Mag-log inSuara hujan menetes perlahan di luar jendela, membentuk irama yang tak beraturan. Lampu kamar temaram, hanya menyisakan pantulan cahaya ponsel di wajahku. Titik merah di layar peta masih bergerak. Setelah kejadian di Gudang Suryo 19, aku tahu satu hal pasti: Nara belum berhenti. Malam itu mungkin hanya sebagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar. Dan kini, titik itu menuju arah yang berbeda—ke luar kota.
Aku memegang ponsel erat, napas berembus berat di antara bibir. > “Ke mana lagi kau malam ini, Nara?” Titik merah berhenti di pinggiran peta, di sebuah area yang tak asing bagiku—wilayah tua yang nyaris mati sejak jalan tol baru dibuka. Ada satu jalur di sana, membelah antara perbukitan kecil dan deretan rumah-rumah tua yang separuhnya sudah ditinggalkan. Di pinggir jalan itu… ada sebuah kafe. Kafe yang dulu sering kami lewati tanpa pernah singgah. Aku menatap jam di dinding. 22.18. Masih cukup waktu. --- Hujan semakin deras ketika aku memutuskan untuk pergi. Jalanan basah, lampu mobil memantul di genangan air, membentuk garis-garis cahaya yang bergetar di kaca depan. Wiper berayun cepat, tapi pandanganku tetap fokus ke layar ponsel di dudukan dashboard. Titik merah itu berhenti di satu lokasi—tepat di koordinat yang kutebak. Kafe Tua Elara. Tempat yang bahkan aku kira sudah tutup bertahun-tahun lalu. Mobilku melaju perlahan menembus kabut. Di luar, jalanan mulai sepi. Pepohonan di pinggir jalan bergoyang diterpa angin, menciptakan bayangan panjang di atas aspal. Saat akhirnya papan tua bertuliskan “Elara Café & Resto” muncul di kejauhan, hatiku berdegup lebih cepat. Kafe itu berdiri di bawah cahaya lampu jalan yang redup, sebagian huruf papan namanya sudah hilang. Cat dinding mengelupas, dan kaca jendela tertutup tirai kusam. Tapi di dalam—ada cahaya. Remang, kuning, dan berdenyut pelan seperti napas yang tertahan. Aku menurunkan kecepatan dan menepi di seberang jalan. Menyembunyikan mobil di balik truk tua yang tampak sudah lama tak digunakan. Dari tempat itu, aku bisa melihat jelas ke arah pintu kafe. Dan di sana—dia muncul. Nara. Jantungku serasa berhenti berdetak sejenak. Ia mengenakan jaket hitam panjang, rambutnya agak basah oleh hujan, wajahnya setengah tertutup topi. Tapi gerak tubuhnya, langkahnya yang ragu, tak mungkin salah. Itu dia. Lelaki yang pernah kujaga rahasianya, kini menjadi rahasia terbesar dalam hidupku. Ia melihat ke sekeliling sebelum masuk. Gerakannya hati-hati, seolah tahu sedang diawasi. Aku menelan ludah, lalu mematikan lampu mobil. Menurunkan sedikit kaca jendela agar suara dari luar bisa masuk. Aroma hujan bercampur kopi basi menyelinap ke dalam kabin, dingin dan tajam. Beberapa menit berlalu sebelum seseorang lain datang. Sebuah motor berhenti di depan kafe, pengendaranya memakai helm full-face. Tubuhnya tinggi, jaket kulit hitam yang sama seperti pria di gudang itu. Aku menegang. Ini bukan kebetulan. Mereka bertemu lagi. Tapi kali ini, di tempat yang lebih terbuka—dan entah kenapa, terasa lebih berbahaya. Aku mematikan mesin mobil sepenuhnya, mencondongkan tubuh ke depan. Dari celah kaca yang sedikit terbuka, aku bisa mendengar samar suara pintu kafe berderit. Pria berjaket itu masuk tanpa melepas helm. Lampu di dalam bergoyang sebentar, lalu stabil kembali. --- Sepuluh menit berlalu. Lima