Irina menunggu cukup lama sembari meremas kedua belah telapak tangannya. Hari ini, dia tengah berada di sebuah rumah sakit. Bukan untuk memeriksakan diri, melainkan untuk menemui Rani yang bekerja menjadi dokter di sana.
Irina sudah beberapa kali menghubungi Rani. Dia memiliki kontaknya karena dia dan Rani memang saling mengenal dengan baik. Namun, Rani seakan tak ingin mengangkat teleponnya. Perempuan itu seakan menutup semua komunikasi yang dilakukan Irina padanya. Hingga akhirnya, Irina memutuskan untuk menemui Rani di tempat kerjanya saja hari ini, beberapa hari setelah ia dan Kevin sudah resmi menikah.
Irina berharap bahwa Rani mau menemuinya. Bagaimanapun juga, dia berutang maaf pada Rani. Irina bahkan berencana untuk mengembalikan Kevin pada Rani setelah dia melahirkan. Dan semoga saja, Rani bersedia menerima niatannya tersebut hingga semua bisa berjalan seperti sebelumnya.
Pintu ruang tunggu dibuka, menampilkan sosok Rani yang sudah berdiri di ambang pintu dan menatap Irina dengan penuh kebencian. Irina langsung berdiri dan mencoba tersenyum pada Rani.
“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Irina. “Aku … ada yang ingin kusampaikan.”
“Kita bicara di luar.” Rani menjawab singkat.
“Tidak bisa di sini saja? Maksudku, tempat ini lebih private.”
“Tidak.” Rani menjawab dengan tegas. Ia lalu meninggalkan tempat itu dan Irina hanya bisa mengikuti ke mana kaki Rani melangkah.
Rupanya, Rani menuju ke kantin rumah sakit. Di sana cukup ramai. Beberapa orang mungkin mengenali Irina karena ia adalah seorang model populer. Mereka juga seakan tak percaya bahwa Irina sedang berada di sana.
Rani berhenti di sebuah tempat duduk yang berada paling ujung. Meski letaknya berada di paling ujung, nyatanya semua mata masih sesekali melirik ke arahnya. Mereka seakan ingin tahu apa yang sedang Irina lakukan di sana. Tak lupa, Rani juga memesan minuman dan tak lama, pelayan kantin menyuguhkan jus pesanan Rani padanya.
“Bicaralah.” Rani membuka suaranya.
Irina merasa bahwa Rani cukup berbeda. Biasanya, perempuan ini ramah dan lemah lembut. Namun, hal itu sudah sewajarnya. Siapa pun juga akan seperti Rani jika tunangannya direbut.
“Ran, kamu tentu tahu kalau kedatanganku ini untuk meminta maaf.”
“Untuk apa minta maaf? Memangnya saat kamu melakukan hal itu kamu ingat padaku?”
“Tolong, ini semua enggak seperti yang kamu pikirkan.”
Ya, Rani berpikir bahwa dia dan Kevin melakukan hubungan intim hingga terjadi kehamilan ini. Pada kenyataannya, kehamilannya terjadi karena proses yang dilakukan oleh dokter dan itu karena kemauan Irina sendiri. Kevin tidak seharusnya menanggung kesalahannya. Irina ingin menjelaskan hal itu pada Rani, tetapi belum sempat Irina menjelaskan, Rani tampaknya sudah tersulut emosi.
Dengan cepat, Rani meraih gelas jusnya dan menyiramkan isinya ke wajah Irina. Irina mematung, tak percaya bahwa Rani akan memperlakukannya seperti ini. Irina dipermalukan di depan umum dengan banyak mata yang sedang mengawasi mereka berdua.
“Kamu sudah merebut tunanganku! Kamu tidur dengan tunanganku, bahkan ketika masih menjadi istri orang lain! Kesalahanmu tak termaafkan, Irina! Kamu bahkan lebih hina daripada seorang pelacur!” Rani menyerukan kalimat hinaan tersebut. Dia benar-benar tak bisa mengendalikan emosinya.
Irina sendiri hanya bisa diam. Memangnya apa yang bisa dilakukannya? Seluruh orang di negeri ini mungkin sudah tahu. Dia yang sudah bersuami, tetapi malah hamil dengan pria lain. Ya, benar kata Rani, bahkan seorang pelacur saja tak akan melakukan hal seperti itu.
