Pov Wisnu
Apa kamu pernah khilaf dan melakukan dosa besar? Meski sadar itu salah tapi tetap dilakukan. Hingga saat dosa itu menguap ke permukaan kehidupanmu berubah seketika.
Aku pernah. Pernah lupa diri lalu menyesal yang teramat dalam. Sampai menyalahkan diri setiap hari.
Hari itu aku mencari Alina (istriku) di rumah. Kupanggil dia berkali-kali tapi tidak ada.
"Sayang... Dik... Abang pulang... Dik..." Aku mencarinya ke kamar, ke dapur dan dia tidak ada. Mungkin ke rumah ibu atau ke rumah Shena, memang biasanya di sana lah dia berlama-lama.
Aku langsung mandi dan berganti pakaian. Lalu segera mengendarai motor untuk bertolak ke rumah ibu. Pernikahan kami berlangsung selama tiga tahun, tapi belum dikaruniai seorang anak. Tak mengapa, itu pasti ada saatnya. Aku malah bahagia karena kami bisa bulan madu berlama-lama.
Aku adalah guru olahraga di salah satu SMA. Siang tadi baru saja mengajarkan murid kelas dua belas berenang. Pemandangan anak remaja yang indah di pandang mata membuat tubuhku membara, ingin segera bertemu istri.
"Bu, istriku ada di sini?" Aku bertanya pada ibu mertua yang sedang memainkan jemuran nasi di atas nyiru.
"Istrimu tidak ada ke sini, Nu. Memangnya tak ada di rumah?"
"Tak ada," jawabku tanpa turun dari motor.
"Mungkin sedang ngerujak di rumah Shena."
"Iya, mungkin." Aku turun lalu berjalan ke rumah Shena yang hanya berjarak sepuluh meter saja. Ada kebun cengkih milik haji Arnas yang menjadi penghalang antara rumah ibu dan Shena.
Rumah Shena besar dan memiliki halaman yang luas. Tiangnya tinggi serta kokoh. Di bagian depan ada gerbang besi bercat hitam yang terbuka.
"Lin... Alina." Aku mengetuk pintu tiga kali.
Pada musim kemarau, pintu-pintu seperti menyusut. Kusen yang dibuat pas menjadi longgar. Begitu pula pintu di rumah Shena. Saat kuketuk pintu itu langsung bergerak sedikit terbuka karena longgar.
Tak dikunci? Pasti istriku ada di dalam. Pikirku.
Aku langsung mendorong pintu seukuran wajahku. Sedikit nongol ke dalam sambil memanggil nama istri. "Alina...."
Hening tak ada suara.
Aku menajamkan indra pendengaran. Kenapa sepi? di mana Alina?
Lalu dalam keheningan itu aku mendengar erangan perempuan yang nampaknya berasal dari kamar. Kupertajam lagi pendengaran. Iya, betul. Itu suara perempuan yang mungkin sedang melakukan hubungan suami istri.
Tapi siapa? Shena kan janda. Atau jangan-jangan....
Kakiku melangkah tanpa sadar. Saat itu seolah tidak ada malaikat yang menemani. Tak ada naluri yang berkata 'jangan'. Lalu entah mengapa aku malah mengintip Shena dari lubang kunci. Lalu menyaksikan Shena yang sedang kehausan sendiri.
Akal sehat dan naluriku serupa hilang. Aku mengetuk pintu, Shena keluar dengan raut kaget kemudian aku mendorongnya kembali ke kamar.
Aku datang ke sana sebagai seorang suami yang merindukan istrinya. Lalu aku kembali menjadi manusia yang telah menjelma menjadi setan.
"Kau baru saja melakukan dosa besar, Wisnu."
"Ah besok-besok kan bisa tobat."
"Kau melukai hati istrimu."
"Dia tidak akan tahu toh hanya sekali. Kasihan Shena kehausan sendiri."
Naluri baikku selalu terpatahkan. Lama-lama aku pandai mencari alasan. Membenarkan apa yang kulakukan. Hingga semua terjadi semakin jauh. Aku sering mendatangi Shena dan Shena pun selalu memanggilku setiap dia butuh.
Suatu hari Shena melemparkan tes pack di hadapanku.
"Itu buah dari perbuatan kita selama ini." Shena berpaling dengan melipat kedua tangan di dada.
Pemandangan tes pack itu sering ditunjukkan oleh Alina. Biasanya dia menyerahkan benda itu dengan raut kecewa. "Garis satu lagi, Bang," katanya sambil tersenyum sedih.
Sekarang aku melihat garis dua di sini. Alangkah bahagia jika itu Alina yang memberikannya. Tapi ini adalah Shena, wanita yang bahkan tidak aku harapkan.
