Irina menatap rumah besar di hadapannya dengan penuh kekaguman. Itu adalah rumah lain dari Keluarga Diningrat. Ini adalah pertama kalinya Irina diajak mengunjungi rumah ini.
Berbeda dengan rumah utama yang bergaya modern, rumah yang satu ini cenderung lebih klasik. Yang membuat Irina senang adalah halaman rumah ini sangat lebar dan ditumbuhi pepohonan, hingga tidak merasa bahwa rumah ini berada di pinggiran kota metropolitan. Suasananya terasa nyaman dan asri, membuat siapa saja akan merasa tenang berada di area rumah ini.
“Kenapa sampai ternganga gitu?” Pertanyaan itu diajukan oleh Kevin yang kini menatap Irina yang kini sedang menampilkan ekspresi lucunya.
“Aku kagum sama rumahnya.”
“Bagus, ya?” tanya Kevin kemudian. “Ini akan menjadi rumah masa depanku.”
“Maksudmu?” Irina tak mengerti.
“Kalau aku menikah nanti, aku mau tingggal di sini dengan istri dan anak-anakku. Kamu lihat di sana, halamannya sangat luas. Nah, aku bisa buat lapangan bola mini di sana.”
Irina tersenyum lembut. “Pasti istri dan anak-anakmu akan sangat bahagia.”
Entah perasaan Irina saja atau dia memang melihat Kevin tersenyum puas setelah mendengar ucapannya.
***
Irina kembali teringat dengan kejadian beberapa tahun yang lalu saat pertama kali dia menginjakkan kaki di rumah baru Kevin. Saat itu, mereka masih SMA. Irina masih tak percaya bahwa kini dirinyalah yang akan tinggal di rumah ini.
Irina mengamati segala penjuru rumah itu setelah dia baru saja keluar dari dalam mobil. Tak banyak yang berubah, rumah ini masih sama seperti terakhir kali ia kemari. Mungkin, Kevin memang sengaja hanya merawatnya saja tanpa mengubah apa pun dari bangunan pertama.
Irina akhirnya masuk ke dalam rumah itu bersama dengan Kevin. Kemudian, dia dibimbing menuju ke sebuah ruangan.
“Kamar utama ada di atas, tapi karena kamu sedang hamil, jadi kita akan tidur di kamar bawah saja sampai lift selesai.” Kevin membuka suaranya. Nadanya masih dingin seperti biasa.
“Kita … tidur satu kamar?” tanya Irina.
Kevin membeku seketika. “Kamu keberatan?” tanya Kevin sedikit keras.
“Um, aku … aku hanya enggak mau merusak pertemanan kita.”
Kevin bersedekap seketika. “Kamu pikir, apa yang sudah kamu lakukan ini enggak merusak pertemanan kita?”
“Kupikir, semua ini masih bisa diperbaiki.”
“Tidak. Semuanya sudah hancur. Sekalian saja, kita hancurkan semuanya, kan?” ucap Kevin dengan nada penuh kepahitan. “Jadi, suka atau tidak, kita akan satu kamar. Aku tidak akan melakukan apa pun padamu sebelum kamu sendiri yang memintanya.”
Sekali lagi, Kevin mendesis tajam sebelum meninggalkan Irina sendirian.
***
Kevin tadi keluar karena memiliki urusan, dia baru kembali saat hari mulai sore. Ia berharap bisa mengajak Irina makan malam di luar malam ini. Bagaimanapun juga, mereka baru saja menikah. Kevin hanya ingin membuat hal ini menjadi spesial untuk Irina.
Namun sesampainya di rumah, dia melihat Irina sedang melakukan sesuatu di dapur. Irina tak sendiri, ada dua orang asisten rumah tangga di sana. Yang membuat Kevin sempat terpaku adalah Irina tampak membantu mereka.
Sejauh yang dapat Kevin ingat, dulu Irina suka memasak. Itu sebelum perempuan itu pindah dari rumahnya dan sebelum ia menjadi model. Sejak memutuskan menjadi seorang model, perempuan itu banyak berubah. Setidaknya, itulah yang Kevin lihat. Kini, Kevin seakan melihat Irina di masa lalu lagi.
