Langit musim semi terlihat cerah hari ini, udara di Nami Island juga sangat segar hingga membuat Rachel menghirup oksigen sebanyak mungkin, lalu menghembuskannya sembari tersenyum. Ia tahu Marcus melakukan semua ini demi calon anak yang ada di kandungannya, bukan karena pandangan pria itu telah berubah terhadap wanita. Tidak apa-apa, ia memiliki keyakinan kalau perlahan Marcus pasti bisa berhenti melihat wanita sebagai makhluk yang menjijikan dan harus dijauhi.
“Nami Island sangat indah,” ucap Rachel dan terdengar sampai ke telinga Marcus, karena pria itu berdiri di sebelahnya.
“Biasa saja. Bagiku, tidak ada tempat indah di dunia ini.” Dan Marcus menyahuti ucapan Rachel dengan kalimat seperti itu. Ia baru saja berbagi pandangannya tentang dunia.
Wanita cantik ini berdecak pelan mengetahui begitu cara Marcus memandang dunia. Pantas saja dia tidak pernah terlihat bahagia walau hanya sekali saja. “Kau harus mengubah cara pandangmu terhadap dunia. Dunia memang kejam, tapi bukan berarti dunia tidak memberikan keindahan. Membenci dunia hanya akan membuat dunia semakin melempar kekejaman padamu. Kau bilang, aku harus menerima sampah yang dunia lempar padaku, tidak boleh mengeluh dan harus membersihkan sampah itu. Kau harus melakukannya juga, berdamai dengan apa yang terjadi, lalu bersihkan kenangan buruk.”
“Kau pikir, siapa dirimu sampai berani bicara begitu padaku?”
Baiklah, Rachel menyadari bahwa percuma saja bicara panjang lebar pada Marcus, sebab pria itu tidak akan peduli. “Apa kau punya kenangan buruk sampai benci pada wanita? Jika ya, kau harus melupakannya. Bagaimana jika anak kita ternyata perempuan? Aku tidak ingin meninggalkan anakku bersama pria sepertimu.”
“Kau akan melahirkan anak laki-laki! Dan berhentilah bicara begitu padaku. Kau tidak punya hak menasihatiku!” dengan cepat Marcus membalas ucapan Rachel bahkan sampai memberikan bentakan.
Sudahlah, Rachel memilih untuk menjauh dari Marcus. Sungguh, percuma saja bicara pada pria itu, hanya buang-buang tenaga saja. Lebih baik diam, menikmati pemandangan Nami Island yang indah dari pada menasihati pria berkepala batu dan memiliki sifat psycho seperti Marcus.
“Aku ingin ke toilet,” ujar Rachel, lalu pergi ke toilet sendirian.
Marcus dengan cepat memberikan isyarat pada pengawalnya untuk mengikuti Rachel. Ia takut jika wanita itu coba melarikan diri atau melakukan sesuatu pada calon anaknya. Kalau sampai hal itu terjadi, maka Rachel akan menerima hukuman yang sangat berat.
Tanpa diketahui oleh siapa pun, Louis yang mendengar kalau Rachel akan ke toilet dengan cepat bergerak pergi ke toilet lebih dulu agar bisa memberi kejutan pada wanita yang sangat ia cintai. Ia lebih suka menemui Rachel-nya di tempat yang sepi.
••••
Di toilet, Rachel baru saja akan masuk ke dalam salah satu bilik toilet. Tapi, ia nampak terkejut saat melihat seseorang yang baru saja keluar dari dalam bilik toilet. Ini toilet wanita, tapi pria malah ada di sini. Walau memakai masker, ia tahu orang itu adalah pria. Bagaimana bisa ada pria di sini?
“Ini toilet wanita, kenapa kau disini? Kau mengintip?!” ujar Jiwon. Di saat bersamaan, pria itu mulai mendekatinya.
“Kenapa kau melakukan ini padaku?” Louis, pria ini berucap sembari terus mendekati Rachel yang terus bergerak mundur.
“Apa maksudmu?” demi Tuhan, Rachel mulai takut sekarang.
“Aku mencintaimu, Sayang. Tapi, kenapa kau malah bersama pria lain? Aku yang lebih dulu mengenalmu dan lebih dulu mencintaimu, kenapa selalu pria lain yang berhasil mendapatkanmu? KENAPA?!” Louis berteriak dan membuat Rachel semakin takut.
