Share

Bab 3

Author: Nendia
last update Last Updated: 2022-11-30 16:38:46

Deg! Jantungku serupa berhenti saat melihat wajah siapa yang muncul di dalam sana.

Orang yang tidak ingin kutemui malah pertama terlihat.

Aku mundur beberapa langkah. Hal yang manis dan pahit berkelebat lagi bersama raut wajah itu. Ingin rasanya berlari, tapi akal sehat masih menaungi.

Tenang Alina. Dia hanya masa lalu. Lupakan, lupakan.

"Allah gusti... Alina... itu kamu, Nak?" Ibu berdiri di belakang Bang Wisnu. Beliau langsung mendekatiku dan menyentuh kedua tangan. "Ini benar anak ibu? Alina?" Ibu menyentuh pipiku.

"Iya, Bu. Ini Alina."

"Allahu Rabbi... Kamu pulang.... " Ibu menangis tersedu. Beliau memelukku dan semakin tergugu.

Aku tersenyum, memeluk ibu dan mengusap punggungnya. "Iya, Bu. Alina pulang." Air mataku menggantung.

Ibu terisak-isak sampai kesulitan bernapas. Beliau melonggarkan pelukan lalu meraba lagi wajahku.

"Ibu, kangen sekali. Ini betulan ibu tidak mimpi?" Ibu menengok ke belakang, seolah meminta jawaban pada Bang Wisnu. Yang diajak bicara hanya diam mematung.

"Tidak, Bu. Ibu tidak mimpi. Ini Alina. Betul ini Alina." Aku menempelkan tangan ibu di pipiku, lalu mencium telapak tangan kasarnya berkali-kali.

"Ya, Allah... Benar ibu tidak mimpi. Kenapa kamu tidak bilang kalau mau pulang?"

"Kejutan, Bu."

"Wisnu, cepat panggilkan bapak."

Bang Wisnu langsung melangkah ke sini. Dia melirikku sebentar lantas berjalan menuruni teras. Pria tinggi kekar itu memakai sandal jepit dan melanjutkan langkah, pergi melewati pagar bambu.

"Pantas mata ibu kedutan terus, ternyata kamu pulang. Jangan pergi lagi ya... jangan... laki-laki bukan hanya Wisnu. Masih banyak yang lebih baik dari dia." Ibu tidak melepaskan pelukannya.

Aku tersenyum. "Alina sudah melupakannya, Bu," kataku bohong.

"Ya, memang harus dilupakan. Kamu layak bahagia." Ibu membelai kepalaku.

Tiga tahun tidak bertemu, perbedaan wajah ibu tampak kentara. Kerutannya semakin banyak. Uban sudah memenuhi mahkotanya. Ibu juga lebih hitam dan kurus sekarang.

"Kalau kamu sakit hati. Ibu lebih sakit. Jangan menyiksa diri lagi. Itu sama artinya kamu menyiksa ibu. Lupakan Wisnu. Lupakan Shena. Kamu harus bahagia." Mata ibu memandangku lekat.

"Iya, Bu. Ibu jangan sebut masalah itu lagi, nanti Lina malah tidak bisa lupa."

"Ah, iya. Malah ibu yang sulit lupa." Ibu mengusap air matanya dan tersenyum.

"Lina... Itu Alina." Pria tua berjalan tergopoh tanpa sandal. Beliau memakai kemeja longgar hitam dan celana panjang hitam yang kotor. Bapakku usia 60 tahun. Rambutnya sudah setengah beruban. Beliau pun terlihat lebih kurus dan hitam.

"Bapak."

"Allahu Akbar... Alina..."

"Iya, ini Lina, Pak."

Bapak menghampiri dan memeluk kepalaku. "Apa yang kubilang, anakku pasti pulang." Bapak melepas pelukannya lalu mengamati tubuhku.

"Kamu sehat, Lina... Sehat?"

"Aku sehat, Pak."

"Ini benar anak bapak?"

"Iya ini Alina anak bapak."

"Gusti... semakin cantik kamu. Lihat, Bu!" Bapak melirik pada ibu.

"Ibu juga pangling, Pak, cantik sekali anak kita sekarang ... Ayo, ayo masuk. Jangan di luar." Ibu menarikku masuk ke dalam rumah. Bapak menggerek koper. Baru kusadari ada beberapa tetangga yang berdiri di pinggir jalan menonton kami yang bercengkrama.

