Share

Bab 2

Auteur: Nendia
last update Dernière mise à jour: 2022-11-30 16:37:54

Pov Wisnu

Apa kamu pernah khilaf dan melakukan dosa besar? Meski sadar itu salah tapi tetap dilakukan. Hingga saat dosa itu menguap ke permukaan kehidupanmu berubah seketika.

Aku pernah. Pernah lupa diri lalu menyesal yang teramat dalam. Sampai menyalahkan diri setiap hari.

Hari itu aku mencari Alina (istriku) di rumah. Kupanggil dia berkali-kali tapi tidak ada.

"Sayang... Dik... Abang pulang... Dik..." Aku mencarinya ke kamar, ke dapur dan dia tidak ada. Mungkin ke rumah ibu atau ke rumah Shena, memang biasanya di sana lah dia berlama-lama.

Aku langsung mandi dan berganti pakaian. Lalu segera mengendarai motor untuk bertolak ke rumah ibu. Pernikahan kami berlangsung selama tiga tahun, tapi belum dikaruniai seorang anak. Tak mengapa, itu pasti ada saatnya. Aku malah bahagia karena kami bisa bulan madu berlama-lama.

Aku adalah guru olahraga di salah satu SMA. Siang tadi baru saja mengajarkan murid kelas dua belas berenang. Pemandangan anak remaja yang indah di pandang mata membuat tubuhku membara, ingin segera bertemu istri.

"Bu, istriku ada di sini?" Aku bertanya pada ibu mertua yang sedang memainkan jemuran nasi di atas nyiru.

"Istrimu tidak ada ke sini, Nu. Memangnya tak ada di rumah?"

"Tak ada," jawabku tanpa turun dari motor.

"Mungkin sedang ngerujak di rumah Shena."

"Iya, mungkin." Aku turun lalu berjalan ke rumah Shena yang hanya berjarak sepuluh meter saja. Ada kebun cengkih milik haji Arnas yang menjadi penghalang antara rumah ibu dan Shena.

Rumah Shena besar dan memiliki halaman yang luas. Tiangnya tinggi serta kokoh. Di bagian depan ada gerbang besi bercat hitam yang terbuka.

"Lin... Alina." Aku mengetuk pintu tiga kali.

Pada musim kemarau, pintu-pintu seperti menyusut. Kusen yang dibuat pas menjadi longgar. Begitu pula pintu di rumah Shena. Saat kuketuk pintu itu langsung bergerak sedikit terbuka karena longgar.

Tak dikunci? Pasti istriku ada di dalam. Pikirku.

Aku langsung mendorong pintu seukuran wajahku. Sedikit nongol ke dalam sambil memanggil nama istri. "Alina...."

Hening tak ada suara.

Aku menajamkan indra pendengaran. Kenapa sepi? di mana Alina?

Lalu dalam keheningan itu aku mendengar erangan perempuan yang nampaknya berasal dari kamar. Kupertajam lagi pendengaran. Iya, betul. Itu suara perempuan yang mungkin sedang melakukan hubungan suami istri.

Tapi siapa? Shena kan janda. Atau jangan-jangan....

Kakiku melangkah tanpa sadar. Saat itu seolah tidak ada malaikat yang menemani. Tak ada naluri yang berkata 'jangan'. Lalu entah mengapa aku malah mengintip Shena dari lubang kunci. Lalu menyaksikan Shena yang sedang kehausan sendiri.

Akal sehat dan naluriku serupa hilang. Aku mengetuk pintu, Shena keluar dengan raut kaget kemudian aku mendorongnya kembali ke kamar.

Aku datang ke sana sebagai seorang suami yang merindukan istrinya. Lalu aku kembali menjadi manusia yang telah menjelma menjadi setan.

"Kau baru saja melakukan dosa besar, Wisnu."

"Ah besok-besok kan bisa tobat."

"Kau melukai hati istrimu."

"Dia tidak akan tahu toh hanya sekali. Kasihan  Shena kehausan sendiri."