belas. Waktu terasa melar, menyesakkan. Hanya bunyi hujan dan sesekali kilatan petir yang menemani. Aku sempat berpikir untuk mendekat, mencari sudut lebih jelas. Tapi naluri menahanku—aku tahu, satu langkah salah bisa menghancurkan segalanya. Jadi aku menunggu. Tangan kiriku menggenggam ponsel, tangan kanan menekan rekam suara. Aku arahkan mikrofon kecil ke luar jendela. Sekecil apa pun percakapan mereka, aku butuh petunjuk. Lalu samar-samar, suara pintu kafe terbuka lagi. Dua siluet muncul di balik cahaya temaram. Suara Nara terdengar pelan, hampir tak terdengar di antara deru hujan. > “Aku sudah lakukan yang kau minta. Tapi aku ingin tahu, sampai kapan aku harus terus berbohong?” Pria itu tertawa kecil, sinis. > “Sampai kau bisa pastikan file Alpha aman. Kau pikir semua ini hanya tentangmu?” > “Dia mulai mencari tahu,” jawab Nara lagi, suaranya bergetar. “Dia sudah menemukan gudang itu.” Aku membeku di tempat. Mereka bicara tentang aku. Pria itu mendekat ke Nara. > “Kalau begitu, kau tahu apa yang harus kau lakukan.” > “Kau tak akan menyentuhnya!” seru Nara tiba-tiba. Aku menahan napas. Pria itu tertawa dingin. “Kau mulai melupakan posisimu, Nara. Ingat siapa yang menyelamatkanmu waktu itu? Tanpa kami, kau sudah—” Suaranya terpotong oleh gemuruh petir. Hujan menelan sisa kalimatnya. Aku berusaha fokus, menajamkan pendengaran. Tapi yang kudengar berikutnya hanyalah bunyi gelas diletakkan di meja, lalu langkah kaki mendekat ke pintu. Aku buru-buru menunduk. Pintu kafe terbuka. Nara keluar lebih dulu, wajahnya tegang. Ia menatap ke arah jalan, dan untuk sesaat aku yakin pandangan kami hampir bertemu. Tapi hujan menutupi semuanya—dan ia tak menyadari aku di sana. Ia berjalan cepat menuju mobil hitamnya yang terparkir di sisi kiri kafe, lalu pergi begitu saja, meninggalkan percikan air di belakang ban. Aku menatap titik merah di peta yang mulai menjauh lagi. Nafasku tak beraturan, dada terasa sesak oleh ketegangan dan rasa takut yang menumpuk. Tapi di saat yang sama, ada bara kecil di dalam diriku yang menyala. Aku baru saja menyaksikan kebohongan lain terbuka. Dan kali ini, Nara tidak hanya menyembunyikan sesuatu dariku—ia melawan seseorang yang jauh lebih berbahaya. --- Aku menunggu beberapa menit sebelum pria berjaket itu keluar. Ia menyalakan rokok di bawah atap kafe, wajahnya tersembunyi di balik helm. Lalu ia berbicara dengan seseorang melalui ponsel. > “Ya. Dia masih mengikuti. Tapi tenang saja… dia akan datang sendiri pada waktunya.” Aku menggigil. Kalimat itu seperti ancaman yang dilempar langsung ke arahku. Dia tahu. Aku buru-buru menyalakan mesin mobil, menahan napas agar tidak panik. Tapi saat hendak menyalakan lampu depan, sesuatu di spion membuatku membeku. Sebuah bayangan berdiri di ujung jalan. Tidak jelas siapa, tapi tubuhnya tegap, dan seolah menatap langsung ke arah mobilku. Jantungku berdebar tak karuan. Aku menekan pedal gas perlahan, memastikan tak menimbulkan suara bising. Mobil bergerak, roda berputar perlahan di atas aspal licin. Tapi saat aku menoleh sekali lagi ke spion— Bayangan itu sudah menghilang. --- Perjalanan pulang terasa lebih panjang dari seharusnya. Hujan telah berhenti, tapi pikiranku justru bergemuruh lebih keras. Semua yang kulihat malam ini mengubah segalanya. Nara bukan hanya bagian dari kebohongan. Ia berada di dalam jaring besar yang mungkin juga membelitku. Dan aku mulai sadar… mungkin aku bukan satu-satunya yang memantau malam ini. Ponselku bergetar pelan di dashboard. