Share

Bab 3

Deg! Jantungku serupa berhenti saat melihat wajah siapa yang muncul di dalam sana.

Orang yang tidak ingin kutemui malah pertama terlihat.

Aku mundur beberapa langkah. Hal yang manis dan pahit berkelebat lagi bersama raut wajah itu. Ingin rasanya berlari, tapi akal sehat masih menaungi.

Tenang Alina. Dia hanya masa lalu. Lupakan, lupakan.

"Allah gusti... Alina... itu kamu, Nak?" Ibu berdiri di belakang Bang Wisnu. Beliau langsung mendekatiku dan menyentuh kedua tangan. "Ini benar anak ibu? Alina?" Ibu menyentuh pipiku.

"Iya, Bu. Ini Alina."

"Allahu Rabbi... Kamu pulang.... " Ibu menangis tersedu. Beliau memelukku dan semakin tergugu.

Aku tersenyum, memeluk ibu dan mengusap punggungnya. "Iya, Bu. Alina pulang." Air mataku menggantung.

Ibu terisak-isak sampai kesulitan bernapas. Beliau melonggarkan pelukan lalu meraba lagi wajahku.

"Ibu, kangen sekali. Ini betulan ibu tidak mimpi?" Ibu menengok ke belakang, seolah meminta jawaban pada Bang Wisnu. Yang diajak bicara hanya diam mematung.

"Tidak, Bu. Ibu tidak mimpi. Ini Alina. Betul ini Alina." Aku menempelkan tangan ibu di pipiku, lalu mencium telapak tangan kasarnya berkali-kali.

"Ya, Allah... Benar ibu tidak mimpi. Kenapa kamu tidak bilang kalau mau pulang?"

"Kejutan, Bu."

"Wisnu, cepat panggilkan bapak."

Bang Wisnu langsung melangkah ke sini. Dia melirikku sebentar lantas berjalan menuruni teras. Pria tinggi kekar itu memakai sandal jepit dan melanjutkan langkah, pergi melewati pagar bambu.

"Pantas mata ibu kedutan terus, ternyata kamu pulang. Jangan pergi lagi ya... jangan... laki-laki bukan hanya Wisnu. Masih banyak yang lebih baik dari dia." Ibu tidak melepaskan pelukannya.

Aku tersenyum. "Alina sudah melupakannya, Bu," kataku bohong.

"Ya, memang harus dilupakan. Kamu layak bahagia." Ibu membelai kepalaku.

Tiga tahun tidak bertemu, perbedaan wajah ibu tampak kentara. Kerutannya semakin banyak. Uban sudah memenuhi mahkotanya. Ibu juga lebih hitam dan kurus sekarang.

"Kalau kamu sakit hati. Ibu lebih sakit. Jangan menyiksa diri lagi. Itu sama artinya kamu menyiksa ibu. Lupakan Wisnu. Lupakan Shena. Kamu harus bahagia." Mata ibu memandangku lekat.

"Iya, Bu. Ibu jangan sebut masalah itu lagi, nanti Lina malah tidak bisa lupa."

"Ah, iya. Malah ibu yang sulit lupa." Ibu mengusap air matanya dan tersenyum.

"Lina... Itu Alina." Pria tua berjalan tergopoh tanpa sandal. Beliau memakai kemeja longgar hitam dan celana panjang hitam yang kotor. Bapakku usia 60 tahun. Rambutnya sudah setengah beruban. Beliau pun terlihat lebih kurus dan hitam.

"Bapak."

"Allahu Akbar... Alina..."

"Iya, ini Lina, Pak."

Bapak menghampiri dan memeluk kepalaku. "Apa yang kubilang, anakku pasti pulang." Bapak melepas pelukannya lalu mengamati tubuhku.

"Kamu sehat, Lina... Sehat?"

"Aku sehat, Pak."

"Ini benar anak bapak?"

"Iya ini Alina anak bapak."

"Gusti... semakin cantik kamu. Lihat, Bu!" Bapak melirik pada ibu.

"Ibu juga pangling, Pak, cantik sekali anak kita sekarang ... Ayo, ayo masuk. Jangan di luar." Ibu menarikku masuk ke dalam rumah. Bapak menggerek koper. Baru kusadari ada beberapa tetangga yang berdiri di pinggir jalan menonton kami yang bercengkrama.

Aku duduk di sofa usang. Tubuh yang lelah setelah perjalanan panjang baru terasa. Kulonggarkan kerudung karena gerah.

"Tiga tahun belum ada yang berubah, ya, Bu?" Aku mengamati isi rumah. Lemari kayu, TV tabung, radio yang lengkap dengan sound system di kanan dan kiri. Semua masih sama, hanya warnanya saja sudah usang. Di sini tempat kami hidup rukun dulu. Aku dan Shena sering merujak mangga berdua di tengah rumah.

.