Naluri baikku selalu terpatahkan. Lama-lama aku pandai mencari alasan. Membenarkan apa yang kulakukan. Hingga semua terjadi semakin jauh. Aku sering mendatangi Shena dan Shena pun selalu memanggilku setiap dia butuh.

Suatu hari Shena melemparkan tes pack di hadapanku.

"Itu buah dari perbuatan kita selama ini." Shena berpaling dengan melipat kedua tangan di dada.

Pemandangan tes pack itu sering ditunjukkan oleh Alina. Biasanya dia menyerahkan benda itu dengan raut kecewa. "Garis satu lagi, Bang," katanya sambil tersenyum sedih.

Sekarang aku melihat garis dua di sini. Alangkah bahagia jika itu Alina yang memberikannya. Tapi ini adalah Shena, wanita yang bahkan tidak aku harapkan.

"Ta-tapi bagaimana bisa? Apa maksudmu ini anakku?"

"Ya iya lah! Kau pikir anak siapa?"

"Tidak. Tidak mungkin! Kau melakukan ini dengan orang lain juga kan?"

"Heh. Jaga mulutmu. Senakal-nakalnya aku, aku bukan p e l a c u r. Kau yang mendatangiku lebih dulu. Ingat!"

"Tapi aku suami dari kakakmu."

"Kau pikir aku lupa. Gara-gara kau aku bisa di bu nuh bapak, Bang."

"Kalau begitu gugurkan saja."

"G i l a kamu. Apa kau mau membunuhku?"

"Lalu bagaimana? Aku tidak mau punya anak darimu."

"B a j i ng a n kau, Bang!" Shena melemparkan bantal kursi tepat ke mukaku. "Kau hanya mau enaknya saja."

Berbulan bulan aku dan Shena merahasiakan kehamilan itu. Kami diliputi hari-hari menakutkan dan rasa bersalah. Setiap hari seperti siap diadili. Di empat bulan kehamilan Shena, semuanya terbongkar. Aku bahkan tidak bisa mengelak saat Alina bertanya.

Kacau. Semuanya jadi kacau. Kami diadili oleh semua keluarga besar. Lalu aku dipaksa bercerai dengan Alina dan menikahi Shena.

Aku seumpama mendorong Alina ke jurang curam. Lantas aku pun terjun bebas ke dalamnya. Tak ada yang membahagiakan dari pernikahanku dengan Shena. Dia wanita yang kasar dan tidak punya rasa hormat. Hidupku tak ada harganya di mata dia.

Alina pun begitu terpuruk. Dia sering melamun dan menangis sendiri di halaman rumah, kemudian pergi jauh menjadi TKW ke Malaysia.

Sering aku menguping pembicaraan mertua dengan anak pertamanya saat sedang teleponan. Sebatas ingin tahu jika kabarnya baik-baik saja ajar rasa bersalahku sedikit berkurang.

Sekarang tiga tahun sudah berlalu, Aku tiba-tiba melihat Alina di depan pintu.

.

Beberapa jam yang lalu.

"Bang. Kau bantu lah ibu angkat padi dari sawah. Katanya hari ini sudah beres panen." Shena menggendong anak kami yang berusia tiga tahun kurang beberapa bulan. Dia berjalan dari dapur sambil mengocok dot susu.

"Berapa karung?"

"Tau lah. Dua belas kalau tak salah." Jawab wanita berdaster itu.

"Nanti abang bantu. Tak ada kopi?" Aku melihat meja yang kosong.

"Haih. Bantu saja ibu dan minta kopi di sana." Shena bicara ketus.

Karena sekarang sedang dalam masa libur sekolah, jadi aku lebih banyak di rumah. Jam sembilan aku pergi ke sawah dan mengangkut karung-karung padi itu ke rumah.

Kaus oblong yang kucel dan celana hitam pendek adalah seragamku ke sawah. Belum satu jam pakaianku sudah basah karena keringat. Bau dan kotor, itulah aku hari ini.

Ini karung terakhir, kuangkat benda itu ke atas punggung lalu langsung membawa ke gudang penyimpanan, sebuah ruang paling ujung di rumah mertua. Berdekatan dengan dapur dan kamar mandi.

