnya yang terengah-engah.
"Jangan bilang kamu baru ingat kalau hari ini ada acara yang harus kamu datangi?" tanyanya, menyipitkan kedua matanya.
Scott tidak menjawab pertanyaannya dan segera menariknya ke salah satu tempat parkir yang hampir tidak ada orang sama sekali selain mereka berdua dan deretan mobil yang berbaris rapi. Sahabatnya itu lalu menoleh ke sekelilingnya, seolah memastikan kalau tidak ada orang yang akan mendengarkan isi percakapan mereka.
"Ngaku aja."
"Apaan?"
Scott mendecakkan lidahnya mendengar jawabannya tadi. "Kamu sebenarnya nggak mau datang ke sini kan?"
Tepat seperti dugaan sahabatnya, dia kembali menghela napas panjang. "Entahlah. Aku nggak tahu, Scott. Kamu sendiri bagaimana?"
"Aku ya? Kalau aku sih, sebenarnya nggak mau datang."
"Terus ngapain datang ke sini?"
"Karena aku tahu kamu pasti bakal datang ke sini." jawab Scott, menggenggam erat tangannya. "Kamu sendiri tahu kan, kalau kamu nggak perlu memaksakan diri untuk datang ke sini? Tinggal bilang aja kalau kamu sibuk, mereka pasti bakal paham kok."
"Gimana ya?" sahutnya, menyandarkan kepalanya ke bahu Scott. "Aku sebenarnya nggak mau datang ke sini. Kenapa juga aku mesti suka sama orang yang jelas-jelas nggak akan pernah membalas perasaanku?"
"Makanya aku bilang kamu terlalu memaksakan diri, Detroit."
Dia tidak menanggapi perkataan Scott yang memang ada benarnya itu. Bagaimanapun, dia merasa ada kewajiban sebagai atasan untuk datang ke acara yang berhubungan dengan para pegawainya. Salah satunya, mendatangi pesta pernikahan salah satu pegawainya yang juga orang yang dia suka. Namun nyatanya dia memang tidak siap secara mental untuk datang ke pesta pernikahan kedua pegawainya yang dia yakin sekali pasti terlihat bahagia satu sama lain.
"Sepertinya yang kamu katakan tadi ada benarnya. Apa sebaiknya aku pulang aja ya?"
"Lebih tepatnya kita."
Scott menjauhkan wajahnya dari bahunya dan memaksanya untuk menatap lurus ke arahnya. "Dengar, Detroit. Kamu mungkin nggak tahu, tapi Essie itu benar-benar Cinderella complex. Aku sampai nggak paham kenapa juga David suka cewek macam dia? Kalau aku jadi David, aku bakal pilih kamu daripada dia."
"Itu karena dia straight, Scott. Beda denganmu. Dan aku sudah tahu soal Essie dengan Cinderella complexnya, karena aku sering mendengar dia bercerita soal dongeng Disney sialan itu. Tapi mau bagaimana lagi? Kenyataan kalau David menyukai wanita dependen seperti Essie sudah tidak bisa dibantah lagi."
"Tetap aja aku nggak ngerti sama seleranya David. Ah, jadi malas bahasnya. Gimana kalau kita ke rumahku aja?"
"Boleh. Mau main game bareng atau..."
"Terserah kamu. Asal kita nggak datang ke sana, itu akan jauh lebih baik."
"Oke. Kita ke mobilku sekarang."
Mereka lalu berjalan menuju tempat dia memarkirkan mobilnya. Setibanya di sana, dia mengambil kunci mobilnya dan membukakan pintu mobil untuk Scott, yang langsung masuk ke dalam mobilnya. Setelah itu, dia bergegas masuk ke dalam mobil dan meninggalkan tempat yang tidak ingin dia datangi saat ini.
"Kamu ada sesuatu yang bisa kuminum? Aku haus."
"Ada. Di belakang. Mau kuambilkan?" sahutnya, tanpa menoleh ke arah Scott.
"Nggak perlu. Aku ambil sendiri."
Scott lalu berbalik ke belakang untuk mencari minuman yang dimaksud Detroit tadi. "Di mana? Nggak ada tuh."
"Masa? Berarti habis." jawabnya, menghentikan mobilnya begitu lampu merah menyala. "Sebentar. Biar kucari dulu. Harusnya masih ada."