“Menjauh dariku! Aku tidak mengenalmu dan aku tidak mengerti apa yang kau katakan!” meski sudah jelas mengatakan agar Louis menjauh, tapi tentu saja pria itu tidak mungkin mendengarkan apa yang Rachel katakan.
“Kau tinggalkan dia, atau dia yang harus meninggalkan dunia.”
Kata-kata itu, Rachel ingat pernah mendapat kata-kata itu sebelumnya saat masih menjalin hubungan yang harmonis dengan Tian. Orang tidak dikenal mengirim pesan padanya dan isinya persis seperti tadi. Ia tidak terlalu mengambil pusing tentang isi pesan itu bahkan hanya menganggap itu hanya orang iseng. Hari ini, ia berpikir bahwa pesan yang dulu dianggap tidak penting ternyata datang beberapa minggu sebelum Tian hilang. Pesan itu pasti berhubungan dengan hilangnya Tian.
“Kau siapa? Kau pernah mengirim pesan seperti itu padaku, kan? Tian, apa dia menghilang karenamu? Katakan padaku!” bentak Rachel.
“Aku mencintaimu, Rachel. Kau tidak boleh menjadi milik pria lain. Jangan memaksaku untuk mengirimmu ke surga, agar kau tidak menjadi milik pria lain.”
“Gila!” Rachel mengumpat dan berusaha untuk melarikan diri dari Louis. Marcus sudah memiliki sifat psycho, tapi ternyata ada yang lebih psycho darinya. Ia bahkan sampai tidak bisa memahami isi pikiran pria psycho di hadapannya.
“Aku belum selesai bicara, Sayang.” Louis mencekal lengan Rachel, membuat wanita itu seketika meronta untuk membebaskan diri.
“Lepaskan aku! Tolong aku!” Rachel berteriak, berharap ada seseorang yang bisa menolongnya dari pria psycho ini.
Sayangnya teriakan Rachel tidak sampai ke telinga dua pengawal Marcus. Namun, kini Marcus datang karena merasa kalau Rachel sudah terlalu lama di toilet. Pria ini jadi curiga kalau Rachel melakukan sesuatu yang mungkin bisa membahayakan anaknya, atau mungkin juga mencoba melarikan diri.
“Apa yang dia lakukan di sana? Lama sekali. Awas kau!” Marcus akhirnya masuk ke dalam toilet. Masa bodoh jika ini adalah toilet wanita. Ia harus memastikan Rachel tidak melakukan sesuatu yang bisa memancing amarahnya.
“Apa yang kau lakukan?!” dan Marcus seketika berteriak saat melihat seseorang mencekal tangan Rachel, sedangkan Rachel menangis karena ketakutan.
Melihat kehadiran Marcus membuat Louis langsung melepaskan tangan Rachel dan setelahnya melarikan diri. Marcus tentu berteriak pada pengawalnya agar mengejar pria misterius yang mencoba menyakiti Rachel. Di sisi lain, Rachel terduduk di lantai toilet, menangis dan terlihat sangat ketakutan.
Ketika Marcus kembali ke toilet, ia mendekati Rachel dan wanita itu seketika memeluknya dengan sangat erat. Tangisan Rachel terdengar semakin kencang, begitu juga dengan pelukannya. Marcus tidak tahu apa saja yang sudah dilakukan oleh pria tadi, tapi pria itu telah membuat Rachel sangat ketakutan.
“Apa yang terjadi? Siapa dia?” Marcus bertanya pada Rachel.
“Tolong jangan tinggalkan aku. Aku takut.” Rachel tidak bisa menjawab pertanyaan Marcus saat ini, sebab ia masih sangat ketakutan. Yang Rachel butuhkan adalah rasa aman dan itu bisa didapatkan dari Marcus.
Kejadian yang baru saja terjadi benar-benar membuat Rachel sangat terguncang. Seseorang tiba-tiba mendatanginya, mengklaim sebagai pemilik dirinya bahkan mengancam akan mengirimnya ke surga jika ia menjadi miliki pria lain. Apakah kata psycho saja untuk menggambarkan sifat dari pria misterius itu?
*******
Bersambung ....