"Sudah semua, Nu?" Ibu mertua bertanya sambil memasak.

"Sudah, Bu."

"Kau jangan langsung pulang. Makan saja di sini."

"Aku makan di sawah saja bareng sama yang lain." Aku berjalan ke depan rumah untuk kembali ke sawah. Tapi pemandangan di pintu menghadang langkahku.

Seorang wanita putih berdiri. Memakai rok lebar berwarna biru. Atasan senada dan kerudung pendek melingkar leher.

Aku terdiam mematung.

"Alina... "

Alina mengernyit. Rautnya jadi tegang dan dia mundur beberapa langkah.

"Siapa yang bertamu?" Ibu mengikuti dari dapur.

"Allah gusti... Alina... itu kamu nak?"

Bersambung....

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Commentaires (3)
goodnovel comment avatar
Nina Cake
ini sih ipar adal maut..hehehe
goodnovel comment avatar
Potato Peach
seruuu bgt ceritanya
goodnovel comment avatar
Ratna Wirlini
woow seru bangat ceritanya lanjut dong bikin penasaran
VOIR TOUS LES COMMENTAIRES

Latest chapter

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 26.b

    Di usianya yang tak muda lagi, terlalu berisiko untuk melahirkan kembar dengan normal. Maka caesar sudah dijadwalkan sejak awal kehamilannya. . Di sana mereka sekarang. Di ruang operasi. Arasya duduk di samping Alina dan menggenggam tangannya sambil bercerita. Sementara di bagian perut, dokter sedang membedahnya. "Anak kita sudah terlihat belum?" tanya Alina. "Tak, Abang tak nak lihat," ujarnya dengan menggeleng. Namun, usahanya untuk tidak melihat kondisi perut sang istri goyah saat terdengar jeritan bayi. Satu laki-laki, satu perempuan. Alina mendapatkan dua sekaligus. Arasya memandang dua keturunannya lagi dengan tatapan haru. Lalu dengan bantuan dokter, dua bayi itu didekatkan dengan ibunya. "Akhirnya aku bisa punya anak dari rahim sendiri." Tahapan-tahapan memiliki keturunan itu selalu membuatnya menangis. "Adik langsung dapat dua." "Ya," katanya dengan berlinang air mata. Arasya kemudian mengusap basah di pipi Alina. "Nak Abang beri nama apa?" "Dia, nak Abang beri nam

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 26.a

    Dua tahun kemudian. Kursi-kursi berpita kuning berbaris rapi. Menghadap ke panggung kayu setinggi satu meter. Karpet merah terhampar. Dua sofa dan bunga-bunga hiasan mengisi mimbar. Ada layar putih dan baliho besar di belakangnya. Orang-orang mulai mengisi kursi. Mengapit buku yang konon meledak di tahun ini. Mereka mengobrol sambil sesekali membahas isi buku itu. Pembawa acara mengisi sofa, diikuti oleh seorang wanita bercadar dengan pakaian hitam-hitam. Lalu acara pun dimulai. “Terima kasih hadirin semua yang sudah berkumpul di tempat ini. Sebagai mana kita ketahui, bahwa hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Seorang penulis yang novelnya meledak di tahun ini. Luar biasanya, novelnya lebih dulu dikenal di negeri tetangga. Padahal beliau ini asli warga Indonesia. Kita patut berbangga.” Pembawa Acara bertepuk tangan dan para pengunjung pun ikut memberi aplus. Perempuan berkerudung lebar itu melanjutkan bicara, memberi sambutan-sambutan, lalu memperkenalkan siapa tamu istimewa it