Kevin hanya mengamati dari tempatnya berdiri. Dia melihat Irina yang sedikit ceria dan menikmati perannya saat ini.
Sejak menikah dengan Max dan sejak Irina memutuskan untuk menggugurkan bayinya dengan Max, Kevin hampir tak pernah melihat Irina tersenyum. Senyum yang biasa dipasang Irina adalah senyuman terpaksa. Kevin bisa mengerti, mungkin Irina sangat menyesali perbuatannya. Ditambah lagi, Max yang sejak saat itu sangat membencinya.
Dengan spontan, Kevin mengepalkan kedua telapak tangannya saat mengingat fakta itu. Fakta bahwa sampai kapan pun, dia tidak akan pernah bisa mendapatkan cinta dari sang pujaan hati.
“Sudah pulang?” Sapaan Irina membuat Kevin tersadar.
“Ya.” Kevin menjawab pendek.
“Bagus. Aku baru selesai masak dengan Bibi. Kupikir, kita butuh perayaan walau hanya sederhana.”
Kevin hanya mengangguk. Dia kemudian mendekat, menuju ke arah meja makan. Sedangkan Irina, ia tampak menyajikan masakan-masakan yang baru saja dibuatnya bersama dengan para asisten rumah tangga. Pandangan Kevin seakan tak lepas dari Irina, sedangkan Irina sendiri hanya fokus kepada pekerjaannya.
Kevin bahkan baru menyadari jika saat ini Irina menggunakan pakaian rumahan yang sederhana. Padahal, sejak menjadi model, Irina selalu menggunakan pakaian modis dan bermerek. Melihat Irina yang seperti ini, sekali lagi, membuat Kevin melihat Irina di masa lalu. Dan Kevin merasa bahagia.
“Aku dan Bibi hanya membuat ayam panggang. Tadinya mau buat steak, tapi tidak ada daging.” Irina menjelaskan dan Kevin hanya mengangguk.
“Aku melihat ada wine di bar, mau aku bukakan?” tanya Irina kemudian. Sekali lagi, Kevin hanya mengangguk.
Irina akhirnya bergegas menuju ke arah bar dan dia mengambil sebotol wine yang dia maksud. Kemudian, ia menuju kembali pada Kevin, membukanya lalu menuangkan pada gelas milik Kevin. Irina kemudian duduk di tempat duduknya, dia menuangkan air putih di gelasnya dan mengangkat gelas tersebut seolah mengajak Kevin bersulang.
“Untuk pernikahan kita,” ucap Irina penuh arti. “Dan untuk pertemanan kita.”
Kevin kesal dengan kalimat terakhir Irina, tetapi dia mencoba mengabaikannya. Dia tak ingin menghancurkan momen malam ini dengan emosinya.
“Ya, untuk semuanya.” Hanya itu yang bisa dikatakan Kevin sembari mengangkat gelasnya dan mulai menikmati wine-nya.
***
Setelah makan malam bersama, Irina memutuskan untuk bergegas ke kamarnya. Dia ingin istirahat lebih cepat, seperti itulah yang dia katakan pada Kevin. Sedangkan Kevin menangkap bahwa perempuan itu tak ingin diganggu.
Kevin memang mengikuti Irina ke dalam kamar mereka, tetapi dia tak akan melakukan apa pun seperti perkataannya tadi siang. Mereka hanya akan tidur di dalam satu kamar dan tak akan berbuat apa pun.
Kevin sudah melihat Irina mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur. Keduanya tampak canggung satu sama lain, hingga akhirnya Irina mulai membuka suara, “Um, kamu akan tidur juga?”
“Ya.” Kevin menjawab pendek.
“Baiklah.” Hanya itu yang diucapkan Irina. Ia segera menuju ke sisi kanan ranjang, naik ke atas ranjang dan tidur di sana dengan posisi miring memunggungi Kevin. Tubuh Irina bahkan berada di ujung ranjang, seakan-akan tak ingin berdekatan dengan Kevin.
