Bu Ratna yang tengah panik pun berlari tunggang langgang. "Aduh, ibu. Pelan-pelan dong," ucap Sarah saat Ibunya nyelonong masuk kamar mandi disaat Sarah hendak keluar."Ibu udah nggak tahan," sahutnya tidak sempat menutup pintu, seketika terdengar suara orang sakit perut."Ieuw … jorok," ucap Sarah segera menjauh dari kamar mandi.**Terdengar bunyi mesin mobil memasuki pekarangan. Dari kejauhan terlihat Fatih berjalan menghampiri Ibu dan Kakaknya itu dengan kresek di tangan kanannya."Akhirnya kamu datang juga Fatih, mana sini obatnya!" ucap Bu Ratna. Tangannya menyambar obat yang Fatih sodorkan.Fatih mengedarkan pandangannya ke sekitar sambil menutup hidungnya. "Bau apa ini Bu? Kenapa rumah jadi berantakan?" tanya Fatih heran."Ini semua gara-gara istrimu, Fatih! Ini semua ulah si Wulan,""Maksud Ibu?""Kamu aja yang cerita, Sar. Perut ibu mules lagi,""Enggak ah, Ibu aja yang cerita. Sarah lemes, mau istirahat," sahut Sarah. Ia pun segera merebahkan tubuhnya di atas sofa setelah
Fatih menatap ponselnya, ia begitu gelisah karena dari tadi sekretarisnya terus mengirimnya pesan. "Jadi gimana? Kalian masih tetap tidak mau bayar?" tanya wanita itu membangunkan lamunan Fatih."Gimana, Fat? Kamu punya uang 5 juta untuk bayar Mak lampir ini?" bisik Bu Ratna pelan."Ibu nggak mau masuk penjara, Fatih. Ibu takut, kalau kamu punya uang cepet kamu bayar dia sekarang, biar dia segera pergi dari rumah ini," lagi Bu Ratna memaksa."Baiklah, kalau kalian tidak mau bayar, saya akan telpon pengacara saya agar menuntut kalian semua!" ancamnya, ia pun segera mengambil ponsel dan hendak menelpon seseorang. Namun Fatih segera mencegahnya."Tunggu, tunggu! Baik, kami akan bayar uangnya. Tunggu disini sebentar," ucap Fatih memijat pelipisnya. Sepertinya laki-laki berhidung bangir itu benar-benar kesal.Fatih bergegas ke kamar, mengambil uang dalam tasnya. "Sial! Ini semua gara-gara ibu, terpaksa aku harus memakai uang kantor dulu untuk membayar wanita itu," ujar Fatih geram.Denga
Fatih bergegas keluar dari rumah menuju mobilnya yang terparkir di halaman. Pria itu segera menyalakan mesin mobil dan melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan rumah ber cat putih itu.Entah kemana tujuannya, Fatih pun tidak tahu, yang jelas saat ini ia ingin pergi menjauh dari Ibunya. Fatih benar-benar kesal, jika berlama-lama di rumah ia takut tidak akan bisa mengontrol emosinya. Sore berganti malam, sudah hampir 2 jam Fatih duduk sendiri di sebuah club. Kepalanya terasa berat karena ia menghabiskan 2 botol bir yang di pesannya. Sebenarnya Fatih bukan tipe laki-laki yang suka mabuk, tapi karena masalah tadi sore membuatnya frustasi. "Maaf, Pak. Mau ditambah lagi?" tanya seorang pelayan berbaju kurang bahan itu setelah melihat bir milik Fatih telah habis. Fatih mengangkat tangannya seolah memberi isyarat ia sudah tak mampu lagi untuk minum. "Kalau begitu, saya temani ya' Pak?" ucapnya dengan nada menggoda. Tangannya melingkar di bahu Fatih. Bibirnya mendaratkan sebuah kecupan d
"Kenapa, Mas? Kamu ko kaget gitu?" ucap Eva berjalan mendekati Fatih. Seketika tangannya melingkar di leher pria yang tengah mabuk itu. Bibirnya mendekati telinga Fatih dan berbisik dengan mesra. "Akhirnya kamu datang juga, Mas, aku menunggumu dari tadi," "Apa yang terjadi denganmu, Eva? Kenapa kamu telanjang seperti ini? Kemana bajumu?" ucap pria itu bingung dan salah tingkah menghadapi sikap Eva yang terus menggodanya. "Itu tidak penting, Mas. Yang terpenting sekarang kamu ada disini bersamaku. Aku ingin malam ini kita menghabiskan waktu berdua," Eva dengan agresif menarik dasi Fatih. Kemudian mendorong tubuh pria itu ke atas kasur. Bibirnya yang tebal dengan liar menguasai bibir tipis milik Fatih. Fatih yang tengah dipengaruhi alkohol pun tak bisa menolak. Terlebih melihat sikap Eva yang terus menggodanya dengan liar, Fatih pun hanya bisa pasrah saat tangan Eva dengan lincah membuka satu persatu pakaian yang ia kenakan. Drt … drt … drt …Ponsel Fatih bergetar, sebuah panggilan
