Share

4. Bertemu Rafi

Hening.

Untuk sesaat Anita tak bersuara di seberang sana. Membuat hati Hanum ketar-ketir dibuatnya, hingga tangan dan kakinya terasa dingin menunggu jawaban Anita.

“Nit...Anita, kok diam sih? Ngomong dong,” ucap Hanum dengan suara bergetar karena rasa cemas yang luar biasa.

“Eh, iya maaf. Aku sedang berpikir ini, Num. Makanya belum bisa menjawab tadi. Jadi si Andi sekarang sedang ketemu sama rekan bisnisnya, ya. Oh ya sudah kalau begitu. Berarti yang aku lihat tadi mungkin Andi sedang melobi rekan bisnisnya itu,” sahut Anita terdengar memelankan suaranya. Tak seperti pertama kali dia bicara tadi.

“Memangnya kamu ini sedang di mana, Nit? Kok sampai ketemu sama Mas Andi. Kamu sedang main golf juga?” tanya Hanum lugu.

“Hah? Main golf?” ucap Anita balas bertanya.

“Iya, tadi itu Mas Andi pamit mau ketemu sama rekan bisnisnya di lapangan golf. Memang dia nggak main golf sih. Cuma katanya tadi, temannya yang main golf. Mungkin saja setelah temannya itu main golf, mereka meeting di restoran yang ada di sana,” sahut Hanum.

“Oh, begitu. I-iya mungkin sekarang mereka sedang meeting, setelah rekan bisnisnya Andi selesai main golf.” Anita menyahut dengan suara yang agak gugup.

Kegugupan Anita terdengar jelas di pendengaran Hanum, yang semakin gelisah.

“Jadi...maksudnya kamu, sekarang ini kamu melihat Mas Andi nggak sedang ada di lapangan golf, iya? Memangnya kamu melihat Mas Andi di mana? Mas Andi ada di mana sekarang kalau bukan di lapangan golf, Nit?” cecar Hanum panik.

Anita kembali terdiam untuk beberapa saat, hingga akhirnya terdengar kembali suaranya di seberang telepon.

“Aku melihat Andi ada di restoran. Kebetulan, aku dan keluargaku sedang ada acara arisan di restoran yang sama. Tapi, Andi nggak melihatku tadi karena sibuk dengan seseorang. Mungkin itu rekan bisnisnya seperti yang kamu bilang tadi,” sahut Anita dengan napas yang memburu.

“Oh begitu. Terus kenapa kok napas kamu ngos-ngosan begitu, Nit. Seperti habis melihat hantu saja di siang hari begini,” ucap Hanum yang sudah bisa kembali normal, karena mengetahui kalau suaminya kini sedang ada di restoran, seperti yang Anita bilang barusan.

“Eh, aku...aku barusan...kaget. Iya, kaget karena dapat arisan, Num,” sahut Anita beralasan dengan suara yang terdengar gugup.

Hanum tertawa menanggapi ucapan Anita. Bahkan dia geleng-geleng kepala.

“Dapat rezeki kok malah kaget sih, Num. Harusnya dapat rezeki itu senang dong,” sahut Hanum kalem.

“I-iya sih, Num. Harusnya memang begitu. Soalnya aku nggak sangka bakal dapat rezeki nomplok.” Anita berkata sambil tertawa, yang terdengar seperti dipaksakan.

“Ya sudah kalau begitu, aku tutup ya teleponnya. Maaf kalau aku mengganggu waktu kamu. Oh iya, bisnis kateringnya lancar?” imbuh Anita.

“Alhamdulillah, lancar. Ok, Nit, lain kali kita sambung lagi ngobrolnya, ya. Jangan ditelepon kita ngobrolnya. Kita ketemu langsung saja di restoran atau kafe. Kangen juga sudah lama nggak makan dan ngobrol bareng sama kamu,” sahut Hanum.

“Siap, diagendakan saja nanti ya, Num. Sekarang aku tutup teleponnya, bye.”

“Bye.”

Setelah itu, sambungan telepon itu pun berakhir.

Hanum menyandarkan punggungnya di sandaran sofa sambil menghela napas panjang.