Kevin tersenyum miris. Inikah kehidupan pernikahan yang diinginkannya? Dia memiliki sang pujaan hati, tetapi sayangnya … dia tak dapat menggapainya.
Pada akhirnya, Kevin ikut naik ke atas ranjangnya. Dia juga tidur dengan posisi miring, tetapi bedanya, dia menatap ke arah punggung Irina. Sampai kapan pun, dia hanya bisa melihat perempuan ini dari jauh.
-TBC-
Selama seminggu terakhir setelah kejadian Irina menampar Kevin malam itu, hubungan Irina dan Kevin kembali sedikit merenggang dan dingin. Irina sudah kembali tidur di kamar mereka. Namun, mereka hanya tidur. Kevin tak lagi menuntut haknya pada Irina setelah kejadian malam itu. Sedangkan Irina, meski dia merindukan sentuhan Kevin, Irina tentu tak mungkin tiba-tiba menggoda Kevin.Irina hanya sesekali mencoba mendekatkan diri pada Kevin, meski reaksi pria itu masih cuek-cuek saja. Meski begitu, Irina mengetahui, jika diam-diam Kevin perhatian padanya.Seperti… saat makan siang, tiba-tiba supir Kevin mengantarkan bingkisan makanan untuk Irina yang masih fokus dengan renovasi ruko untuk butiknya. Kevin juga sealu mengantar jemput Irina dengan alasan bahwa mereka satu arah.Perhatian-perhatian seperti itu membuat Irina sedikit tenang. Setidaknya dia tahu bahwa Kevin masih peduli dengannya, meski pria itu masih menampilkan ekspresi dingin dan cueknya.Hari ini, adalah hari pertama pembukaan
Irina menyusul Kevin masuk ke dalam ruko tersebut. Kevin tampak mengamati seluruh penjuru ruangan yang sudah kosong karena para pekerja Irina memang sudah lebih dulu pulang sebelum Bastian pulang tadi. Lalu Irina membuka suaranya lagi dan mencoba untuk mencairkan suasana yang masih terasa tegang.“Kamu mau minum sesuatu?” tawar Irina.Kevin menatap Irina, masih dengan tatapan mata tajamnya “Kamu masih belum menjawab pertanyaanku. Kenapa dia bisa di sini?”“Uumm, aku belum cerita ya? Ruko ini bekas studio foto milik Bastian. Aku ingat kalau tempatnya strategis, dan Bastian sudah pindah kantor hingga ruko ini kosong, jadinya aku memutuskan untuk menyewanya.”Kevin ternganga mendapati jawaban Irina yang jujur dan polos itu. Apa Irina tak memikirkan perasaanya? “Aku sudah bilang sama kamu, bahwa aku bisa membantumu mencarikan tempat. Tapi kamu memilih tetap di tempat ini. Sekarang aku tahu, apa alasannya.”“Aku hanya nggak mau buat kamu repot.”“Oh ya? Bukan karena agar kamu punya alasan
Kevin memberhentikan mobilnya di depan sebuah ruko besar. Dia mengamati ruko tersebut, kemudian menatap Irina dan bertanya “Jadi, di sini kamu akan menjual semua koleksimu?” Setelah kembali dari kapal, Kevin sebenarnya akan mengantarkan Irina pulang dan dia kembali ke kantornya. Namun rupanya, Irina ingin diantar ke sebuah tempat yang akan menjadi tempat kerjanya nanti. Sebuah tempat yang akan disulap Irina menjadi butik tempat dia akan menjual koleksi baju dan barang-barang branded tak terpakai miliknya.Irina tersenyum dan mengangguk “Ya. Bagaimana menurutmu tempatnya?” tanya Irina balik.Kevin mengamati sekitarnya “Bagus dan ramai. Kamu pintar cari tempat.”Irina tersenyum senang. “Aku ingat kalau tempat ini tidak terpakai. Ini milik temanku, jadi, aku menghubunginya untuk menyewanya sementara.”“Kalau kamu mau aku bisa—”“Tidak.” Irina memotong kalimat Kevin. “Aku tahu kamu bisa membelinya, tapi tempat ini tidak dijual.” Irina menjelaskan.“Apa yang kamu lakukan di sini nanti?” t