Bukan perkara mudah bagi Marcus untuk membuat Rachel tetap merasa aman setelah kejadian di Nami Island. Dari Nami Island hingga sampai di rumah dan sekarang sudah pukul 8 malam, wanita itu tidak pernah sekalipun melepaskan genggaman tangannya. Rachel selalu menempel padanya seakan rasa aman itu hanya ada padanya. Sedangkan Marcus tidak bisa berbuat apa-apa, selain tetap membiarkan Rachel terus menempel padanya. Ia sudah tahu apa yang terjadi, jadi bisa memahami bagaimana perasaan Rachel. Maka dari itu, ia akan melupakan sejenak rasa bencinya, sebab ini juga menyangkut anaknya. “Lebih baik kau mandi dulu, lalu tidur," ucap Marcus, tapi Rachel menggeleng. “Bagaimana jika dia tiba-tiba muncul di kamar mandi? Lalu ....” “Dia tidak akan bisa masuk ke rumahku. Aku juga sudah memerintahkan beberapa orang yang sangat ahli untuk mencari keberadaannya. Aku akan menunggumu
Ini masih terlalu siang untuk minum alkohol, tapi Marcus baru saja meneguk habis minuman beralkohol yang ada di dalam gelas itu. Setelah pembicaraan dengan Rachel tadi dan diakhiri oleh dirinya yang terdiam, pikirannya menjadi agak tidak fokus sekarang. Ia tidak mengerti kenapa harus wanita yang membuatnya merasa nyaman. Kenapa bukan sesuatu yang bisa dibeli dengan uang dan tidak memiliki kemungkinan menyakitinya? “Lihatlah dirimu. Kau pikir, pria sepertimu pantas untuk Jira?” “Wajahmu terlihat menakutkan.” “Dia sungguh saudaranya Alex? Kenapa Alex bisa memiliki saudara seperti itu?” Semua kalimat menyakitkan yang Marcus terima di hari ulang tahunnya terus terngiang bersama dengan tawa murid wanita yang mengejeknya. Bahkan bayangan saat pacarnya tidur dengan Alex lagi-lagi muncul di benaknya. Ini memuakkan dan menyakitkan hingga Marcus membanting gelas di
Louis baru saja menyalakan satu batang rokok, sembari berjalan keluar dari tempatnya berbelanja tadi. Beberapa bahan makanan sudah ada di dalam kantong plastik yang ada di tangannya. Tidak ada yang mencurigakan darinya, pria ini terlihat seperti orang ramah bahkan tidak ragu membantu seorang nenek yang kesulitan menyeberang jalan. Ada senyuman di bibir Louis, ditambah tatapan hangat yang akan membuat siapa pun yakin bahwa ia adalah pria baik-baik. Jika sekarang kalian mengatakan bahwa pria ini adalah seorang psikopat, maka mungkin tidak akan ada satu pun orang akan percaya. Pada kenyataannya, psikopat adalah seseorang yang tahu betul tentang keramahan. Namun, kemarahan psikopat sangatlah menyeramkan. Dalam perjalanan pulang, Louis melihat nenek yang tadi ia bantu menyeberang di bentak oleh seorang laki-laki muda karena tidak sengaja ditabrak. Laki-laki muda itu mengatakan sedang buru-buru. Dia terus membentak tanpa peduli tentang sang nene
Jira tidak pernah menyangka akan melihat Marcus sangat berbeda setelah sekian lama berpisah. Yang ia tahu, pria itu adalah sosok pria yang hangat, bukan dingin seperti sekarang ini. Marcus seharusnya adalah orang yang enak diajak bicara, tapi saat ini menatap mata Marcus saja ia merasa takut. Seperti ada kilatan petir di matanya yang bisa menyambar siapa pun jika berani menatap mata itu. “Apa maksud ucapanmu? Aku punya anak?” Marcus bertanya pada Jira. Lagi-lagi, Jira merasa kalau Marcus sangatlah berbeda. Ini seperti bukan Marcus yang ia kenal. Tidak begini cara bicara Marcus yang ia kenal. “Ada apa denganmu? Kau tidak seperti Marcus yang dulu.” “Jawab saja pertanyaanku!” Marcus meninggikan suaranya. Ia tidak akan pernah lupa pada Jira, tidak akan sampai kapan pun, begitu juga dengan masa lalu menyakitkan yang membuatnya tidak bisa lagi menjadi Marcus yang dulu.
