Share

Pulang Kampung Bawa Sultan
Pulang Kampung Bawa Sultan
Penulis: Nendia

Bab 1

"Siapa yang menghamili kamu Shena. JAWAB!" Bapak berdiri dengan bertolak pinggang, matanya melotot tajam, napasnya naik turun cepat tak beraturan.

Adikku yang duduk di hadapan bapak hanya menangis sambil geleng-geleng. Dia bungkam seribu bahasa. Wajah cantiknya tertutup rambut bercampur air mata.

"Kubunuh kau kalau tak mau bicara! Bisa-bisanya kau hacurkan nama baik keluarga." Bapak pergi ke dapur dan kembali dengan sebilah golok di tangan kanannya.

Aku dan ibu teriak histeris, kami langsung menghadang bapak agar tidak sampai melukai Shena. Aku memeluk kaki bapak dan ibu memeluk dada bapak.

"Sabar, Pak. Sabar." Ibu menangis.

"Awas, Bu. Biar kubunuh dia. Mencoreng nama orang tua saja bisanya." Bapak masih naik pitam.

"Sabar, Pak. Dia anak kita."

"Tak sudi aku punya anak seperti dia." Bapak mengacungkan golok.

"Shena, bicara, Shena. Ngomong, Dik. Siapa yang menghamili kamu?" Aku ikut bicara, sungguh aku takut bapak berbuat yang tidak-tidak.

Shena semakin keras menangisnya. Lalu dia menyebut satu nama. "Wisnu... yang menghamiliku itu Bang Wisnu, Pak."

Kami semua diam mematung. Lengang. Hanya ada isak tangis Shena.

"Wisnu? Wisnu siapa?" Aku bertanya hati-hati. Pada saat itu serupa ada sebilah pedang yang siap mencabik-cabik hati.

"Wisnu suamimu, Mbak."

Seketika itu aku duduk lemas. Tubuh mendadak dingin sampai menggigil. Kuremas dada yang sudah tak jelas rasanya. "Astaghfirullaaaaah hal adzim." Aku menyatukan kening pada lantai keramik putih. Langitku runtuh. Hidupku hancur sehancur-hancurnya.

Ibu dan bapak pun sama terpukulnya. Ibu dan bapak ambruk di lantai. Ibu memukul-mukul dada dan bapak memukul-mukul sofa.

"Kenapa kamu tidak bunuh saja kami?" Bapak merangkak ke dekat Shena. Dia menyerahkan golok. Mengepalkannya di tangan Shena.

"Bunuh saja kami Shena. Bunuh kami!"

"Shena khilaf, Pak. Shena rindu Bang Arman, dan hanya Bang Wisnu yang mengobati kerinduan Shena. Jangan hanya salahkan Shena, salahkan juga Bang Wisnu yang menawarkan diri."

Aku meremas dada semakin keras. Ya Allah, khilaf katanya. Salah apa aku padamu, Shena? Sampai tega kau berbuat begitu. Zina kau dengan suamiku. Allahu akbar.

Shena. Dia adikku satu-satunya. Hari ini, kami dibuatnya kaget. Bagaimana tidak. Lama dia menjanda, lalu tahu-tahu hamil besar.

Dulu, dia kebanggan keluarga. Parasnya cantik. Tubuh tinggi berisi. Bagai bumi dan langit jika dibanding aku.

Shena menjadi model dan menikah dengan konglomerat dari kota. Kehidupannya terlihat sempurna. Cantik juga kaya. Namanya tersohor sampai ke mana-mana. Keluarga kami jadi terpandang, ibaratnya naik satu kasta.

Sayangnya kebahagiaan adikku hanya beberapa tahun. Saat itu kami baru tahu kalau Shena ternyata jadi istri kedua. Bahkan gosip di luaran beredar jika dia dijadikan selingkuhan. Gosip itu semakin hangat di masyarakat pasca istri pertama datang melabrak. Sejak itu suaminya tak pernah datang lagi. Adikku menjanda dan hampir gila. Sering menangis dan tersenyum tiba-tiba.

Tentu sebagai keluarga, kami selalu mendampingi. Kami obati ke mana pun agar dia bisa sembuh. Aku temani siang malam agar dia bisa bangun dari keterpurukan. Meski di luaran nama kami menjadi buruk, kami tetap merangkul dia dengan penuh cinta. Lalu ini balasannya. Demi kepuasan dia menghancurkan hidupku.

