Share

Puber Kedua Pak Suami
Puber Kedua Pak Suami
Penulis: Yetti S

1. Perubahan Diri Sang Suami

Hanum tersenyum sendiri ketika menemukan kotak kecil berwarna biru tua, terselip di sela tumpukan pakaian sang suami di lemari. Dia membuka penutup kotak tersebut, karena rasa penasaran yang begitu besar. Matanya membulat ketika melihat seuntai kalung emas, dengan liontin bermata biru safir yang indah.

“Ini pasti untukku. Mas Andi pasti menyiapkan kejutan ini untukku, di hari jadi pernikahan nanti. Dia sengaja menyembunyikan kotak ini dariku. Agar tampak berkesan saat lusa dia berikan kejutan ini padaku. Baiklah, aku akan pura-pura tak tahu. Aku akan ikuti permainannya,” gumam Hanum, dengan senyum yang terus menghiasi wajahnya yang cantik. Meskipun usianya sudah empat puluh tiga tahun, tapi Hanum masih tampak memukau.

Hanum lalu meletakkan kotak itu di tempatnya semula. Dia juga merapikan tumpukan pakaian sang suami, agar tak tampak kalau dia baru saja menemukan kotak tersebut.

Di saat yang sama, Andi keluar dari dalam kamar mandi. Pria berusia empat puluh delapan tahun itu tampak segar, dengan tubuh terbalut handuk. Andi segera mengenakan pakaiannya. Pakaian casual yang dipilihnya membuat penampilan pria itu tampak segar di hari Sabtu yang cerah ini. Andi mengenakan celana jeans biru tua dan kaos polo berwarna putih. Pria itu juga menyisir rambutnya sambil bersiul. Rambut ubannya kini tak tampak lagi setelah satu minggu yang lalu diwarnai, sehingga penampilan Andi tampak lebih muda beberapa tahun dari usianya.

Hanum tersenyum dan mendekati sang suami. “Mau ke mana sih, Mas? Hari Sabtu ini kok jam segini sudah mau pergi saja. Masih jam delapan lho ini.”

“Aku ada janji sama rekan bisnisku, Num. Makanya aku nggak sarapan di rumah. Aku sudah janji sarapan di luar. Jadi maaf ya kalau kamu harus sarapan sama anak-anak saja,” sahut Andi.

“Janji sama rekan bisnis sepagi ini?” tanya Hanum. Dia mengerutkan keningnya dan menatap lekat sang suami.

“Janjiannya sih masih jam sembilan. Kita janji ketemu di lapangan golf, makanya sepagi ini aku harus jalan. Tapi, meskipun masih jam sembilan ketemuannya, kan aku harus siap-siap dulu. Nggak mungkin kan janji ketemu jam sembilan pagi, lalu berangkat dari rumah jam sembilan pagi juga. Tiba di sana bisa setengah sepuluh paling cepat. Kalau itu yang terjadi, namanya aku ini nggak disiplin. Bisa berimbas sama bisnisku nanti kalau aku nggak disiplin. Bisa jadi rekan bisnisku nggak mau kerja sama denganku lagi. Gawat kan kalau begitu. Dan itu bisa berimbas juga sama uang belanja kamu, Num,” sahut Andi.

“Memangnya Mas mau main golf? Kok main golf pakai celana jeans?” tanya Hanum lagi.

Andi menghela napas panjang. Dia memegang pundak sang istri dengan kedua tangannya seraya berkata, “Aku nggak main golf, Sayang. Aku kan bilang hanya janji ketemu saja di sana. Meeting sama rekan bisnis kan bisa juga di lapangan golf. Di sana kan juga ada restorannya.”

Hanum hanya bisa menghela napas panjang, mendengar penuturan sang suami.

“Terus kenapa sih sekarang Mas mewarnai rambut jadi hitam semua begitu? Sebelumnya Mas membiarkan uban ada di kepala Mas Andi. Terus sekarang juga suka banget nge-gym. Padahal sebelumnya cukup lari pagi dan naik sepeda saja. itu juga di akhir pekan saja. kalau nge-gym, hanya satu kali dalam satu minggu. Itu juga kalau ingat. Memangnya ada yang bikin Mas semangat untuk mengubah penampilan?” ucap Hanum dengan tatapan menyelidik.

“Kamu kok ngomongnya kayak sedang cemburu sih, Num? Aku mengubah penampilan, ya untuk kamu dong. Memangnya untuk siapa lagi kalau bukan untuk kamu, Sayang?” sahut Andi. Dia tersenyum semringah sambil mengedipkan sebelah matanya pada sang istri.

