LOGINMalam menelan rumahku dalam keheningan yang mencekik. Tidak ada suara selain detak jam di dinding yang terasa seperti bom waktu di dalam kepalaku. Aku duduk di ujung tempat tidur, ponsel di tangan, menatap ikon kecil berbentuk peta biru yang kini menjadi satu-satunya alat untuk mencari kebenaran.
Aplikasi pelacak itu sederhana—terlalu sederhana, mungkin. Tapi di balik tampilannya yang polos, ada dunia baru yang terbuka untukku: dunia penuh rahasia, koordinat, dan pergerakan yang tak bisa dibohongi. Dunia tempat Nara hidup selama ini… di luar jangkauanku. Nama pengguna yang kupilih untuk masuk ke aplikasi itu: Nadine. Nama lama yang pernah kugunakan untuk bersembunyi di forum-forum online ketika ingin melupakan siapa diriku. Nama yang kini kupakai lagi, bukan untuk bersembunyi—tapi untuk memburu kebenaran. Setiap kali aku membuka peta itu, jantungku seolah menahan napas. Di layar, sebuah titik biru kecil menunjukkan posisiku, sementara titik merah menunjukkan posisi Nara. Dan malam ini… titik merah itu bergerak. Pukul 00.47. Ia meninggalkan rumah. Aku membeku. Di bawah ikon kecil bertuliskan namanya, muncul keterangan lokasi: “Jalan Suryo No. 19 — Area Industri Lama”. Tempat itu… terpencil. Aku tahu. Aku pernah melewati jalan itu sekali bersama ayah, bertahun-tahun lalu. Sebuah kawasan yang sudah mati, penuh gudang tua dan lampu jalan yang mati separuh. Tidak ada alasan logis bagi siapa pun untuk pergi ke sana—apalagi tengah malam begini. Tanganku gemetar. Aku menatap titik merah itu yang terus bergerak pelan di layar. “Ke mana kau sebenarnya, Nara?” bisikku. Aku menahan napas, lalu mengaktifkan fitur tracking history. Dalam hitungan detik, garis-garis biru muncul, membentuk pola. Aku menatapnya lekat-lekat—dan darahku seolah berhenti mengalir. Polanya berulang. Tempat yang sama. Jam yang hampir sama. Dua kali seminggu. Tengah malam. Bukan kebetulan. Aku menggigit bibir bawahku, menahan gemetar yang tak tertahankan. Kata-kata Nara kemarin sore terngiang lagi di kepalaku— > “Aku cuma butuh waktu sendiri, Raina. Aku butuh tenang.” Tenang? Di area industri mati pukul satu pagi? Aku nyaris tertawa jika tak sedang diliputi rasa ngeri. Kecurigaan kini bukan sekadar benih—ia telah tumbuh menjadi belukar yang menjerat pikiranku. Aku harus tahu. Aku tidak bisa hanya menatap peta ini dan menebak-nebak. Aku harus melihat dengan mataku sendiri. Aku menarik jaket hitam, menyelipkan ponsel di saku dalam, lalu mengambil kunci mobil. Udara malam terasa menusuk saat aku keluar. Angin membawa bau logam dan aspal basah. Saat mesin mobil menyala, jantungku ikut berdetak lebih cepat. Aku melirik ponsel di dudukan dashboard—titik merah itu masih bergerak. Aku mengikutinya, seperti bayangan yang menempel pada tuannya. --- Perjalanan menuju area industri itu terasa seperti mimpi buruk yang berjalan lambat. Setiap tikungan membawa aroma bahaya. Lampu jalan semakin jarang, dan akhirnya lenyap sama sekali. Hanya sinar redup dari lampu mobil yang menembus kegelapan. Aku mematikan mesin beberapa meter sebelum lokasi terakhir titik merah berhenti. Di depanku berdiri bangunan tua bertuliskan “Gudang Suryo 19”, catnya terkelupas, sebagian jendela pecah, dan dari celah atapnya, cahaya redup berwarna kebiruan keluar. Aku menelan ludah. Napasku berembus cepat, tapi langkahku mantap. Dengan hati-hati, aku menuruni mobil dan berjalan mendekat, menempel di tembok, lalu mengintip dari celah kaca yang pecah. Dan di