Begitu selesai melakukan tes dan Dokter Park mengatakan semuanya baik, Marcus dan Rachel pergi meninggalkan rumah sakit. Mereka akan kembali ke rumah sakit beberapa hari lagi untuk proses selanjutnya.
Setelah sampai di rumah, Rachel kembali diminta masuk ke dalam kamar. Namun, kali ini Rachel menahan pintu ketika akan ditutup oleh William. “Bolehkah aku meminta ponselku? Aku ingin menelepon adikku,” ucap Rachel yang sejak berada di tempat ini tidak memiliki akses berkomukasi dengan dunia luar.
“Maaf, hanya Tuan Cho yang bisa memberikan hal itu. Istirahatlah.”
“Tapi, sekarang hari ulang tahun adikku. Aku sudah berjanji sebelumnya akan ke Busan, tapi aku tidak bisa menepati janji, jadi biarkan aku menelepon adikku. Aku tidak akan mengatakan apa-apa tentang hal ini, atau tentang Marcus. Aku mohon.” Rachel kembali berusaha mendapat salah satu haknya sebagai manusia.
“Aku akan mengatakan ini pada Tuan Cho, semoga dia mengerti. Sekarang, istirahatlah. Jika merasa bosan, kau boleh keluar dari kamar untuk jalan-jalan di dalam rumah. Aku tidak akan mengunci pintu kamar, jadi kau tidak perlu khawatir. Ini adalah perintah dari Tuan Cho. Aku permisi.” William tersenyum pada Rachel, lalu menutup pintu agar dia bisa istirahat.
Rachel benci ini. Entah atas dasar apa segala hal yang ia lakukan kini harus dengan persetujuan Marcus. Bukan ia yang ingin Marcus membantunya, tapi pria itu yang datang begitu saja lalu membuatnya memiliki hutang yang harus dibalas dengan rahimnya. Bukankah itu terlalu kejam?
“Aku ingin keluar dari sini. Aku ingin pulang.” Rachel menyandarkan tubuhnya di pintu, hingga akhirnya duduk dan memeluk kedua lututnya. Isak tangis terdengar jelas di kamar ini, tapi tetap tidak ada siapa pun yang bisa menolong Rachel.
••••
Pada saat malam hari, pukul 9 malam, turun hujan dan seorang wanita berjalan seorang diri sambil membawa payung dari tempat kerjanya. Wanita bernama Hana ini sudah biasa melewati jalan ini, tapi entah kenapa sekarang tiba-tiba merasa ada yang aneh di sini, rasanya seperti ada yang mengikutinya. Tapi, ketika Hana membalikan badannya tidak ada siapa pun.
Hana mempercepat langkahnya karena mulai takut walau tidak ada siapa-siapa di belakangnya. Namun, secara tiba-tiba seseorang dari belakang membekap mulut Hana dan menyeretnya ke tempat sepi.
Dalam waktu sekejap si orang misterius yang memakai pakaian serba hitam itu telah berhasil mengikat kedua tangan dan kaki Hana, lalu menyumpal mulut Hana dengan stokingnya sendiri. Pria itu membuka topi dari jas hujan yang ia kenakan, membuat Hana terkejut karena ternyata pria yang menculiknya adalah pria yang meminta maaf padanya tadi siang, setelah tidak sengaja menabraknya.
“Kau tahu? Siapa pun itu, kau harus menerima permintaan maaf dari seseorang yang sudah tulus berkata maaf padamu. Bersikap lebih sopan itu penting dan jika tidak maka inilah akibatnya,” ucap Louis, kemudian menyalakan sebatang rokok dan menyemburkan asapnya ke wajah Hana, wanita yang sudah sangat ketakutan.
“Aku harus menghukummu.” Louis tersenyum pada Hana. Seperti orang yang tidak punya perasaan, kini Louis dengan sengaja melukai wajah Hana menggunakan api dari rokoknya.
Sakit sekali rasanya, tapi Hana tidak bisa berteriak minta tolong, hanya ada air mata dan tatapan ketakutan dari mata Hana. Tidak pernah Hana sangka ucapan sinisnya akan dibalas oleh hal seperti ini. Andai waktu bisa diulang, ia berjanji akan berbicara dengan lebih baik.
“Apa sangat sakit? Kasihan sekali, wajah cantikmu sudah cacat sekarang. Kau pasti ingin mengulang waktu dan berjanji akan berbicara lebih baik pada orang lain. Mati saja, maka kau bisa belajar di kehidupan selanjutnya.” Dengan nada suara rendah, tapi menakutkan. Begitulah cara bicara Louis saat ini.