Aku duduk di sofa usang. Tubuh yang lelah setelah perjalanan panjang baru terasa. Kulonggarkan kerudung karena gerah.

"Tiga tahun belum ada yang berubah, ya, Bu?" Aku mengamati isi rumah. Lemari kayu, TV tabung, radio yang lengkap dengan sound system di kanan dan kiri. Semua masih sama, hanya warnanya saja sudah usang. Di sini tempat kami hidup rukun dulu. Aku dan Shena sering merujak mangga berdua di tengah rumah.

.

"Punya dua anak gadis sukanya sambal." Ibu mengomel dari dapur. "Kira-kira kalau makan sambal, nanti kalian sakit perut."

"Alah, tancap aja, Mbak. Kurang itu cabenya." Shena menambah lagi cabe yang sedang kuulek.

"Serius banyak begini, De?"

"Serius?"

"Kuat kamu?"

"Kuat. Cepetan, Mbak, sudah ngiler aku." Shena mengiris mangga kecil-kecil.

.

"Di sini begini-begini aja. Apa yang berubah, mau renop tidak ada uang." Suara ibu menyadarkanku dari lamunan. Beliau membawa segelas air teh.

"Lina mau kirim uang, kenapa selalu menolak?"

"Uangmu untuk masa depanmu saja. Kami masih cukup," timpal bapak.

Lalu kami mengobrol panjang. Siapa yang sudah tiada tiga tahun ini? Bagaimana keadaan kampung? Apa kabar saudara-saudara yang lain? Menjadi topik obrolan, setengah jam berlalu tidak terasa.

"Mbak, kenapa pulang?" Suara seseorang berdiri di pintu. Shena. Dia memakai daster dengan rambut terikat asal. Penampilannya jauh sekali dari dulu. Tubuhnya sekarang berisi alias gemuk.

Aku melirik. Lalu memilih berpaling kembali tanpa menjawab pertanyaannya.

"Malah tanya kenapa pulang. Bukannya salam hormat sama mbakmu." Bapak berdiri, nadanya mulai tegang.

"Haih. Ya aneh aja, kenapa mendadak pulang. Udah bosan jadi b a b u?"

"Shena! Jaga bicaramu." Ibu juga berdiri. "Jangan cari gara-gara lagi. Ibu dan bapak sudah renta, sudah tidak kuat lagi menerima ulahmu."

"Haih. Lebay. Memangnya apa yang salah. Benar kan. Mbak Lina jadi b a b u di Malaysia."

"Shena!" Bapak membentak.

"Sudah Pak, jangan ladeni Shena. Biarkan saja dia. Lina lapar dan ingin istirahat." Aku menengahi.

"Oh, ibu hampir lupa. Ayo, ayo, kita makan. Setelah ini istirahat." Aku, bapak dan ibu ke dapur meninggalkan Shena.

*

"Mbak, to the point aja lah. Mbak pulang ke sini mau apa?" Shena menemuiku di kamar. Dia tampak gusar atas kedatanganku hari ini.

"Loh, ini kan kampung halaman mbak. Ini juga rumah orang tua mbak. Kenapa kamu jadi gusar begitu?"

"Kenapa pake pulang? Kenapa tidak pergi selamanya? Kehadiran Mbak di sini telah mengganggu kenyamanan rumah tangga kami."

Aku tersenyum. Berusaha cuek sambil memasukkan pakaian ke dalam lemari.

"Jadi kamu takut Bang Wisnu kembali pada mbak? Lucu." Aku menggeleng tak percaya.

"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!"

"Tenang. Suamimu itu hanya s a m p a h. Mbak tidak berniat memungutnya lagi."

"Sombong sekali kau bicara, Mbak. Awas saja kalau sampai dekat-dekat dengan ayahnya Chacha." Shena pergi sambil mendelik.

Aku menghela napas panjang. Meredam gejolak emosi yang naik. Aku tidak ingin melihat mereka berdua. Tapi malah mereka yang nongol terus di sini.

Lagi pula, di mana kesadaran Shena. Dia yang dulu menikamku dari belakang, kenapa sekarang seolah aku yang bersalah. Bukankah seharusnya aku yang bersikap jahat padanya?

*

Malam hari di ruang tamu.

