Beberapa hari berlalu setelah pesta pernikahan David Johnson dan Essie Green, kedua pegawainya yang kini resmi menjadi pasangan suami istri, diselenggarakan. Mereka tampak begitu menikmati status barunya, dan juga sambutan dari orang-orang di kantor yang memberikan ucapan selamat atas pernikahan mereka. Termasuk darinya—yang dengan berat hati dan penuh keengganan harus memberikan ucapan selamat pada mereka karena tidak ingin menimbulkan kecurigaan orang-orang di kantornya yang mungkin berpikir kalau dia merasa iri karena David berhasil mendapatkan Essie. Padahal orang yang inginkan bukanlah Essie, melainkan suami dari wanita yang kini resmi menyandang status sebagai istri sah dari pria itu.
"Selamat atas pernikahannya, David," ujarnya sambil tersenyum, lalu melirik pada wanita yang berdiri di samping pria itu. "Dan juga Essie, tentunya. Maaf saya tidak bisa datang ke pesta pernikahan kalian." lanjutnya, memasang wajah penuh penyesalan palsu, agar terlihat bahwa ia mengungkapkannya dari lubuk hatinya yang terdalam saat memberikan ucapan selamat kepada David dan Essie.
"Nggak masalah." sahut David memberikan senyuman tulusnya yang semakin membuatnya merasa patah hati. "Pak Scott sudah bilang lewat pesan singkat kalau Anda dan Pak Scott harus menghadiri upacara pemakaman. Turut berduka cita atas kematian nenek Pak Scott."
Dalam hati dia merasa agak bersalah karena bukan itu alasan sebenarnya mengapa dia dan Scott tidak bisa menghadiri pesta pernikahan mereka. Tapi setidaknya alasan yang diberikan oleh sahabatnya itu jauh lebih baik daripada dia tetap memaksakan diri untuk datang ke sana. Dan secara teknis, sahabatnya memang mengatakan hal yang sebenarnya kalau nenek dari pihak ayahnya telah meninggal. Yang Scott lakukan hanyalah sedikit mengubah kenyataan mengenai hari kematian neneknya.
Dia menganggukkan kepalanya dan mengalihkan pandangannya ke arah Essie, yang seolah ingin memamerkan keberhasilannya karena berhasil mendapatkan David lebih dulu darinya. Tentu saja itu hanyalah bagian dari halusinasinya.
"Terima kasih untuk ucapannya, Pak Detroit. Essie senang banget! Sayang waktu itu Pak Detroit nggak datang, tapi mau bagaimana lagi? Semoga Pak Detroit bisa menyusul kita ya? Ya kan, David?"
"Iya, Essie." jawab David, memberikan ciuman singkat ke bibir Essie, yang semakin membuatnya sedih. "Oh, iya. Apa Anda keberatan jika kami mengundang Anda untuk ikut jamuan makan malam bersama setelah pulang nanti?"
Dengan segera dia menggelengkan kepalanya sambil memasang ekspresi wajah penuh dengan rasa penyesalan yang mendalam. "Maaf, sepertinya saya tidak akan sempat datang ke jamuan makan malam kalian. Tapi semoga acara yang kalian buat nanti berjalan lancar ya?"
"Yah, sayang banget. Padahal Essie kan mau pamerin Pak Detroit ke teman-teman Essie. Pasti mereka bakal suka deh, kalau ada Pak Detroit di acara jamuan makan malam kita nanti." sahut Essie, terlihat kecewa karena dia baru saja menolak undangan suaminya tadi. "Terus nanti Essie bakal pakai gaun Cinderella, sementara David bakal jadi pangerannya."
"Lalu kita akan berdansa satu sama lain, ditemani dengan deretan lilin dan bunga lili kesukaanmu. Setelah itu, aku akan mengantarkanmu ke meja makan dan menyuapimu makan malam kita nanti. Aku akan membuat makan malam kita menjadi salah satu kenangan yang tak terlupakan."
Wajah Essie semakin terlihat senang begitu mendengar jawaban David tadi. Sementara tangan David mengusap rambut panjang bergelombang wanita itu yang sepertinya baru disemir itu agar sama seperti warna rambut David. Sayangnya, warna itu terlihat begitu serasi dengan wanita itu, membuatnya harus mengakui kalau David tidak salah memilih pasangan yang sempurna dari segi penampilan. Takdir memang sedang tidak berpihak padanya, dan dia ingin sekali merutuki kesialannya.