Dia lalu mencari botol minuman yang dia yakin sekali kalau masih ada di belakang kursinya. Namun sepertinya kali ini dia harus percaya dengan perkataan sahabatnya tadi kalau tidak ada apa pun di dalam mobilnya.
"Kamu benar. Apa sebaiknya kita pergi ke minimarket?"
"Nggak perlu. Aku mau yang itu aja." kata Scott, menunjuk ke arah celananya.
Detroit memutarkan kedua bola matanya. "Serius, Scott? Kita lagi di jalan sekarang."
"Kenapa nggak?"
"Oke." sahutnya, setelah menepikan mobilnya di sisi jalan raya yang terlihat sepi.
#
Sesampainya di rumah, Scott mempersilakannya untuk duduk di salah satu kursi sofa di ruang tamu. Lalu dia kembali dengan dua gelas air dan setoples putri salju, salah satu kukis kesukaannya.
"Thanks, Scott."
"No problem. Sebentar ya, aku kasih tahu David sama Essie dulu kalau kita nggak bisa datang hari ini." kata Scott, yang duduk di sebelahnya sembari mengeluarkan ponselnya dari saku jasnya dan sibuk mengirimkan pesan sebelum kembali memasukkannya ke dalam saku jasnya.
"Kamu bilang apa sama mereka?"
"Aku bilang kalau kita nggak bisa datang karena nenek dari pihak ayahku baru saja meninggal kemarin dan kita harus datang ke upacara pemakamannya hari ini."
"Memang sih. Tapi bukannya itu sudah sepuluh tahun yang lalu ya?" sahutnya, mengambil kembali kukis itu dari dalam toples.
"Nggak masalah kan? Toh, mereka juga nggak bakalan tahu."
Dia hanya memutarkan kedua bola matanya sambil mengunyah kukis yang meninggalkan rasa manis di mulutnya saat ini. Sementara Scott menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi sofa dengan kedua tangannya yang ikut bersandar di sandaran kursi sofa.
"Gimana rasanya? Terlalu manis atau terlalu keras?"
Dia menggelengkan kepalanya. "Nggak. Ini sudah pas kok. Kamu yang buat?"
"Iya."
"Bagus deh. Lebih baik jangan dijual."
Scott lalu menoleh ke arahnya. "Maksudmu? Jangan bilang kalau kukis buatanku itu sebenarnya nggak enak?"
Tanpa menjawab pertanyaannya, Detroit mengambil salah satu kukis dari dalam toples yang kini tersisa sepertiga itu dan memasukkan sebagian ke mulutnya. Lalu dia mendekatkan mulutnya yang masih menggigit kukis itu ke Scott, memaksa sahabatnya untuk memakan kukis itu dari mulutnya.
"Sebenarnya putri salju buatanmu itu nggak ada masalah kok. Hanya saja aku nggak mau ada orang lain yang makan kukis seenak ini selain aku dan mungkin pacarmu nanti."
"Ternyata alasan pribadi. Kirain nggak enak." sahut Scott, terlihat lega dengan jawabannya tadi. "Ngomongin pacar, kamu sendiri gimana?"
"No comment."
"Ayolah. Masa nggak ada orang lain yang menarik perhatianmu saat ini?"
"Kamu tahu kan, kalau aku baru patah hati? Masa iya, aku langsung cari orang baru?"
"Detroit. Ini abad ke-21. Kalau kamu patah hati, lupakan dan cari yang baru. Semudah itu."
"Terus kamu sendiri gimana? Sama-sama belum punya pacar aja berlagak banget."
Tangan Scott sibuk membersihkan sisa gula bubuk dari sudut bibir Detroit dan menjilatinya. "Aku nggak akan berpacaran sampai kamu bertemu dengan orang yang tepat."
"Oh. Aku tersentuh sekali." ujarnya dengan nada sarkasme. "Tapi sayangnya nggak. Bilang aja kalau kamu belum bertemu dengan tipe idealmu. Nggak usah pakai aku sebagai alasan."
"Benar kok. Kan kamu tahu sendiri, kalau orang dengan preferensi seperti kita ini bakal sulit buat dapat pasangan. Bukan begitu, Master?"
"Nggak tahu deh. Jadi kamu mau apa?"
