Dua bulan untuk persiapan pernikahan di dua kota yang berbeda ternyata cukup menguras emosi. Sesuai kesepakatan, akad dan resepsi sesi pertama akan diadakan di kota kelahiran Dinda. Untuk resepsi berikutnya akan diadakan di kota tempat Fahri menetap. Tak terasa hari menjelang pernikahan pun makin dekat. Namun, Dinda masih saja belum percaya statusnya sebagai gadis akan berganti menjadi nyonya hanya dalam hitungan hari. Makin mendekati hari besar dalam hidupnya, Dinda makin merasa bosan. Bagaimana tidak, selama masa persiapan itu hari-harinya hanya berkutat di sekitar rumah dan kamar saja. Ia tak lagi diizinkan keluar rumah sendirian tanpa alasan yang jelas. Hari ini, seperti beberapa hari sebelumnya, Dinda kembali menghabiskan waktu di dalam kamar, menonton beberapa drama seri demi untuk membunuh rasa bosan."Nda." Pintu kamar terkuak bersamaan suara ibunya memanggil. Dinda membalikkan badan dari posisi tengkurap, mendapati ibunya dengan kening berkerut. " Kok belum beberes?""Apan
Tak lama berselang, suara gumaman diselingi isakan, yang awalnya samar, terdengar makin jelas seiring terbukanya pintu kamar. Dinda buru-buru menyeka air mata yang terlanjur luruh. Menegakkan punggungnya tatkala melihat tiga orang yang saling melempar kata amarah masuk dengan wajah sarat emosi. "Waang (kamu) bikin malu keluarga, Ri!" Pamannya—Muhtar yang mulai bersuara sembari mencengkeram kerah kemeja putih dibalik beskap krem keemasan yang dikenakan Fahri. Emi yang datang dipapah Niar terisak sembari menyusut ujung matanya. "Om! Ari gugup!" Fahri mengutarakan pembelaannya. Gurat wajahnya menyiratkan apa yang ia ucapkan. "Tapi kenapa harus nama perempuan itu yang waang ingat?" Kali ini Emi yang angkat bicara di sela tangisnya. Satu tangannya menjewer kuping Fahri dengan gemas. "Baa dek bodoh bana ang, Ri!" (Kenapa bodoh sekali kau, Ri!) Kali ini cubitan Emi mendarat di bahu Fahri. Pria yang menjadi objek kekesalan paman dan ibunya itu meringis dengan wajah terlihat kesal. "Umi
Gibran menatap lama layar ponsel, menunggu balasan dari gadis yang seharusnya tersenyum bahagia di hari ini. Namun, kesalahan yang diperbuat oleh sang calon mempelai pria, membuat Gibran merasakan bahwa pernikahan mereka bukanlah didasarkan atas rasa saling suka. Rasa khawatir menghinggapi hati pemuda itu, tatkala mengingat gadis yang sudah ia relakan beberapa waktu lalu ternyata tak mendapatkan kebahagiaan seperti yang seharusnya. Gibran merasa iba pada Dinda, sekaligus geram pada sang mempelai pria. Kenapa harus pria itu yang mendapatkan Dinda. Padahal selama ini, dia lah yang telah bertahan sekian lama menunggu Dinda siap menerimanya menyatakan perasaan. Suara pembawa acara kembali memecahkan dengung suara tamu yang masih membicarakan kesalahan fatal yang dilakukan calon mempelai pria beberapa waktu lalu. Acara kembali dilanjutkan. Suasana kembali senyap, jelas terasa ketegangan di antara tetamu yang hadir. Mereka menatap cemas ke arah meja tempat mempelai kembali duduk saling be
Setelah melewati hari yang melelahkan, acara resepsi itu pun berakhir. Kini dua insan itu terjebak dalam satu ruangan yang seharusnya menjadi tempat nyaman mereka untuk beristirahat, atau mungkin saling menatap malu-malu sebagai pengantin baru. Namun, yang terjadi keduanya malah saling sibuk dengan kegiatan masing-masing. Dinda sibuk menanggalkan hiasan kepala yang beratnya hampir sama dengan berat seorang bayi baru lahir. Kesusahan seorang diri menarik tali pengikat suntiang¹ di belakang kepala tanpa berniat meminta bantuan dari Fahri. Pun, sebaliknya pemuda itu tampak tak peduli dengan kesusahan yang dialami Dinda. Ia sibuk mengumpat seorang diri membaca puluhan pesan dari para sahabatnya. Mereka yang datang menyaksikan acara akad nikah Fahri, membahas kesalahan fatal yang dilakukan Fahri siang tadi. Gustaf : Anjir lah si Ari, bisa salah sebut nama gitu! Anwar : Gue rasa ntar malam gagal MP gegara diambeg Dinda 🤣Pian : Emang enak meluk guling lagi. Padahal udaranya mendukung ba