"Kalau begitu saya permisi dulu. Sekali lagi, selamat untuk pernikahannya." ujar Detroit, pamit mengundurkan diri sebelum dia semakin tenggelam dalam rasa sedihnya melihat pemandangan yang ada di hadapannya saat ini. Lalu dia berjalan menjauhi mereka berdua dan orang-orang yang mengerumuni mereka berdua menuju ruangannya. Begitu tiba di dalam ruangannya, dia merebahkan tubuhnya di atas kursi dan menutupi wajahnya dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya sibuk memukul sandaran kursi yang dia duduki saat ini, melampiaskan kekesalannya setelah melihat kemesraan dari kedua pasangan tadi yang sama sekali tidak ingin dia ingat saat ini.
"Kali aku bisa datang setelah baru saja patah hati." gumamnya, teringat saat datang ke acara pernikahan mereka yang pada akhirnya dia tidak jadi masuk ke sana dan malah menghabiskan waktunya bersama Scott, yang berhasil membujuknya agar ikut 'bermain' bersamanya di hari pernikahan David dan Essie.
Ingatannya lalu berputar ke saat dia pertama kali bertemu dengan David Johnson beberapa tahun yang lalu. Saat itu dia baru saja kembali dari rapat dengan dewan komisaris setelah berdiskusi dengan mereka terkait dengan rencananya untuk mengakuisisi beberapa hotel yang terancam bangkrut namun memiliki prospek cerah berkat lokasinya yang strategis. Dengan wajahnya yang tampan, tinggi sekitar 170 cm dan bentuk tubuhnya yang tampak begitu sempurna, sosok David yang tengah berjalan di lorong kantornya saat itu segera berhasil menarik perhatiannya untuk terus menatap pria itu. Rambut lurusnya yang hanya sebatas bahu dan berwarna cokelat tua itu entah bagaimana terlihat begitu serasi dengan warna iris matanya yang sama dengan warna rambutnya. Begitu juga dengan alisnya yang tebal dan terbentuk rapi dan sorot matanya yang tampak begitu ramah dan ceria. Juga senyumannya yang hangat itu membuatnya terlihat begitu sempurna di matanya. Selain, tentu saja, kenyataan kalau David Johnson itu tipe pria straight, sementara dia seorang closed gay yang masih belum berniat untuk coming out pada semuanya. Sehingga kemungkinan untuk dia menjadikan pria itu sebagai pacarnya dari awal sudah nyaris mendekati nol.
Dan sekarang, kemungkinan itu sudah resmi menjadi nol. Bagus sekali. Sekarang harapan satu-satunya adalah dia bisa menemukan seseorang yang bisa menggantikan posisi David, yang tentu saja itu tidak mungkin akan terjadi dalam waktu dekat.
Ingatannya lalu beralih ke Essie Green, istri dari pria itu. Wajah wanita itu yang imut seperti boneka Eropa, namun dengan tinggi yang sepertinya berbeda sepuluh sentimeter lebih pendek dari David. Sejauh yang dia tahu, Essie itu tipe wanita yang selalu mengandalkan bantuan orang lain. Sikapnya yang manja dan sangat tahu bagaimana memanfaatkan keimutannya itu untuk kepentingannya sendiri (ini murni pendapatnya sendiri) membuatnya merasa tidak nyaman untuk berada terlalu lama dengan wanita itu. Namun sepertinya tidak dengan David, yang sama sekali tidak mempermasalahkan sikap Essie yang bertingkah seolah dia adalah salah satu dari putri yang ada dalam cerita Disney.
Yah, sebaiknya mulai hari ini dia harus belajar untuk melupakan sosok David dari pikirannya. Sambil menepuk-nepuk kedua pipinya, dia mulai memfokuskan perhatiannya pada layar komputernya dan mulai menenggelamkan diri dengan pekerjaannya.