“Sebelum kau mati, ayo sedikit bermain.” Louis merobek baju yang Hana kenakan dan memperlihatkan dada wanita itu yang terbungkus bra berwarna putih.
••••
“Tuan, saya lupa menyampaikan kalau kemarin, Rachel ingin meminta ponsel untuk menelepon adiknya yang sedang berulang tahun.”
Marcus yang baru saja membuka pintu mobil menoleh pada William. “Tidak akan kuberikan. Aku tidak ingin baik pada wanita,” ujar Marcus, lalu masuk ke dalam mobilnya.
“Tapi, ini penting untuk menjaga agar dia tidak tertekan. Dokter Park mengatakan program bayi tabung tidak akan berjalan lancar jika calon ibunya stres atau tertekan.” William kembali bicara, tapi Marcus tidak peduli dan malah pergi.
William terlihat menghela napas. “Aku sudah melakukan yang terbaik,” gumam William yang memang tidak bisa berbuat banyak.
••••
Tidak ada telepon yang bisa Rachel gunakan di rumah Marcus. Gerak geriknya pun selalu diawasi oleh pengawal Marcus, membuat Rachel tidak bisa berbuat apa-apa, selain berjalan-jalan di dalam rumah besar Marcus hingga akhirnya menemukan sebuah ruangan besar yang terlihat gelap.
“Tidak ada yang memberimu izin masuk ke sana.” Terdengar suara dingin milik Marcus Cho. Sesaat setelahnya, Marcus menarik Rachel dari ambang pintu ruangan gelap itu.
Marcus menyudutkan Rachel ke tembok dan memberikan tatapan dingin pada wanita itu. “Apa William tidak mengatakan kalau kau hanya boleh jalan-jalan, bukan masuk ke sembarang ruangan?” nada bicara Marcus benar-benar menakutkan sekarang.
“Apa yang kau sembunyikan di ruangan itu?” Rachel balik bertanya pada Marcus.
“Kenapa kau ingin tahu? Lebih baik jangan mengurus sesuatu yang bukan urusanmu. Mengetahui banyak hal hanya akan membuatmu berada dalam bahaya.” Entah apa maksud ucapan Marcus yang satu ini, Rachel sungguh tidak mengerti.
Rachel tidak berkata apa-apa lagi, terlepas dari betapa besar keinginannya untuk tahu isi di dalam ruangan itu. Marcus terlalu menakutkan sekarang, sampai menatap matanya pun ragu untuk Rachel lakukan.
“Apa yang membuatmu tidak stres atau tertekan?” lalu secara tiba-tiba kalimat ini keluar dari mulut Marcus.
Rachel yang tadinya tidak menatap Marcua, kini seketika menatap pria itu. “Kenapa tiba-tiba ....”
“Katakan saja! Aku tidak ingin kau stres, lalu program bayi tabung terganggu dan akhirnya aku harus tinggal lebih lama denganmu. Itu sangat menyebalkan!” Marcus menyela ucapan Rachel. Marcus tidak tahu kalau sifatnya yang seperti ini saja sudah bisa membuat Rachel stres.
“Lepaskan aku. Ada banyak wanita diluar sana, kau bisa meminta mereka mengandung anakmu. Aku tidak bisa melakukan ini.” Rachel tidak sadar bahwa kalimat ini adalah kesalahan besar.
Dengan kasarnya Marcus mencengkram dagu Rachel. Ia sudah bertanya baik-baik dan sangat kesal karena mendapat jawaban seperti itu. “Kau lupa ancamanku? Atau kau pikir, aku main-main dengan ancamanku? Jangan memancing amarahku. Aku bisa hilang kendali jika dibuat marah oleh makhluk yang paling kubenci.”
“Tolong perlakukan aku dengan lebih baik. Jangan menambah kenangan burukku tentang pria. Aku hanya akan meminta itu.” Rachel memohon karena dagunya terasa sakit akibat cengkeraman Marcus.
Kenangan buruk tentang pria. Mendengar kalimat itu membuat Marcus langsung berpikir bahwa Rachel pasti selalu diperlakukan buruk oleh pria. Tapi, Rachel tidak terlihat seperti membenci pria. Bagaimana cara Rachel melakukan itu?
••••
Di tempat lain, Louis baru saja kembali ke rumahnya dan langsung mencuci pisau yang penuh dengan darah. Begitu selesai, Louis meletakkan pisaunya di atas meja yang ada di kamarnya. Kini, Louis mengeluarkan kotak yang telaknya tersembunyi.
