Home / Thriller / Proyek alpha: bayang bayang kebenaran / Bab 1: Ulang Tahun Berdarah

Share

Proyek alpha: bayang bayang kebenaran
Proyek alpha: bayang bayang kebenaran
Author: Strawberrypeach0392

Bab 1: Ulang Tahun Berdarah

last update Last Updated: 2025-08-02 00:26:41

Pada hari ulang tahunku yang ke-25, seharusnya aku terbangun dengan aroma kopi, disusul oleh nyanyian riang dari Nara, tunanganku, dan sarapan di ranjang. Atau setidaknya, aku membayangkan ada kue cokelat dengan lilin-lilin yang siap ditiup. Namun, realitas jauh lebih kejam. Aku terbangun dalam kegelapan yang pekat, keheningan yang menyesakkan, dan dingin yang menggigit hingga ke tulang. Di leherku, sebuah kalung mutiara yang diberikan Nara tersemat, tetapi rasanya kini seperti jerat yang mengikat kebebasanku.

Di ruangan yang tak berukuran ini, aku hanya bisa merasakan sensasi yang menyakitkan. Kawat baja mengikat pergelangan tanganku, menusuk kulit dan membuat darah menetes perlahan. Tubuhku terasa ngilu, penuh dengan memar yang tak terhitung jumlahnya. Suara tetesan air dari langit-langit yang bocor menjadi satu-satunya irama di dalam ruang yang sunyi itu. Setiap tetesnya terdengar seperti ketukan jam kematian yang perlahan-lahan mendekat. Setiap detik terasa seperti seribu tahun dalam penjara yang mengerikan.

Aku tak tahu sudah berapa lama aku berada di sana. Hari, malam, semuanya terasa sama. Aku hanya tahu aku sendirian. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Sebuah pesta kejutan, tawa teman-teman, dan kemudian... kegelapan. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Apakah ini mimpi buruk? Apakah ini adalah hukuman atas pertengkaranku dengan Ayah?

Ayahku, Damar Wicaksana, adalah pengusaha teknologi yang sukses. Nama Witech Corp miliknya dikenal di seluruh negeri. Namun, di balik kesuksesan itu, ada jarak yang tak terukur antara aku dan Ayah. Aku merasa Ayah terlalu fokus pada pekerjaannya, mengabaikanku, bahkan setelah kepergian Ibu. Aku merasa Ayah menempatkan perusahaannya di atas segalanya. Aku merasa aku hanya bayangan dari nama besar Wicaksana. Karena itulah, aku memutuskan untuk keluar dari rumah, mencari jalanku sendiri sebagai seorang seniman lepas. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri tanpa bayang-bayang Ayah. Keputusan itu memicu pertengkaran hebat di antara kami. Kata-kata tajam terucap, luka-luka baru tercipta. Aku pergi dengan amarah, dan kini aku menyesalinya.

Selama tiga hari tiga malam, aku disiksa. Bukan secara fisik, tetapi secara mental. Mereka tidak pernah menampakkan diri. Aku hanya mendengar suara mereka yang serak, kasar, dan penuh ancaman. Salah satu dari mereka memiliki aroma tembakau murahan yang menusuk hidung. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama berulang kali. "Di mana data itu? Apa yang disembunyikan Damar? Beri tahu kami, atau kau akan menyesal." Aku hanya bisa menangis dan menggelengkan kepala. Aku benar-benar tidak tahu apa yang mereka bicarakan.

Pikiranku dipenuhi oleh rasa takut dan keputusasaan. Aku memikirkan Nara, tunanganku, dan Ayah. Apakah mereka mencariku? Apakah mereka tahu aku berada di sini? Aku hanya bisa berharap. Saat malam ketiga hampir berakhir, aku sudah pasrah. Aku berpikir, mungkin ini adalah akhir dari hidupku.

Namun, takdir memiliki rencana lain. Tiba-tiba, pintu terbuka. Cahaya dari luar menyilaukan mataku. Di sana, berdiri seorang pria. Wajahnya diselimuti bayangan, tetapi matanya yang tajam seperti elang menembus kegelapan. Sebuah luka sayatan tipis di dahinya menjadi satu-satunya petunjuk tentang identitasnya. Ia bukan salah satu dari mereka. Ia datang bukan untuk menyiksaku, tetapi untuk menyelamatkanku.