Datang ke Raymond Café. Sekarang juga. Aku yakin kamu pasti bakal suka.Detroit membaca isi chat dari Scott sambil mengernyitkan dahinya. Lalu dia mematikan layar ponselnya dan meletakkannya di atas meja kerjanya, mengabaikan pesan dari sahabatnya itu. Kedua matanya lalu kembali fokus ke depan layar komputer, menyelesaikan laporan performa perusahaan bulanan yang harus dia serahkan pada dewan direksi minggu depan. Asal dia melewatkan jam makan siang yang sudah mulai sejak lima menit yang lalu, dia yakin bisa menyelesaikannya hari ini. Dia mengabaikan suara perutnya yang protes karena rencananya hari ini dan mencoba untuk kembali fokus. Sayangnya, suara dering ponselnya dengan cepat memecah konsentrasinya. Terpaksa dia harus mengalihkan perhatiannya ke arah ponselnya yang masih berdering di atas meja dan menerima panggilan entah dari siapa."Buruan. Mumpung kafenya lagi sepi."Scott sialan, rutuknya dalam hati, memikirkan apa yang se
Hari pertamanya sebagai barista di kedai kopi yang disiapkan oleh Clara, kakak tirinya untuknya setelah dia menyelesaikan pelatihannya beberapa waktu yang lalu sepertinya berjalan cukup lancar. Maksudnya hampir tidak ada pengunjung yang datang ke kedai kopi dengan nama Raymond, yang sengaja dia pilih karena terdengar mirip dengan Almond (perhatikan suku kata belakangnya, begitu mirip bukan?).Memang sebaiknya dia tidak berharap banyak di hari pertama, bukan begitu?"Selamat datang. Ingin pesan apa?"Sambil mengelap tumpukan cangkir yang baru saja selesai dia bersihkan itu, dia kembali menghela napas panjang. Kalau saja ada pria dewasa dengan tampang dingin dan seksi yang datang ke sini, mungkin dia akan langsung memberikan nomor teleponnya sekarang juga."Café macchiato satu dan croissantnya satu."Dia segera menoleh ke arah pemilik suara tersebut, yang mengarahkan pandangannya dari buku menu
Sejak mereka menghabiskan malam bersama di ruang istirahatnya, Detroit selalu menyempatkan diri untuk datang ke kedai kopinya. Entah itu saat jam makan siang, maupun satu jam sebelum kedai kopi milik kakaknya tutup. Dia sampai hafal dengan pesanan Detroit setiap kali pria itu datang ke kedai kopinya. Secangkir macchiato dengan croissant. Tanpa sekali pun memesan menu lain. Lalu dia akan duduk di salah satu sudut ruangan kedai kopi sembari membuka layar ponselnya. Sesekali dia menangkap basah Detroit yang tengah memerhatikannya, sebelum pria itu kembali sibuk dengan ponselnya.Berkat Detroit, dia jadi selalu menantikan setiap kali pria yang menjadi cinta pertamanya itu datang ke kedai kopinya. Termasuk hari ini. Seharusnya siang ini Detroit sudah tiba di kedai kopi milik kakak tirinya itu dan memesan caffé macchiato dan croissant seperti biasanya. Apa mungkin dia akan datang nanti malam, setelah kedai kopinya tutup? Mungkin saja begitu, pikirnya sambil men
Begitu jam operasional kantor berakhir, Detroit buru-buru menyelesaikan pekerjaannya. Ia ingin segera datang ke Raymond Café, tempat Lewis bekerja sebagai barista. Dia sudah tidak sabar untuk menikmati secangkir caffé macchiato buatan barista muda itu yang rasanya jauh lebih enak dari yang biasa dia beli. Kalau saja dia tidak harus lembur hari ini, mungkin dia sudah berada di sana sambil menikmati makan malamnya bersama dengan Lewis.Dua jam kemudian, akhirnya dia benar-benar terbebas dari pekerjaannya. Setelah memastikan hasil pekerjaannya, dia merapikan mejanya dan melirik arlojinya yang sudah menunjukkan pukul 22:25. Lewis pasti sudah menunggunya dari tadi, pikirnya sambil berlari keluar dari ruangannya menuju Raymond Café.Sesampainya di dekat Raymond Café, dia merasa lega sekaligus senang begitu melihat Lewis yang sedang duduk sambil memegang ponselnya. Sepertinya memang benar dugaannya kalau laki-laki itu tengah menunggunya di kedai kopi