"Bu, Pak. Alina pulang ke sini untuk satu dua urusan." Aku mengawali bicara.

"Urusan apa?" Bapak mengernyit penasaran.

"Emmm. Sebenarnya ada yang ...."

Kalimatku terputus karena ada suara seng terjatuh di luar rumah dan cukup berisik. Aku, bapak, dan ibu sampai tersentak kaget.

"Sedang apa kau di sini, Bajingan!" Suara Shena kemudian terdengar.

Aku, ibu dan bapak buru-buru keluar rumah. Di sana ada Shena yang memukuli Bang Wisnu. Sementara kaleng yang merupakan pot bunga tergeletak di tanah.

"Apa ini?" tanya ibu heran.

"Ampun, aduh. Ampun, Shena." Bang Wisnu menghindari pukulan lidi yang dilayangkan Shena.

"Mengintip kau di sini, HA!"

"Ti-tidak. Aku mau bertemu bapak," sanggah Bang Wisnu.

Dari perbincangan mereka, aku mengerti kalau Bang Wisnu habis menguping.

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Potato Peach
siapa yg salah siapa yg sewot dasar adik kurang ajar
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 26.b

    Di usianya yang tak muda lagi, terlalu berisiko untuk melahirkan kembar dengan normal. Maka caesar sudah dijadwalkan sejak awal kehamilannya. . Di sana mereka sekarang. Di ruang operasi. Arasya duduk di samping Alina dan menggenggam tangannya sambil bercerita. Sementara di bagian perut, dokter sedang membedahnya. "Anak kita sudah terlihat belum?" tanya Alina. "Tak, Abang tak nak lihat," ujarnya dengan menggeleng. Namun, usahanya untuk tidak melihat kondisi perut sang istri goyah saat terdengar jeritan bayi. Satu laki-laki, satu perempuan. Alina mendapatkan dua sekaligus. Arasya memandang dua keturunannya lagi dengan tatapan haru. Lalu dengan bantuan dokter, dua bayi itu didekatkan dengan ibunya. "Akhirnya aku bisa punya anak dari rahim sendiri." Tahapan-tahapan memiliki keturunan itu selalu membuatnya menangis. "Adik langsung dapat dua." "Ya," katanya dengan berlinang air mata. Arasya kemudian mengusap basah di pipi Alina. "Nak Abang beri nama apa?" "Dia, nak Abang beri nam

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 26.a

    Dua tahun kemudian. Kursi-kursi berpita kuning berbaris rapi. Menghadap ke panggung kayu setinggi satu meter. Karpet merah terhampar. Dua sofa dan bunga-bunga hiasan mengisi mimbar. Ada layar putih dan baliho besar di belakangnya. Orang-orang mulai mengisi kursi. Mengapit buku yang konon meledak di tahun ini. Mereka mengobrol sambil sesekali membahas isi buku itu. Pembawa acara mengisi sofa, diikuti oleh seorang wanita bercadar dengan pakaian hitam-hitam. Lalu acara pun dimulai. “Terima kasih hadirin semua yang sudah berkumpul di tempat ini. Sebagai mana kita ketahui, bahwa hari ini kita kedatangan tamu istimewa. Seorang penulis yang novelnya meledak di tahun ini. Luar biasanya, novelnya lebih dulu dikenal di negeri tetangga. Padahal beliau ini asli warga Indonesia. Kita patut berbangga.” Pembawa Acara bertepuk tangan dan para pengunjung pun ikut memberi aplus. Perempuan berkerudung lebar itu melanjutkan bicara, memberi sambutan-sambutan, lalu memperkenalkan siapa tamu istimewa it

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 25.b

    Abang melirik dan tersenyum. "Semakin pintar awak." Dia memainkan rambut di pucuk kepalaku. "Tentu." Aku memicing. "Sekarang coba sebutkan, apa yang harus saya lakukan agar kesedihan Abang bisa terobati." Aku tengkurap dan mengangkat wajah. Memandang dia dengan serius. Tangan kanannya yang masih ada di kepala langsung pindah ke pipi. "Berjanji lah tuk tak tinggalkan Abang. Abang hanya punya separuh napas. Abang tak bisa kehilangan separuhnya lagi. Bila Allah meridhoi, Abang berharap Abang je yang mati duluan, jangan awak. Abang tak kan bisa." Aku menautkan jari-jari tangan kami. "Kita kan menua bersama. Melihat anak-anak tumbuh sehat dan jadi orang-orang yang besar. Kita kan saling menjaga sampai tua. Hmmm...?" Aku mengubah posisi lagi menjadi berbaring di lengannya. "Saya akan berdoa, Abang menghadap Illahi sehari lebih cepat dari pada saya. Biar saya bisa melakukan apa yang Abang lakukan pada Aisha. Begitu adil bukan?" "Tu terdengar baik." "Tugas kita sekarang adalah mengumpul