Dengan gerakan cepat dan tanpa suara, pria itu melumpuhkan penjaga yang ada di pintu. Aku melihatnya bertarung. Setiap gerakannya efisien dan mematikan. Dia bergerak seolah-olah dia telah melakukan ini ribuan kali. Aku terkesima. Setelah memastikan tidak ada lagi ancaman, dia mendekatiku. Ia melepaskan ikatan di tanganku, tanpa sepatah kata pun. Ketika ia menyentuhku, tubuhku menggigil. Bukan karena kedinginan, tetapi karena perasaan aman yang tiba-tiba.

Sebelum mendorongku keluar dari ruang bawah tanah itu, dia berbisik, "Jangan percaya siapa pun, termasuk orang yang mengaku mencintaimu."

Aku tidak mengerti apa maksudnya. Namun, aku tak punya waktu untuk bertanya. Aku berlari. Tanpa alas kaki, tanpa tujuan. Aku berlari menembus kegelapan malam, menjauh dari neraka yang baru saja kutinggalkan. Aku tidak tahu siapa pria itu, dan mengapa ia menyelamatkanku. Aku hanya tahu satu hal: hidupku tidak akan pernah sama. Peringatan itu terus terngiang di kepalaku. Siapakah yang dimaksudnya? Apakah Nara, tunanganku? Atau Ayahku? Aku tidak tahu. Aku hanya tahu satu hal: aku harus menemukan jawabannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 9 — Jejak Lokasi Nara ke Kafe Pinggir Kota

    Suara hujan menetes perlahan di luar jendela, membentuk irama yang tak beraturan. Lampu kamar temaram, hanya menyisakan pantulan cahaya ponsel di wajahku. Titik merah di layar peta masih bergerak. Setelah kejadian di Gudang Suryo 19, aku tahu satu hal pasti: Nara belum berhenti. Malam itu mungkin hanya sebagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar. Dan kini, titik itu menuju arah yang berbeda—ke luar kota. Aku memegang ponsel erat, napas berembus berat di antara bibir. > “Ke mana lagi kau malam ini, Nara?” Titik merah berhenti di pinggiran peta, di sebuah area yang tak asing bagiku—wilayah tua yang nyaris mati sejak jalan tol baru dibuka. Ada satu jalur di sana, membelah antara perbukitan kecil dan deretan rumah-rumah tua yang separuhnya sudah ditinggalkan. Di pinggir jalan itu… ada sebuah kafe. Kafe yang dulu sering kami lewati tanpa pernah singgah. Aku menatap jam di dinding. 22.18. Masih cukup waktu. --- Hujan semakin deras ketika aku memutuskan untuk pergi. Jal

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 8: Nadine (Raina) Mulai Menyelidik Sendiri dengan Aplikasi Pelacak

    Malam menelan rumahku dalam keheningan yang mencekik. Tidak ada suara selain detak jam di dinding yang terasa seperti bom waktu di dalam kepalaku. Aku duduk di ujung tempat tidur, ponsel di tangan, menatap ikon kecil berbentuk peta biru yang kini menjadi satu-satunya alat untuk mencari kebenaran. Aplikasi pelacak itu sederhana—terlalu sederhana, mungkin. Tapi di balik tampilannya yang polos, ada dunia baru yang terbuka untukku: dunia penuh rahasia, koordinat, dan pergerakan yang tak bisa dibohongi. Dunia tempat Nara hidup selama ini… di luar jangkauanku. Nama pengguna yang kupilih untuk masuk ke aplikasi itu: Nadine. Nama lama yang pernah kugunakan untuk bersembunyi di forum-forum online ketika ingin melupakan siapa diriku. Nama yang kini kupakai lagi, bukan untuk bersembunyi—tapi untuk memburu kebenaran. Setiap kali aku membuka peta itu, jantungku seolah menahan napas. Di layar, sebuah titik biru kecil menunjukkan posisiku, sementara titik merah menunjukkan posisi Nara. Dan mal

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 7: Plausible Deniability Nara & Telepon Larut Malam