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. > “Kau tak seharusnya ada di sana, Nadine.” Aku terpaku, darahku terasa membeku di setiap nadinya. Layar peta di ponsel masih menyala, tapi kini titik merah milik Nara telah lenyap dari pandangan. Yang tersisa hanyalah satu notifikasi baru di bawahnya: > “Tracking disabled by user.” Aku menatapnya lama, antara takut dan terpancing. Lalu, dengan jari bergetar, aku tersenyum tipis. > “Baiklah, Nara. Permainan dimulai lagi.”Mobil yang dikendarai Gio berbelok perlahan dan mulai menanjak melewati jalan sempit menuju area perbukitan. Kabut Rinjani semakin padat, memeluk mobil seperti tirai putih yang bergerak dengan napas hutan. Lampu depan menabrak gumpalan kabut itu, membuat dunia seolah surut hanya beberapa meter ke depan. Gio menurunkan kecepatan. “Kita semakin dekat dengan kompleks lama fakultas teknik,” katanya tanpa menoleh. “Menurut peta yang Bas berikan, tempat Profesor Bayu tinggal ada di wilayah kampus yang sudah tidak dipakai.”Aku mendengarnya. Tapi pikiranku tidak benar-benar berada di kursi penumpang mobil itu.Pikiranku sudah kembali ke malam itu.Malam ketika semua titik terang menyatu.Malam ketika ketakutan ayahku akhirnya diberi nama. Tirtayasa.Dan di baliknya – sesuatu yang lebih gelap, lebih besar, lebih sunyi. Raka D.Ingatan itu kembali bukan sebagai potongan-potongan acak, tetapi sebagai film penuh yang diputar ulang tanpa izin. FLASHBACK – MALAM ITU, DETIK – DETIK SETELAH AYAH
Kabut malam Rinjani terus menebal di balik kaca mobil, seolah-olah gunung itu sengaja menelan jalanan sempit yang kami lewati. Lampu kendaraan Gio menembus kegelapan hanya sejauh beberapa meter, membuat hutan di kiri dan kanan tampak seperti dinding hitam dengan mata tak terlihat yang mengikuti setiap gerak kami. Tidak ada suara lain selain raungan mesin yang menanjak, denting halus batu kecil yang terpukul ban, dan sesekali derit pepohonan yang tersentuh angin. Gio menoleh sekilas. “Kau kelihatan jauh,” katanya pelan. Aku hanya mengangguk. Karena memang itulah yang terjadi. Tubuhku berada di mobil ini, duduk dengan sabuk pengaman yang mengunci, namun pikiranku kembali pada malam itu - Malam ketika aku menyadari bahwa Damar Wicaksana bukan sekedar pengkhianat. Dia adalah manusia yang luluh lantak oleh ketakutannya sendiri. Malam itu ketika pengakuannya menghancurkan sebagian kebencianku, tetapi tidak cukup untuk menyelamatkan dirinya. Dan seperti pintu tua yang terbuka pelan di dal
Udara malam di Pulau Rinjani terasa lebih berat dari pada tang kuperkirakan. Angin dari lereng gunung membawa aroma tanah basah dan dedaunan tua, menggesekkan rasa dingin lewat jendela mobil yang sedikit terbuka. Gio duduk di kursi kemudi, matanya fokus ke jalanan sempit menuju daerah kampus tempat Profesor Bayu mengajar. Mobil sewaan kami bergerak pelan, lampu depannya memotong kegelapan yang dipenuhi kabut tipis. Sudah beberapa menit kami meninggalkan kafe gelap itu-tempat di mana log administratif tablet ayahku membuka kenyataan bahwa Damar Wicaksana hanyalah pion. Bukan arsitek. Bukan dalang. Hanya bagian kecil dari mesin yang jauh lebih besar. Aku memeluk tubuhku sendiri, mencoba menghilangkan dingin yang sebenarnya bukan dari udara, melainkan dari sesuatu yang bangkit di tubuhku: kenyataan pahit yang sudah lama kutolak. “Raina.” Suara Gio memecah hening tipis itu. “Kau baik-baik saja?” Aku tak langsung menjawab. Rasanya pikiranku melayang ke ruang yang tidak bisa dia capai