"Punya dua anak gadis sukanya sambal." Ibu mengomel dari dapur. "Kira-kira kalau makan sambal, nanti kalian sakit perut."

"Alah, tancap aja, Mbak. Kurang itu cabenya." Shena menambah lagi cabe yang sedang kuulek.

"Serius banyak begini, De?"

"Serius?"

"Kuat kamu?"

"Kuat. Cepetan, Mbak, sudah ngiler aku." Shena mengiris mangga kecil-kecil.

.

"Di sini begini-begini aja. Apa yang berubah, mau renop tidak ada uang." Suara ibu menyadarkanku dari lamunan. Beliau membawa segelas air teh.

"Lina mau kirim uang, kenapa selalu menolak?"

"Uangmu untuk masa depanmu saja. Kami masih cukup," timpal bapak.

Lalu kami mengobrol panjang. Siapa yang sudah tiada tiga tahun ini? Bagaimana keadaan kampung? Apa kabar saudara-saudara yang lain? Menjadi topik obrolan, setengah jam berlalu tidak terasa.

"Mbak, kenapa pulang?" Suara seseorang berdiri di pintu. Shena. Dia memakai daster dengan rambut terikat asal. Penampilannya jauh sekali dari dulu. Tubuhnya sekarang berisi alias gemuk.

Aku melirik. Lalu memilih berpaling kembali tanpa menjawab pertanyaannya.

"Malah tanya kenapa pulang. Bukannya salam hormat sama mbakmu." Bapak berdiri, nadanya mulai tegang.

"Haih. Ya aneh aja, kenapa mendadak pulang. Udah bosan jadi b a b u?"

"Shena! Jaga bicaramu." Ibu juga berdiri. "Jangan cari gara-gara lagi. Ibu dan bapak sudah renta, sudah tidak kuat lagi menerima ulahmu."

"Haih. Lebay. Memangnya apa yang salah. Benar kan. Mbak Lina jadi b a b u di Malaysia."

"Shena!" Bapak membentak.

"Sudah Pak, jangan ladeni Shena. Biarkan saja dia. Lina lapar dan ingin istirahat." Aku menengahi.

"Oh, ibu hampir lupa. Ayo, ayo, kita makan. Setelah ini istirahat." Aku, bapak dan ibu ke dapur meninggalkan Shena.

*

"Mbak, to the point aja lah. Mbak pulang ke sini mau apa?" Shena menemuiku di kamar. Dia tampak gusar atas kedatanganku hari ini.

"Loh, ini kan kampung halaman mbak. Ini juga rumah orang tua mbak. Kenapa kamu jadi gusar begitu?"

"Kenapa pake pulang? Kenapa tidak pergi selamanya? Kehadiran Mbak di sini telah mengganggu kenyamanan rumah tangga kami."

Aku tersenyum. Berusaha cuek sambil memasukkan pakaian ke dalam lemari.

"Jadi kamu takut Bang Wisnu kembali pada mbak? Lucu." Aku menggeleng tak percaya.

"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi!"

"Tenang. Suamimu itu hanya s a m p a h. Mbak tidak berniat memungutnya lagi."

"Sombong sekali kau bicara, Mbak. Awas saja kalau sampai dekat-dekat dengan ayahnya Chacha." Shena pergi sambil mendelik.

Aku menghela napas panjang. Meredam gejolak emosi yang naik. Aku tidak ingin melihat mereka berdua. Tapi malah mereka yang nongol terus di sini.

Lagi pula, di mana kesadaran Shena. Dia yang dulu menikamku dari belakang, kenapa sekarang seolah aku yang bersalah. Bukankah seharusnya aku yang bersikap jahat padanya?

*

Malam hari di ruang tamu.

"Bu, Pak. Alina pulang ke sini untuk satu dua urusan." Aku mengawali bicara.

"Urusan apa?" Bapak mengernyit penasaran.

"Emmm. Sebenarnya ada yang ...."

Kalimatku terputus karena ada suara seng terjatuh di luar rumah dan cukup berisik. Aku, bapak, dan ibu sampai tersentak kaget.

"Sedang apa kau di sini, Bajingan!" Suara Shena kemudian terdengar.

Aku, ibu dan bapak buru-buru keluar rumah. Di sana ada Shena yang memukuli Bang Wisnu. Sementara kaleng yang merupakan pot bunga tergeletak di tanah.

"Apa ini?" tanya ibu heran.

"Ampun, aduh. Ampun, Shena." Bang Wisnu menghindari pukulan lidi yang dilayangkan Shena.

"Mengintip kau di sini, HA!"

"Ti-tidak. Aku mau bertemu bapak," sanggah Bang Wisnu.

Dari perbincangan mereka, aku mengerti kalau Bang Wisnu habis menguping.

Bersambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Potato Peach
siapa yg salah siapa yg sewot dasar adik kurang ajar
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status