LOGIN"๐ ๐๐ ๐๐๐พ๐๐๐, ๐ ๐๐๐๐บ๐. ๐ ๐๐ ๐๐๐๐บ ๐๐๐พ๐๐บ๐๐บ ๐๐บ๐ ๐๐บ๐๐ ๐๐บ๐๐บ. ๐ณ๐บ๐๐ ๐๐๐๐บ ๐๐๐๐บ๐ ๐ป๐๐ ๐พ๐ ๐๐๐พ๐๐บ๐. ๐ช๐๐๐บ ๐๐บ๐๐๐ ๐๐๐บ๐."
๐ ๐๐๐๐บ๐ ๐๐พ๐๐๐บ๐๐๐๐๐ ๐๐พ๐ผ๐๐ , ๐๐พ๐๐๐ ๐๐บ๐๐๐๐๐บ ๐๐บ๐๐๐ ๐ฝ๐๐๐พ๐๐๐๐ ๐๐พ๐๐บ๐๐๐บ๐. ๐จ๐บ ๐๐บ๐๐ ๐ป๐พ๐๐บ๐๐บ ๐ป๐พ๐๐บ๐ ๐ผ๐๐๐๐บ ๐ฅ๐บ๐๐๐บ๐ ๐๐พ๐๐บ๐ฝ๐บ ๐ ๐๐๐บ๐, ๐๐บ๐๐ฝ๐บ๐๐บ ๐๐พ๐๐ป๐บ๐๐๐๐บ. ๐ณ๐บ๐๐ ๐๐๐๐๐บ๐๐ ๐๐๐ ๐๐บ๐๐ ๐ ๐พ๐ป๐๐ ๐๐๐๐๐ ๐ฝ๐บ๐๐๐๐บ๐ฝ๐บ ๐๐บ๐๐ ๐๐พ๐๐๐บ๐ ๐๐บ ๐ป๐บ๐๐บ๐๐๐๐บ๐. ๐ฒ๐๐บ๐๐บ๐๐บ ๐๐พ๐๐๐๐ ๐ ๐บ๐๐. ๐ง๐บ๐๐๐บ ๐๐๐บ๐๐บ ๐ฝ๐พ๐๐บ๐ ๐๐บ๐ ๐ฝ๐๐๐ฝ๐๐๐ ๐๐บ๐๐ ๐๐พ๐๐ฝ๐พ๐๐๐บ๐, ๐๐พ๐๐ป๐๐บ๐ ๐๐บ๐ ๐บ๐ ๐๐พ๐๐บ๐๐บ ๐๐พ๐๐บ๐๐๐ ๐ ๐บ๐๐ป๐บ๐. **** ๐ฏ๐บ๐๐ ๐๐บ๐๐๐๐๐บ, ๐ฅ๐บ๐๐๐บ๐ ๐๐พ๐๐พ๐๐๐๐บ ๐๐พ๐ป๐๐บ๐ ๐๐พ๐๐บ๐ ๐๐บ๐ ๐ฝ๐๐๐พ๐๐บ๐ ๐๐พ๐ ๐บ๐ ๐๐ ๐๐๐๐๐พ๐ ๐๐๐บ. ๐ญ๐๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐ฝ๐บ๐ ๐๐พ๐๐๐๐๐๐บ๐, ๐ฝ๐บ๐ ๐๐๐"Mas, kamu nggak pernah mikir buat kembali lagi ke sini suatu saat nanti?" Aisyah memecah keheningan sore itu. Suaranya lembut, tapi ada nada ragu yang terselip. Ia menatap Farhan yang sedang duduk di taman kecil belakang rumah baru mereka. Bayangan senja memulas wajah suaminya yang terlihat tenang, namun pikirannya jelas sedang mengembara. Farhan mendongak, matanya bertemu dengan mata Aisyah. Ia lalu tersenyum kecil. "Aku pikirin. Tapi sekarang prioritas kita di sini, Sayang. Kamu tahu itu." "Tapi ... ada hal-hal yang nggak bisa kita tinggalkan di sana," lanjut Aisyah pelan. Matanya menerawang, mengingat semua yang pernah mereka lalui di tanah air. Suara kereta api di kejauhan, aroma masakan ibu di dapur, dan tawa Safira yang dulu sering memecah kesunyian rumah mereka. Farhan mendesah. Ia menatap dua bayi kecil mereka yang sedang bermain di atas selimut di rumput. Salah satu bayi tertawa kecil saat kakaknya menarik mainan
"Kalau nanti di tempat baru ... kita menemukan hal-hal yang nggak kita duga, apa yang akan kamu lakukan?"Farhan menatap wajah Aisyah dengan raut serius. Suaranya terdengar berat, tapi ada sesuatu di dalam nada itu yang lebih dalam-sebuah ketakutan yang ia sembunyikan rapat-rapat.Aisyah terdiam sesaat. Ia memandangi suaminya dengan mata yang penuh harap, meski pikirannya sedang berkecamuk. Jemarinya yang mungil menggenggam erat tangan Farhan yang lebih besar. "Mas, aku tahu ini nggak mudah ... tapi aku percaya, apa pun yang kita hadapi, kita bisa selesaikan. Bersama."Farhan menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. "Tapi, kamu tahu kan, ini bukan cuma soal kita, Sayang. Ada dua bayi yang sekarang bergantung sama kita. Kalau kita salah langkah ....""Kita nggak akan salah langkah, Mas," potong Aisyah lembut, namun tegas. "Aku tahu kamu khawatir. Aku juga. Tapi kita nggak bisa terus-terusan takut. Kalau kita terus mikirin kemungkinan buruk, kita nggak aka
"Aisyah, kalau nanti keadaan memaksa kita untuk tetap tinggal di sini, apa kamu siap untuk menghadapi semua risikonya?" Farhan menatap istrinya dengan tatapan tajam, mencoba membaca setiap emosi yang mungkin tersembunyi di balik wajah tenangnya. Aisyah terdiam sesaat, tapi matanya jelas menunjukkan pergulatan batin. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku nggak tahu, Mas," jawabnya akhirnya dengan suara lirih. "Tapi ... kalau itu yang harus kita hadapi, aku akan berusaha. Aku nggak mau kita menyerah begitu aja." Farhan mengangguk pelan, meskipun di dalam hatinya, jawaban itu jauh dari cukup untuk menghapus kekhawatirannya. "Kamu tahu kan, risikonya nggak main-main, Aisyah. Ini bukan cuma soal kita, tapi juga Safira ... dan keluarga besar kita." "Mas ...." Aisyah memotong, suaranya sedikit bergetar. "Aku tahu. Aku