“Aku nggak menuntut kamu mengubah penampilan kok, Mas. Jalani saja sesuai umur. Kalau sudah beruban, aku nggak masalah kok. Aku juga sudah ada ubannya kok di sini.” Hanum berkata sambil memegang kepala dan menunjukkannya pada sang suami. “Ini, kamu lihat sendiri kalau aku juga sudah ada uban di sini. Jadi santai saja sih kalau sudah ubanan, Mas. Kenyataannya kita memang sudah nggak muda lagi kok.”

Andi terkekeh mendengar penuturan istrinya. “Iya sih, tapi menjaga penampilan kan penting juga. Apalagi aku kan sering ketemu klien. Jadi harus menjaga penampilan, iya kan?”

Hanum terdiam. Dia hanya mengedikkan bahunya sebagai tanggapan atas ucapan sang suami.

“Jadi Mas beneran nggak sarapan sama kami di rumah? Padahal aku sudah siapkan sarapan dari habis subuh lho, Mas,” ucap Hanum dengan tatapan penuh kekecewaan. Dia lantas membalikkan tubuhnya dan melangkah menuju pintu.

Andi yang tahu kalau istrinya kini tengah merajuk, bergegas mengejar langkah Hanum.

“Eits, jangan ngambek dong. Iya deh, aku akan sarapan dulu di rumah. Tapi, nggak bisa lama ya, sayang. Selesai sarapan, aku langsung berangkat.”

Hanum tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya. Dalam hati dia kecewa pada suaminya, yang agak berubah belakangan ini. Perhatian Andi pada istri dan anaknya mulai berkurang beberapa bulan terakhir. Andi selalu pulang larut malam, dan nyaris tak pernah makan malam di rumah seperti biasanya. Suaminya itu selalu beralasan kalau sudah makan dengan klien saat meeting. Seperti hari ini, di saat akhir pekan biasanya Andi akan mengajak liburan istri dan ketiga anaknya. Tapi, pria itu malah sudah bersiap akan pergi menemui rekan bisnisnya di pagi hari, katanya.

“Papa berangkat dulu, ya,” ucap Andi berpamitan pada ketiga anaknya, setelah dia menghabiskan kopi dan roti bakar berlapis selai coklat kacang.

“Lho, kok tumben banget sih, Pa. Biasanya Papa kalau hari libur selalu ada di rumah. Kalau pun pergi, selalu mengajak kita,” protes Amelia, putri bungsu pasangan Andi dan Hanum.

“Papa sudah ada janji mau ketemu sama rekan bisnis Papa, Sayang. Besok ya kita jalan-jalan. Sekarang Papa nggak bisa,” sahut Andi. Dia lalu mengecup kening putri bungsunya yang kini cemberut.

Setelah mengecup kening Amelia, Andi menepuk pelan pundak Rafi dan Gilang. Kedua anak lelakinya yang mulai beranjak dewasa, juga tampak kecewa seperti sang adik.

Terakhir, Andi mencium pipi mulus Hanum seraya berkata, “Baik-baik di rumah ya, Sayang. Aku pergi dulu, bye.”

Hanum hanya menghela napas dan beranjak dari kursi, mengantar sang suami menuju ke teras rumah.

***

Siang ini, Rafi bersama dengan kedua sahabatnya tengah menikmati secangkir kopi di sebuah kedai kopi asal Amerika. Kedai kopi yang sangat terkenal itu berada di sebuah pusat perbelanjaan terkenal di Jakarta. Namun di saat sedang asyik ngobrol sambil minum kopi, tiba-tiba Reza-salah satu sahabat Rafi, berseru dengan kedua bola mata yang membulat.

“Eh, itu si Tania sedang jalan bareng om-om. Ternyata gosip itu beneran, lho. Gue pikir, itu hanya gosip murahan dari anak-anak yang nggak suka sama Tania. Soalnya akhir-akhir ini Tania memakai barang-barang branded. Mulai dari sepatu, baju dan tas. Padahal dari kabar yang beredar, usaha orang tua Tania itu sudah bangkrut,” papar Reza.

“Jadi maksud lu, Tania itu jadi sugar baby pria hidung belang?” timpal Rudy. Dia menatap lekat Reza, meski sesekali menatap ke arah seorang gadis yang sedang bergelayut manja di lengan seorang pria.

Rafi hanya menyimak obrolan dua sahabatnya itu. Dia lebih tertarik memperhatikan Tania yang sedang berjalan menuju ke sebuah butik, yang letaknya di seberang kedai kopi. Tania sedang bergelayut manja di lengan pria berumur yang sepertinya Rafi kenal. Oleh karena itu, dia terus memperhatikan mereka berdua agar tahu siapa gerangan pria yang bersama Tania saat ini.

Harapan Rafi untuk mengetahui identitas pria yang sedang bersama Tania, akhirnya terkabul juga ketika secara tak sengaja pria itu menoleh ke samping. Rafi sontak membelalakkan matanya, dan mengepalkan kedua tangan karena amarah mulai menyelimutinya.

“Papa!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status