Beberapa hari berlalu setelah pesta pernikahan David Johnson dan Essie Green, kedua pegawainya yang kini resmi menjadi pasangan suami istri, diselenggarakan. Mereka tampak begitu menikmati status barunya, dan juga sambutan dari orang-orang di kantor yang memberikan ucapan selamat atas pernikahan mereka. Termasuk darinya—yang dengan berat hati dan penuh keengganan harus memberikan ucapan selamat pada mereka karena tidak ingin menimbulkan kecurigaan orang-orang di kantornya yang mungkin berpikir kalau dia merasa iri karena David berhasil mendapatkan Essie. Padahal orang yang inginkan bukanlah Essie, melainkan suami dari wanita yang kini resmi menyandang status sebagai istri sah dari pria itu."Selamat atas pernikahannya, David," ujarnya sambil tersenyum, lalu melirik pada wanita yang berdiri di samping pria itu. "Dan juga Essie, tentunya. Maaf saya tidak bisa datang ke pesta pernikahan kalian." lanjutnya, memasang wajah penuh penyesalan palsu, agar terlihat bahw
Datang ke Raymond Café. Sekarang juga. Aku yakin kamu pasti bakal suka.Detroit membaca isi chat dari Scott sambil mengernyitkan dahinya. Lalu dia mematikan layar ponselnya dan meletakkannya di atas meja kerjanya, mengabaikan pesan dari sahabatnya itu. Kedua matanya lalu kembali fokus ke depan layar komputer, menyelesaikan laporan performa perusahaan bulanan yang harus dia serahkan pada dewan direksi minggu depan. Asal dia melewatkan jam makan siang yang sudah mulai sejak lima menit yang lalu, dia yakin bisa menyelesaikannya hari ini. Dia mengabaikan suara perutnya yang protes karena rencananya hari ini dan mencoba untuk kembali fokus. Sayangnya, suara dering ponselnya dengan cepat memecah konsentrasinya. Terpaksa dia harus mengalihkan perhatiannya ke arah ponselnya yang masih berdering di atas meja dan menerima panggilan entah dari siapa."Buruan. Mumpung kafenya lagi sepi."Scott sialan, rutuknya dalam hati, memikirkan apa yang se
Hari pertamanya sebagai barista di kedai kopi yang disiapkan oleh Clara, kakak tirinya untuknya setelah dia menyelesaikan pelatihannya beberapa waktu yang lalu sepertinya berjalan cukup lancar. Maksudnya hampir tidak ada pengunjung yang datang ke kedai kopi dengan nama Raymond, yang sengaja dia pilih karena terdengar mirip dengan Almond (perhatikan suku kata belakangnya, begitu mirip bukan?).Memang sebaiknya dia tidak berharap banyak di hari pertama, bukan begitu?"Selamat datang. Ingin pesan apa?"Sambil mengelap tumpukan cangkir yang baru saja selesai dia bersihkan itu, dia kembali menghela napas panjang. Kalau saja ada pria dewasa dengan tampang dingin dan seksi yang datang ke sini, mungkin dia akan langsung memberikan nomor teleponnya sekarang juga."Café macchiato satu dan croissantnya satu."Dia segera menoleh ke arah pemilik suara tersebut, yang mengarahkan pandangannya dari buku menu
Sejak mereka menghabiskan malam bersama di ruang istirahatnya, Detroit selalu menyempatkan diri untuk datang ke kedai kopinya. Entah itu saat jam makan siang, maupun satu jam sebelum kedai kopi milik kakaknya tutup. Dia sampai hafal dengan pesanan Detroit setiap kali pria itu datang ke kedai kopinya. Secangkir macchiato dengan croissant. Tanpa sekali pun memesan menu lain. Lalu dia akan duduk di salah satu sudut ruangan kedai kopi sembari membuka layar ponselnya. Sesekali dia menangkap basah Detroit yang tengah memerhatikannya, sebelum pria itu kembali sibuk dengan ponselnya.Berkat Detroit, dia jadi selalu menantikan setiap kali pria yang menjadi cinta pertamanya itu datang ke kedai kopinya. Termasuk hari ini. Seharusnya siang ini Detroit sudah tiba di kedai kopi milik kakak tirinya itu dan memesan caffé macchiato dan croissant seperti biasanya. Apa mungkin dia akan datang nanti malam, setelah kedai kopinya tutup? Mungkin saja begitu, pikirnya sambil men
