LOGIN
Pada hari ulang tahunku yang ke-25, seharusnya aku terbangun dengan aroma kopi, disusul oleh nyanyian riang dari Nara, tunanganku, dan sarapan di ranjang. Atau setidaknya, aku membayangkan ada kue cokelat dengan lilin-lilin yang siap ditiup. Namun, realitas jauh lebih kejam. Aku terbangun dalam kegelapan yang pekat, keheningan yang menyesakkan, dan dingin yang menggigit hingga ke tulang. Di leherku, sebuah kalung mutiara yang diberikan Nara tersemat, tetapi rasanya kini seperti jerat yang mengikat kebebasanku.
Di ruangan yang tak berukuran ini, aku hanya bisa merasakan sensasi yang menyakitkan. Kawat baja mengikat pergelangan tanganku, menusuk kulit dan membuat darah menetes perlahan. Tubuhku terasa ngilu, penuh dengan memar yang tak terhitung jumlahnya. Suara tetesan air dari langit-langit yang bocor menjadi satu-satunya irama di dalam ruang yang sunyi itu. Setiap tetesnya terdengar seperti ketukan jam kematian yang perlahan-lahan mendekat. Setiap detik terasa seperti seribu tahun dalam penjara yang mengerikan. Aku tak tahu sudah berapa lama aku berada di sana. Hari, malam, semuanya terasa sama. Aku hanya tahu aku sendirian. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi. Sebuah pesta kejutan, tawa teman-teman, dan kemudian... kegelapan. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Apakah ini mimpi buruk? Apakah ini adalah hukuman atas pertengkaranku dengan Ayah? Ayahku, Damar Wicaksana, adalah pengusaha teknologi yang sukses. Nama Witech Corp miliknya dikenal di seluruh negeri. Namun, di balik kesuksesan itu, ada jarak yang tak terukur antara aku dan Ayah. Aku merasa Ayah terlalu fokus pada pekerjaannya, mengabaikanku, bahkan setelah kepergian Ibu. Aku merasa Ayah menempatkan perusahaannya di atas segalanya. Aku merasa aku hanya bayangan dari nama besar Wicaksana. Karena itulah, aku memutuskan untuk keluar dari rumah, mencari jalanku sendiri sebagai seorang seniman lepas. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri tanpa bayang-bayang Ayah. Keputusan itu memicu pertengkaran hebat di antara kami. Kata-kata tajam terucap, luka-luka baru tercipta. Aku pergi dengan amarah, dan kini aku menyesalinya. Selama tiga hari tiga malam, aku disiksa. Bukan secara fisik, tetapi secara mental. Mereka tidak pernah menampakkan diri. Aku hanya mendengar suara mereka yang serak, kasar, dan penuh ancaman. Salah satu dari mereka memiliki aroma tembakau murahan yang menusuk hidung. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama berulang kali. "Di mana data itu? Apa yang disembunyikan Damar? Beri tahu kami, atau kau akan menyesal." Aku hanya bisa menangis dan menggelengkan kepala. Aku benar-benar tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Pikiranku dipenuhi oleh rasa takut dan keputusasaan. Aku memikirkan Nara, tunanganku, dan Ayah. Apakah mereka mencariku? Apakah mereka tahu aku berada di sini? Aku hanya bisa berharap. Saat malam ketiga hampir berakhir, aku sudah pasrah. Aku berpikir, mungkin ini adalah akhir dari hidupku. Namun, takdir memiliki rencana lain. Tiba-tiba, pintu terbuka. Cahaya dari luar menyilaukan mataku. Di sana, berdiri seorang pria. Wajahnya diselimuti bayangan, tetapi matanya yang tajam seperti elang menembus kegelapan. Sebuah luka sayatan tipis di dahinya menjadi satu-satunya petunjuk tentang identitasnya. Ia bukan salah satu dari mereka. Ia datang bukan untuk menyiksaku, tetapi untuk menyelamatkanku. Dengan gerakan cepat dan tanpa suara, pria itu melumpuhkan penjaga yang ada di