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 25.b

    Abang melirik dan tersenyum. "Semakin pintar awak." Dia memainkan rambut di pucuk kepalaku. "Tentu." Aku memicing. "Sekarang coba sebutkan, apa yang harus saya lakukan agar kesedihan Abang bisa terobati." Aku tengkurap dan mengangkat wajah. Memandang dia dengan serius. Tangan kanannya yang masih ada di kepala langsung pindah ke pipi. "Berjanji lah tuk tak tinggalkan Abang. Abang hanya punya separuh napas. Abang tak bisa kehilangan separuhnya lagi. Bila Allah meridhoi, Abang berharap Abang je yang mati duluan, jangan awak. Abang tak kan bisa." Aku menautkan jari-jari tangan kami. "Kita kan menua bersama. Melihat anak-anak tumbuh sehat dan jadi orang-orang yang besar. Kita kan saling menjaga sampai tua. Hmmm...?" Aku mengubah posisi lagi menjadi berbaring di lengannya. "Saya akan berdoa, Abang menghadap Illahi sehari lebih cepat dari pada saya. Biar saya bisa melakukan apa yang Abang lakukan pada Aisha. Begitu adil bukan?" "Tu terdengar baik." "Tugas kita sekarang adalah mengumpul

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 25.a

    POV Alina. Kadang memang masih ada rasa cemburu ketika melihat Aisha bersama Bang Rasya. Namun, tak sedikit pun berharap hal buruk terjadi padanya. Dia telah memberi kehangatan yang berbeda. Rumah ini jadi lebih ramai dan berwarna. Hati ikut miris ketika abang pulang dari rumah sakit dengan membawa Aisha yang sudah tak berdaya. Dia duduk di kursi roda dan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa bicara. Rasa cemburu yang kadang masih ada itu hilang begitu saja, malah berganti iba. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat Bang Rasya mengurus Aisha dengan begitu telaten. Dari memandikan, menyuapi, bahkan membersihkan kotorannya. Di sana dia terlihat begitu penyayang dan bertanggung jawab. Hingga aku merasa tak ada alasan untuk menjauh darinya lagi. 'Abang... jika lelah datang saja padaku. Saya di sini akan membuang kelelahanmu. Kasih sayangmu pada Aisha biarlah saya yang membalasnya.' Hanya tiga hari, Aisha bertahan di rumah. Lalu pergi untuk selamanya di malam itu. Malam yang paling ba

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 24.b

    Sore, di hari Kamis. Aku membawa Aisha ke kamar mandi. Mendudukkannya di atas bathtub. Lalu memandikannya. Mengisi bathtub dengan banyak air hangat dan sabun. Aku membersihkan tubuhnya dari kepala sampai kaki. Tiga hari di rumah sakit dan tiga hari di rumah, aku yang selalu merawatnya."Ingat tak, kita suka mandi bersama?" kataku sambil menggosok tangannya."Kapan?""Dulu.""Lupa.""Biar Abang ingatkan." Aku membersihkan badannya sambil bercerita juga berurai air mata. Tubuh Aisha masih dalam pemulihan pasca melahirkan. Napasku sakit lagi saat menyentuh area-area sensitifnya yang belum sembuh benar. Dadanya masih keluar asi untuk buah hati kami.Alina masuk kamar mandi, menghampiri. Dia mengusap rambut dan pundak Aisha, lalu telapak tangannya yang sudah keriput karena terlalu lama di air."Sudah, Abang, terlalu lama," kata Alina. Lalu dengan dibantu Alina, aku membersihkan tubuhnya.Kubaringkan dia di tempat tidur lalu memakaikan pakaian dengan hati-hati. Setidaknya itu pelayanan tera

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 24.a

    Pov Teuku ArasyaDalam waktu dua minggu, sudah dua kali aku singgah di rumah sakit ini. Pertama, untuk menyambut kehidupan, setiap sudut ruang rawat seakan indah sampai suhu terasa hangat.Kedua, untuk kesakitan. Rasa keputusasaan membuat tempat ini serupa gelap, kelam, dan dingin.Aisha berbaring tak sadarkan diri. Alat-alat medis mengelilinginya. Tiang infus menggantung. Mesin pendeteksi detak jantung berjalan dan mengeluarkan suara “Tit! Tit! Tit!” Dengan teratur.Dadaku serupa dihantam godam, saat melihat tubuh Aisha bergetar hebat. Napasku jadi sakit dan sesak, rasanya persis dengan dulu, saat aku berdiri di antara puing-puing gempa dan memanggil-manggil namanya. “Aisha… Aisha… Aisha….”Kemarin, aku masih yakin, dia yang kadang bersikap menyebalkan dan menguji emosi akan menemaniku sampai tua. Namun… hari ini… saat dokter memvonis usianya, aku baru menyadari satu hal, ternyata sesakit ini rasa kehilangan. Sama persis dengan bertahun-tahun yang pernah kulalui. Bahkan helaan napas