*

Di rumah kami yang sederhana, aku menunggu bang Wisnu pulang kerja. Kutodong dia dengan pertanyaan saat baru saja melewati pintu. "Kamu menghamili adikku, Bang?" Aku duduk di kursi dengan mata yang bengkak. Keadaan tubuh dan hati sudah tak dapat dijelaskan kata.

Bang Wisnu termangu. Dia tampak kaget dengan pertanyaan itu.

"Alina...," katanya lirih.

"Jawab!" Air mataku menggantung lagi.

Bang Wisnu hanya menunduk. Lengang tak ada suara, lalu kata memuakkan itu keluar dari mulutnya. "Maaf, Dik. Abang khilaf."

Aku berlari ke arahnya. Lantas kupukuli sekuat yang kubisa. Pipinya, pelipisnya, dadanya, semuanya. Dia yang kupukuli hanya berpasrah diri lalu pada akhirnya kami hanya menangis bersama.

Tidak ada jalan keluar lain, karena aku sendiri belum punya anak, maka solusi yang diambil keluarga adalah: Bang Wisnu harus bercerai denganku dan menikahi Shena. Saat itu yang kupikirkan hanya satu. Mati saja sudah. Mungkin aku tidak akan merasakan hari-hari yang perih. Andai aku tak punya iman, mungkin aku sudah tidak ada hari ini.

Hidupku seumpama 'sudah jatuh tertimpa tangga'. Entah siapa yang benar dan siapa yang salah, nyatanya aku pun menjadi bahan gunjingan orang-orang. Ada yang simpati, tapi tidak sedikit juga yang hanya menjadikanku buah bibir.

Aku sudah tak sanggup menahan ujian itu. Jadi aku memilih kabur. Pergi ke negeri Jiran untuk bekerja. Kerja apapun aku jabani. Asal bisa melupakan pengkhianatan itu.

Sekarang, tiga tahun sudah berlalu. Pengkhianatan Shena dan Bang Wisnu ternyata tak bisa aku lupakan. Perihnya masih sama seperti dulu. Rasanya tak ingin menginjakkan kaki di kampung halaman lagi. Tetapi rindu pada kedua orang tua sudah tidak bisa ditawar. Juga karena ada satu dua urusan, jadi hari ini aku pulang.

Aku masih tidak bisa membayangkan bagaimana bertemu dengan Shena dan Bang Wisnu. Akan seperti apa...? Entahlah.

Bis melaju semakin jauh. Jalanan aspal mulus berubah menjadi bergelombang, membuat bis yang kutumpangi bergoyang naik turun. Semakin masuk ke dalam pedesaan, jalanan semakin rusak juga sepi. Hamparan sawah dan pohon bambu yang rimbun menjadi pemandangan yang terus bergantian.

Kampungku ada di balik bukit sana. Meski bisa dikatakan sangat kampung, tapi pemikiran rakyatnya tak kampungan. Terbukti ada kejadian semiris yang aku alami.

Waktu terus berputar, detak jantungku semakin kencang. Beberapa meter lagi aku akan sampai di rumah. Ada rindu yang begitu menggebu. Pasti bahagia bertemu ibu dan bapak. Ibu dan bapak juga pasti sudah sangat rindu. Teringat kembali bagaimana mereka melepas kepergianku dulu. Dengan linangan air mata mereka mengucap doa dan permintaan maaf. Mereka begitu merasa bersalah atas kemalangan nasibku.

Aku tersenyum seraya melukis wajah bapak dan ibu dalam ingatan. Lalu senyumku hilang saat wajah Bang Wisnu dan Shena menjelma.

Aku tidak mau bertemu mereka.

Pukul  sebelas siang hari. Bis berhenti di depan rumah sederhana berpagar bambu. Aku segera turun dan kondektur mengeluarkan koper dari bagasi bis. Detik kemudian bis sudah melaju kembali.

Aku menyebrangi jalan dengan menggerek koper. Rumah Shena dan Bang Wisnu berjarak sepuluh meter dari rumah ibu. Semoga saja mereka tidak ada di rumah sini.

Aku langsung berjalan ke depan rumah.

"Assalamuallaikum...." Aku berdiri di pintu yang terbuka.

Deg! Jantungku serupa berhenti saat melihat wajah siapa yang muncul di dalam sana.

Bersambung....

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Lastri
Lanjut ah ceritanya bikin penasaran
goodnovel comment avatar
Potato Peach
baru awal udah bikin emosi...
goodnovel comment avatar
Noor HNF
lanjut ,cerita nya seru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status