pintu. Aku melihatnya bertarung. Setiap gerakannya efisien dan mematikan. Dia bergerak seolah-olah dia telah melakukan ini ribuan kali. Aku terkesima. Setelah memastikan tidak ada lagi ancaman, dia mendekatiku. Ia melepaskan ikatan di tanganku, tanpa sepatah kata pun. Ketika ia menyentuhku, tubuhku menggigil. Bukan karena kedinginan, tetapi karena perasaan aman yang tiba-tiba. Sebelum mendorongku keluar dari ruang bawah tanah itu, dia berbisik, "Jangan percaya siapa pun, termasuk orang yang mengaku mencintaimu." Aku tidak mengerti apa maksudnya. Namun, aku tak punya waktu untuk bertanya. Aku berlari. Tanpa alas kaki, tanpa tujuan. Aku berlari menembus kegelapan malam, menjauh dari neraka yang baru saja kutinggalkan. Aku tidak tahu siapa pria itu, dan mengapa ia menyelamatkanku. Aku hanya tahu satu hal: hidupku tidak akan pernah sama. Peringatan itu terus terngiang di kepalaku. Siapakah yang dimaksudnya? Apakah Nara, tunanganku? Atau Ayahku? Aku tidak tahu. Aku hanya tahu satu hal: aku harus menemukan jawabannya.Mobil yang dikendarai Gio berbelok perlahan dan mulai menanjak melewati jalan sempit menuju area perbukitan. Kabut Rinjani semakin padat, memeluk mobil seperti tirai putih yang bergerak dengan napas hutan. Lampu depan menabrak gumpalan kabut itu, membuat dunia seolah surut hanya beberapa meter ke depan. Gio menurunkan kecepatan. “Kita semakin dekat dengan kompleks lama fakultas teknik,” katanya tanpa menoleh. “Menurut peta yang Bas berikan, tempat Profesor Bayu tinggal ada di wilayah kampus yang sudah tidak dipakai.”Aku mendengarnya. Tapi pikiranku tidak benar-benar berada di kursi penumpang mobil itu.Pikiranku sudah kembali ke malam itu.Malam ketika semua titik terang menyatu.Malam ketika ketakutan ayahku akhirnya diberi nama. Tirtayasa.Dan di baliknya – sesuatu yang lebih gelap, lebih besar, lebih sunyi. Raka D.Ingatan itu kembali bukan sebagai potongan-potongan acak, tetapi sebagai film penuh yang diputar ulang tanpa izin. FLASHBACK – MALAM ITU, DETIK – DETIK SETELAH AYAH
Kabut malam Rinjani terus menebal di balik kaca mobil, seolah-olah gunung itu sengaja menelan jalanan sempit yang kami lewati. Lampu kendaraan Gio menembus kegelapan hanya sejauh beberapa meter, membuat hutan di kiri dan kanan tampak seperti dinding hitam dengan mata tak terlihat yang mengikuti setiap gerak kami. Tidak ada suara lain selain raungan mesin yang menanjak, denting halus batu kecil yang terpukul ban, dan sesekali derit pepohonan yang tersentuh angin. Gio menoleh sekilas. “Kau kelihatan jauh,” katanya pelan. Aku hanya mengangguk. Karena memang itulah yang terjadi. Tubuhku berada di mobil ini, duduk dengan sabuk pengaman yang mengunci, namun pikiranku kembali pada malam itu - Malam ketika aku menyadari bahwa Damar Wicaksana bukan sekedar pengkhianat. Dia adalah manusia yang luluh lantak oleh ketakutannya sendiri. Malam itu ketika pengakuannya menghancurkan sebagian kebencianku, tetapi tidak cukup untuk menyelamatkan dirinya. Dan seperti pintu tua yang terbuka pelan di dal
