Share

Bab 2

Pov Wisnu

Apa kamu pernah khilaf dan melakukan dosa besar? Meski sadar itu salah tapi tetap dilakukan. Hingga saat dosa itu menguap ke permukaan kehidupanmu berubah seketika.

Aku pernah. Pernah lupa diri lalu menyesal yang teramat dalam. Sampai menyalahkan diri setiap hari.

Hari itu aku mencari Alina (istriku) di rumah. Kupanggil dia berkali-kali tapi tidak ada.

"Sayang... Dik... Abang pulang... Dik..." Aku mencarinya ke kamar, ke dapur dan dia tidak ada. Mungkin ke rumah ibu atau ke rumah Shena, memang biasanya di sana lah dia berlama-lama.

Aku langsung mandi dan berganti pakaian. Lalu segera mengendarai motor untuk bertolak ke rumah ibu. Pernikahan kami berlangsung selama tiga tahun, tapi belum dikaruniai seorang anak. Tak mengapa, itu pasti ada saatnya. Aku malah bahagia karena kami bisa bulan madu berlama-lama.

Aku adalah guru olahraga di salah satu SMA. Siang tadi baru saja mengajarkan murid kelas dua belas berenang. Pemandangan anak remaja yang indah di pandang mata membuat tubuhku membara, ingin segera bertemu istri.

"Bu, istriku ada di sini?" Aku bertanya pada ibu mertua yang sedang memainkan jemuran nasi di atas nyiru.

"Istrimu tidak ada ke sini, Nu. Memangnya tak ada di rumah?"

"Tak ada," jawabku tanpa turun dari motor.

"Mungkin sedang ngerujak di rumah Shena."

"Iya, mungkin." Aku turun lalu berjalan ke rumah Shena yang hanya berjarak sepuluh meter saja. Ada kebun cengkih milik haji Arnas yang menjadi penghalang antara rumah ibu dan Shena.

Rumah Shena besar dan memiliki halaman yang luas. Tiangnya tinggi serta kokoh. Di bagian depan ada gerbang besi bercat hitam yang terbuka.

"Lin... Alina." Aku mengetuk pintu tiga kali.

Pada musim kemarau, pintu-pintu seperti menyusut. Kusen yang dibuat pas menjadi longgar. Begitu pula pintu di rumah Shena. Saat kuketuk pintu itu langsung bergerak sedikit terbuka karena longgar.

Tak dikunci? Pasti istriku ada di dalam. Pikirku.

Aku langsung mendorong pintu seukuran wajahku. Sedikit nongol ke dalam sambil memanggil nama istri. "Alina...."

Hening tak ada suara.

Aku menajamkan indra pendengaran. Kenapa sepi? di mana Alina?

Lalu dalam keheningan itu aku mendengar erangan perempuan yang nampaknya berasal dari kamar. Kupertajam lagi pendengaran. Iya, betul. Itu suara perempuan yang mungkin sedang melakukan hubungan suami istri.

Tapi siapa? Shena kan janda. Atau jangan-jangan....

Kakiku melangkah tanpa sadar. Saat itu seolah tidak ada malaikat yang menemani. Tak ada naluri yang berkata 'jangan'. Lalu entah mengapa aku malah mengintip Shena dari lubang kunci. Lalu menyaksikan Shena yang sedang kehausan sendiri.

Akal sehat dan naluriku serupa hilang. Aku mengetuk pintu, Shena keluar dengan raut kaget kemudian aku mendorongnya kembali ke kamar.

Aku datang ke sana sebagai seorang suami yang merindukan istrinya. Lalu aku kembali menjadi manusia yang telah menjelma menjadi setan.

"Kau baru saja melakukan dosa besar, Wisnu."

"Ah besok-besok kan bisa tobat."

"Kau melukai hati istrimu."

"Dia tidak akan tahu toh hanya sekali. Kasihan  Shena kehausan sendiri."

Naluri baikku selalu terpatahkan. Lama-lama aku pandai mencari alasan. Membenarkan apa yang kulakukan. Hingga semua terjadi semakin jauh. Aku sering mendatangi Shena dan Shena pun selalu memanggilku setiap dia butuh.

Suatu hari Shena melemparkan tes pack di hadapanku.

"Itu buah dari perbuatan kita selama ini." Shena berpaling dengan melipat kedua tangan di dada.

Pemandangan tes pack itu sering ditunjukkan oleh Alina. Biasanya dia menyerahkan benda itu dengan raut kecewa. "Garis satu lagi, Bang," katanya sambil tersenyum sedih.

