Home / Thriller / Proyek alpha: bayang bayang kebenaran / Bab 7: Plausible Deniability Nara & Telepon Larut Malam

Share

Bab 7: Plausible Deniability Nara & Telepon Larut Malam

last update Last Updated: 2025-08-02 00:49:50

Setelah konfrontasi yang dingin dengan Baskara, aku kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Kata-katanya terus terngiang di telingaku: "Ayahmu merenggut segalanya dari keluargaku." Itu adalah pengakuan yang mengejutkan, dan itu membuatku bertanya-tanya, apakah Ayahku benar-benar seburuk itu? Apakah ia benar-benar bertanggung jawab atas kematian Hendrawan Prasetyo?

Aku kembali ke rumah, tetapi rumah itu terasa seperti penjara. Nara, tunanganku, terlihat semakin cemas. Ia tidak lagi mencoba untuk berbicara denganku. Ia hanya terus menatap ponselnya, seolah-olah menunggu telepon penting. Dan setiap kali ada telepon masuk, ia akan buru-buru pergi ke luar ruangan, suaranya pelan dan berbisik-bisik.

Aku memasang aplikasi pelacak di ponsel Nara. Malam itu, aku melihat lokasinya di sebuah kafe di pinggir kota. Aku tahu itu adalah kafe yang sama tempat ia bertemu dengan pria berjaket kulit itu. Aku tahu ia sedang berbohong padaku.

Aku merasa bodoh. Aku telah mencintai pria ini selama lima tahun. Aku telah menjanjikan hidupku padanya. Tetapi kini, semua itu terasa seperti sebuah kebohongan. Aku merasa seperti telah dipermainkan.

Aku duduk di kamar, menatap ponselku, melihat lokasinya di peta. Aku merasa mual. Aku tidak bisa lagi menunda konfrontasi. Aku harus tahu kebenaran. Aku harus tahu apakah Nara adalah bagian dari konspirasi ini.

Aku menunggu Nara pulang. Ia masuk ke rumah pada pukul satu dini hari, wajahnya terlihat lelah dan cemas. Ia tidak menyapaku. Ia hanya berjalan ke kamar, mencoba untuk tidak membuat suara.

Aku menunggunya di depan pintu. "Dari mana saja kamu, Nara?" tanyaku, suaraku dingin.

Nara terkejut. "Raina? Kamu belum tidur?"

"Aku tidak bisa tidur," jawabku. "Aku ingin tahu dari mana saja kamu. Aku melihat lokasimu di ponsel."

Nara terdiam. Wajahnya pucat. "Kamu menguntitku?" tanyanya.

"Aku tidak menguntitmu," jawabku. "Aku hanya ingin tahu kebenaran. Apa yang kamu sembunyikan, Nara? Siapa pria berjaket kulit itu? Dan apa yang ada di dalam amplop cokelat itu?"

Nara terdiam. Ia menatapku dengan mata yang terluka. "Aku tidak bisa memberitahumu, Raina. Ini untuk kebaikanmu."

"Untuk kebaikanku?" tanyaku sinis. "Apa yang kamu maksud? Apakah kamu adalah bagian dari mereka? Apakah kamu bekerja sama dengan para penculikku?"

Nara menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak! Tentu saja tidak! Aku tidak akan pernah melakukan itu padamu, Raina! Aku mencintaimu!"

"Kamu mencintaiku?" tanyaku, air mataku mulai jatuh. "Lalu kenapa kamu berbohong padaku? Kenapa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?"

Nara menghela napas. Ia berjalan ke arah jendela, menatap keluar. "Aku tahu ini akan sulit bagimu untuk percaya," katanya. "Tapi aku melakukan ini untuk melindungimu. Pria berjaket kulit itu adalah seorang informan. Ia memberitahuku tentang Tirtayasa. Ia adalah orang yang mengatur penculikanmu."

"Tirtayasa?" tanyaku. Nama itu terdengar asing.

"Ia adalah saingan Ayahmu di Witech Corp. Ia menginginkan 'Proyek Alpha,' dan ia tidak akan berhenti sampai ia mendapatkannya," jawab Nara. "Aku berpura-pura bekerja sama dengannya untuk mendapatkan informasi. Amplop itu berisi data palsu untuk mengulur waktu."

Aku terdiam. Apakah Nara mengatakan yang sebenarnya? Atau ini adalah kebohongan lain?

"Kamu harus percaya padaku, Raina," ucap Nara. "Aku tidak akan pernah menyakitimu. Aku mencintaimu. Aku melakukan ini untuk melindungimu."