Udara malam di Pulau Rinjani terasa lebih berat dari pada tang kuperkirakan. Angin dari lereng gunung membawa aroma tanah basah dan dedaunan tua, menggesekkan rasa dingin lewat jendela mobil yang sedikit terbuka. Gio duduk di kursi kemudi, matanya fokus ke jalanan sempit menuju daerah kampus tempat Profesor Bayu mengajar. Mobil sewaan kami bergerak pelan, lampu depannya memotong kegelapan yang dipenuhi kabut tipis. Sudah beberapa menit kami meninggalkan kafe gelap itu-tempat di mana log administratif tablet ayahku membuka kenyataan bahwa Damar Wicaksana hanyalah pion. Bukan arsitek. Bukan dalang. Hanya bagian kecil dari mesin yang jauh lebih besar. Aku memeluk tubuhku sendiri, mencoba menghilangkan dingin yang sebenarnya bukan dari udara, melainkan dari sesuatu yang bangkit di tubuhku: kenyataan pahit yang sudah lama kutolak. “Raina.” Suara Gio memecah hening tipis itu. “Kau baik-baik saja?” Aku tak langsung menjawab. Rasanya pikiranku melayang ke ruang yang tidak bisa dia capai
Aku tiba di pulau Rinjani identitas baru. Adelia. Nama ini terasa aneh di lidahku, tetapi ini adalah perisaiku. Wajah di paspor itu sama, tetapi tatapanku telah berubah. Tidak ada jejak Raina Wicaksana yang ceroboh dan percaya. Perjalanan itu adalah siksaan yang diselimuti keheningan. Aku menggunakan penerbangan domestik pertama dan termurah. Setiap pandangan yang terasa terlalu lama, setiap panggilan telepon yang berdering di sekitarku, terasa seperti mata-mata Tirtayasa yang semakin dekat. Aku tahu Nara pasti sudah melaporkan kepergianku, dan ayah pasti sudah mengaktifkan jaringan pencariannya.Tablet terenkripsi itu terasa dingin dan berat di saku hoodie-ku. Itu bukan hanya hardware; itu adalah inti dari semua kebohongan, semua pembunuhan, dan semua tirani yang di rencanakan.Setelah mendarat di bandara kecil yang didominasi oleh turis dan peneliti, aku segera menuju ke area terpencil di luar kota, menjauhi keramaian. Sesuai instruksi Baskara, aku harus menghubungi Gio, satu-satu
Aku mengemudikan mobil kembali ke rumah, tetapi ini bukan lagi rumah. Ini adalah sarang laba-laba.Setelah meninggalkan Baskara di gudang reotnya, aku merasa anehnya tenang. Ketakutan telah digantikan oleh fokus. Kebencianku pada Nara dan pengkhianatan ayahku tidak lagi melumpuhkan; itu adalah bahan bakar dingin yang membuat keputusanku tajam dan tepat. Aku adalah Nadine sekarang, dan Nadine tahu bahwa langkah pertamanya adalah kembali ke perut monster itu sendiri.Aku memarkir mobil di garasi, mengambil napas dalam-dalam. Aku telah mempersiapkan diri untuk menghadapi Nara, untuk bermain peran sebagai tunangan yang terluka tetapi patuh.Aku masuk melalui pintu samping. Keheningan di dalam rumah mewah itu terasa lebih berat daripada kebisingan apa pun. Ini adalah jenis keheningan yang menyembunyikan langkah kaki yang berhati-hati, bisikan telepon yang terputus-putus, dan konspirasi yang bergerak. Aku langsung menuju kamar tamu. Aku mengunci pintu dan mengeluarkan ponselku. Ada pesan t
Aku masih berdiri di ambang pintu baja itu, GPS handled di tangan, siap melangkah pergi, ketika Baskara bersuara, menghentikanku sekali lagi.“Tunggu. Raina,” katanya, suaranya kini tidak lagi dingin, melainkan berat dan penuh pertimbangan. “Kau akan menuju Lumbung Padi. Kau akan menemukan kepingan kunci etika. Tapi sebelum kau menanyakan harga yang harus kubayar, kau harus tahu apa yang sebenarnya akan kita hancurkan. Kau harus mengerti skala ancaman ini.” Aku berbalik. Pria di hadapanku telah melepaskan perannya sebagai pembalas dendam sejenak, dan kembali ke peran aslinya: seorang ahli kriptografi yang berduka. Aku meletakkan GPS itu di meja dan berjalan kembali ke sudut di mana server dan monitor berkedip-kedip dalam cahaya remang.“Beri aku detailnya, Bas. Jelaskan kenapa ayahku rela membunuh sahabatnya sendiri,” Tuntutku.Bas duduk di kursi sederhana, menunjuk ke layar monitor yang menampilkan barisan kode heksadesimal yang bergerak cepat.“Proyek Alpha bukan hanya sekedar sist