sanalah aku melihatnya. Nara. Ia berdiri di depan meja panjang berdebu, dengan laptop terbuka dan beberapa kabel tersambung ke perangkat kecil seperti hard drive eksternal. Layar laptopnya menampilkan deretan angka dan peta jaringan. Aku tak mengerti sepenuhnya, tapi satu hal pasti—ia sedang mentransfer data. Aku menahan napas. Suara klik lembut dari jari-jarinya terdengar jelas dalam kesunyian malam. Lalu terdengar suara langkah dari sisi lain ruangan. Seseorang datang. Seorang pria berjaket kulit. Aku mengenalnya dari malam sebelumnya—pria yang duduk bersamanya di kafe. “Apa kau yakin semua sudah dihapus?” suaranya berat dan rendah. Nara menelan ludah. “Sudah. Tidak ada yang tertinggal. Tapi… dia mulai curiga.” “Dia?” “Raina.” Aku nyaris mundur karena jantungku serasa berhenti. Mereka bicara tentangku. Pria itu mendecak pelan. “Kau harus menahannya lebih lama. Jika dia tahu lebih dulu sebelum waktunya, semua rencana akan gagal.” Nara mengangguk pelan. “Aku akan coba. Tapi dia bukan Raina yang dulu. Ada yang berubah. Dia seperti… tahu sesuatu.” Aku menatap wajahnya lama dari balik celah itu. Mata Nara tampak lelah, tapi ada ketakutan di sana. Ia bukan hanya menyembunyikan sesuatu—ia tampak terperangkap di dalamnya. “Kalau aku ketahuan…” suaranya bergetar, “aku tahu apa yang akan terjadi padaku, kan?” Pria itu tersenyum dingin. “Kau terlalu pintar untuk bertanya hal yang sudah jelas.” Sebuah jeda panjang. Lalu ia berbalik dan pergi. Aku menahan napas sampai langkahnya menghilang di kegelapan. Hanya Nara yang tersisa di ruangan itu, menatap layar laptopnya, lalu menutupnya perlahan. Setelah itu, ia menunduk dan menarik napas panjang, seolah menahan tangis. Aku terpaku di tempat. Apa yang baru saja kulihat… bukan sekadar kebohongan biasa. Ini lebih besar dari itu. Lebih berbahaya. Dan di tengahnya, entah kenapa, ada aku. Aku mundur perlahan, memastikan tak ada suara. Saat aku berbalik menuju mobil, mataku sempat menangkap sesuatu di lantai: amplop cokelat—tergeletak di dekat pintu masuk gudang. Aku menunduk dan meraihnya. Di bagian depan amplop itu, hanya tertulis satu kata, huruf besar, hitam tebal: “ALPHA.” Tanganku membeku. Suara pintu besi berderit di belakangku. Aku spontan berbalik—Nara berdiri di ambang pintu. Wajahnya pucat. Matanya melebar saat melihatku. “Raina…?” suaranya hampir tak terdengar. Aku membeku, amplop itu masih di tanganku. Beberapa detik yang terasa seperti keabadian berlalu. Tak ada yang bergerak, kecuali angin yang membawa debu di antara kami. Akhirnya, aku memaksakan senyum kecil yang kaku. “Jadi… ini yang kau sembunyikan dariku?” Wajahnya berubah panik. Ia menatap amplop di tanganku, lalu kembali menatapku. “Dengar aku dulu, aku bisa jelaskan—” “Tidak perlu.” Suaraku bergetar, tapi tegas. “Aku sudah cukup mendengar kebohonganmu.” Ia melangkah maju. “Raina, kumohon. Ini bukan seperti yang kau pikirkan. Aku—” “Seperti apa, Nara?!” seruku, tak bisa lagi menahan gejolak di dadaku. “Kau bertemu dengan orang itu, di jam seperti ini, di tempat seperti ini, mentransfer sesuatu, menyebut namaku—dan kau masih berharap aku percaya ini ‘bukan seperti yang kupikirkan’?!” Hening. Hanya napas kami yang berat. Nara menunduk, suaranya pelan. “Aku hanya mencoba melindungimu…” “Melindungi?” aku hampir tertawa getir. “Atau menghapus jejakku sebelum semuanya terbongkar?” Ia tak menjawab. Dan di antara kami, amplop itu terasa seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja. Aku