***
Irina tidak segera pulang setelah menemui Rani dan tak mendapatkan hasil apa pun selain dipermalukan dan dimaki-maki di depan umum. Dia memutuskan ke kantor manajernya dan bertanya apakah ada pekerjaan untuknya atau tidak. Irina sudah cuti cukup lama. Kini, tak ada alasan lain untuk dirinya cuti. Irina hanya ingin menghabiskan waktunya dengan bekerja dan melupakan semua permasalahannya.
“Tidak ada lagi pekerjaan untukmu. Beberapa brand bahkan memutus kontrak dengan kita.” Fany, manajernya, bahkan sudah memijat pelipis dan tampak sedikit kesal. “Apa yang kamu pikirkan saat melakukan hal itu? Apa kamu enggak mikir kalau karier kamu bisa hancur dalam semalam?”
Irina tak bisa menjawab. Dia bersalah dan kini, dia sedang terpuruk. Astaga … ini benar-benar bukan dirinya.
“Perceraianmu dengan Maximillan Romanov saja sudah membuat namamu meredup, ditambah lagi dengan pengakuanmu yang tak masuk akal itu. Hamil anak pria lain saat statusmu baru menjanda? Tentu semua orang mempertanyakan moralmu!”
Irina hanya mengangguk. Dia mengerti.
“Maafkan aku, aku tidak bisa janji jika di masa depan masih ada yang mau menggunakan jasamu.” Fany berkata jujur. Irina menerima itu walau rasanya sangat sakit.
Irina kemudian bangkit. Dia memutuskan untuk meninggalkan kantor Fany. Tak ada gunanya juga dia berada di sana.
Ketika Irina keluar, Irina hanya menunduk hingga tidak sadar sedang berpapasan dengan seseorang. Orang itu menyapa, “Irina?”
Irina mengangkat wajahnya ketika mendengar namanya dipanggil. Dia mendapati seorang pria tampan berdiri di hadapannya. Namanya Bastian, seorang pria yang berprofesi sebagai fotografer. Dulu, saat Max menjauh, Irina sempat memanfaatkan kehadiran Bastian yang saat itu sering terlibat pekerjaan bersamanya. Dia ingin menghibur diri dengan cara menjalin hubungan dengan Bastian. Meski begitu, hubungan mereka tak berjalan lama karena Irina tidak bisa melupakan sosok Max.
“Bastian?”
“Hei, akhirnya kita ketemu lagi di sini. Maksudku, aku sangat jarang melihatmu akhir-akhir ini.” Bastian tampak menampilkan sikap ramahnya. Ya, memang pria ini selalu ramah dengan siapa pun, karena itulah dulu Irina pernah merasa nyaman saat bekerja dengan Bastian.
“Ya, tadi aku nemuin Fany.”
“Ada kerjaan? Kebetulan aku juga ada kerjaan sama Fany.”
“Ah, enggak.” Irina bingung harus menjelaskan seperti apa. Tak mungkin jika dia mengatakan bahwa kini dirinya sedang bermasalah dan kariernya sedang terpuruk.
Bastian kemudian melirik jam tangannya, lalu berkata, “Mau ngopi sebentar sama aku? Sudah lama kita enggak ketemu, kayaknya akan sangat menyenangkan jika kita saling berbagi cerita.”
“Tapi aku….” Irina ingin menolak, lalu ia menyadari Bastian memaksanya.
“Ayolah. Aku yang teraktir, oke? Kita masih berteman, kan?” tanya Bastian yang saat ini sudah meraih pergelangan tangan Irina dan menariknya meninggalkan tempat itu.
Irina tak memiliki pilihan lain. Hari ini, dia sudah sangat lelah. Dipermalukan oleh Rani, kemudian merasa dibuang oleh Fany. Mungkin dengan Bastian, dia bisa sedikit mengobati rasa sakit yang dia terima di sepanjang hari ini. Ya, mungkin saja.