Begitu jam operasional kantor berakhir, Detroit buru-buru menyelesaikan pekerjaannya. Ia ingin segera datang ke Raymond Café, tempat Lewis bekerja sebagai barista. Dia sudah tidak sabar untuk menikmati secangkir caffé macchiato buatan barista muda itu yang rasanya jauh lebih enak dari yang biasa dia beli. Kalau saja dia tidak harus lembur hari ini, mungkin dia sudah berada di sana sambil menikmati makan malamnya bersama dengan Lewis.Dua jam kemudian, akhirnya dia benar-benar terbebas dari pekerjaannya. Setelah memastikan hasil pekerjaannya, dia merapikan mejanya dan melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul 22:25. Lewis pasti sudah menunggunya dari tadi, pikirnya sambil berlari keluar dari ruangannya menuju Raymond Café.Sesampainya di dekat Raymond Café, dia merasa lega sekaligus senang begitu melihat Lewis yang sedang duduk sambil memegang ponselnya. Sepertinya memang benar dugaannya kalau laki-laki itu tengah menunggunya di kedai kopi
Begitu selesai menyiapkan pesanan Detroit, Lewis segera berjalan menuju meja tempat pria itu tengah menunggunya."Ini pesananmu. Detroit?"Pria itu lalu menoleh ke arahnya, yang baru dia sadari kalau wajah pria itu tampak begitu lelah. "Oh, terima kasih."Dia mengangguk pelan dan duduk di sebelahnya. Sambil menopang dagunya dengan sebelah tangannya, dia mengamati cara pria itu menikmati kopi racikannya tadi. Bahkan dengan wajah seletih itu, dia masih bisa makan dengan begitu elegan. Benar-benar tidak adil ada pria sesempurna Detroit Thompson di dunia ini. Tetapi dia juga merasa beruntung karena dia berhasil mendekati pria yang kini tengah menikmati croissantnya."Ada apa?"Detroit, yang menyadari kalau dia tengah memerhatikannya, meletakkan garpu dan pisau yang dipakainya untuk menyantap croissant tadi dan balas menatapnya."Kamu kelihatan capek. Apa setelah ini mau lang
Begitu mereka melepaskan ciumannya, Detroit memegangi bibirnya yang masih basah oleh sisa ciuman mereka tadi. Lalu menatap lurus ke arahnya, yang tersenyum puas setelah berhasil mengambil kesempatan untuk mengganti posisi mereka. Sekarang Detroit tengah berbaring di atas kasur dengan wajahnya yang tampak begitu menggoda, sementara dia berada di atas tubuh pria itu dengan kedua tangannya yang menahan tubuhnya agar tidak menimpa pria itu."Lewis, kamu…""Kenapa?" tanyanya sambil menyisir rambut Detroit yang terasa lembut di jari tangannya."Ternyata boleh juga untuk orang yang belum pernah berhubungan dengan orang lain sebelumnya." sahut Detroit, sambil menjilati bibir bawahnya dan tersenyum puas ke arahnya. Dia terkejut begitu melihat wajah penuh kemenangan Detroit sambil menatap wajah pria itu dengan rasa keheranan.Rasanya dia sama sekali tidak mengerti. Bagaimana bisa pria yang baru saja dia temui beberapa hari ya
Keesokan harinya, seluruh tubuhnya terasa sakit hingga dia nyaris tidak bisa bergerak. Terutama di bagian pinggang ke bawah, yang masih sakit akibat kejadian semalam. Dia benar-benar tidak menduga kalau pria yang dia sukai itu ternyata memiliki sisi lain yang berhasil memuaskan hasratnya untuk bercinta dengannya semalaman. Kalau saja bukan karena hari ini mereka harus kembali bekerja, mungkin dia akan meminta Detroit untuk melanjutkan apa yang mereka lakukan semalam."Lewis?""Hm?""Besok lusa kamu libur?""Iya. Kenapa?" tanyanya, mengarahkan tangan Detroit ke arah bibirnya dan menjilatinya perlahan."Hm, bagus. Kalau begitu besok lusa aku akan menjemputmu di rumahmu. Aku ingin mengajakmu pergi ke suatu tempat."Dia langsung menghentikan kegiatannya tadi dan menatap pria yang berbaring di sampingnya itu dengan wajah kebingungan. "Memang kamu mau ngajakin aku ke mana?"