Dalam kotak itu terlihat banyak foto Rachel. Foto itu Louis dapat dari hasil menguntit Rachel. Dan ya, Louis tahu siapa satu-satunya saksi mata yang melihatnya membunuh seseorang. “Kenapa harus kau yang melihat kelakuan burukku? Maaf, karena telah membuat matamu ternodai, Sayang,” ujar Louis, lalu mengecup foto Rachel layaknya pria yang terobsesi pada seorang wanita.
“Dimana kau sekarang? Kenapa kau tidak ada di tempatmu? Apa kau pergi bersama pria lain? Tidak. Kau hanya boleh menjadi milikku, atau kau harus mati agar tidak dimiliki pria lain. Jangan khawatir, aku pasti akan menemukanmu.” Louis tersenyum sembari menatap foto Rachel.
******
Bersambung ....
Air mata Rachel menetes begitu saja ketika mendengar lagu milik Younha yang berjudul Wasted diputar pada salah satu program TV yang ia tonton. Seseorang pernah berjanji padanya, seperti dalam lirik lagu itu, dia berkata tidak akan pernah meninggalkannya walau semua orang di dunia ini meninggalkannya. Tapi pada akhirnya, orang itu tidak menepati janjinya, dia menghilang begitu saja tanpa ada kabar sampai sekarang. Rachel meremas tangannya, terutama jari manisnya tempat cincin indah melingkar di sana sejak 4 tahun yang lalu. Cincin itu tidak pernah sekalipun Rachel lepaskan karena masih berharap orang yang memasangkan cincin itu akan kembali dan memeluknya dengan erat. Marcus yang baru saja selesai mandi dan turun dengan rambut yang masih setengah basah tampak terdiam saat melihat Rachel duduk di depan TV dengan bahu yang bergetar seperti orang menangis. Tidak, bukan sepertinya, tapi dia memang menangis, ia bisa mendengar isak tangis
Masyarakat Korea kembali digemparkan oleh penemuan jasad wanita yang kondisinya sama seperti korban kasus pembunuhan dan pemerkosaan yang sampai sekarang belum terpecahkan. Pipi korban dilukai, kemudian diperkosa dan setelahnya dibunuh bahkan lidahnya dipotong. Polanya sama, hingga pihak kepolisian membuat kesimpulan bahwa ini adalah pembunuhan berantai. Rachel melihat berita ini di TV. Ketakutan seketika terlihat di wajahnya. Pembunuh itu telah kembali setelah hampir 3 tahun tidak pernah membunuh. Ia yakin ini adalah orang yang sama jika melihat caranya menghabisi si korban. “Dia kembali," Rachel bicara dengan sangat pelan. Sementara di kantor, Marcus juga sudah mengetahui berita itu melalui ponselnya. Cara pembunuhan yang sama, maka pastilah dilakukan oleh orang yang sama. Entah apa yang ada di dalam pikiran pembunuh itu sampai membunuh wanita. Ia memang benci pada wanita, tapi tidak sampai pada tahap membunuh
Kedua mata Rachel membulat, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Pria psycho itu mengajaknya berkencan dan itu pasti hanya untuk tidur bersama. Sungguh, Marcus benar-benar tidak waras. “Aku yang punya masalah denganmu.” “Kalau begitu, lebih baik kau diam saja! Kau pikir, kepalaku tidak sakit mendengar celotehanmu? Cepat tidur!” walau pernah berjanji akan bersikap lebih baik pada Rachel, pada kenyataannya kadang sikap Marcus masih sama saja. “Aku belum mengantuk,” ucap Rachel ketus. Ia ingin keluar dari kamar, sebab sangat muak satu kamar dengan Marcus. “Kau berani ....” “Kau ingin membuatku stres, lalu keguguran? Baiklah, teruslah berteriak padaku.” Rachel menyela ucapan Marcus, hingga membuat pria itu tertegun. “Keluarlah. Aku tunggu di sini.” Marcus memperhalus nada bicaranya. Sedang
Langit musim semi terlihat cerah hari ini, udara di Nami Island juga sangat segar hingga membuat Rachel menghirup oksigen sebanyak mungkin, lalu menghembuskannya sembari tersenyum. Ia tahu Marcus melakukan semua ini demi calon anak yang ada di kandungannya, bukan karena pandangan pria itu telah berubah terhadap wanita. Tidak apa-apa, ia memiliki keyakinan kalau perlahan Marcus pasti bisa berhenti melihat wanita sebagai makhluk yang menjijikan dan harus dijauhi. “Nami Island sangat indah,” ucap Rachel dan terdengar sampai ke telinga Marcus, karena pria itu berdiri di sebelahnya. “Biasa saja. Bagiku, tidak ada tempat indah di dunia ini.” Dan Marcus menyahuti ucapan Rachel dengan kalimat seperti itu. Ia baru saja berbagi pandangannya tentang dunia. Wanita cantik ini berdecak pelan mengetahui begitu cara Marcus memandang dunia. Pantas saja dia tidak pernah terlihat bahagia walau hanya sekali
