Share

Bab 2

Beberapa hari berlalu setelah pesta pernikahan David Johnson dan Essie Green, kedua pegawainya yang kini resmi menjadi pasangan suami istri, diselenggarakan. Mereka tampak begitu menikmati status barunya, dan juga sambutan dari orang-orang di kantor yang memberikan ucapan selamat atas pernikahan mereka. Termasuk darinya—yang dengan berat hati dan penuh keengganan harus memberikan ucapan selamat pada mereka karena tidak ingin menimbulkan kecurigaan orang-orang di kantornya yang mungkin berpikir kalau dia merasa iri karena David berhasil mendapatkan Essie. Padahal orang yang inginkan bukanlah Essie, melainkan suami dari wanita yang kini resmi menyandang status sebagai istri sah dari pria itu. 

"Selamat atas pernikahannya, David," ujarnya sambil tersenyum, lalu melirik pada wanita yang berdiri di samping pria itu. "Dan juga Essie, tentunya. Maaf saya tidak bisa datang ke pesta pernikahan kalian." lanjutnya, memasang wajah penuh penyesalan palsu, agar terlihat bahwa ia mengungkapkannya dari lubuk hatinya yang terdalam saat memberikan ucapan selamat kepada David dan Essie. 

"Nggak masalah." sahut David memberikan senyuman tulusnya yang semakin membuatnya merasa patah hati. "Pak Scott sudah bilang lewat pesan singkat kalau Anda dan Pak Scott harus menghadiri upacara pemakaman. Turut berduka cita atas kematian nenek Pak Scott."

Dalam hati dia merasa agak bersalah karena bukan itu alasan sebenarnya mengapa dia dan Scott tidak bisa menghadiri pesta pernikahan mereka. Tapi setidaknya alasan yang diberikan oleh sahabatnya itu jauh lebih baik daripada dia tetap memaksakan diri untuk datang ke sana. Dan secara teknis, sahabatnya memang mengatakan hal yang sebenarnya kalau nenek dari pihak ayahnya telah meninggal. Yang Scott lakukan hanyalah sedikit mengubah kenyataan mengenai hari kematian neneknya. 

Dia menganggukkan kepalanya dan mengalihkan pandangannya ke arah Essie, yang seolah ingin memamerkan keberhasilannya karena berhasil mendapatkan David lebih dulu darinya. Tentu saja itu hanyalah bagian dari halusinasinya.  

"Terima kasih untuk ucapannya, Pak Detroit. Essie senang banget! Sayang waktu itu Pak Detroit nggak datang, tapi mau bagaimana lagi? Semoga Pak Detroit bisa menyusul kita ya? Ya kan, David?"

"Iya, Essie." jawab David, memberikan ciuman singkat ke bibir Essie, yang semakin membuatnya sedih. "Oh, iya. Apa Anda keberatan jika kami mengundang Anda untuk ikut jamuan makan malam bersama setelah pulang nanti?"

Dengan segera dia menggelengkan kepalanya sambil memasang ekspresi wajah penuh dengan rasa penyesalan yang mendalam. "Maaf, sepertinya saya tidak akan sempat datang ke jamuan makan malam kalian. Tapi semoga acara yang kalian buat nanti berjalan lancar ya?"

"Yah, sayang banget. Padahal Essie kan mau pamerin Pak Detroit ke teman-teman Essie. Pasti mereka bakal suka deh, kalau ada Pak Detroit di acara jamuan makan malam kita nanti." sahut Essie, terlihat kecewa karena dia baru saja menolak undangan suaminya tadi. "Terus nanti Essie bakal pakai gaun Cinderella, sementara David bakal jadi pangerannya." 

"Lalu kita akan berdansa satu sama lain, ditemani dengan deretan lilin dan bunga lili kesukaanmu. Setelah itu, aku akan mengantarkanmu ke meja makan dan menyuapimu makan malam kita nanti. Aku akan membuat makan malam kita menjadi salah satu kenangan yang tak terlupakan."

