"๐ ๐๐ ๐๐๐พ๐๐๐, ๐ ๐๐๐๐บ๐. ๐ ๐๐ ๐๐๐๐บ ๐๐๐พ๐๐บ๐๐บ ๐๐บ๐ ๐๐บ๐๐ ๐๐บ๐๐บ. ๐ณ๐บ๐๐ ๐๐๐๐บ ๐๐๐๐บ๐ ๐ป๐๐ ๐พ๐ ๐๐๐พ๐๐บ๐. ๐ช๐๐๐บ ๐๐บ๐๐๐ ๐๐๐บ๐."
๐ ๐๐๐๐บ๐ ๐๐พ๐๐๐บ๐๐๐๐๐ ๐๐พ๐ผ๐๐ , ๐๐พ๐๐๐ ๐๐บ๐๐๐๐๐บ ๐๐บ๐๐๐ ๐ฝ๐๐๐พ๐๐๐๐ ๐๐พ๐๐บ๐๐๐บ๐. ๐จ๐บ ๐๐บ๐๐ ๐ป๐พ๐๐บ๐๐บ ๐ป๐พ๐๐บ๐ ๐ผ๐๐๐๐บ ๐ฅ๐บ๐๐๐บ๐ ๐๐พ๐๐บ๐ฝ๐บ ๐ ๐๐๐บ๐, ๐๐บ๐๐ฝ๐บ๐๐บ ๐๐พ๐๐ป๐บ๐๐๐๐บ. ๐ณ๐บ๐๐ ๐๐๐๐๐บ๐๐ ๐๐๐ ๐๐บ๐๐ ๐ ๐พ๐ป๐๐ ๐๐๐๐๐ ๐ฝ๐บ๐๐๐๐บ๐ฝ๐บ ๐๐บ๐๐ ๐๐พ๐๐๐บ๐ ๐๐บ ๐ป๐บ๐๐บ๐๐๐๐บ๐. ๐ฒ๐๐บ๐๐บ๐๐บ ๐๐พ๐๐๐๐ ๐ ๐บ๐๐. ๐ง๐บ๐๐๐บ ๐๐๐บ๐๐บ ๐ฝ๐พ๐๐บ๐ ๐๐บ๐ ๐ฝ๐๐๐ฝ๐๐๐ ๐๐บ๐๐ ๐๐พ๐๐ฝ๐พ๐๐๐บ๐, ๐๐พ๐๐ป๐๐บ๐ ๐๐บ๐ ๐บ๐ ๐๐พ๐๐บ๐๐บ ๐๐พ๐๐บ๐๐๐ ๐ ๐บ๐๐ป๐บ๐. **** ๐ฏ๐บ๐๐ ๐๐บ๐๐๐๐๐บ, ๐ฅ๐บ๐๐๐บ๐ ๐๐พ๐๐พ๐๐๐๐บ ๐๐พ๐ป๐๐บ๐ ๐๐พ๐๐บ๐ ๐๐บ๐ ๐ฝ๐๐๐พ๐๐บ๐ ๐๐พ๐ ๐บ๐ ๐๐ ๐๐๐๐๐พ๐ ๐๐๐บ. ๐ญ๐๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐ฝ๐บ๐ ๐๐พ๐๐๐๐๐๐บ๐, ๐ฝ๐บ๐ ๐๐๐Farhan memijat pelipisnya, mencoba menjelaskan situasi tanpa terdengar terlalu khawatir. "Dia masih ... gitu, Man. Banyak kecemasan. Gue nggak tahu harus gimana lagi. Kayak semua yang gue lakuin nggak cukup buat bikin dia tenang."Arman terdiam sejenak sebelum menjawab. "Gue ngerti, Bang. Tapi lo juga harus sabar. Kehamilan tuh pasti bikin dia lebih sensitif. Lo ingat nggak dulu waktu Ibu hamil gue? Bapak juga sering cerita, Ibu jadi sering cemas. Apalagi Aisyah ini kehamilan pertama, kan?"Farhan terdiam. Ia ingat cerita itu. Tapi rasanya apa yang dialami Aisyah jauh lebih berat dari sekadar kehamilan biasa. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang belum Aisyah ungkapkan."Tapi ini beda, Man," balas Farhan akhirnya. "Dia sampai nggak bisa tidur, nggak mau keluar rumah. Tiap hari cuma khawatir soal bayi. Gue takut dia terlalu stres.""Kalau gitu, lo harus ajak dia bicara lebih dalam, Bang. Mungkin ada sesuatu yang dia pendam. Kadang, kit
Aisyah duduk di sofa ruang tamu, kedua tangannya menggenggam erat secangkir teh hangat yang sudah mulai dingin. Pandangannya tidak fokus, terus tertuju pada jendela besar yang menghadap ke taman kecil di depan rumah. Di luar, hujan rintik-rintik membasahi dedaunan, menciptakan irama menenangkan. Tapi dalam hati Aisyah, tidak ada ketenangan. Hanya kecemasan yang terus merongrong pikirannya."Masih hujan, ya?" Suara Farhan memecah keheningan. Lelaki itu muncul dari dapur dengan segelas kopi di tangan, lalu duduk di sebelah Aisyah. Ia menatap istrinya, mencoba membaca ekspresi yang sejak beberapa hari terakhir terasa sulit ia pahami.Aisyah hanya mengangguk kecil tanpa menoleh. "Iya, Mas. Hujan," jawabnya singkat.Farhan menghela napas pelan. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Sejak kehamilan Aisyah memasuki trimester kedua, istrinya itu mulai berubah. Semakin sering termenung, memilih tinggal di rumah, dan kadang terlihat seperti orang yang sedang dihantu
Aisyah memandang kotak kecil di tangannya dengan napas tertahan. Tangannya sedikit gemetar saat ia membukanya perlahan. Di dalamnya, ada alat tes kehamilan yang baru saja dia gunakan beberapa menit lalu. Farhan berdiri tak jauh darinya, menatap dengan campuran rasa khawatir dan harapan yang tadi sempat terlukis di matanya. "Aku lihat hasilnya, Mas?" tanya Aisyah dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. Farhan mendekat, lalu duduk di sebelahnya. Dia meraih tangan Aisyah, menggenggamnya erat, seolah ingin memberikan kekuatan. "Bareng aja, Sayang. Kita lihat bareng." Aisyah mengangguk kecil. Ia menarik napas panjang dan berusaha menenangkan debaran jantungnya yang terasa semakin kencang. Dengan tangan yang masih bergetar, ia mengangkat alat tes kehamilan itu untuk melihat hasilnya. Dua garis merah. Mata Aisyah membelalak. Ia menatap alat itu, memastikan apa yang dilihatnya benar. "Mas ... ini ... dua garis,"
