Hanum tersenyum sendiri ketika menemukan kotak kecil berwarna biru tua, terselip di sela tumpukan pakaian sang suami di lemari. Dia membuka penutup kotak tersebut, karena rasa penasaran yang begitu besar. Matanya membulat ketika melihat seuntai kalung emas, dengan liontin bermata biru safir yang indah.
“Ini pasti untukku. Mas Andi pasti menyiapkan kejutan ini untukku, di hari jadi pernikahan nanti. Dia sengaja menyembunyikan kotak ini dariku. Agar tampak berkesan saat lusa dia berikan kejutan ini padaku. Baiklah, aku akan pura-pura tak tahu. Aku akan ikuti permainannya,” gumam Hanum, dengan senyum yang terus menghiasi wajahnya yang cantik. Meskipun usianya sudah empat puluh tiga tahun, tapi Hanum masih tampak memukau.
Hanum lalu meletakkan kotak itu di tempatnya semula. Dia juga merapikan tumpukan pakaian sang suami, agar tak tampak kalau dia baru saja menemukan kotak tersebut.
Di saat yang sama, Andi keluar dari dalam kamar mandi. Pria berusia empat puluh delapan tahun itu tampak segar, dengan tubuh terbalut handuk. Andi segera mengenakan pakaiannya. Pakaian casual yang dipilihnya membuat penampilan pria itu tampak segar di hari Sabtu yang cerah ini. Andi mengenakan celana jeans biru tua dan kaos polo berwarna putih. Pria itu juga menyisir rambutnya sambil bersiul. Rambut ubannya kini tak tampak lagi setelah satu minggu yang lalu diwarnai, sehingga penampilan Andi tampak lebih muda beberapa tahun dari usianya.
Hanum tersenyum dan mendekati sang suami. “Mau ke mana sih, Mas? Hari Sabtu ini kok jam segini sudah mau pergi saja. Masih jam delapan lho ini.”
“Aku ada janji sama rekan bisnisku, Num. Makanya aku nggak sarapan di rumah. Aku sudah janji sarapan di luar. Jadi maaf ya kalau kamu harus sarapan sama anak-anak saja,” sahut Andi.
“Janji sama rekan bisnis sepagi ini?” tanya Hanum. Dia mengerutkan keningnya dan menatap lekat sang suami.
“Janjiannya sih masih jam sembilan. Kita janji ketemu di lapangan golf, makanya sepagi ini aku harus jalan. Tapi, meskipun masih jam sembilan ketemuannya, kan aku harus siap-siap dulu. Nggak mungkin kan janji ketemu jam sembilan pagi, lalu berangkat dari rumah jam sembilan pagi juga. Tiba di sana bisa setengah sepuluh paling cepat. Kalau itu yang terjadi, namanya aku ini nggak disiplin. Bisa berimbas sama bisnisku nanti kalau aku nggak disiplin. Bisa jadi rekan bisnisku nggak mau kerja sama denganku lagi. Gawat kan kalau begitu. Dan itu bisa berimbas juga sama uang belanja kamu, Num,” sahut Andi.
“Memangnya Mas mau main golf? Kok main golf pakai celana jeans?” tanya Hanum lagi.
Andi menghela napas panjang. Dia memegang pundak sang istri dengan kedua tangannya seraya berkata, “Aku nggak main golf, Sayang. Aku kan bilang hanya janji ketemu saja di sana. Meeting sama rekan bisnis kan bisa juga di lapangan golf. Di sana kan juga ada restorannya.”
Hanum hanya bisa menghela napas panjang, mendengar penuturan sang suami.
“Terus kenapa sih sekarang Mas mewarnai rambut jadi hitam semua begitu? Sebelumnya Mas membiarkan uban ada di kepala Mas Andi. Terus sekarang juga suka banget nge-gym. Padahal sebelumnya cukup lari pagi dan naik sepeda saja. itu juga di akhir pekan saja. kalau nge-gym, hanya satu kali dalam satu minggu. Itu juga kalau ingat. Memangnya ada yang bikin Mas semangat untuk mengubah penampilan?” ucap Hanum dengan tatapan menyelidik.