Wajah Essie semakin terlihat senang begitu mendengar jawaban David tadi. Sementara tangan David mengusap rambut panjang bergelombang wanita itu yang sepertinya baru disemir itu agar sama seperti warna rambut David. Sayangnya, warna itu terlihat begitu serasi dengan wanita itu, membuatnya harus mengakui kalau David tidak salah memilih pasangan yang sempurna dari segi penampilan. Takdir memang sedang tidak berpihak padanya, dan dia ingin sekali merutuki kesialannya.

"Kalau begitu saya permisi dulu. Sekali lagi, selamat untuk pernikahannya." ujar Detroit, pamit mengundurkan diri sebelum dia semakin tenggelam dalam rasa sedihnya melihat pemandangan yang ada di hadapannya saat ini. Lalu dia berjalan menjauhi mereka berdua dan orang-orang yang mengerumuni mereka berdua menuju ruangannya. Begitu tiba di dalam ruangannya, dia merebahkan tubuhnya di atas kursi dan menutupi wajahnya dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya sibuk memukul sandaran kursi yang dia duduki saat ini, melampiaskan kekesalannya setelah melihat kemesraan dari kedua pasangan tadi yang sama sekali tidak ingin dia ingat saat ini.  

"Kali aku bisa datang setelah baru saja patah hati." gumamnya, teringat saat datang ke acara pernikahan mereka yang pada akhirnya dia tidak jadi masuk ke sana dan malah menghabiskan waktunya bersama Scott, yang berhasil membujuknya agar ikut 'bermain' bersamanya di hari pernikahan David dan Essie.

Ingatannya lalu berputar ke saat dia pertama kali bertemu dengan David Johnson beberapa tahun yang lalu. Saat itu dia baru saja kembali dari rapat dengan dewan komisaris setelah berdiskusi dengan mereka terkait dengan rencananya untuk mengakuisisi beberapa hotel yang terancam bangkrut namun memiliki prospek cerah berkat lokasinya yang strategis. Dengan wajahnya yang tampan, tinggi sekitar 170 cm dan bentuk tubuhnya yang tampak begitu sempurna, sosok David yang tengah berjalan di lorong kantornya saat itu segera berhasil menarik perhatiannya untuk terus menatap pria itu. Rambut lurusnya yang hanya sebatas bahu dan berwarna cokelat tua itu entah bagaimana terlihat begitu serasi dengan warna iris matanya yang sama dengan warna rambutnya. Begitu juga dengan alisnya yang tebal dan terbentuk rapi dan sorot matanya yang tampak begitu ramah dan ceria. Juga senyumannya yang hangat itu membuatnya terlihat begitu sempurna di matanya. Selain, tentu saja, kenyataan kalau David Johnson itu tipe pria straight, sementara dia seorang closed gay yang masih belum berniat untuk coming out pada semuanya. Sehingga kemungkinan untuk dia menjadikan pria itu sebagai pacarnya dari awal sudah nyaris mendekati nol.

Dan sekarang, kemungkinan itu sudah resmi menjadi nol. Bagus sekali. Sekarang harapan satu-satunya adalah dia bisa menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi David, yang tentu saja itu tidak mungkin akan terjadi dalam waktu dekat.

Ingatannya lalu beralih ke Essie Green, istri dari pria itu. Wajah wanita itu yang imut seperti boneka Eropa, namun dengan tinggi yang sepertinya berbeda sepuluh sentimeter lebih pendek dari David. Sejauh yang dia tahu, Essie itu tipe wanita yang selalu mengandalkan bantuan orang lain. Sikapnya yang manja dan sangat tahu bagaimana memanfaatkan keimutannya itu untuk kepentingannya sendiri (ini murni pendapatnya sendiri) membuatnya merasa tidak nyaman untuk berada terlalu lama dengan wanita itu. Namun sepertinya tidak dengan David, yang sama sekali tidak mempermasalahkan sikap Essie yang bertingkah seolah dia adalah salah satu dari putri yang ada dalam cerita Disney.

Yah, sebaiknya mulai hari ini dia harus belajar untuk melupakan sosok David dari pikirannya. Sambil menepuk-nepuk kedua pipinya, dia mulai memfokuskan perhatiannya pada layar komputernya dan mulai menenggelamkan diri dengan pekerjaannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status