berbalik dan berjalan cepat ke arah mobil, menahan air mata yang mulai menumpuk di sudut mata. Di belakangku, kudengar Nara memanggil namaku berulang kali, tapi aku tak berhenti. Saat mobilku menjauh dari kawasan itu, hatiku terasa sekarat. Setiap detik terasa seperti pengkhianatan baru. Tapi di tengah semuanya, satu hal mulai tumbuh di dalam pikiranku: Jika “Proyek Alpha” cukup berbahaya hingga membuat Nara berbohong, mungkin semua yang terjadi padaku—penculikan, mimpi buruk, bahkan rasa takut yang terus menghantuiku—semuanya berasal dari satu sumber: Proyek itu. Dan aku bertekad, malam ini juga, aku tidak akan lagi hanya menjadi bayangan yang dibohongi. Aku akan mencari tahu. Tentang Alpha. Tentang Nara. Tentang semua orang yang telah mengubah hidupku menjadi teka-teki berdarah ini. Dan untuk pertama kalinya… Rasa takut itu berubah menjadi tekad yang tajam. Aku bukan lagi korban. Aku adalah pemburu.Mobil yang dikendarai Gio berbelok perlahan dan mulai menanjak melewati jalan sempit menuju area perbukitan. Kabut Rinjani semakin padat, memeluk mobil seperti tirai putih yang bergerak dengan napas hutan. Lampu depan menabrak gumpalan kabut itu, membuat dunia seolah surut hanya beberapa meter ke depan. Gio menurunkan kecepatan. “Kita semakin dekat dengan kompleks lama fakultas teknik,” katanya tanpa menoleh. “Menurut peta yang Bas berikan, tempat Profesor Bayu tinggal ada di wilayah kampus yang sudah tidak dipakai.”Aku mendengarnya. Tapi pikiranku tidak benar-benar berada di kursi penumpang mobil itu.Pikiranku sudah kembali ke malam itu.Malam ketika semua titik terang menyatu.Malam ketika ketakutan ayahku akhirnya diberi nama. Tirtayasa.Dan di baliknya – sesuatu yang lebih gelap, lebih besar, lebih sunyi. Raka D.Ingatan itu kembali bukan sebagai potongan-potongan acak, tetapi sebagai film penuh yang diputar ulang tanpa izin. FLASHBACK – MALAM ITU, DETIK – DETIK SETELAH AYAH
Kabut malam Rinjani terus menebal di balik kaca mobil, seolah-olah gunung itu sengaja menelan jalanan sempit yang kami lewati. Lampu kendaraan Gio menembus kegelapan hanya sejauh beberapa meter, membuat hutan di kiri dan kanan tampak seperti dinding hitam dengan mata tak terlihat yang mengikuti setiap gerak kami. Tidak ada suara lain selain raungan mesin yang menanjak, denting halus batu kecil yang terpukul ban, dan sesekali derit pepohonan yang tersentuh angin. Gio menoleh sekilas. “Kau kelihatan jauh,” katanya pelan. Aku hanya mengangguk. Karena memang itulah yang terjadi. Tubuhku berada di mobil ini, duduk dengan sabuk pengaman yang mengunci, namun pikiranku kembali pada malam itu - Malam ketika aku menyadari bahwa Damar Wicaksana bukan sekedar pengkhianat. Dia adalah manusia yang luluh lantak oleh ketakutannya sendiri. Malam itu ketika pengakuannya menghancurkan sebagian kebencianku, tetapi tidak cukup untuk menyelamatkan dirinya. Dan seperti pintu tua yang terbuka pelan di dal
Udara malam di Pulau Rinjani terasa lebih berat dari pada tang kuperkirakan. Angin dari lereng gunung membawa aroma tanah basah dan dedaunan tua, menggesekkan rasa dingin lewat jendela mobil yang sedikit terbuka. Gio duduk di kursi kemudi, matanya fokus ke jalanan sempit menuju daerah kampus tempat Profesor Bayu mengajar. Mobil sewaan kami bergerak pelan, lampu depannya memotong kegelapan yang dipenuhi kabut tipis. Sudah beberapa menit kami meninggalkan kafe gelap itu-tempat di mana log administratif tablet ayahku membuka kenyataan bahwa Damar Wicaksana hanyalah pion. Bukan arsitek. Bukan dalang. Hanya bagian kecil dari mesin yang jauh lebih besar. Aku memeluk tubuhku sendiri, mencoba menghilangkan dingin yang sebenarnya bukan dari udara, melainkan dari sesuatu yang bangkit di tubuhku: kenyataan pahit yang sudah lama kutolak. “Raina.” Suara Gio memecah hening tipis itu. “Kau baik-baik saja?” Aku tak langsung menjawab. Rasanya pikiranku melayang ke ruang yang tidak bisa dia capai