"Ta-tapi bagaimana bisa? Apa maksudmu ini anakku?"
"Ya iya lah! Kau pikir anak siapa?"
"Tidak. Tidak mungkin! Kau melakukan ini dengan orang lain juga kan?"
"Heh. Jaga mulutmu. Senakal-nakalnya aku, aku bukan p e l a c u r. Kau yang mendatangiku lebih dulu. Ingat!"
"Tapi aku suami dari kakakmu."
"Kau pikir aku lupa. Gara-gara kau aku bisa di bu nuh bapak, Bang."
"Kalau begitu gugurkan saja."
"G i l a kamu. Apa kau mau membunuhku?"
"Lalu bagaimana? Aku tidak mau punya anak darimu."
"B a j i ng a n kau, Bang!" Shena melemparkan bantal kursi tepat ke mukaku. "Kau hanya mau enaknya saja."
Berbulan bulan aku dan Shena merahasiakan kehamilan itu. Kami diliputi hari-hari menakutkan dan rasa bersalah. Setiap hari seperti siap diadili. Di empat bulan kehamilan Shena, semuanya terbongkar. Aku bahkan tidak bisa mengelak saat Alina bertanya.
Kacau. Semuanya jadi kacau. Kami diadili oleh semua keluarga besar. Lalu aku dipaksa bercerai dengan Alina dan menikahi Shena.
Aku seumpama mendorong Alina ke jurang curam. Lantas aku pun terjun bebas ke dalamnya. Tak ada yang membahagiakan dari pernikahanku dengan Shena. Dia wanita yang kasar dan tidak punya rasa hormat. Hidupku tak ada harganya di mata dia.
Alina pun begitu terpuruk. Dia sering melamun dan menangis sendiri di halaman rumah, kemudian pergi jauh menjadi TKW ke Malaysia.
Sering aku menguping pembicaraan mertua dengan anak pertamanya saat sedang teleponan. Sebatas ingin tahu jika kabarnya baik-baik saja ajar rasa bersalahku sedikit berkurang.
Sekarang tiga tahun sudah berlalu, Aku tiba-tiba melihat Alina di depan pintu.
.
Beberapa jam yang lalu.
"Bang. Kau bantu lah ibu angkat padi dari sawah. Katanya hari ini sudah beres panen." Shena menggendong anak kami yang berusia tiga tahun kurang beberapa bulan. Dia berjalan dari dapur sambil mengocok dot susu.
"Berapa karung?"
"Tau lah. Dua belas kalau tak salah." Jawab wanita berdaster itu.
"Nanti abang bantu. Tak ada kopi?" Aku melihat meja yang kosong.
"Haih. Bantu saja ibu dan minta kopi di sana." Shena bicara ketus.
Karena sekarang sedang dalam masa libur sekolah, jadi aku lebih banyak di rumah. Jam sembilan aku pergi ke sawah dan mengangkut karung-karung padi itu ke rumah.
Kaus oblong yang kucel dan celana hitam pendek adalah seragamku ke sawah. Belum satu jam pakaianku sudah basah karena keringat. Bau dan kotor, itulah aku hari ini.
Ini karung terakhir, kuangkat benda itu ke atas punggung lalu langsung membawa ke gudang penyimpanan, sebuah ruang paling ujung di rumah mertua. Berdekatan dengan dapur dan kamar mandi.
"Sudah semua, Nu?" Ibu mertua bertanya sambil memasak.
"Sudah, Bu."
"Kau jangan langsung pulang. Makan saja di sini."
"Aku makan di sawah saja bareng sama yang lain." Aku berjalan ke depan rumah untuk kembali ke sawah. Tapi pemandangan di pintu menghadang langkahku.
Seorang wanita putih berdiri. Memakai rok lebar berwarna biru. Atasan senada dan kerudung pendek melingkar leher.
Aku terdiam mematung.
"Alina... "
Alina mengernyit. Rautnya jadi tegang dan dia mundur beberapa langkah.
"Siapa yang bertamu?" Ibu mengikuti dari dapur.
"Allah gusti... Alina... itu kamu nak?"
Bersambung....
Deg! Jantungku serupa berhenti saat melihat wajah siapa yang muncul di dalam sana.Orang yang tidak ingin kutemui malah pertama terlihat.Aku mundur beberapa langkah. Hal yang manis dan pahit berkelebat lagi bersama raut wajah itu. Ingin rasanya berlari, tapi akal sehat masih menaungi.Tenang Alina. Dia hanya masa lalu. Lupakan, lupakan."Allah gusti... Alina... itu kamu, Nak?" Ibu berdiri di belakang Bang Wisnu. Beliau langsung mendekatiku dan menyentuh kedua tangan. "Ini benar anak ibu? Alina?" Ibu menyentuh pipiku."Iya, Bu. Ini Alina.""Allahu Rabbi... Kamu pulang.... " Ibu menangis tersedu. Beliau memelukku dan semakin tergugu.Aku tersenyum, memeluk ibu dan mengusap punggungnya. "Iya, Bu. Alina pulang." Air mataku menggantung.Ibu terisak-isak sampai kesulitan bernapas. Beliau melonggarkan pelukan lalu meraba lagi wajahku."Ibu, kangen sekali. Ini betulan ibu tidak mimpi?" Ibu menengok ke belakang, seolah meminta jawaban pada Bang Wisnu. Yang diajak bicara hanya diam mematung."