    Setelah konfrontasi yang dingin dengan Baskara, aku kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Kata-katanya terus terngiang di telingaku: "Ayahmu merenggut segalanya dari keluargaku." Itu adalah pengakuan yang mengejutkan, dan itu membuatku bertanya-tanya, apakah Ayahku benar-benar seburuk itu? Apakah ia benar-benar bertanggung jawab atas kematian Hendrawan Prasetyo?Aku kembali ke rumah, tetapi rumah itu terasa seperti penjara. Nara, tunanganku, terlihat semakin cemas. Ia tidak lagi mencoba untuk berbicara denganku. Ia hanya terus menatap ponselnya, seolah-olah menunggu telepon penting. Dan setiap kali ada telepon masuk, ia akan buru-buru pergi ke luar ruangan, suaranya pelan dan berbisik-bisik.Aku memasang aplikasi pelacak di ponsel Nara. Malam itu, aku melihat lokasinya di sebuah kafe di pinggir kota. Aku tahu itu adalah kafe yang sama tempat ia bertemu dengan pria berjaket kulit itu. Aku tahu ia sedang berbohong padaku.Aku merasa bodoh. Aku telah mencintai pria ini selama lim

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 6: Foto Misterius & Nama "Hendrawan"

    Tangan-tangan Nara, tunanganku, dan kebohongannya kini terasa seperti belenggu yang membelit. Setelah apa yang kulihat di ruang kerja Ayah, aku tidak bisa lagi menunda. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi. Foto itu, dengan tulisan tangan Ayah di baliknya, adalah satu-satunya petunjuk yang kumiliki. Nama "Hendrawan Prasetyo" dan "Proyek Alpha" berputar-putar di kepalaku, dan tatapan tajam dari anak laki-laki di foto itu terus menghantuiku.Keesokan harinya, aku memutuskan untuk menguji Nara. Saat sarapan, aku menatapnya. Ia terlihat lelah, tetapi ia mencoba untuk tersenyum padaku. Aku memaksakan diriku untuk membalas senyumnya, meskipun hatiku terasa dingin."Nara," ucapku, "semalam aku mimpi buruk lagi. Aku seperti melihat wajah pria yang menolongku. Dia punya luka di dahi." Aku berhenti, mengamati reaksinya. "Apa kamu pernah melihat orang seperti itu di sekitar perusahaan Ayah?"Reaksinya sangat cepat. Ia tersedak kopinya. Untuk sesaat, topeng tenangnya retak. Wajahnya yang pucat

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 5: Petualangan Malam di Ruang Kerja Ayah

    Setelah pertengkaran yang dingin dengan Nara, rumah terasa lebih mencekam daripada sebelumnya. Kecurigaan menjalar di setiap sudut, merusak kenangan indah yang dulu ada. Hubunganku dengan Nara yang dulu kukira begitu kuat kini terasa rapuh, seperti kaca yang siap pecah. Aku tahu aku tidak bisa lagi mengandalkan siapa pun selain diriku sendiri. Malam itu, setelah memastikan Ayah dan Nara sudah terlelap, aku memutuskan untuk bertindak.Aku menyelinap keluar dari kamar, melangkah dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Lantai kayu di bawah kakiku terasa dingin, seolah ikut merasakan ketakutanku. Aku bergerak menuju ruang kerja Ayah, sebuah tempat yang selama ini terasa suci dan tak terjamah. Ruangan ini adalah jantung Witech Corp di rumah, tempat Ayah menghabiskan sebagian besar waktunya, dan tempat yang mungkin menyimpan kunci dari semua misteri ini.Aku membuka pintu dengan perlahan, memastikan engselnya tidak berdecit. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya remang dari

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 4: Reuni Dingin dengan Nara & Kecurigaan Menjalar

    Keesokan harinya, suasana di rumah terasa jauh lebih tegang. Keputusan untuk kembali ke rumah tidak memberiku kedamaian, melainkan justru mempercepat roda kecurigaan. Nara, tunanganku, kembali dari kantor. Senyum yang ia pamerkan tampak begitu dipaksakan. Matanya tidak lagi memancarkan kehangatan yang dulu kukenal. Ia terlihat tegang, gelisah, dan selalu menatap ponselnya."Kamu sudah lebih baik, Raina?" tanyanya, suaranya terdengar hampa."Menurutmu?" jawabku, nadaku dingin.Nara terdiam. Ia meletakkan tas kerjanya di meja, lalu duduk di sampingku. Ia mencoba meraih tanganku, tetapi aku menariknya."Ada apa, Raina?" tanyanya. "Kenapa kamu jadi begini? Aku berusaha untuk peduli, tapi kamu terus menolakku.""Kamu peduli?" tanyaku sinis. "Seorang tunangan yang peduli tidak akan bersikap dingin saat tunangannya diculik."Nara terkejut. "Aku tidak bersikap dingin, Raina! Aku hanya berusaha untuk tetap tenang. Aku tidak mau membuatmu panik."Aku tertawa hampa. "Tenang? Kamu terlalu tenang,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status