Sekarang aku melihat garis dua di sini. Alangkah bahagia jika itu Alina yang memberikannya. Tapi ini adalah Shena, wanita yang bahkan tidak aku harapkan.

"Ta-tapi bagaimana bisa? Apa maksudmu ini anakku?"

"Ya iya lah! Kau pikir anak siapa?"

"Tidak. Tidak mungkin! Kau melakukan ini dengan orang lain juga kan?"

"Heh. Jaga mulutmu. Senakal-nakalnya aku, aku bukan p e l a c u r. Kau yang mendatangiku lebih dulu. Ingat!"

"Tapi aku suami dari kakakmu."

"Kau pikir aku lupa. Gara-gara kau aku bisa di bu nuh bapak, Bang."

"Kalau begitu gugurkan saja."

"G i l a kamu. Apa kau mau membunuhku?"

"Lalu bagaimana? Aku tidak mau punya anak darimu."

"B a j i ng a n kau, Bang!" Shena melemparkan bantal kursi tepat ke mukaku. "Kau hanya mau enaknya saja."

Berbulan bulan aku dan Shena merahasiakan kehamilan itu. Kami diliputi hari-hari menakutkan dan rasa bersalah. Setiap hari seperti siap diadili. Di empat bulan kehamilan Shena, semuanya terbongkar. Aku bahkan tidak bisa mengelak saat Alina bertanya.

Kacau. Semuanya jadi kacau. Kami diadili oleh semua keluarga besar. Lalu aku dipaksa bercerai dengan Alina dan menikahi Shena.

Aku seumpama mendorong Alina ke jurang curam. Lantas aku pun terjun bebas ke dalamnya. Tak ada yang membahagiakan dari pernikahanku dengan Shena. Dia wanita yang kasar dan tidak punya rasa hormat. Hidupku tak ada harganya di mata dia.

Alina pun begitu terpuruk. Dia sering melamun dan menangis sendiri di halaman rumah, kemudian pergi jauh menjadi TKW ke Malaysia.

Sering aku menguping pembicaraan mertua dengan anak pertamanya saat sedang teleponan. Sebatas ingin tahu jika kabarnya baik-baik saja ajar rasa bersalahku sedikit berkurang.

Sekarang tiga tahun sudah berlalu, Aku tiba-tiba melihat Alina di depan pintu.

.

Beberapa jam yang lalu.

"Bang. Kau bantu lah ibu angkat padi dari sawah. Katanya hari ini sudah beres panen." Shena menggendong anak kami yang berusia tiga tahun kurang beberapa bulan. Dia berjalan dari dapur sambil mengocok dot susu.

"Berapa karung?"

"Tau lah. Dua belas kalau tak salah." Jawab wanita berdaster itu.

"Nanti abang bantu. Tak ada kopi?" Aku melihat meja yang kosong.

"Haih. Bantu saja ibu dan minta kopi di sana." Shena bicara ketus.

Karena sekarang sedang dalam masa libur sekolah, jadi aku lebih banyak di rumah. Jam sembilan aku pergi ke sawah dan mengangkut karung-karung padi itu ke rumah.

Kaus oblong yang kucel dan celana hitam pendek adalah seragamku ke sawah. Belum satu jam pakaianku sudah basah karena keringat. Bau dan kotor, itulah aku hari ini.

Ini karung terakhir, kuangkat benda itu ke atas punggung lalu langsung membawa ke gudang penyimpanan, sebuah ruang paling ujung di rumah mertua. Berdekatan dengan dapur dan kamar mandi.

"Sudah semua, Nu?" Ibu mertua bertanya sambil memasak.

"Sudah, Bu."

"Kau jangan langsung pulang. Makan saja di sini."

"Aku makan di sawah saja bareng sama yang lain." Aku berjalan ke depan rumah untuk kembali ke sawah. Tapi pemandangan di pintu menghadang langkahku.

Seorang wanita putih berdiri. Memakai rok lebar berwarna biru. Atasan senada dan kerudung pendek melingkar leher.

Aku terdiam mematung.

"Alina... "

Alina mengernyit. Rautnya jadi tegang dan dia mundur beberapa langkah.

"Siapa yang bertamu?" Ibu mengikuti dari dapur.

"Allah gusti... Alina... itu kamu nak?"

Bersambung....

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Potato Peach
seruuu bgt ceritanya
goodnovel comment avatar
Ratna Wirlini
woow seru bangat ceritanya lanjut dong bikin penasaran
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status