-TBC-
Kevin baru saja selesai rapat saat tiba-tiba dia merasa sangat merindukan Irina. Sebenarnya, hal seperti ini sering dirasakan oleh Kevin, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya. Bahkan, menganggap bahwa perasaannya yang merindukan Irina adalah perasaan yang tak seharusnya dia rasakan.Kini, Kevin merasa bahwa perasaan seperti ini wajar dia rasakan. Irina adalah istrinya dan perempuan itu sedang mengandung anaknya. Jadi, sangat wajar saja jika dia mengkhawatirkan atau bahkan merindukan Irina.Kevin tidak bisa menghentikan niatannya untuk menghubungi Irina. Dalam sekejap mata, Kevin sudah terhubung dengan Irina melalui saluran telepon.“Kamu di mana?”“Aku sedang di kafe dengan temanku. Ada apa? Tumben kamu telepon?”“Bisa ke kantorku?”“Ada masalah?” tanya Irina.“Enggak. Cuma mau pulang bersama saja nanti.” Kevin menjawab seadanya. Dia juga tidak tahu kenapa dia ingin sekali Irina berada di sekitarnya saat ini.“Oke, kalau gitu aku ke sana.” Kemudian panggilan ditutup. Kevin hanya men
Irina sedikit terkejut saat tiba-tiba mobil yang ditumpanginya bersama Kevin membelok menuju ke sebuah tempat yang cukup ia kenal. Itu adalah tempat di mana dia akan pergi menggunakan jet pribadi. Irina tahu karena dia pernah melakukannya dengan Kevin juga Max. Kenapa Kevin mengajaknya ke tempat ini?“Kita … mau ke mana?” tanya Irina saat mobil mereka berhenti.“Aku ada kerjaan di luar kota.” Kevin menjawab pendek dengan nada setengah mendesis.“Kamu akan menginap di sana?” tanya Irina kemudian.Kevin menatap Irina dengan sungguh-sungguh. “Bukan hanya aku, tapi kita.”“Tapi, aku enggak bawa baju. Maksudku….” Irina bahkan baru ingat jika baju yang dia gunakan di balik coat ini masih kotor akibat jus yang ditumpahkan Rani padanya. Bagaimana mungkin dia bepergian menggunakan pakaian seperti itu?“Kamu tidak bisa menolak.” Kevin tak bisa diganggu gugat. Irina menghela napas panjang. Pada akhirnya, dia hanya bisa mengikuti apa pun kemauan Kevin. Keduanya lalu turun dari mobil dan disambut
Ciuman yang dilakukan Kevin makin intens, makin menuntut. Apalagi ketika Irina dengan spontan membalas ciumannya. Kevin menginginkan lebih, Kevin ingin menyentuh dan memiliki Irina sepenuhnya. Kemudian, dalam sekejap mata semuanya berakhir ketika Irina meremas dada Kevin lalu mendorongnya menjauh.Kevin menghentikan aksinya, dia tahu bahwa Irina menolaknya. Ekspresinya mengeras seketika, bahkan Kevin merasa sedikit malu saat sadar dirinya mendapatkan penolakan dari istrinya sendiri.“Kevin, kupikir….” Irina menggantung kalimatnya, dia ragu menyatakan alasan kenapa ia menolak pria ini.Kevin tak butuh alasan itu, dia tahu pasti kenapa Irina menolaknya. Irina tak menginginkannya. Irina menikah dengannya hanya karena kehadiran bayi itu. Irina masih mencintai mantan suaminya, dan mungkin saja perempuan ini kini sudah kembali menjalin kasih dengan mantan kekasihnya.Kevin marah. Ekspresinya mengeras, tetapi dia tak bisa melampiaskan kemarahannya pada Irina. Secepat kilat Kevin menjauhi Iri
Jam sepuluh malam, Kevin dan Irina sudah kembali ke cottage mereka. Sebenarnya, Kevin hanya akan mengantar Irina, sedangkan dia akan menghabiskan waktunya di bar lalu tidur di hotel yang terpisah dengan Irina seperti kemarin. Namun, saat Kevin akan berbalik, Irina bertanya, “Kamu akan pergi?” “Ya.” Kevin menjawab pendek.“Kamu akan ninggalin aku?” tanya Irina lagi.“Ya.” Sekali lagi Kevin menjawab pendek. Dia bersiap melangkah menjauh, tetapi Irina dengan cepat sudah menggapai lengannya dan menghentikan langkah Kevin.“Tidak bisakah kamu di sini saja?” tanya Irina kemudian.“Kalau aku di sini, kita tidak hanya akan tidur.” Kevin mendesis tajam.“Kevin.”“Lepaskan aku, Irina.” Kevin membuka suaranya. Namun, cekalan Irina makin erat. “Kamu bisa melakukan apa pun padaku. Asalkan jangan tinggalkan aku,” ucapnya setengah melirih.Tubuh Kevin membeku seketika, dia tidak menyangka bahwa Irina akan mengucapkan kalimat itu. Segera dia menatap ke arah Irina, Kevin mendapati perempuan itu yang