Aku tiba di pulau Rinjani identitas baru. Adelia. Nama ini terasa aneh di lidahku, tetapi ini adalah perisaiku. Wajah di paspor itu sama, tetapi tatapanku telah berubah. Tidak ada jejak Raina Wicaksana yang ceroboh dan percaya. Perjalanan itu adalah siksaan yang diselimuti keheningan. Aku menggunakan penerbangan domestik pertama dan termurah. Setiap pandangan yang terasa terlalu lama, setiap panggilan telepon yang berdering di sekitarku, terasa seperti mata-mata Tirtayasa yang semakin dekat. Aku tahu Nara pasti sudah melaporkan kepergianku, dan ayah pasti sudah mengaktifkan jaringan pencariannya.Tablet terenkripsi itu terasa dingin dan berat di saku hoodie-ku. Itu bukan hanya hardware; itu adalah inti dari semua kebohongan, semua pembunuhan, dan semua tirani yang di rencanakan.Setelah mendarat di bandara kecil yang didominasi oleh turis dan peneliti, aku segera menuju ke area terpencil di luar kota, menjauhi keramaian. Sesuai instruksi Baskara, aku harus menghubungi Gio, satu-satu
Aku mengemudikan mobil kembali ke rumah, tetapi ini bukan lagi rumah. Ini adalah sarang laba-laba.Setelah meninggalkan Baskara di gudang reotnya, aku merasa anehnya tenang. Ketakutan telah digantikan oleh fokus. Kebencianku pada Nara dan pengkhianatan ayahku tidak lagi melumpuhkan; itu adalah bahan bakar dingin yang membuat keputusanku tajam dan tepat. Aku adalah Nadine sekarang, dan Nadine tahu bahwa langkah pertamanya adalah kembali ke perut monster itu sendiri.Aku memarkir mobil di garasi, mengambil napas dalam-dalam. Aku telah mempersiapkan diri untuk menghadapi Nara, untuk bermain peran sebagai tunangan yang terluka tetapi patuh.Aku masuk melalui pintu samping. Keheningan di dalam rumah mewah itu terasa lebih berat daripada kebisingan apa pun. Ini adalah jenis keheningan yang menyembunyikan langkah kaki yang berhati-hati, bisikan telepon yang terputus-putus, dan konspirasi yang bergerak. Aku langsung menuju kamar tamu. Aku mengunci pintu dan mengeluarkan ponselku. Ada pesan t
Aku masih berdiri di ambang pintu baja itu, GPS handled di tangan, siap melangkah pergi, ketika Baskara bersuara, menghentikanku sekali lagi.“Tunggu. Raina,” katanya, suaranya kini tidak lagi dingin, melainkan berat dan penuh pertimbangan. “Kau akan menuju Lumbung Padi. Kau akan menemukan kepingan kunci etika. Tapi sebelum kau menanyakan harga yang harus kubayar, kau harus tahu apa yang sebenarnya akan kita hancurkan. Kau harus mengerti skala ancaman ini.” Aku berbalik. Pria di hadapanku telah melepaskan perannya sebagai pembalas dendam sejenak, dan kembali ke peran aslinya: seorang ahli kriptografi yang berduka. Aku meletakkan GPS itu di meja dan berjalan kembali ke sudut di mana server dan monitor berkedip-kedip dalam cahaya remang.“Beri aku detailnya, Bas. Jelaskan kenapa ayahku rela membunuh sahabatnya sendiri,” Tuntutku.Bas duduk di kursi sederhana, menunjuk ke layar monitor yang menampilkan barisan kode heksadesimal yang bergerak cepat.“Proyek Alpha bukan hanya sekedar sist