"Mas Fatih kemana yah? Kenapa ditelpon tidak diangkat? Sekarang ponselnya malah mati, kira-kira kemana Mas Fatih?" gumam Wulan cemas. Berulang kali ia mencoba menghubungi suaminya itu."Aneh, sekarang nomornya malah nggak aktif. Apa mungkin Mas Fatih sudah tidur? Tapi–Mas Fatih' kan tidak pernah mematikan ponselnya saat tidur. Aduh … kenapa perasaanku jadi nggak enak' ya? Apa jangan-jangan ini ada kaitannya dengan Ibu dan Mbak Sarah? Astaga … aku jadi khawatir, semoga saja efek obat pencahar itu tidak separah yang aku bayangkan," batin Wulan cemas. "Non Wulan? Non Wulan belum tidur?" tanya si Mbok membuat Wulan terperanjat dari lamunannya."Ah, si Mbok bikin kaget aja," ucap Wulan kemudian berjalan menghampiri tempat tidur si Mbok."Mbok mau kemana? Ko tengah malam gini bangun, Mbok mau minum?" tanya Wulan."Nggak, Non. Si Mbok mau ke toilet. Si Mbok kebelet pipis Non," jawab wanita paruh baya itu beranjak dari tidurnya."Sini, biar Wulan bantu," Wulan segera merangkul tubuh si Mbok
Fatih bagai disambar petir disiang bolong. Rasanya baru tadi malam ia menikmati surga dunia bersama Eva. Kini dirinya harus menerima kenyataan pahit yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. "Apakah ini sebuah karma karena aku telah mengkhianati Wulan?" Seketika pikiran itu terlintas di benak Fatih.Ia terduduk lesu di kursi kebesarannya. Memikirnya apa yang akan terjadi kedepannya. "jika aku hanya bekerja sebagai karyawan biasa di perusahaan ini, bagaimana caranya aku membayar semua cicilanku? Apakah gajiku akan cukup untuk membiayai semuanya?" batin Fatih resah."Permisi, Pak! Pak Brata meminta laporan keuangan bulan ini, beliau ingin memeriksanya," ucap Yesa, suaranya membangunkan Fatih yang tengah melamun."Saat ini juga?" tanya Fatih memastikan. Pasalnya laporan keuangan itu tertinggal di rumahnya."Iya, Pak. Saat ini juga Pak Brata ingin memeriksanya," jelas Yesa membuat Fatih menarik nafas dan membuangnya dengan kasar. "Tolong bilang kepada Pak Brata, nanti siang laporannya akan
"Apaan ini, Fatih? Kenapa laporan yang kamu buat tidak sama dengan laporan yang saya terima dari sekertarismu lewat email?" tanya Pak Brata menatap penuh curiga.Fatih terdiam, sesaat dia berpikir. 'Astaga, kenapa aku bisa lupa jika aku menggunakan uang kantor untuk membayar biaya pengobatan Mbak Sarah tempo hari,' gumam Fatih dalam hati."Ma-maaf, Pak. Tempo hari saya meminjam uang kantor untuk membayar biaya rumah sakit untuk Kakak saya, tapi Bapak tidak usah khawatir, uangnya akan saya ganti, Bapak bisa potong dari gaji saya," ucap Fatih menjelaskan. Pak Brata menggelengkan kepala, kemudian menghempaskan bokongnya di kursi kebesarannya."Saya menyesal telah mengangkat kamu sebagai manager, Fatih! Ternyata selama ini saya salah memilih orang. Bisa hancur perusahaan saya jika kamu yang memimpin, kamu itu tidak bisa diandalkan," ucap Pak Brata dengan nada kecewa."Maafkan saya, Pak. Saya janji tidak akan melakukan ini lagi,""Cukup, Fatih. Saya tidak butuh janji kamu, yang saya butuh
"Bangsat!" teriak Fatih, tangannya mengepal hendak memukul Gio. Namun, belum sempat tangan itu mendarat, terdengar suara memanggil namanya dari arah belakang."Cukup, Fatih! Berhenti membuat keributan di kantor saya!" teriak Pak Brata berkacak pinggang penuh amarah.Seketika Fatih terdiam, ia pun segera menoleh ke arah sumber suara. "Pak Brata?" ucap Fatih terkejut."Kamu ini keterlaluan, Fatih. Kamu mau jadi preman di kantor saya, hah? Kamu lihat ini!" teriak Pak Brata menunjuk barang-barang yang berserakan di lantai."Kamu tau kan' ini adalah properti milik perusahaan? Kenapa kamu rusak semuanya? Jika kamu ingin jadi jagoan' jangan di kantor saya! Ini tempat untuk bekerja, bukan tempat untuk ajang adu kekuatan!" cetus Pak Brata murka."Ma-maaf, Pak' saya bisa jelaskan semuanya, ini bukan salah saya Pak, ini semua karena Gio yang memulai. Dia yang pertama meludahi wajah saya,""Cukup Fatih! Saya tidak ingin mendengar pembelaanmu! Saya sudah tau semuanya. Petugas keamanan sudah mence