Pria itu tidak langsung menjawab. Ia menatap Farhan dengan sorot mata yang sulit diartikan, seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu yang sangat penting. "Apa Mas siap mendengar jawabannya sekarang?" tanyanya pelan tapi tegas. Farhan mengerutkan kening, pandangannya beralih ke Aisyah yang masih terbaring lemah di ranjang, dengan bayi perempuan mereka dalam pelukannya. Bayi laki-laki mereka tertidur di boks kecil di samping tempat tidur. Situasi yang baru saja penuh kebahagiaan tiba-tiba berubah menjadi tegang. Farhan kembali menatap pria itu. "Saya siap. Katakan saja," jawab Farhan akhirnya, nada suaranya tegas, meski ia tahu ada sesuatu yang besar di balik pertanyaan itu. Pria itu menghela napas panjang, lalu mendekatkan tubuhnya ke arah Farhan, berbicara dengan suara yang lebih pelan. "Ada kabar dari tim di luar negeri, Mas. Rencana keberangkatan Anda dan keluarga mungkin harus ditunda... atau bahkan dibatalkan." Farha
"Mas ...." suara Aisyah terdengar gemetar. Napasnya terengah-engah, matanya berkaca-kaca menatap Farhan yang berada di sisinya. Genggaman tangannya semakin erat, seolah mencari kekuatan dari suaminya. Farhan membalas tatapannya dengan pandangan penuh ketenangan, meski di dalam hatinya ada gelombang kecemasan yang tak terlukiskan. "Aku di sini, Aisyah. Aku nggak akan kemana-mana," jawabnya lembut namun tegas.Belum sempat Aisyah merespons, seorang perawat masuk ke ruangan dengan langkah tergesa-gesa. "Ibu Aisyah, kita sudah siap. Silakan bersiap untuk masuk ke ruang persalinan," ujar perawat itu, suaranya terdengar profesional namun mengandung ketegangan yang tak bisa disembunyikan.Aisyah menoleh cepat ke arah Farhan. Wajahnya pucat, tapi ada keberanian yang coba ia kumpulkan. "Mas ...." ia memanggil lagi, kali ini lebih pelan, hampir seperti bisikan.Farhan mengangguk, lalu mengusap lembut kening istrinya. "Kamu kuat, Sayang. Aku tahu kamu bisa.
"Aku nggak ngerti, Mas. Kenapa perutku makin besar? Ini nggak wajar, kan?" suara Aisyah pecah di pagi yang seharusnya tenang. Dia memandang Farhan dengan tatapan penuh kekhawatiran, tangannya mengelus perut buncitnya yang terasa begitu berat akhir-akhir ini.Farhan, yang tengah menuangkan teh ke dalam cangkir, menoleh pelan. "Kamu jangan khawatir dulu, Sayang. Setiap kehamilan itu beda-beda. Dokter juga bilang semuanya normal, kan?""Tapi, Mas ...." Aisyah menggigit bibir bawahnya, menahan perasaan yang membuncah di dadanya. "Aku tahu ini nggak biasa. Aku merasa ada yang salah. Perutku terlalu besar untuk usia kehamilan delapan bulan."Farhan meletakkan cangkir di atas meja dan menghampiri Aisyah. Dia duduk di depannya, menggenggam tangan istrinya dengan lembut. "Kamu terlalu banyak pikiran, Sayang. Itu yang bikin kamu cemas. Aku yakin bayi kita sehat. Jangan terlalu cemas dulu."Aisyah menggelengkan kepala, matanya mulai memerah. "Nggak, Mas. Aku