Bukan perkara mudah bagi Marcus untuk membuat Rachel tetap merasa aman setelah kejadian di Nami Island. Dari Nami Island hingga sampai di rumah dan sekarang sudah pukul 8 malam, wanita itu tidak pernah sekalipun melepaskan genggaman tangannya. Rachel selalu menempel padanya seakan rasa aman itu hanya ada padanya. Sedangkan Marcus tidak bisa berbuat apa-apa, selain tetap membiarkan Rachel terus menempel padanya. Ia sudah tahu apa yang terjadi, jadi bisa memahami bagaimana perasaan Rachel. Maka dari itu, ia akan melupakan sejenak rasa bencinya, sebab ini juga menyangkut anaknya. “Lebih baik kau mandi dulu, lalu tidur," ucap Marcus, tapi Rachel menggeleng. “Bagaimana jika dia tiba-tiba muncul di kamar mandi? Lalu ....” “Dia tidak akan bisa masuk ke rumahku. Aku juga sudah memerintahkan beberapa orang yang sangat ahli untuk mencari keberadaannya. Aku akan menunggumu
Ini masih terlalu siang untuk minum alkohol, tapi Marcus baru saja meneguk habis minuman beralkohol yang ada di dalam gelas itu. Setelah pembicaraan dengan Rachel tadi dan diakhiri oleh dirinya yang terdiam, pikirannya menjadi agak tidak fokus sekarang. Ia tidak mengerti kenapa harus wanita yang membuatnya merasa nyaman. Kenapa bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan uang dan tidak memiliki kemungkinan menyakitinya? “Lihatlah dirimu. Kau pikir, pria sepertimu pantas untuk Jira?” “Wajahmu terlihat menakutkan.” “Dia sungguh saudaranya Alex? Kenapa Alex bisa memiliki saudara seperti itu?” Semua kalimat menyakitkan yang Marcus terima di hari ulang tahunnya terus terngiang bersama dengan tawa murid wanita yang mengejeknya. Bahkan bayangan saat pacarnya tidur dengan Alex lagi-lagi muncul di benaknya. Ini memuakkan dan menyakitkan hingga Marcus membanting gelas di
Louis baru saja menyalakan satu batang rokok, sembari berjalan keluar dari tempatnya berbelanja tadi. Beberapa bahan makanan sudah ada di dalam kantong plastik yang ada di tangannya. Tidak ada yang mencurigakan darinya, pria ini terlihat seperti orang ramah bahkan tidak ragu membantu seorang nenek yang kesulitan menyeberang jalan. Ada senyuman di bibir Louis, ditambah tatapan hangat yang akan membuat siapa pun yakin bahwa ia adalah pria baik-baik. Jika sekarang kalian mengatakan bahwa pria ini adalah seorang psikopat, maka mungkin tidak akan ada satu pun orang akan percaya. Pada kenyataannya, psikopat adalah seseorang yang tahu betul tentang keramahan. Namun, kemarahan psikopat sangatlah menyeramkan. Dalam perjalanan pulang, Louis melihat nenek yang tadi ia bantu menyeberang di bentak oleh seorang laki-laki muda karena tidak sengaja ditabrak. Laki-laki muda itu mengatakan sedang buru-buru. Dia terus membentak tanpa peduli tentang sang nene
Jira tidak pernah menyangka akan melihat Marcus sangat berbeda setelah sekian lama berpisah. Yang ia tahu, pria itu adalah sosok pria yang hangat, bukan dingin seperti sekarang ini. Marcus seharusnya adalah orang yang enak diajak bicara, tapi saat ini menatap mata Marcus saja ia merasa takut. Seperti ada kilatan petir di matanya yang bisa menyambar siapa pun jika berani menatap mata itu. “Apa maksud ucapanmu? Aku punya anak?” Marcus bertanya pada Jira. Lagi-lagi, Jira merasa kalau Marcus sangatlah berbeda. Ini seperti bukan Marcus yang ia kenal. Tidak begini cara bicara Marcus yang ia kenal. “Ada apa denganmu? Kau tidak seperti Marcus yang dulu.” “Jawab saja pertanyaanku!” Marcus meninggikan suaranya. Ia tidak akan pernah lupa pada Jira, tidak akan sampai kapan pun, begitu juga dengan masa lalu menyakitkan yang membuatnya tidak bisa lagi menjadi Marcus yang dulu.