Cumbuan yang dilakukan Kevin semakin dalam, semakin menuntut, hingga akhirnya, Kevin tak mampu lagi menahan diri. Dilepaskannya tautan bibirnya pada bibir Irina, kemudian dengan napas yang masih memburu, Kevin mengajak Irina meninggalkan tempat tersebut menuju ke kamar di dalam kapal yang sudah dipersiapkan untuknya.Irina mengikuti saja kemanapun langkah kaki Kevin berjalan. Dia percaya sepenuhnya dengan pria itu, bahwa pria itu tak akan menyakitinya. Akhirnya, sampailah mereka di kamar yang sudah dipersiapkan. Irina mengamati segala penjuru ruangan. Rupanya, ruangan tersebut telah benar-benar dipersiapkan untuknya dan juga Kevin. Bahkan, tampak tertata rapi bunga-bunga di sana, membuat suasana terasa menjadi lebih romantis.“Kamu yang menyiapkan semua ini?” tanya Irina kemudian.Kevin menatap Irina dengan sungguh-sungguh. “Aku tak memiliki waktu sebanyak itu.” Irina tersenyum menanggapi jawaban Kevin. Pria itu kemudian mengulurkan jemarinya kembali menyentuh pipi Irinya, mengusapn
Jam Empat sore, Irina sudah pulang dari tempat yang dia kunjungi tadi. itu adalah sebuah tempat dimana dia akan mendirikan butik baju koleksinya. Irina bersyukur bahwa semuanya berjalan dengan lancar, dan segera mungkin dia akan mulai memindahkan koleksi-koleksi bajunya ke sana setelah tempat tersebut siap.Saat ini, Irina sedang mempersiapkan diri untuk berkencan dengan Kevin, seperti yang sudah mereka rencanakan tadi pagi. Mengingat hal itu membuat pipi Irina kembali merona seketika.Irina menggunakan gaun yang menurutnya paling bagus, merias wajahnya dengan make up secantik mungkin, bahkan dia juga menata rambutnya sendiri agar terlihat indah di mata Kevin. Ini akan menjadi kencan pertamanya dengan Kevin, dan entah kenapa Irina merasa sangat antusias.Tiba-tiba saja Irina jadi teringat tentang apa yang dikatakan ibunya dulu, bahwa Kevin akan selalu menjadi tuan muda untuknya. Irina menunduk sedih, dia menatap perutnya sendiri lalu mengusapnya dan tersenyum lembut. “Apa yang kulaku
Pagi hari, Irina sudah membuka matanya, tapi dia memutuskan untuk tak bergerak dan tetap berada dalam rengkuhan Kevin. Selain karena canggung, Irina juga ingin menikmati kebersamaannya dengan Kevin lebih lama lagi. Irina takut, jika dia bangun lalu semua kebahagiaan ini akan berakhir seperti saat itu.Irina merasakan Kevin mengeratkan pelukannya, pria itu rupanya sudah bangun, namun tampak enggang bangkit dari tidurnya.“Kamu sudah bangun?” tanya Kevin dengan suara yang serak.Irina mengangguk lembut.“Mau mandi bareng?” tawar Kevin yang segera mendapatkan tatapan penuh arti dari Irina. Irina menunduk dan tersenyum. Pada akhirnya Kevin bangkit, mengajak Irina melakukan apa yang menjadi idenya tadi.*** Setelah mandi bersama, dan hanya mandi, karena meski menginginkan tubuh Irina, Kevin cukup tahu diri untuk tidak menyentuh tubuh Irina terlebih dahulu. Irina pasti lelah, dan dia tak ingin membuat Irina semakin kelelahan. Kevin mengganti pakaiannya dengan pakaian kerja, sedangkan Ir