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 25.a

    POV Alina. Kadang memang masih ada rasa cemburu ketika melihat Aisha bersama Bang Rasya. Namun, tak sedikit pun berharap hal buruk terjadi padanya. Dia telah memberi kehangatan yang berbeda. Rumah ini jadi lebih ramai dan berwarna. Hati ikut miris ketika abang pulang dari rumah sakit dengan membawa Aisha yang sudah tak berdaya. Dia duduk di kursi roda dan tak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa bicara. Rasa cemburu yang kadang masih ada itu hilang begitu saja, malah berganti iba. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat Bang Rasya mengurus Aisha dengan begitu telaten. Dari memandikan, menyuapi, bahkan membersihkan kotorannya. Di sana dia terlihat begitu penyayang dan bertanggung jawab. Hingga aku merasa tak ada alasan untuk menjauh darinya lagi. 'Abang... jika lelah datang saja padaku. Saya di sini akan membuang kelelahanmu. Kasih sayangmu pada Aisha biarlah saya yang membalasnya.' Hanya tiga hari, Aisha bertahan di rumah. Lalu pergi untuk selamanya di malam itu. Malam yang paling ba

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 24.b

    Sore, di hari Kamis. Aku membawa Aisha ke kamar mandi. Mendudukkannya di atas bathtub. Lalu memandikannya. Mengisi bathtub dengan banyak air hangat dan sabun. Aku membersihkan tubuhnya dari kepala sampai kaki. Tiga hari di rumah sakit dan tiga hari di rumah, aku yang selalu merawatnya."Ingat tak, kita suka mandi bersama?" kataku sambil menggosok tangannya."Kapan?""Dulu.""Lupa.""Biar Abang ingatkan." Aku membersihkan badannya sambil bercerita juga berurai air mata. Tubuh Aisha masih dalam pemulihan pasca melahirkan. Napasku sakit lagi saat menyentuh area-area sensitifnya yang belum sembuh benar. Dadanya masih keluar asi untuk buah hati kami.Alina masuk kamar mandi, menghampiri. Dia mengusap rambut dan pundak Aisha, lalu telapak tangannya yang sudah keriput karena terlalu lama di air."Sudah, Abang, terlalu lama," kata Alina. Lalu dengan dibantu Alina, aku membersihkan tubuhnya.Kubaringkan dia di tempat tidur lalu memakaikan pakaian dengan hati-hati. Setidaknya itu pelayanan tera

  • Pulang Kampung Bawa Sultan   Rindu 24.a

    Pov Teuku ArasyaDalam waktu dua minggu, sudah dua kali aku singgah di rumah sakit ini. Pertama, untuk menyambut kehidupan, setiap sudut ruang rawat seakan indah sampai suhu terasa hangat.Kedua, untuk kesakitan. Rasa keputusasaan membuat tempat ini serupa gelap, kelam, dan dingin.Aisha berbaring tak sadarkan diri. Alat-alat medis mengelilinginya. Tiang infus menggantung. Mesin pendeteksi detak jantung berjalan dan mengeluarkan suara “Tit! Tit! Tit!” Dengan teratur.Dadaku serupa dihantam godam, saat melihat tubuh Aisha bergetar hebat. Napasku jadi sakit dan sesak, rasanya persis dengan dulu, saat aku berdiri di antara puing-puing gempa dan memanggil-manggil namanya. “Aisha… Aisha… Aisha….”Kemarin, aku masih yakin, dia yang kadang bersikap menyebalkan dan menguji emosi akan menemaniku sampai tua. Namun… hari ini… saat dokter memvonis usianya, aku baru menyadari satu hal, ternyata sesakit ini rasa kehilangan. Sama persis dengan bertahun-tahun yang pernah kulalui. Bahkan helaan napas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status