Aku tidak tahu harus percaya apa. Di satu sisi, Nara terdengar tulus. Ia terlihat takut, cemas, dan tertekan. Di sisi lain, aku masih ingat peringatan Baskara: "Jangan percaya siapa pun, termasuk orang yang mengaku mencintaimu."

Aku berjalan ke arahnya, menatapnya lurus di mata. "Jika kamu benar-benar mencintaiku, berhentilah berbohong padaku. Beri tahu aku semuanya."

Nara mengangguk. "Baiklah," katanya. "Aku akan memberitahumu semuanya. Tapi tidak sekarang. Ini terlalu berbahaya."

Aku merasa bingung. Aku tidak tahu harus percaya apa. Aku tidak tahu harus melakukan apa. Aku hanya tahu satu hal: aku harus mencari tahu kebenaran. Aku harus tahu apakah Nara benar-benar mencintaiku, atau ia adalah bagian dari konspirasi ini. Dan aku tidak akan berhenti sampai aku menemukannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    BAB 21 – Identifikasi Tirtayasa sebagai Pengendali (Flashback penuh ketika Raina mengingat identitas sebenarnya Tirtayasa—dalam perjalanan menuju Profesor Bayu)

    Mobil yang dikendarai Gio berbelok perlahan dan mulai menanjak melewati jalan sempit menuju area perbukitan. Kabut Rinjani semakin padat, memeluk mobil seperti tirai putih yang bergerak dengan napas hutan. Lampu depan menabrak gumpalan kabut itu, membuat dunia seolah surut hanya beberapa meter ke depan. Gio menurunkan kecepatan. “Kita semakin dekat dengan kompleks lama fakultas teknik,” katanya tanpa menoleh. “Menurut peta yang Bas berikan, tempat Profesor Bayu tinggal ada di wilayah kampus yang sudah tidak dipakai.”Aku mendengarnya. Tapi pikiranku tidak benar-benar berada di kursi penumpang mobil itu.Pikiranku sudah kembali ke malam itu.Malam ketika semua titik terang menyatu.Malam ketika ketakutan ayahku akhirnya diberi nama. Tirtayasa.Dan di baliknya – sesuatu yang lebih gelap, lebih besar, lebih sunyi. Raka D.Ingatan itu kembali bukan sebagai potongan-potongan acak, tetapi sebagai film penuh yang diputar ulang tanpa izin. FLASHBACK – MALAM ITU, DETIK – DETIK SETELAH AYAH

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    BAB 20 – Pengakuan Babak Pertama Ayah (Flashback penuh sesal yang muncul dalam perjalanan menuju Profesor Bayu)

    Kabut malam Rinjani terus menebal di balik kaca mobil, seolah-olah gunung itu sengaja menelan jalanan sempit yang kami lewati. Lampu kendaraan Gio menembus kegelapan hanya sejauh beberapa meter, membuat hutan di kiri dan kanan tampak seperti dinding hitam dengan mata tak terlihat yang mengikuti setiap gerak kami. Tidak ada suara lain selain raungan mesin yang menanjak, denting halus batu kecil yang terpukul ban, dan sesekali derit pepohonan yang tersentuh angin. Gio menoleh sekilas. “Kau kelihatan jauh,” katanya pelan. Aku hanya mengangguk. Karena memang itulah yang terjadi. Tubuhku berada di mobil ini, duduk dengan sabuk pengaman yang mengunci, namun pikiranku kembali pada malam itu - Malam ketika aku menyadari bahwa Damar Wicaksana bukan sekedar pengkhianat. Dia adalah manusia yang luluh lantak oleh ketakutannya sendiri. Malam itu ketika pengakuannya menghancurkan sebagian kebencianku, tetapi tidak cukup untuk menyelamatkan dirinya. Dan seperti pintu tua yang terbuka pelan di dal

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 19 Reaksi Ayah saat disinggung data Proyek Alpha (Malam Ketika Ayah Hancur)

    Udara malam di Pulau Rinjani terasa lebih berat dari pada tang kuperkirakan. Angin dari lereng gunung membawa aroma tanah basah dan dedaunan tua, menggesekkan rasa dingin lewat jendela mobil yang sedikit terbuka. Gio duduk di kursi kemudi, matanya fokus ke jalanan sempit menuju daerah kampus tempat Profesor Bayu mengajar. Mobil sewaan kami bergerak pelan, lampu depannya memotong kegelapan yang dipenuhi kabut tipis. Sudah beberapa menit kami meninggalkan kafe gelap itu-tempat di mana log administratif tablet ayahku membuka kenyataan bahwa Damar Wicaksana hanyalah pion. Bukan arsitek. Bukan dalang. Hanya bagian kecil dari mesin yang jauh lebih besar. Aku memeluk tubuhku sendiri, mencoba menghilangkan dingin yang sebenarnya bukan dari udara, melainkan dari sesuatu yang bangkit di tubuhku: kenyataan pahit yang sudah lama kutolak. “Raina.” Suara Gio memecah hening tipis itu. “Kau baik-baik saja?” Aku tak langsung menjawab. Rasanya pikiranku melayang ke ruang yang tidak bisa dia capai

