Reza manggut-manggut mendengar penjelasan dari Rudy. Pemuda itu lantas mencolek lengan Rafi yang masih terdiam.
“Bagaimana, Raf? Siap merekam aksi bokap lu sama Tania?” tanya Reza.
Rafi menganggukkan kepalanya. “Siap. Apalagi kalau harus tonjok papa gue, siap banget.”
“Wah, tenang dulu, Bro. Kita main cantik. Itu kata mama gue saat memberikan masukan pada Tante Ria. Gue kan sudah bilang dari tadi kalau elu jangan gegabah. Jangan sampai elu berurusan sama pihak berwajib, dan elu dijadikan tersangka karena pukul papa lu, Raf. Kalau itu terjadi, kasihan mama lu. Itu sama saja lu kasih beban pikiran double ke mama lu. Janji ya kalau elu mau main cantik. Masih kata mama gue saat ngomong ke temannya itu, amankan aset keluarga! Nah, itu pentingnya ngomong sama mama lu. Sebagai anak lelaki dan anak sulung, lu harus tegar dan cerdik dalam bersikap. Papa lu saja bisa main cantik. Elu jangan mau kalah dong. Kasih pelajaran melalui mentalnya!” tegas Rudy.
Rafi dan Reza terperangah mendengar ucapan Rudy, yang seperti ibu-ibu arisan sedang bergosip.
“Ternyata hasil menguping obrolan orang tua ada hikmahnya juga ya, Rud. Elu sampai pintar kasih tahu si Rafi. Nggak sangka gue,” timpal Reza dengan tawanya.
“Ck, itu gue juga nggak sengak menguping. Itu kebetulan saja,” sahut Rudy dengan tawa yang menampilkan deretan giginya yang rapi.
“Bisa saja lu alasannya.” Reza berkata sambil mencebikkan bibirnya ke arah Rudy.
Ulah kedua sahabatnya itu sedikit menghibur hati Rafi yang sedang terluka akibat ulah sang papa. Rafi pun ikut tertawa dan menepuk pelan pundak Rudy.
“Sengaja menguping atau nggak, tapi masukan Rudy tadi keren banget. Gue jadi bisa mengendalikan diri dan mencoba bermain cantik. Thanks ya, Bro.”
Rudy tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Di saat yang sama, Andi dan Tania tampak keluar dari dalam butik.
“Eh, itu Om Andi sama Tania sudah keluar. Siapkan ponsel lu, Raf. Atau pakai ponsel gue saja deh, langsung gue bidik nih mereka,” ucap Reza. Dia lantas sigap mengarahkan kamera ponselnya ke arah depan butik. Dalam sekejap, tercipta sebuah video berdurasi tiga puluh detik dan sudah tersimpan rapi di benda pipih itu.
“Coba lu putar ulang, Za. Gue mau lihat hasilnya,” cetus Rafi, yang diangguki oleh Reza.
Reza memutar kembali rekaman tersebut. Namun, belum selesai Reza dan Rafi menyaksikan hasil rekaman itu, tiba-tiba saja Rudy beranjak dari kursi dan melangkah keluar dari kedai kopi dengan langkah tergesa.
“Rud, mau ke mana?” panggil Rafi dan Reza.
“Ikutin mereka lah. Memangnya elu nggak mau tahu sejauh mana hubungan papa lu sama Tania?” sahut Rudy pada Rafi. Dia berucap tanpa menghentikan langkahnya.
“Ayo, cepat dari pada nanti kita kehilangan jejak mereka!” imbuh Rudy.
Rafi dan Reza pun mengikuti langkah Rudy, hingga kini langkah ketiga pemuda itu berada di jarak beberapa meter di belakang Andi dan Tania. Mereka mengikuti sampai di area parkiran basement pusat perbelanjaan tersebut.
“Ayo, cepat ke mobil! Jadi saat mobil papa lu jalan, kita siap ikuti mereka dari belakang. Untung kita nggak pakai mobil elu, Raf. Jadi papa lu nggak bakalan curiga kalau kita ikuti,” ucap Rudy. Dia lantas membuka pintu mobil dan langsung duduk di belakang kemudi.
Rafi pun langsung masuk ke dalam mobil sahabatnya, dan duduk di kursi penumpang depan di sebelah Rudy. Sedangkan Reza duduk di kursi penumpang belakang.
Rudy kini fokus menatap ke arah depan. Dia menunggu mobil Andi melewati mobilnya. Beberapa menit kemudian, mobil mewah keluaran salah satu negara Eropa milik Andi melintas di depan mobil Rudy.