Hari sudah begitu malam, sudah saatnya bagi siapa pun untuk mengistirahatkan tubuh mereka. Tidur nyenyak di atas ranjang dengan selimut tebal, itu terdengar sangat nyaman. Kedua hal itu ada di kamar Rachel, tapi tetap saja ia belum bisa istirahat dengan nyaman. Rachel tidak bisa melepaskan pikirannya dari bayangan kejadian tadi. Marcus Cho, ia benar-benar ingin memaki pria itu sekarang. Rachel duduk di lantai dan bersandar di ranjang. Ia memeluk kedua lututnya dan menatap pantulan dirinya di cermin. Sebenarnya, Rachel benci melihat bayangan dirinya, sebab mengingatkannya tentang betapa menyedihkan hidupnya ini. Terlalu banyak sampah yang dunia lempar padanya, hingga tidak bisa lagi dibersihkan. Sudah terlalu banyak menumpuk dan menguburnya dengan sangat dalam. “Aku terlihat menyedihkan. Benar, bukan dunia yang kejam, tapi aku yang terlalu banyak berharap dan akhirnya dihancurkan oleh harapanku sendiri. Aku takut. Aku akan lep
"Aku tidak mau menggugurkan anak ini!” Rachel bicara dengan begitu tegas, ketika Marcus ingin mengajaknya pergi ke suatu tempat untuk melakukan aborsi. Demi Tuhan, ia yakin kalau pria itu benar-benar tidak waras. “Kau harus segera pergi, jadi ....” “Aku akan pergi dengan sukarela, karena sudah cukup bagiku untuk mengemis rasa aman padamu. Tapi, aku akan tetap mempertahankan anakku. Aku tidak mau menjadi sama gilanya denganmu!” Rachel menyela ucapan Marcus. Tidak peduli apapun yang terjadi, ia akan mempertahankan anaknya, itu adalah hal yang pasti. “Kau tidak bisa melakukannya tanpa persetujuanku.” “Memang aku setuju saat kau memaksaku untuk mengandung? Tidak, kan? Aku bahkan tidak tahu kenapa harus diriku yang kau pilih. Hari ini, apapun keputusanku, aku tidak membutuhkan persetujuanmu! Aku bukan bagian dari hidupmu dan kau juga bukan bagian dari hidu
Walau tadi bicara ketus, pada akhirnya Marcus tetap datang menemui Alex di tempat yang tadi dia kirimkan alamatnya lewat pesan singkat. Ya, pria itu memiliki keyakinan bahwa Marcus akan datang, jadi mengirimkan alamat itu. Jangan salah mengartikan kedatangan Marcus, sebab pria ini datang bukan untuk sekadar menyapa Alex, melainkan untuk menyelesaikan semua masalahnya dengan Alex. Setelah mengambil alih kursi kepemimpinan atas perusahaan ayahnya, maka ia akan membuang Alex jauh-jauh dari hidupnya. “Akhirnya kau datang,” ucap Alex, tapi ekspresi wajah Marcus terlihat sangat tidak bersahabat. “Ini hasil tes DNA, bukti bahwa aku sudah punya anak, dan aku tidak peduli bagaimana kau bisa tahu tentang apa yang aku lakukan. Aku hanya ingin kau segera angkat kaki dari perusahaan. Aku akan menjadi pemimpin di perusahaan Ayah dan aku tidak ingin lagi melihatmu sebagai direktur di sana.” Tidak ada sapaan h
Pada malam harinya, Alex baru bisa kembali datang ke rumah sakit untuk menemani Rachel. Ini mungkin terlalu malam, tapi ia benar-benar ingin melihat keadaan wanita itu sekarang. Apa sudah lebih baik atau tidak, ia sungguh ingin tahu. “Siapa itu?” Alex bergumam ketika dari kejauhan ia melihat seseorang tengah berdiri di depan kamar rawat inap Rachel. Alex mempercepat langkahnya, takut jika itu adalah orang jahat yang ingin melakukan hal buruk pada Rachel. Tapi saat semakin dekat, Alex merasa mengenal pria itu. Tidak salah lagi, ia memang mengenal pria yang berjongkok di depan kamar rawat inap Rachel. “Untuk apa dia di sini?” Alex bergumam dan ia cukup kesal melihat pria itu. “Marcus Cho, kau melakukan apa di tempat ini? Menjaga Rachel? Kau sebaik itu?” dan Alex kembali bicara setelah berada di hadapan pria yang ada di depan kamar rawat inap Rachel. Pria itu adalah Marcus. Marcus