Pov WisnuIbu mertua langsung memeluk anak sulungnya. Mereka berpelukan di luar. Sementara aku hanya diam berdiri.Lama aku tidak bertemu dengan Alina. Tapi sekarang aku masih merasa jika dia istriku, dia milikku, dan aku telah melukainya.Seandainya aku bisa kuputar lagi waktu. Tidak akan pernah kulakukan dosa itu. Sungguh hanya kenikmatan yang sesaat, kemudian membawa penyesalan yang tidak berkesudahan.Menikah bukan hanya tentang memenuhi hawa nafsu, lebih dari itu yang membahagiakan adalah: saling menghormati, menjaga, mencintai, dan saling peduli.Aku mendapatkan itu dari Alina. Senyuman manis yang menyambut dikala pulang mengajar. Wajah ceria dan penuh syukur saat kuberi uang yang tak seberapa. Raut wajah khawatir saat aku terluka sedikit saja.Sering kali aku pulang dalam keadaan badan yang pegal karena terlalu banyak olahraga. Lalu Alina memijat tubuhku. Setelahnya kami bercanda manis sekali.Dulu anugerah itu terasa biasa. Sekarang, setelah aku tidak mendapatkan itu dari Shen
Pov Alina.Aku menutup mulut saat melihat Shena memukuli Bang Wisnu. Ya Allah ... aku dulu bahkan tidak berani bicara dengan nada tinggi. Ini pemandangan apa? Apa seperti ini cara mereka berumah tangga?Aku meringis ketika lidi itu mendarat di pantat Bang Wisnu lagi dan lagi. Bang Wisnu dan Shena pergi sambil terus bertengkar."Kenapa mereka, Bu?" Aku mengernyit heran.Ibu menghela napas dan menggeleng pasrah. "Mereka sering bertengkar seperti itu."“Astaghfilullah.” Aku mengelus dada. "Seperti itu? Apa tak malu dilihat tetangga?""Ibu saja sekarang sudah kebal. Kebal dari rasa malu. Sudah pasrah, terserah mereka mau bagaimana."Aku mengelus dada lagi. Bang Wisnu pria yang sensitif kalau harga dirinya direndahkan. Bersama Shena dia bukan direndahkan lagi, malah dipukul depan umum. Apa mungkin itu buah dari perbuatannya? Bang Wisnu memang tidak punya harga diri, kan?"Ayo kita masuk lagi." Bapak mengajak kembali ke dalam rumah. Aku dan ibu mengikuti.Pria yang memakai sarung itu langsu
"Sadar diri saja!" Perkataan Alina menancap di kepala. Dari nadanya aku dapat mengerti kalau dia amat benci.Aku menghela napas panjang. Dari kejauhan adzan Asar berkumandang. Aku berlama-lama merenungi diri di pos ronda.Jauh di lubuk hati, sebenarnya aku ingin kami kembali. Berumah tangga dengan Alina seperti dulu kala. Namun kini rasanya tak mungkin.Aku menggeleng kecil sambil memikirkannya.Otakku ini seperti kodok yang meloncat-loncat dari satu adegan ke adegan lain. Alina yang berdiri di depanku dengan pandangan mata yang menyala. "Di rumah ini ada yang bukan muhrimmu. Jadi TOLONG. Gunakan etika!" Teriak dia yang sudah berganti pakaian.Menit sebelumnya kumelihat dia dengan pakaian pendek lalu dengan sekejap berganti jadi serba tertutup. Dia menutupi auratnya padahal aku sudah mengetahui luar dan dalam.Aurat?Muhrim?Tunggu Wisnu, bukankah ada yang salah di sana? Sisi hatiku berbicara. Kemudian aku menyusuri setiap ingatan dalam kepala. Benar sepertinya ada yang salah.Dulu ke
Pov Alina Aku dan ibu masak besar. Daging, sayur, lalapan... semua ada. Bahkan kupersiapkan makanan kesukaannya: roti canai. Dapur kecil yang kurang resik ini dipenuhi banyak aneka bahan makanan, berserakan di meja dan lantai. "Apa kita tidak harus masak masakan Malaysia?" Suara spatula bertemu wajan besi menjadi musik pengiring kalimat ibu. Beliau sedang memasak daging. Harum lengkuas dan bumbu rempah lainnya menguar di sini. Aku mencuci daun bawang dan mengirisnya. "Untuk apa jauh-jauh datang ke Indonesia kalau mau makan makanan Malaysia. Justru karena ini Indonesia kita harus menyediakan yang berbeda." "Kalau dia tak suka bagaimana?" "Ya, terserah. Itu kan yang ingin kita lihat. Bagaimana cara dia menyikapi perbedaan yang ada." Ibu menghentikan gerak tangannya. Suara spatula bertemu wajan berhenti, berganti jadi nada letupan air kuah daging. Beberapa detik ibu bengong melamun. "Kalau laki-laki itu pria yang pantas, kamu akan pergi jauh dari ibu lagi." "Alina lebih baik pergi