“Kamu kok ngomongnya kayak sedang cemburu sih, Num? Aku mengubah penampilan, ya untuk kamu dong. Memangnya untuk siapa lagi kalau bukan untuk kamu, Sayang?” sahut Andi. Dia tersenyum semringah sambil mengedipkan sebelah matanya pada sang istri.
“Aku nggak menuntut kamu mengubah penampilan kok, Mas. Jalani saja sesuai umur. Kalau sudah beruban, aku nggak masalah kok. Aku juga sudah ada ubannya kok di sini.” Hanum berkata sambil memegang kepala dan menunjukkannya pada sang suami. “Ini, kamu lihat sendiri kalau aku juga sudah ada uban di sini. Jadi santai saja sih kalau sudah ubanan, Mas. Kenyataannya kita memang sudah nggak muda lagi kok.”
Andi terkekeh mendengar penuturan istrinya. “Iya sih, tapi menjaga penampilan kan penting juga. Apalagi aku kan sering ketemu klien. Jadi harus menjaga penampilan, iya kan?”
Hanum terdiam. Dia hanya mengedikkan bahunya sebagai tanggapan atas ucapan sang suami.
“Jadi Mas beneran nggak sarapan sama kami di rumah? Padahal aku sudah siapkan sarapan dari habis subuh lho, Mas,” ucap Hanum dengan tatapan penuh kekecewaan. Dia lantas membalikkan tubuhnya dan melangkah menuju pintu.
Andi yang tahu kalau istrinya kini tengah merajuk, bergegas mengejar langkah Hanum.
“Eits, jangan ngambek dong. Iya deh, aku akan sarapan dulu di rumah. Tapi, nggak bisa lama ya, sayang. Selesai sarapan, aku langsung berangkat.”
Hanum tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Dalam hati dia kecewa pada suaminya, yang agak berubah belakangan ini. Perhatian Andi pada istri dan anaknya mulai berkurang beberapa bulan terakhir. Andi selalu pulang larut malam, dan nyaris tak pernah makan malam di rumah seperti biasanya. Suaminya itu selalu beralasan kalau sudah makan dengan klien saat meeting. Seperti hari ini, di saat akhir pekan biasanya Andi akan mengajak liburan istri dan ketiga anaknya. Tapi, pria itu malah sudah bersiap akan pergi menemui rekan bisnisnya di pagi hari, katanya.
“Papa berangkat dulu, ya,” ucap Andi berpamitan pada ketiga anaknya, setelah dia menghabiskan kopi dan roti bakar berlapis selai coklat kacang.
“Lho, kok tumben banget sih, Pa. Biasanya Papa kalau hari libur selalu ada di rumah. Kalau pun pergi, selalu mengajak kita,” protes Amelia, putri bungsu pasangan Andi dan Hanum.
“Papa sudah ada janji mau ketemu sama rekan bisnis Papa, Sayang. Besok ya kita jalan-jalan. Sekarang Papa nggak bisa,” sahut Andi. Dia lalu mengecup kening putri bungsunya yang kini cemberut.
Setelah mengecup kening Amelia, Andi menepuk pelan pundak Rafi dan Gilang. Kedua anak lelakinya yang mulai beranjak dewasa, juga tampak kecewa seperti sang adik.
Terakhir, Andi mencium pipi mulus Hanum seraya berkata, “Baik-baik di rumah ya, Sayang. Aku pergi dulu, bye.”
Hanum hanya menghela napas dan beranjak dari kursi, mengantar sang suami menuju ke teras rumah.
***
Siang ini, Rafi bersama dengan kedua sahabatnya tengah menikmati secangkir kopi di sebuah kedai kopi asal Amerika. Kedai kopi yang sangat terkenal itu berada di sebuah pusat perbelanjaan terkenal di Jakarta. Namun di saat sedang asyik ngobrol sambil minum kopi, tiba-tiba Reza-salah satu sahabat Rafi, berseru dengan kedua bola mata yang membulat.
“Eh, itu si Tania sedang jalan bareng om-om. Ternyata gosip itu beneran, lho. Gue pikir, itu hanya gosip murahan dari anak-anak yang nggak suka sama Tania. Soalnya akhir-akhir ini Tania memakai barang-barang branded. Mulai dari sepatu, baju dan tas. Padahal dari kabar yang beredar, usaha orang tua Tania itu sudah bangkrut,” papar Reza.