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 23.b

    Hari itu, Alina mengajak bicara. Tepat sehari setelah aku memeriksakan kondisi kesehatan ke dokter. Alina menyayangkan sikapku yang angkuh ini, dia juga menyayangkan karena aku memilih bersembunyi selama dua tahun.Aku terdiam dan memikirkan semuanya. Andai saat itu kami bertemu pun, hal baik apa yang akan terjadi? Apa dia akan meninggalkan istrinya demi aku? Itu dholim. Dan tentu aku tidak akan mengijinkannya. Ini memang buah simalakama. Bagaimana pun jalannya pasti pahit.Lalu tentang sikap angkuhku ini. Memangnya aku harus bagaimana? Menerima semua kepahitan ini begitu saja?Kupikir, sosok istri Bang Rasya itu wanita yang amat takut kehilangan suaminya. Tapi anggapanku berubah di pertemuan pertama, karena dia malah menceritakan betapa Bang Rasya terluka gara-gara kehilanganku. Alina memberi buku catatan hati Bang Rasya selama kami terpisahkan. Dari pertemuan itu kupikir jika Alina mungkin perempuan bercadar yang taat dan patuh pada syariat Nabi, termasuk tentang poligami. Sementara

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 23.a

    Pov AishaAku adalah seorang anak dari ustadz kondang di Aceh. Saat usiaku dua puluh tahun, usia Abi sudah lebih dari 60 tahun. Beliau memang telat memiliki anak karena semangatnya mencari ilmu. Di antara Ustadz Firman dan Aba Umar, abiku paling tua, dan paling dihormati. Abiku termasuk orang yang disegani di Aceh karena keilmuannya. Terlebih bagaimana nama besarnya di khalayak umum, bagiku beliau tetap saja seorang ayah. Ayah yang sangat lembut dan penyayang.Sementara Umi, bunda tercintaku itu keturunan timur tengah. Beliau hanya ibu rumah tangga biasa. Ia sangat cantik, tapi kecantikannya hanya bisa dilihat olehku dan Abi. Umiku selayaknya wanita timur tengah yang kuat, kokoh, dan tidak mudah terpengaruh pendapat orang.Kami menempati sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas. Bukan tak mampu untuk bergaya hidup mewah. Rezeki kami melimpah meski hanya dari ceramah. Tapi hidup Abi sudah didedikasikan untuk umat. Jadi kami bergaya sederhana saja. Sodakoh sebanyak-banyaknya.Dar

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 22.b

    Selama Abang berbicara dengan Aisha aku menutup mata dan telinga. Berusaha tak mendengar dan melihat. Panasnya rasa cemburu ini tetap ada. Ukurannya kadang naik kadang turun. Sekarang ini sedang naik. Karena mereka seperti keluarga yang sempurna. Tapi aku sudah memutuskan untuk kuat menahannya. Ini komitmen dari sebuah pilihan. Baby Aisha dibawa kembali ke ruangan. Dokter mengatakan semuanya baik. Bayi itu pun berpindah dari tangan dokter padaku. Abang melihatnya dengan pandangan yang sulit dijabarkan. Berkaca-kaca karena haru, bahagia, dan suka, mungkin. “Benar dia laki-laki?” tanyanya. Pada Awalnya Abang berharap dia anak perempuan. Setelah beberapa kali USG, hasilnya laki-laki. Meski begitu, dia masih berharap kalau anak ini perempuan. Harapan itu musnah hari ini. “Kalau ingin perempuan nanti dari Alin,” kata Aisha. “Mungkin tidak.” Aku menggeleng. “Jangan cakap macam tu, Insya Allah,” timpal Abang. “Nak gendong?” Aku menawarkan. “Abang tak berani.” “Adzankan saja.” Aku

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status