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 18 Gio bantu buka tablet; log pengakses “Raka D”

    Aku tiba di pulau Rinjani identitas baru. Adelia. Nama ini terasa aneh di lidahku, tetapi ini adalah perisaiku. Wajah di paspor itu sama, tetapi tatapanku telah berubah. Tidak ada jejak Raina Wicaksana yang ceroboh dan percaya. Perjalanan itu adalah siksaan yang diselimuti keheningan. Aku menggunakan penerbangan domestik pertama dan termurah. Setiap pandangan yang terasa terlalu lama, setiap panggilan telepon yang berdering di sekitarku, terasa seperti mata-mata Tirtayasa yang semakin dekat. Aku tahu Nara pasti sudah melaporkan kepergianku, dan ayah pasti sudah mengaktifkan jaringan pencariannya.Tablet terenkripsi itu terasa dingin dan berat di saku hoodie-ku. Itu bukan hanya hardware; itu adalah inti dari semua kebohongan, semua pembunuhan, dan semua tirani yang di rencanakan.Setelah mendarat di bandara kecil yang didominasi oleh turis dan peneliti, aku segera menuju ke area terpencil di luar kota, menjauhi keramaian. Sesuai instruksi Baskara, aku harus menghubungi Gio, satu-satu

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 17 Nadine ke rumah, membawa tablet terenkripsi

    Aku mengemudikan mobil kembali ke rumah, tetapi ini bukan lagi rumah. Ini adalah sarang laba-laba.Setelah meninggalkan Baskara di gudang reotnya, aku merasa anehnya tenang. Ketakutan telah digantikan oleh fokus. Kebencianku pada Nara dan pengkhianatan ayahku tidak lagi melumpuhkan; itu adalah bahan bakar dingin yang membuat keputusanku tajam dan tepat. Aku adalah Nadine sekarang, dan Nadine tahu bahwa langkah pertamanya adalah kembali ke perut monster itu sendiri.Aku memarkir mobil di garasi, mengambil napas dalam-dalam. Aku telah mempersiapkan diri untuk menghadapi Nara, untuk bermain peran sebagai tunangan yang terluka tetapi patuh.Aku masuk melalui pintu samping. Keheningan di dalam rumah mewah itu terasa lebih berat daripada kebisingan apa pun. Ini adalah jenis keheningan yang menyembunyikan langkah kaki yang berhati-hati, bisikan telepon yang terputus-putus, dan konspirasi yang bergerak. Aku langsung menuju kamar tamu. Aku mengunci pintu dan mengeluarkan ponselku. Ada pesan t

  • Proyek alpha: bayang bayang kebenaran    Bab 16 Dialog Rahasia: Motif Dan Bahaya Proyek Alpha

    Aku masih berdiri di ambang pintu baja itu, GPS handled di tangan, siap melangkah pergi, ketika Baskara bersuara, menghentikanku sekali lagi.“Tunggu. Raina,” katanya, suaranya kini tidak lagi dingin, melainkan berat dan penuh pertimbangan. “Kau akan menuju Lumbung Padi. Kau akan menemukan kepingan kunci etika. Tapi sebelum kau menanyakan harga yang harus kubayar, kau harus tahu apa yang sebenarnya akan kita hancurkan. Kau harus mengerti skala ancaman ini.” Aku berbalik. Pria di hadapanku telah melepaskan perannya sebagai pembalas dendam sejenak, dan kembali ke peran aslinya: seorang ahli kriptografi yang berduka. Aku meletakkan GPS itu di meja dan berjalan kembali ke sudut di mana server dan monitor berkedip-kedip dalam cahaya remang.“Beri aku detailnya, Bas. Jelaskan kenapa ayahku rela membunuh sahabatnya sendiri,” Tuntutku.Bas duduk di kursi sederhana, menunjuk ke layar monitor yang menampilkan barisan kode heksadesimal yang bergerak cepat.“Proyek Alpha bukan hanya sekedar sist

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status