#Pura_Pura_Rebahan
Part 3 : Menghalu Sambil Rebahan
Menjelang siang, aku sudah selesai mengerjakan pekerjaan rumah juga menyuapi dua putriku makan. Sebelum menghalu, sholat zuhur dulu biar makin tamvan, eh! Aku memukul pelan bibir sexi ini, karena berpura-pura jadi cowok tampan di f*, aku jadi terbawa-bawa ke dunia nyata istilah itu. Abang Tamvan, itulah gelaran para fansku yang dari golongan emak-emak berdater itu. Aku sih enjoy aja mau dipanggil apa aja, asalkan mereka tetap menyukai cerita yang kubuat dengan tema-tema ringan itu.
Beberapa judul cerbungku yang mendapat like ribuan yaitu Suamiku Pelit Na’adzubillah, Ibu Mertuaku Masyaallah, Ipar Tukang Minta, Tetangga Istimewa, Resiko Orang Tampan, Istri Ke-7 Ceo Tampan. Nah, dua judul terakhir itu yang paling laris, likenya 10k membuatku jungkir-balik kesenangan dan pas aku pindahin ke aplikasi, yang buka gembok sehari bisa 1k. Uwoww ... banget ‘kan, dari dua cerbung terakhir itulah para readers menganggapku benaran tampan. Bukan mauku menipu para fans dengan berkedok menjadi cowok tampan, cuma mau gimana lagi, karena tanpa melihat wajah asliku saja, mereka langsung tahu kalau aku ini tampan, masyallah banget ‘kan. Sebagai emak-emak baik hati, aku takkan tega mematahkan hati sesama emak-emak.
Setelah selesai menyapa Ilahi dan curhat tentang Mas Nizar yang suka main sumpah setiap hari, aku kembali rebahan dengan sambil menatap ponsel. Oh iya, di dalam sholat, aku itu selalu berdoa agar suamiku yang kasar itu bisa berubah jadi baik dan peyayang, seperti karakter ciptaanku di dalam novel. Kalau dia tak bisa berubah menjadi baik, maka aku memohon agar Allah memberikan azab kepadanya atau juga diambil cepat-cepat saja. Apakah aku istri durhaka karena mendoakan suami cepat mati? Semoga saja tidak, walau bagaimana pun dia Papa dari dua putriku yang imut.
Setelah scrol status para teman dunia maya, aku jadi kepikiran untuk membuat adem cuaca panas di luaran sana yaitu dengan upload foto tangan Mas Nizar yang kuakui sebagai tangan ‘Samuel Ataya' dengan caption : Selamat siang, all. Siang-siang begini enaknya rebahan di lengan sang kekasih kali, ya 😁
Baru sepuluh menit posting tuh foto, likenya sudah 500an dengan komentar 143 biji. Aku mengulum senyum, inilah hiburan dari emak-emak berdaster yang hoby menghalu kayak aku sebab komentar dari para fansnya akun ‘Samuel Ataya’ ini bisa bikin awet muda karena aku tak hentinya menahan tawa.
[Ya ampun, Bwang, lengannya aja dah tamvan, apalagi orangnya.]
[Mau dung rebahan di lengan Abang, aww ... awww ]
[Aku makin yakin kalau Bang Sam ini memang full tamvan, lihat aja tangannya kekar gitu.]
[Uwooww ... mau dong digendong tangannya si Babang Tamvan.]
[Bang, kapan-kapan posting wajahnya dung, gue penasaran setengah mati ama lu.]
[Bang Sam, balas dung chatan aku. Tega amit ama fans.]
[Bwang tamvan, aku ngidam lihat wajah aslimu, kirim diinbox fotonya!]
[Bang, aku tresno karo koe.]
‘Pletakkk!!!’