“Jadi maksud lu, Tania itu jadi sugar baby pria hidung belang?” timpal Rudy. Dia menatap lekat Reza, meski sesekali menatap ke arah seorang gadis yang sedang bergelayut manja di lengan seorang pria.
Rafi hanya menyimak obrolan dua sahabatnya itu. Dia lebih tertarik memperhatikan Tania yang sedang berjalan menuju ke sebuah butik, yang letaknya di seberang kedai kopi. Tania sedang bergelayut manja di lengan pria berumur yang sepertinya Rafi kenal. Oleh karena itu, dia terus memperhatikan mereka berdua agar tahu siapa gerangan pria yang bersama Tania saat ini.
Harapan Rafi untuk mengetahui identitas pria yang sedang bersama Tania, akhirnya terkabul juga ketika secara tak sengaja pria itu menoleh ke samping. Rafi sontak membelalakkan matanya, dan mengepalkan kedua tangan karena amarah mulai menyelimutinya.
“Papa!”
Amelia sontak tersipu mendengar penuturan sang kakak. Wajahnya pun merona. “Cie, merah lho wajahnya si Amel. Nggak sangka kalau dia naksir sama si dosen itu. Nggak apa itu, Mel. Paling selisih usianya maksimal sepuluh tahun. Masih wajar itu menurut aku. Masih banyak yang selisihnya di atas sepuluh tahun. Ayo, Mel, aku dukung deh! Kayaknya orangnya baik,” ucap Gilang antusias. “Dia itu yang tolongin Amel saat mau dikerjai sama keponakannya Larasati, Lang,” celetuk Rafi. “Nah, keren itu. Sudah kelihatan tipe melindunginya. Nanti nggak apa deh kalau kamu duluan, Mel. Kakak sih belakangan nggak apa-apa. Lagi pula aku belum punya calonnya,” ucap Gilang dengan senyum menggoda pada sang adik. Wajah Amelia semakin memerah dan dia jadi salah tingkah. “Kita pulang saja sekarang, yuk! Ngobrol soal begini di tempat umum. Nanti kalau kedengaran orang, bagaimana? Malu tahu, Kak,” sahut Amelia. Dia lantas berjalan mendahului kedua kakaknya, karena merasa malu ketahuan isi hatinya oleh dua kakakn
Hanum mengulum senyuman. Dia lalu menarik leher Andi dan mendekatkan telinga pria itu ke bibirnya. Dia lalu berbisik di sana.Kedua kelopak mata Andi membuka sempurna karena terkejut dengan apa yang Hanum bisikkan.“Kamu serius, Num? Nggak sedang bercanda?” tanya Andi dengan wajah memelas.“Iya, aku serius. Masak aku bohong sih, Mas. Aku ini kan belum menopause. Jadi masih kedatangan tamu bulanan lah. Aku tadi di kamar mandi baru tahu, kalau malam ini mendadak kedatangan tamu bulanan. Untung tadi sudah salat isya.” Hanum berkata sambil mengulum senyuman karena melihat wajah frustrasi Andi.“Sabar ya, Mas. Minggu depan deh baru bisa. Sekarang puasa dulu, ya. Sekalian menguji hati kamu, apa masih kuat menunggu satu minggu lagi?” imbuh Hanum yang masih mengulum senyumannya.Andi menghela napas. Dia berguling ke samping tubuh Hanum, dan memosisikan tubuhnya miring. Menghadap sang istri yang juga dalam posisi yang sama seperti dirinya. Tatapan mata mereka bertemu, dan saling mentransfer ra