“Ayo, Rud! Langsung tancap gas sekarang. Gue nggak sabar mau tahu mereka akan ke mana setelah dari sini,” ujar Rafi dengan rahang yang mengeras. Dia sangat marah ketika kursi penumpang depan di mobil papanya, kini ditempati oleh Tania. Padahal itu adalah tempat mamanya. Kedua tangan Rafi terkepal di kedua sisi.
Rudy mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang dan menjaga jarak di belakang mobil Andi.
Mobil Rudy akhirnya berhenti di area parkir sebuah hotel bintang empat. Jaraknya berada beberapa meter dari tempat mobil Andi terparkir.
Tak lama, Andi keluar dari dalam mobil dengan diikuti oleh Tania. Kedua insan beda generasi itu melangkah ke dalam lobi hotel sambil bergandengan tangan.
“Kita ikuti mereka nggak, Raf?” tanya Rudy. Dia menatap Rafi yang kini wajahnya tampak tegang.
“Ayo, gue mau hajar itu orang tua! Berani-beraninya dia khianati mama yang mendampingi dia selama ini. Kesetiaan mama dibalas dengan cara seperti ini. Dasar lelaki nggak tahu diri.” Rafi berkata dengan gigi yang bergemeletuk, serta kedua tangannya yang mengepal dengan kuat hingga buku-buku tangannya memutih.
“Ya sudah, kita ikuti mereka. Kita kerja sama dengan petugas hotel, dan mengatakan kalau ada pasangan mesum di hotel itu,” sahut Rudy, yang diangguki oleh Rafi.
“Eh, tunggu...tunggu. Kalian yakin mau ke sana? Itu kan artinya kita menggerebek papanya Rafi sama Tania. Katanya, mau main cantik,” celetuk Reza.
Ucapan Reza sontak membuat Rafi dan Rudy saling tatap satu sama lain. Tangan mereka yang sudah bersiap akan membuka pintu mobil, seketika terhenti.
***
Sementara itu di rumah, Hanum yang sedang membereskan baju setelah selesai disetrika oleh asisten rumah tangganya tampak tertegun. Hal itu karena kotak mungil yang tadi pagi dia lihat, kini sudah tak ada di tempatnya. Dia sampai menurunkan pakaian Andi dari lemari untuk mencari kotak itu. Namun, kotak itu memang sudah tak ada lagi di tempatnya semula.
“Tadi pagi masih ada di sini kok. Kenapa sekarang sudah nggak ada? Apa Mas Andi yang memindahkan atau...kalung itu mau diberikan untuk orang lain. Kalau memang bukan untuk aku, untuk siapa dia siapkan kalung yang indah itu?” gumam Hanum seorang diri. Tubuhnya tiba-tiba saja lemas dan jantungnya berdegup kencang, cemas kalau suaminya ada main dengan wanita lain.
Di saat yang sama, Hanum berusaha berpikir positif mengenai kotak perhiasan itu. Dia menggelengkan kepalanya seraya berucap pelan. “Mas Andi nggak mungkin macam-macam karena ada perjanjian pra nikah yang sudah kami setujui bersama. Mungkin Mas Andi menyimpan kotak perhiasan itu di tempat lain, agar aku tak mengetahuinya. Karena perhiasan itu dia persiapkan sebagai kado ulang tahun pernikahan kami.”
Hanum lantas merapikan kembali pakaian suaminya ke lemari. Selesai pakaian Andi tertata rapi di lemari, ponselnya berdering. Dia bergegas meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Terpampang nama Anita-sahabatnya, di layar ponsel. Bergegas dia mengangkat panggilan telepon tersebut.
“Halo, Nit. Apa kabar?” sapa Hanum ceria.
“Halo, Num. Alhamdulillah, kabarku baik. Oh ya, aku mau tanya. Si Andi ada di rumah?” sahut Anita di seberang sana.
“Dia sedang ketemu rekan bisnisnya, Nit. Ada apa?” sahut Hanum balas bertanya. Tiba-tiba hatinya berdebar, menunggu jawaban dari Anita.