Matahari mulai memancarkan sinarnya, mengintip dari sela-sela tirai kamar. Suara burung di luar jendela terdengar ceria, seolah menyambut hari baru dengan semangat. Namun, di dalam kamar, suasana masih hening. Farhan membuka matanya perlahan, merasa berat untuk bangun dari kasur. Ia menoleh ke samping, melihat Aisyah yang masih terlelap. Wajah istrinya terlihat tenang, meski ada jejak kelelahan yang sulit disembunyikan. Farhan menarik napas panjang. Dalam hatinya, ia berjanji akan melakukan apa saja untuk membuat Aisyah bahagia. Ia tahu, perjalanan mereka tidak akan mudah. Namun, ia juga tahu bahwa cinta mereka lebih kuat dari segala rintangan. Sekitar setengah jam kemudian, Aisyah mulai menggeliat pelan. Matanya perlahan terbuka, dan ia tersenyum tipis saat melihat Farhan sudah bangun. "Mas, udah bangun duluan?" tanyanya dengan suara serak khas pagi. Farhan tersenyum balik. "Iya, aku nggak mau bangunin kamu. Kamu kelihatan capek semalam." Ais
Malam itu, hujan baru saja reda. Udara dingin menyelinap masuk melalui celah-celah jendela rumah Farhan. Ia duduk di ruang tamu, menatap ponselnya dengan pandangan kosong. Di layar, pesan yang ia tulis untuk Aisyah masih terbuka, belum terkirim. Jari-jarinya gemetar di atas tombol kirim, tapi hati dan pikirannya masih berdebat."Aku harus ngapain, ya?" gumam Farhan pelan, suaranya tenggelam dalam keheningan malam. Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa bimbang yang terus menghantui.Sementara itu, di rumah orang tuanya, Aisyah sedang berdiri di depan cermin kamar. Ia menatap bayangannya sendiri, mencoba mencari kekuatan dari pantulan wajah yang kini tampak lelah. Hatinya terasa berat. Ia tahu ia ingin berbicara dengan Farhan, tapi entah kenapa, setiap kali ia mencoba mengetik pesan, pikirannya langsung kacau.Di atas meja kecil di samping tempat tidur, ponselnya bergetar pelan. Aisyah menoleh, berharap ada pesan dari Farhan. Tapi saat dilihat, ha
Aisyah menatap koper yang sudah tersusun rapi di sudut kamar. Tangannya gemetar saat ia merapikan selendang di bahunya. Udara terasa dingin, atau mungkin itu hanya perasaannya saja. Di luar, langit malam tampak gelap gulita, tanpa bintang. Sebuah kehampaan yang entah kenapa mencerminkan isi hatinya malam itu."Mas, aku mau pulang ke rumah orang tua dulu," ucap Aisyah dengan suara bergetar.Farhan, yang sejak tadi duduk diam di sofa ruang tamu, mengangkat wajahnya perlahan. Wajahnya terlihat lelah, matanya sembab. Ia tahu hari ini akan tiba, tetapi rasanya tetap tak siap mendengarnya. Ia menatap Aisyah yang berdiri dengan koper di sisi tubuhnya. Wanita itu tampak rapuh, seolah beban dunia ada di pundaknya."Kamu yakin?" tanya Farhan akhirnya, suaranya berat. "Ini yang kamu mau?"Aisyah mengangguk pelan. "Aku butuh waktu, Mas. Kita... kita butuh waktu. Aku nggak tahu harus gimana lagi."Farhan menelan ludah, berusaha menahan emosi yang berg