Aku tiba di pulau Rinjani identitas baru. Adelia. Nama ini terasa aneh di lidahku, tetapi ini adalah perisaiku. Wajah di paspor itu sama, tetapi tatapanku telah berubah. Tidak ada jejak Raina Wicaksana yang ceroboh dan percaya. Perjalanan itu adalah siksaan yang diselimuti keheningan. Aku menggunakan penerbangan domestik pertama dan termurah. Setiap pandangan yang terasa terlalu lama, setiap panggilan telepon yang berdering di sekitarku, terasa seperti mata-mata Tirtayasa yang semakin dekat. Aku tahu Nara pasti sudah melaporkan kepergianku, dan ayah pasti sudah mengaktifkan jaringan pencariannya.Tablet terenkripsi itu terasa dingin dan berat di saku hoodie-ku. Itu bukan hanya hardware; itu adalah inti dari semua kebohongan, semua pembunuhan, dan semua tirani yang di rencanakan.Setelah mendarat di bandara kecil yang didominasi oleh turis dan peneliti, aku segera menuju ke area terpencil di luar kota, menjauhi keramaian. Sesuai instruksi Baskara, aku harus menghubungi Gio, satu-satu
Aku mengemudikan mobil kembali ke rumah, tetapi ini bukan lagi rumah. Ini adalah sarang laba-laba.Setelah meninggalkan Baskara di gudang reotnya, aku merasa anehnya tenang. Ketakutan telah digantikan oleh fokus. Kebencianku pada Nara dan pengkhianatan ayahku tidak lagi melumpuhkan; itu adalah bahan bakar dingin yang membuat keputusanku tajam dan tepat. Aku adalah Nadine sekarang, dan Nadine tahu bahwa langkah pertamanya adalah kembali ke perut monster itu sendiri.Aku memarkir mobil di garasi, mengambil napas dalam-dalam. Aku telah mempersiapkan diri untuk menghadapi Nara, untuk bermain peran sebagai tunangan yang terluka tetapi patuh.Aku masuk melalui pintu samping. Keheningan di dalam rumah mewah itu terasa lebih berat daripada kebisingan apa pun. Ini adalah jenis keheningan yang menyembunyikan langkah kaki yang berhati-hati, bisikan telepon yang terputus-putus, dan konspirasi yang bergerak. Aku langsung menuju kamar tamu. Aku mengunci pintu dan mengeluarkan ponselku. Ada pesan t
Aku masih berdiri di ambang pintu baja itu, GPS handled di tangan, siap melangkah pergi, ketika Baskara bersuara, menghentikanku sekali lagi.“Tunggu. Raina,” katanya, suaranya kini tidak lagi dingin, melainkan berat dan penuh pertimbangan. “Kau akan menuju Lumbung Padi. Kau akan menemukan kepingan kunci etika. Tapi sebelum kau menanyakan harga yang harus kubayar, kau harus tahu apa yang sebenarnya akan kita hancurkan. Kau harus mengerti skala ancaman ini.” Aku berbalik. Pria di hadapanku telah melepaskan perannya sebagai pembalas dendam sejenak, dan kembali ke peran aslinya: seorang ahli kriptografi yang berduka. Aku meletakkan GPS itu di meja dan berjalan kembali ke sudut di mana server dan monitor berkedip-kedip dalam cahaya remang.“Beri aku detailnya, Bas. Jelaskan kenapa ayahku rela membunuh sahabatnya sendiri,” Tuntutku.Bas duduk di kursi sederhana, menunjuk ke layar monitor yang menampilkan barisan kode heksadesimal yang bergerak cepat.“Proyek Alpha bukan hanya sekedar sist