Hening.Untuk sesaat Anita tak bersuara di seberang sana. Membuat hati Hanum ketar-ketir dibuatnya, hingga tangan dan kakinya terasa dingin menunggu jawaban Anita.“Nit...Anita, kok diam sih? Ngomong dong,” ucap Hanum dengan suara bergetar karena rasa cemas yang luar biasa.“Eh, iya maaf. Aku sedang berpikir ini, Num. Makanya belum bisa menjawab tadi. Jadi si Andi sekarang sedang ketemu sama rekan bisnisnya, ya. Oh ya sudah kalau begitu. Berarti yang aku lihat tadi mungkin Andi sedang melobi rekan bisnisnya itu,” sahut Anita terdengar memelankan suaranya. Tak seperti pertama kali dia bicara tadi.“Memangnya kamu ini sedang di mana, Nit? Kok sampai ketemu sama Mas Andi. Kamu sedang main golf juga?” tanya Hanum lugu.“Hah? Main golf?” ucap Anita balas bertanya.“Iya, tadi itu Mas Andi pamit mau ketemu sama rekan bisnisnya di lapangan golf. Memang dia nggak main golf sih. Cuma katanya tadi, temannya yang main golf. Mungkin saja setelah temannya itu main golf, mereka meeting di restoran y
Anita yang merasa kalau Rafi sudah mengetahui ulah Andi, segera menarik tangan pemuda itu agak sedikit menjauh dari kedua temannya.“Rafi, jujur sama Tante kalau kamu ada di sini bukan karena kebetulan kan? Apa kamu melihat...papa kamu...di hotel ini?” tanya Anita hati-hati dan dengan suara perlahan. Dia menatap lekat wajah tampan Rafi yang kini tampak gelisah. Membuat Anita sudah tahu jawabannya meskipun pemuda itu belum membuka suara.“Kamu ingin membuat kejutan untuk papa kamu?” imbuh Anita dengan tatapan iba pada Rafi.Rafi akhirnya menganggukkan kepalanya seraya berkata lirih, “Iya, Tan. Tapi, aku nggak mau kalau Mama sampai tahu tentang hal ini. Aku ingin menjaga perasaan Mama, Tan. Kasihan Mama sudah dibohongi sama Papa. Perlu Tante tahu juga, kalau cewek yang dibawa Papa itu adalah teman kuliahku. Jadi maksud aku dan dua sahabatku ini mau memberikan pelajaran juga sama cewek itu, supaya nggak dekati Papa lagi. Istilahnya, kami sedikit mengancam cewek itu. Jadi mudah-mudahan de
Tak lama, sekuriti hotel sudah tiba di meja resepsionis. Anita pun sudah mendapatkan nomor kamar di mana Andi dan Tania berada saat ini.“Pak, tolong dampingi Ibu dan Mas ini ke atas. Mereka mau menyelesaikan masalah keluarga. Tolong supaya nanti nggak mengganggu tamu yang lain,” ucap resepsionis, yang diangguki oleh sekuriti.“Baik, Mbak,” sahut pria berbadan tinggi tegap itu. Dia lalu mengalihkan tatapannya pada Anita. “Suami Ibu berselingkuh, ya?”“Bukan, Pak. Itu papanya keponakan saya ini,” sahut Anita dengan menepuk pelan bahu Rafi.Pria itu menganggukkan kepalanya dan menatap Rafi seraya berkata, “Mas, meskipun emosi, tapi nanti tolong dijaga supaya nggak baku hantam dengan papanya. Cekcok mulut boleh lah karena kan kesal terhadap ulah papanya. Cuma kalau saling pukul sebaiknya dihindari, supaya nggak mengundang perhatian orang. Saya akan mendampingi Mas supaya keadaan bisa kondusif nanti, yang penting kan bisa mendapatkan bukti kalau papanya selingkuh.”Rafi tersenyum dan meng
Andi yang melihat Tania ketakutan lantas menatap Rafi dengan tatapan memohon.“Rafi, lepaskan dia! Biarkan dia pergi dari sini dan jangan ganggu kehidupannya dengan membuat viral video yang sedang dibuat oleh teman kamu itu,” ucap Andi.“Kenapa Papa khawatir sekali dengan Tania? Sedangkan Papa nggak khawatir dengan hati mama, yang pastinya akan terluka dengan pengkhianatan Papa ini,” sahut Rafi ketus.“Makanya jangan viralkan video itu, supaya mama kamu nggak tahu. Marahlah sama Papa, Raf. Tapi, jangan dengan Tania. Kasihan dia, Raf,” tutur Andi dengan tatapan memohon, yang justru membuat Rafi semakin geram dan jijik dengan papanya. Dia menekan tubuh Andi ke dinding, membuat pria itu meringis menahan sakit.Rafi menatap tajam wajah papanya seraya berteriak, “Tania! Bagaimana rasa daging papa gue, enak? Atau lu masih mau sekali lagi? Nanti gue sewa preman pasar untuk kerjai lu.”Andi tersentak mendengar kata-kata Rafi. Dia tak menyangka kalau Rafi akan berbuat tega seperti itu pada Tan