Maya terdiam sambil mengaduk-aduk makanannya. Dia tiba-tiba saja menjadi tak berselera makan.Nadya yang melihat ekspresi sang mama, merasa bersalah karena terkesan dirinya memaksakan kehendak. Dia lalu memegang jemari tangan Maya dan mengusap lembut punggung tangan sang mama.“Aku minta maaf kalau perkataan tadi membuat Mama merasa nggak nyaman. Abaikan saja omongan aku tadi, Ma. Aku nggak memaksa Mama agar bisa memaafkan papa,” ucap Nadya lirih dan dengan nada yang tercekat, menahan tangis.Maya menoleh pada anak gadisnya. Dia melihat wajah cantik Nadya yang kini muram.‘Apa aku yang selama ini egois, mementingkan perasaanku sendiri tanpa memikirkan perasaan Nadya? Apa aku terlalu keras hati, sehingga sulit untuk memaafkan Mas Bima? Apakah sebenarnya Nadya merindukan papanya?’ ucap Maya dalam hati.“Nad, jawab pertanyaan Mama dengan jujur ya, Sayang,” ucap Maya dengan nada suara pelan.“Iya, Ma. Mama mau tanya apa?”“Apa kamu...merindukan papa kamu?”Nadya tak langsung menjawab. Dia
‘Jadi Hanum berencana akan rujuk dengan Andi. Sepertinya aku sia-sia saja selama ini mendekatinya. Lebih baik aku pulang saja sekarang. Mumpung belum ada yang tahu kehadiranku di sini. Mungkin Hanum memang bukan jodohku,’ ucap Sadewa dalam hati.Sadewa lalu dengan perlahan mundur teratur dari teras rumah Sawitri. Dia memutuskan pergi dari rumah itu karena tak ingin mendengar percakapan mereka. Dia memilih untuk lapang dada membuang jauh angannya terhadap Hanum, wanita yang dia suka sejak lama.“Mas Dewa, mau ke mana?” tanya seorang wanita, yang membuat Sadewa menghentikan langkah.Sadewa lalu menoleh dan melihat Lestari yang kini berdiri di jarak beberapa langkah di belakangnya.“Eh, Tari. Aku mau pulang. Nggak enak kalau mengganggu acara keluarga. Di ruang tamu sedang serius kayaknya,” sahut Sadewa terus terang, setelah dia membalikkan tubuhnya hingga posisinya kini berhadapan dengan Lestari.“Nggak mau mampir sekedar menyapa ibuku, Mas?” tanya Lestari lagi. Dia memandang Sadewa deng
Andi menangkap tubuh Hanum yang terhuyung ke depan, agar tak tersungkur di lantai.“Hati-hati dong, kalau sampai jatuh di lantai kan sakit nanti,” ucap Andi lembut ketika tubuh Hanum sudah berada dalam dekapannya.“Ish, kamu ini cari alasan saja, Mas. Sudah lepasin tangan kamu!” ujar Hanum dengan mata yang melotot pada Andi.“Kenapa memangnya?” tanya Andi dengan tatapan lugu.“Berlagak nggak paham, pura-pura tanya pula,” sungut Hanum kesal. Dia lalu berusaha untuk melepaskan diri dari dekapan Andi. Namun, Andi sepertinya menahan lengannya agar bisa lebih lama memeluk sang mantan.Di saat yang sama, Amelia muncul di tempat itu. Gadis itu terkesiap hingga mulutnya terbuka sempurna, kala melihat kedua orang tuanya tengah berpelukan. Itu menurut penilaiannya, karena dia tak tahu awal mula kejadian sang mama berada dalam dekapan papanya.“Cieee...rujuk ini ceritanya. Kapan peresmiannya? Terus kalau rujuk, aku bakalan dapat adik nggak?” goda Amelia dengan tawanya.“Adik? Memangnya kamu masi
“Iya, Bu Hanum. Tante Nita yang merekomendasikan katering Ibu. Katanya, katering Ibu sudah terjamin kualitasnya. Saya mencari jasa katering, untuk acara ulang tahun pernikahan orang tua saya. Ini saya lakukan sebagai hadiah di pernikahan mereka yang ketiga puluh. Oh iya, nama saya Fariz,” sahut Fariz dengan senyuman.“Fariz ini yang tempo hari menolong Amel lho, Num. Dia seorang dosen yang pintar ilmu bela diri, sehingga bisa mengalahkan si Roy,” timpal Andi, yang membuat Hanum terkesiap.“Oh ya? Wah, saya ucapkan banyak terima kasih deh sama kamu ya, Fariz. Lalu mengenai kateringnya, kapan acara ulang tahun pernikahan orang tua kamu? Apa kamu mau test food dulu, supaya yakin dengan makanannya?” sahut Hanum kalem.“Saya percaya kok dengan kualitas kateringnya Bu Hanum. Kalau Tante Nita sudah merekomendasikan sesuatu, itu artinya sudah ok. Jadi nggak perlu test food lagi, Bu. Lalu mengenai jadwal acaranya, itu dua minggu lagi. Sengaja saya jauh-jauh hari sudah cari kateringnya, supaya