“Ops, syukurlah kalau ternyata Mas Andi memang sedang ada di restoran bersama dengan rekan bisnisnya. Aku nggak akan terima kalau ternyata Mas Andi ada di tempat lain bersama dengan wanita lain, misalnya ada di hotel,” gumam Hanum seorang diri.

Sementara itu di tempat lain, tampak Anita yang masih mengatur napasnya yang memburu karena sepertinya dia emosi dengan apa yang tadi dia lihat.

“Num, maafkan aku kalau tadi aku berbohong sama kamu. Sekarang ini aku sedang ada di hotel, di mana acara sekolah anakku diselenggarakan di ballroom. Tadi saat mau ke toilet, aku melihat Andi sedang berjalan sambil memeluk pinggang seorang gadis, yang kira-kira sebaya dengan Rafi. Mereka berjalan menuju lift, yang pastinya menuju ke...kamar hotel ini. Duh, bagaimana aku harus menyampaikan ke kamu ya, Num? Aku ingin menolong kamu, tapi bagaimana caranya? Mau melabrak ke kamar hotel, aku nggak ada wewenang karena posisiku hanya sahabat kamu. Yang ada malah Andi akan berkelit dan menuntut balik padaku. Tadi aku nggak tega menyampaikan hal ini ke kamu di telepon. Tapi, aku sempat memotret Andi dan perempuan itu sih. Nanti saat kita ketemuan, aku akan kasih lihat ke kamu. Jadi aku bisa menenangkan kamu nanti kalau kamu emosi. Kalau aku katakan tadi di telepon, aku nggak bisa menenangkan kamu yang pastinya akan emosi dan terluka,” gumam Anita seorang diri.

Anita bersandar di dinding sambil memegang dadanya. Dia menarik napas dan menghembuskannya dengan perlahan. Berharap setelah ini dirinya bisa tenang kembali. Namun, dadanya masih terasa sesak akibat melihat secara langsung ulah Andi.

“Sepertinya aku harus keluar dulu deh. Mungkin kalau aku menghirup udara di depan lobi hotel, aku bisa lebih tenang dan bisa kembali ke ballroom.” Anita bergumam dan tak lama, dia melangkah menuju ke depan lobi hotel.

Baru saja Anita tiba di lobi hotel, di melihat Rafi dan dua orang temannya ada di depan lobi hotel. Alih-alih bisa tenang, kini hati Anita semakin berdebar. Dia khawatir kalau kedatangan Rafi berkaitan dengan keberadaan Andi di hotel tersebut.

“Rafi? Mau apa dia ke sini?” gumam Anita. Dia lantas berjalan cepat menuju ke depan lobi.

Bukan Anita saja yang terkejut. Tapi, Rafi yang melihat keberadaan sahabat ibunya juga terkejut. Dia buru-buru menghampiri Anita, diikuti oleh Reza dan Rudy.

“Tante...rupanya Tante ada di sini juga?” ucap Rafi yang terlihat canggung.

“Iya, Tante ada di sini sedang menghadiri acara sekolah Saskia, anak Tante. Tadi Tante keluar ballroom karena mau ke toilet. Eh, nggak sengaja melihat kamu di sini. Kamu sendiri ada di sini...sedang apa?” sahut Anita yang balik bertanya.

Pertanyaan Anita di akhir kalimatnya, membuat Rafi semakin canggung pada wanita itu. Dia tadinya ingin menggerebek sang ayah, setelah berpikir kalau tak ada toleransi bagi pria dewasa itu bermain-main dengan Tania di hotel tersebut. Namun, dia ingin melakukan itu tanpa sepengetahuan orang yang dikenalnya. Dia tak mau kalau hal ini sampai terdengar oleh sang ibu, yang pastinya akan terluka. Tapi, kini di hadapannya telah berdiri Anita yang merupakan sahabat sang ibu. Mau tak mau Rafi harus menunda menggerebek sang ayah. Dia khawatir kalau Anita akan membocorkan hal ini pada sang ibu.

“Rafi? Kenapa diam? Apa kamu juga melihat seseorang yang sama, seperti yang Tante lihat tadi?” tanya Anita langsung, karena dia yakin kalau Rafi ada di hotel itu pasti telah mengetahui ulah Andi.

“Eh, maksud Tante apa?” ucap Rafi terkejut dan sedikit grogi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status