Begitu selesai menyiapkan pesanan Detroit, Lewis segera berjalan menuju meja tempat pria itu tengah menunggunya."Ini pesananmu. Detroit?"Pria itu lalu menoleh ke arahnya, yang baru dia sadari kalau wajah pria itu tampak begitu lelah. "Oh, terima kasih."Dia mengangguk pelan dan duduk di sebelahnya. Sambil menopang dagunya dengan sebelah tangannya, dia mengamati cara pria itu menikmati kopi racikannya tadi. Bahkan dengan wajah seletih itu, dia masih bisa makan dengan begitu elegan. Benar-benar tidak adil ada pria sesempurna Detroit Thompson di dunia ini. Tetapi dia juga merasa beruntung karena dia berhasil mendekati pria yang kini tengah menikmati croissantnya."Ada apa?"Detroit, yang menyadari kalau dia tengah memerhatikannya, meletakkan garpu dan pisau yang dipakainya untuk menyantap croissant tadi dan balas menatapnya."Kamu kelihatan capek. Apa setelah ini mau lang
Begitu mereka melepaskan ciumannya, Detroit memegangi bibirnya yang masih basah oleh sisa ciuman mereka tadi. Lalu menatap lurus ke arahnya, yang tersenyum puas setelah berhasil mengambil kesempatan untuk mengganti posisi mereka. Sekarang Detroit tengah berbaring di atas kasur dengan wajahnya yang tampak begitu menggoda, sementara dia berada di atas tubuh pria itu dengan kedua tangannya yang menahan tubuhnya agar tidak menimpa pria itu."Lewis, kamu…""Kenapa?" tanyanya sambil menyisir rambut Detroit yang terasa lembut di jari tangannya."Ternyata boleh juga untuk orang yang belum pernah berhubungan dengan orang lain sebelumnya." sahut Detroit, sambil menjilati bibir bawahnya dan tersenyum puas ke arahnya. Dia terkejut begitu melihat wajah penuh kemenangan Detroit sambil menatap wajah pria itu dengan rasa keheranan.Rasanya dia sama sekali tidak mengerti. Bagaimana bisa pria yang baru saja dia temui beberapa hari ya
Keesokan harinya, seluruh tubuhnya terasa sakit hingga dia nyaris tidak bisa bergerak. Terutama di bagian pinggang ke bawah, yang masih sakit akibat kejadian semalam. Dia benar-benar tidak menduga kalau pria yang dia sukai itu ternyata memiliki sisi lain yang berhasil memuaskan hasratnya untuk bercinta dengannya semalaman. Kalau saja bukan karena hari ini mereka harus kembali bekerja, mungkin dia akan meminta Detroit untuk melanjutkan apa yang mereka lakukan semalam."Lewis?""Hm?""Besok lusa kamu libur?""Iya. Kenapa?" tanyanya, mengarahkan tangan Detroit ke arah bibirnya dan menjilatinya perlahan."Hm, bagus. Kalau begitu besok lusa aku akan menjemputmu di rumahmu. Aku ingin mengajakmu pergi ke suatu tempat."Dia langsung menghentikan kegiatannya tadi dan menatap pria yang berbaring di sampingnya itu dengan wajah kebingungan. "Memang kamu mau ngajakin aku ke mana?"
Keesokan harinya, dia mengetukkan jemarinya di atas mejanya selama hampir seharian. Dia merasa gelisah dengan apa yang ada di hadapannya saat ini. Bukan karena dia merasa frustrasi setelah dia gagal merasakan orgasmenya sejak kemarin. Namun karena dia merasa ada yang kurang dengan suasana di kedai kopi milik kakak tirinya itu yang kini mulai ramai oleh para pekerja kantoran yang ingin beristirahat sejenak dari rutinitas harian mereka. "Enaknya putar lagu apa ya?" gumamnya, menatap layar ponsel yang berisi playlist lagu kesukaannya. Baginya, ini saat yang tepat untuk memasukkan latar musik agar pengunjung kedai kopi ini merasa betah untuk tetap berlama-lama di sini, selain tentunya karena layanan Wi-Fi gratis yang dia cantumkan di depan toko (meski sebenarnya diam-diam dia memasukkan biaya tagihan Wi-Fi ke semua menu yang ada di kedai kopi itu agar tidak diketahui para pelanggannya, yang tentu saja tidak akan dia beritahukan pada para pelanggannya). Sayup-sayup dia mendengar suara mus