Matahari telah terbenam meninggalkan warna biru langit yang cerah. Adzan Magrib berkumandang dari segara arah. Hilir angin sejuk menyapa wajah.Kami bukan keluarga dengan tingkat keimanan tinggi. Bapak jarang pergi ke masjid, dan kami pun tidak berjamaah di rumah. Shalat hanya sendiri-sendiri. Bapakku hanya petani yang menghabiskan waktu dari pagi sampai sore. Sering meninggalkan kewajiban lima waktu. Aku pun tidak berani menegur karena segan. Ah, lagi pula imanku pas-pasan hanya saat lagi banyak ujian saja aku berlama-lama menghadap Tuhan, bagai mana bisa meluruskan orang tua.Bang Rasya sudah mandi di WC kami yang jelek, pintunya lapuk dan temboknya tergerus waktu. Maklum, bangunan ini memang sudah lama."Masjid kat mane, Dik." Bang Rasya berdiri depan kamar yang kami sediakan. Dia memakai koko dan sarung, lengkap dengan kopiah. Wajahnya bercahaya, segar, juga harum. Mana ada yang mengira dia sopir."Agak jauh, Bang. Abang bisa pilih yang kanan jalan atau yang kiri jalan. Jaraknya h
Pov WisnuSore hari di teras rumah.Aku duduk dengan kedua tangan menarik lutut. Mata tertuju pada jeep merah yang terparkir cantik.Pemilik mobil itu mengaku sebagai calon suaminya Alina. Pasti dia bukan orang yang biasa. Dari penampilan dan kendaraannya jelas sekali orang kaya. Aku senang jika Alina sudah tidak terpuruk seperti dulu. Tetapi sisi lain dalam diri masih tak ikhlas. Jauh di dalam hati, nama Alina masih terukir dengan tinta emas.Sudahlah, Wisnu. Bukankah sudah terlalu banyak kau menyakiti Alina? Sekarang biarkan dia bahagia.Benar. Alina harus bahagia. Tapi masalahnya, apa aku bisa melihat dia bersanding dengan orang lain? Memikirkannya saja sudah membuat kepalaku pusing. Brengsek memang, dia kukhianati tapi tak boleh dengan orang lain.“Kukira orang kaya, ternyata cuma supir.” Seperti biasa, Shena pulang dengan mengomel. Wanita yang semakin berisi itu melirik jeep merah lalu melanjutkan kalimatnya. “Haih, mobilnya ternyata cuma sewa.” Shena melenggang lagi melanjutkan
Aku hilir mudik menunggu Bang Rasya. Ke mana dia pergi? Kampung ini kan bukan tempat tinggalnya. Mana pergi tak bilang-bilang pula. "Cari siapa, Lina?" tanya bapak yang melihat kekhawatiranku. "Bang Rasya. Ke mana, ya, kok lama perginya." "Bapak lihat ngobrol sama Wisnu tadi. Mungkin masih di sana." "Di mana, Pak?" Aku mengernyit tegang. "Di rumah Shena." Ya Allah. Aku duduk dan memegangi dada. Jangan sampai hal yang dulu kejadian lagi Ya Allah. Jangan. Sungguh aku tidak akan bisa hidup jika itu sampai terjadi dua kali. Jantungku berdetak tak beraturan, telapak tangan mulai dingin. "Lin, kamu kenapa pucat sekali?" Bapak langsung duduk menyentuh lenganku. "Alina takut kejadian yang dulu terjadi lagi, Pak. Bang Rasya kenapa pergi ke rumah Shena?" Bapak mengusap-usap punggungku. "Tenang, tenang, istighfar, Rasya ngobrol sama Wisnu di depan rumah sambil ngopi ... Tenang, istighfar, tidak akan terjadi apa-apa. Atau bapak suruh Rasya pulang?" Bapak memiringkan wajah demi melihat r