Dinda keluar kamar mandi setelah membersihkan tubuh dan berganti pakaian. Badannya yang sedari tadi terasa lengket karena mengenakan pakaian pengantin yang cukup tebal, sedikit terasa lebih segar. Hanya saja, pegal ditubuhnya belum sepenuhnya hilang. Saat Dinda hendak kembali masuk kamar, beberapa orang sepupunya menggoda Dinda sambil tertawa cekikian. "Nda, kalau bisa jangan langsung unboxing sekarang, kamarnya nggak kedap suara," goda Meli, saudara sepupunya dari pihak ibu yang sudah berumah tangga dan memiliki satu anak balita yang lucu. "Ish! Apaan, sih, Mel!" Dinda menoyor bahu Meli dengan wajah memanas. Meli membalas kalimat Dinda dengan cekikikan tertahan. "Bilang sama si uda, jangan langsung—" Kalimat Meli terpotong karena Dinda membekap mulut sepupunya itu dengan handuk. "Berisik! Nda malam ini mau tidur, nggak ada cerita unboxing-unboxingan!"Meli mencibir mengiringi langkah Dinda yang bersungut-sungut meneruskan niatnya masuk kamar. "Astaghfirullah!" Dinda reflek menut
"Nda! Keburu siang!" Untuk ketiga kali Niar mengetuk. Dinda sontak menyikut perut Fahri karena lelaki itu masih saja bergeming dan makin mengeratkan pelukan. Fahri meringis, karena sikutan Dinda telak mengenai ulu hatinya. "Jadi perempuan nggak ada lembut-lembutnya," rutuk Fahri mengusap perutnya yang terasa nyeri. "Ish, ngomongnya aja kepaksa nikahin Nda, tapi masih aja peluk-peluk sok mesra," rutuk Dinda sembari mengikat dan menggelung rambutnya ke atas tengkuk. Sama dengan dengan yang Dinda rasakan sebelumnya, Fahri merasakan sensasi aneh mengaliri darahnya saat melihat kulit tengkuk perempuan yang telah resmi ia persunting belum 24 jam itu. Dinda terlihat berbeda tanpa kerudung yang menutup kepalanya. Rambut hitam sedikit bergelombang, terlihat kontras dengan kulitnya yang putih. Bibir tipisnya pun terlihat kemerahan, alami tanpa pewarna bibir."Uda sana buruan siap-siap ke mesjid," seru Dinda sebelum ia membuka pintu kamar dan menghilang dari balik pintu yang kembali ia tutup.
"Uda, itu SMA Nda!" tunjuk Dinda sambil menepuk punggung Fahri yang sedang mengendarai motor tua peninggalan ayah Dinda. "Nggak nanya," ketus Fahri, walaupun ia sempat sekilas menoleh ke arah bangunan yang dikelilingi pohon flamboyan yang tengah berbunga. Warna oranye dari bunga yang tengah mekar terlihat kontras di tengah kabut yang masih menggantung pagi itu. "Ini Nda juga ngasih info, jadi nggak butuh Uda nanya," sahut Dinda dengan santai. Fahri mendengkus, ia masih kesal karena Dinda memaksanya ke luar rumah menggunakan sepeda motor tua milik ayah Dinda. Padahal Fahri enggan mengendarai sepeda motor di udara yang dingin pagi itu. "Biar dilihat orang mesra, Uda. Kan kita pengantin baru," alasan Dinda sebelum mereka berangkat tadi. "Apanya yang mesra, mana nggak bisa dibawa ngebut gini," rutuk Fahri yang merasa kesal dengan laju motor yang agak tersendat-sendat karena tidak pernah diservis itu. Lalu tiba-tiba Dinda memeluk dan menempelkan kepalanya di punggung Fahri dengan ter
"Eh, Uda. Kenapa balik lagi? Kangen ya pisah dari istrinya?" goda Dinda dengan cengiran lebar. Cara Dinda mencandai suaminya, membuat Gibran iri. Padahal dia yang semenjak dulu mengharapkan Dinda menjadi pendampingnya, tetapi malah lelaki yang—bahkan menyebut namanya saja salah pada saat menjawab ijab—yang memiliki Dinda. Gibran bukan lelaki munafik yang akan mengatakan "Aku bahagia melihat kau bahagia." Bagi Gibran, kebahagiaannya adalah ketika bisa menjadikan Dinda sebagai pendampingnya. Namun, apa daya, takdir menikungnya dengan tak berperasaan. "Naik!" Fahri memberi kode ke jok penumpang di belakangnya. "Nda, pergi dulu ya, Uda. Sampai ketemu lagi kapan-kapan. Jangan lama-lama galaunya," ucap Dinda sambil melambaikan tangan dan berlari ke arah Fahri yang menunggu dengan wajah cemberut di seberang jalan. "Suaminya dibikin kesal, malah cengengesan sama laki-laki lain," sungut Fahri ketika mereka telah kembali berkendara berdua. Meninggalkan Gibran yang masih termangu menatap ke