Pagi itu, Irina terbangun sendiri. Dia sempat terkejut mendapati tubuhnya telanjang bulat di bawah selimut tebal. Kemudian Irina baru mengingat bahwa semalam dia telah melakukan hubungan intim dengan Kevin. Irina merasakan pipinya memanas seketika ketika mengingat kejadian itu. Segera dia menggosok pipinya, yang mungkin saat ini sudah terlihat memerah. Semalam, Kevin begitu bergairah, meski begitu, pria itu sangat lembut memperlakukannya. Seakan-akan dia adalah sesuatu yang rapuh dan mudah pecah. Kevin begitu menjaganya, bahkan pria itu tak menuntut banyak hal padanya. Irina menggeleng. Seharusnya dia tak mengingat tentang semalam lagi. Bisa-bisa wajahnya tak berhenti memerah seperti tomat nantinya.Irina kemudian mengalihkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Dia mencari keberadaan Kevin yang mungkin saja masih di dalam kamar. Nyatanya, pria itu tak ada di sana.Irina menuju ke kamar mandi dengan tubuh yang masih berbalutkan selimut. Irina harus mandi, dia ingin bertemu dengan Ke
Malamnya, Kevin kembali ke kamar dan mendapati Irina masih belum tidur. Perempuan itu duduk di pinggiran ranjang seakan sedang menunggunya. Kevin mencoba untuk bersikap sebiasa mungkin, walau pada akhirnya gagal setelah bayangan Irina menyebutkan nama mantan suaminya semalam kembali mengusik pikirannya. Kevin tak dapat mengungkapkan kekesalannya, di sisi lain, Kevin merasa sakit hati. “Kamu baru pulang?” tanya Irina sembari bangkit dan mendekat ke arah Kevin.“Ya.” Kevin menjawab singkat. Dia menuju lemari dan mengeluarkan pakaian. “Tapi aku akan keluar lagi.”“Ke mana?” tanya Irina dengan cepat.“Ada janji.”“Sama siapa?” Dengan spontan, Irina menanyakan hal itu.Kevin menghentikan aksinya. Dia berbalik kemudian menatap Irina penuh tanya. “Tampaknya kamu sangat penasaran.” Kevin berkomentar.“Aku … um, aku enggak mau ditinggal sendiri. Memangnya kamu ke mana?” tanya Irina lagi.Kevin melirik jam tangannya, dia berpikir sebentar kemudian menjawab, “Arsen ada acara, ulang tahun pernik
Kevin masih menyeret Irina hingga sampailah mereka di cottage. Setelah mengunci diri mereka berdua di sana, Kevin segera menatap Irina dengan tajam. Irina mencoba untuk bersikap sebiasa mungkin. Toh, dia tak melakukan apa pun, jadi mengapa dia harus merasa takut?“Dari mana saja kamu?” tanya Kevin dengan desisan tajamnya.“Jalan-jalan di sepanjang pantai.”“Dengan Satria?” tanya Kevin kemudian.“Aku enggak tau siapa namanya.” Irina berkata dengan jujur. Dia memang tak tahu nama pria yang telah mengajaknya berjalan menelusuri pantai tadi.“Haha, kamu pikir aku bodoh? Mana ada orang yang tak saling mengenal kemudian memutuskan untuk jalan-jalan bersama?”“Apa pun yang kujelaskan sama kamu, pasti kamu enggak percaya,” ucap Irina kemudian.“Ya, karena kamu memang tidak bisa dipercaya.” Kevin menjawab cepat dan dengan nada tajam. “Sekarang, aku ingin kamu memuaskanku.”Irina terkejut dengan kalimat terakhir yang diucapkan oleh Kevin. Dia tak menyangka bahwa Kevin, yang dia kenal selama ini
Irina membuka mata. Dia merasakan bahwa tidurnya semalam sangat nyaman dan nyenyak, kemudian Irina baru sadar rupanya dia sudah berada di dalam kamarnya, di rumahnya dengan Kevin. Kapan aku sampai? Irina lalu duduk, mengamati segala penjuru ruangan. Dia juga melihat ranjang di sebelahnya, tampak rapi seolah-olah tak ada yang meniduri. Apa Kevin tak tidur? Irina akhirnya menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum dia mencari keberadaan Kevin.Setelah keluar dari kamar mandi, Irina mengganti pakaian lalu mulai mencari keberadaan Kevin. Mula-mula, Irina mencari ke meja makan karena mungkin Kevin sudah menunggunya untuk sarapan bersama di sana, tetapi rupanya meja makan sudah kosong. Hanya ada asisten rumah tangga yang sedang membersihkan sisa sarapan yang kemungkinan besar adalah bekas sarapan Kevin.“Bi, apa Kevin sudah berangkat?” tanya Irina kemudian.“Sudah, Non, baru saja. Mungkin baru sampai di depan komplek.”Irina mengangguk, terdapat kekecewaan dalam