“Rafi, kamu kenapa jadi bengong begitu sih?” tegur Hanum lembut, yang membuyarkan lamunan Rafi.“Eh, nggak kok, Ma. Aku cuma capek saja kayaknya. Aku mandi dulu ya, Ma. Sudah lengket ini karena keringat,” elak Rafi.“Iya sudah sana kamu mandi. Sudah bau keringat soalnya.” Hanum berkata sambil menutup hidungnya, menggoda anak sulungnya.Rafi yang merasa digoda oleh sang mama, lantas mendusel ke bahu Hanum. Membuat wanita itu tertawa lepas.“Kak Rafi jorok ih!” ucap Amelia yang ikutan menutup hidungnya.“Biarin dong, Mel. Sama Mama ini, weee,” celetuk Rafi. Dia lantas berpindah pada Amelia dan memberikan aroma keringat pada adik bungsunya itu.Suasana di ruang keluarga itu seketika jadi ramai oleh mereka bertiga. Bahkan Rafi sedikit melupakan pertikaian dengan papanya di hotel siang tadi. Dia larut oleh suasana kebersamaan keluarga, meski kurang dengan kehadiran Gilang dan tentu saja Andi.“Kak...stop! Sudah dong, Kak. Jangan dikasih keringat terus aku-nya. Bau ini tahu, Kak,” omel Amel
Esok harinya.Andi dan Hanum sarapan seperti biasanya. Mereka bercengkerama dengan kedua anak mereka, Gilang dan Amelia. Sedangkan Rafi hanya membisu. Hal itu membuat tanda tanya besar di diri Hanum.“Kamu sedang nggak enak badan, Sayang?” tanya Hanum. Dia lalu beranjak dari kursi dan melangkah ke arah Rafi, lalu memegang keningnya. “Normal kok.”“Ih, Mama, sampai segitunya periksa aku. Tenang saja, Ma. Aku ini sehat kok,” celetuk Rafi.“Serius? Tapi, kamu kayak nggak semangat begitu,” tutur Hanum dengan kening yang berkerut.“Serius lah, buat apa aku bohong. Aku ini orang yang jujur. Jadi yang ada di hati, itu juga yang terucap di bibir.” Rafi berkata sambil melirik ke arah Andi. Dia melihat sang papa yang pura-pura tak mendengar dan sibuk dengan sarapannya, sesekali berbicara pada Amelia.Hanum terkekeh mendengar penuturan putra sulungnya. Dia sama sekali tak menyadari kalau ucapan Rafi tadi adalah sebuah sindiran untuk Andi.“Ya sudah deh kalau kamu nggak apa-apa. Mama kan tenang j
Sepanjang acara makan malam, Hanum sama sekali tak menikmati acara tersebut. Dia lebih banyak diam sambil memikirkan perihal kalung indah berliontin permata biru safir. Dia hanya memaksakan tersenyum agar suami dan anak-anaknya tak mengetahui kegundahan hatinya.Sikap Hanum yang lebih banyak diam, rupanya mencuri perhatian Rafi. Pemuda itu selalu melirik ke arah sang mama, di saat dia sedang menikmati hidangan makan malam.‘Ada apa dengan Mama, ya? Kok agak beda sikapnya, meski nggak terlalu kelihatan,’ ucap Rafi dalam hati.Acara makan malam pun bergulir dengan penuh canda dan tawa, bagi Andi dan kedua anaknya. Hal itu tak berlaku bagi Hanum dan Rafi. Kedua orang itu hanya sesekali menimpali. Selebihnya hanya banyak diam pura-pura menikmati hidangan makan malam.Mereka akhirnya kembali ke rumah ketika waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Tak banyak obrolan di mobil, karena Amelia yang biasanya banyak berceloteh kini tertidur. Sedangkan Rafi dan Gilang sibuk dengan ponsel masing-ma
Rafi membuang napasnya kasar, dan menatap ke arah dua sahabatnya yang duduk di kursi tak jauh darinya.“Ada apa, Raf?” tanya Reza dan Rudy yang kini mendekatinya.“Menurut lu si Tania ini jujur nggak?” sahut Rafi balas bertanya.Tania yang merasa terancam dengan ucapan Rafi segera menyahut. “Kenapa lu nggak percaya sih sama gue. Dari tadi gue sudah ngomong jujur sama elu, Rafi! Lu mau apa lagi, hah?!”Reza dan Rudy yang tak mengerti masalahnya, hanya bisa mengerutkan kening sambil menatap Rafi.“Ini masih masalah yang di hotel itu, ya? Memangnya papa lu masih berhubungan sama dia?” tanya Rudy dengan dagu terarah pada Tania.“Nggak!” sentak Tania sebelum Rafi menjawab pertanyaan Rudy.“Terus ada apa lagi?” timpal Reza yang terlihat mulai penasaran.Rafi menghela napas kasar. Dia awalnya enggan bercerita tentang masalah kalung pada dua sahabatnya itu. Cukup dengan Tania saja, karena gadis itu yang membuat dia curiga.“Mama gue pernah melihat sebuah kalung emas dengan liontin permata bir