Hanum mundur satu langkah. Andi pun bergerak maju mendekat. Begitu terus, hingga akhirnya punggung Hanum menempel pada dinding. Tak ada ruang untuk dirinya mundur lagi.“Mas! Sudah lah kamu pulang saja sana. Kamu pastinya capek kan, dan perlu istirahat juga. Jangan sampai penyakit jantung kamu kumat gara-gara kecapekan,” ucap Hanum dengan jantung yang bertalu-talu saat ini.“Aku sehat kok, Num. Aku juga nggak terlalu capek kok. Di rumah Nadya kan tadi hanya ngobrol saja. Lalu yang bawa mobil, si Rafi. Aku hanya duduk manis di sebelahnya. Kalau mengantuk sih, iya. Aku boleh kan istirahat di sini dulu, di kamar tamu,” sahut Andi dengan tatapan penuh harap.“Ya sudah, kalau mau istirahat di kamar tamu. Langsung saja ke sana. Kamu kan sudah tahu letaknya,” sahut Hanum. Dia lalu mendorong dada Andi agar menjauhinya. Dia merasa canggung juga berada di jarak yang begitu dekat dengan mantan suaminya.Namun di luar dugaan Hanum, tangan Andi menangkap tangan Hanum yang mendorong dadanya. Dia ba
Hanum yang terkesiap hanya bisa menghela napas panjang. Dia lalu memandang ke arah Bima yang masih menatap Maya, yang sedang memberi kode agar sikap Bima lebih ramah pada tamu mereka.Setelah beberapa detik, Maya kembali menatap Hanum dan Andi. Wanita yang diperkirakan usianya sebaya dengan Andi, lantas tersenyum pada kedua calon besannya itu.“Maaf ya, Pak, Bu. Papanya Nadya sedang kurang enak badan. Jadi reaksinya seperti tadi. Mari, silakan masuk!” ucap Maya ramah, dan dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Dia sengaja memberikan alasan itu agar bisa dimaklumi oleh tamunya. Maya tak tahu saja, kalau Andi dan Hanum telah mengetahui penyebab sikap Bima tadi.“Oh, lagi kurang enak badan. Iya, nggak apa-apa. Kami maklum kok, Bu. Saya juga kalau kurang enak badan, suka begitu sikapnya. Iya kan, Ma,” sahut Andi dengan senyuman. Dia menoleh pada Hanum yang mengulum senyumannya mendengar penuturan mantan suaminya, yang masih menyebut kata ‘Ma’ pada dirinya.‘Aih, Mas Andi ini serba me
“Baik, Om, sepulang dari sini nanti, saya akan beritahu orang tua saya. Insya Allah, mereka bersedia datang kemari dan kenalan dengan Om Bima,” ucap Rafi, yang membuat lamunan Nadya buyar.Bima tersenyum seraya berkata, “Pastinya mau dong kenalan sama Om. Kalau nggak mau, Om nggak akan restui hubungan kalian.”Bima memang bercanda mengucapkan kalimat itu. Dia juga mengucapkannya sambil tersenyum. Namun, tetap saja membuat hati Rafi ketar-ketir.“I-iya, Om. Tolong restui dong. Saya dan Nadya serius lho, Om,” sahut Rafi yang sontak membuat Bima tertawa.“Iya...makanya nanti kenalan dulu. Biar enak ngomong soal kelanjutan hubungan kalian, iya kan,” ucap Bima setelah tawanya reda.Sementara itu, Maya yang rupanya menguping pembicaraan Rafi dan Bima lantas menampakkan dirinya di ruang tamu.Rafi yang melihat kedatangan Maya, lalu berdiri dan menghampiri wanita itu. Dia lalu mencium punggung tangan Maya dengan takzim.“Ada apa ini, Rafi?” tanya Maya pura-pura tak tahu. Dia lalu duduk di sof