Aku serasa mau pingsan baca komentar yang terakhir. Oh, no! Ada-ada saja mereka. Sebenarnya aku tak pernah mengaku berjenis kelamin cowok, mereka saja yang menebak-nebak sendiri dari nama penaku juga foto profil, jadi aku tak menipu mereka, ya, gaes. Wkwkkw ....
Ya udah, lanjut ngehalu lagi deh, biar saldo semakin bertambah dan bisa hidup mandiri jika Mas Nizar menendangku dari rumahnya ini. Hingga detik ini, aku masih belum bisa memahami dirinya yang paling hoby mengumpat itu, entah apa sebabnya atau mungkin bawaan dari orok dikarenakan Mama mertua ngidam ngemut mercon kali sehingga mulut putra bungsung itu kayak petasan, meladak sana dan sini.
Masalah cinta, entahlah, aku tak tahu apakah aku mencintai dia atau tidak? Tapi aku benci mulut kasarnya dan masih mengumpulkan segenap kesabaran untuk bertahan hingga anak-anakku besar nanti..
****
Sore hari, kuakhir masa rebahan, karena dua putriku mengajak main ke halaman rumah. Yeah, aku malas sebenarnya tapi kasihan juga sama mereka karena sudah seharian kukurung main di dalam rumah saja.
“Hay, Vio,” sapa Bu RT yang tiba-tiba sudah nongol di sampingku.
“Eh, hay juga, Bu RT,” jawabku dengan perasaan yang mulai terasa tak enak karena ibu-ibu di kompeks ini hobynya menggerogoti wanita lemah lembut yang nggak tegaan seperti aku, tapi itu dulu, ketika masih polos. Kalo sekarang sih sudah agar berwarna-warni, hihiii
“Hmm ... Vio, saya jualan parfum loh ... barangkali aja kamu mau beli,” ujarnya dengan mengeluarkan beberapa botol Parfum dari tasnya.
“Hmm ... makasih, Bu Rt, tawarannya, cuma saya yang kerjaannya cuma rebahan aja ... kagak pantas pakai parfum mahal begini, lagipula ... uangnya juga nggak ada,” tolakku dengan nada lemah lembut.
“Ya sudah kalau gitu. Hhmm ... saya itu mau jualan ke desa sebelah, cuma motor saya habis bensinnya, bisa gak pinjam uangmu buat beli bensin, Vio? Kalau parfum udah laku, langsung tak bayar hari ini juga deh .... “ Mata Bu RT merem melek kayak kelilipan.
Asyem dah, aku menghela napas panjang. ‘Kan, ‘kan ... benar, sepertinya selain jadi penulis dan kaum rebahan, aku juga bisa jadi dukun deh. Heran, satu kompek hobynya bisa sama begini, sama-sama suka mencari mangsa untuk diperdaya.
“Gimana, Vi, 50ribu aja kok,” todong Bu RT yang tubuhnya padat berisi, mirip pesumo.
Alhasil, aku hanya bisa menggeleng manja sebab kalau melotot, takut dipiting dengan lengannya yang segede kaki gajah.
“Ah, pelit kamu sekarang, ya!” ketusnya sambil bangkit dari kursi kayu di halaman rumah.
“Maaf, Bu RT, saya ini cuma kaum rebahan yang uang buat belanja aja pakai dijatah ama suami. Sekali lagi maaf, Bu RT yang bohai,” ujarku dengan lemah lembut dan penuh kepura-puraan.
Tanpa menjawab pujianku, dia naik ke motor dan tancap gas. Eh, itu hidup kok motornya, katanya habis bensin. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala. 'Kan, 'kan, 'kan ....
Taklama kemudian, Mas Nizar sudah pulang dari kantor. Aku menghampiri dia dan hendak salin kepadanya. Dia hanya melengos lalu masuk ke dalam rumah, sedang aku masih membujuk anak-anak buat udahan mainnya karena Papanya udah pulang.
“Viooo ... ponsel siapa di atas bantal lecekmu ini?!!!” Suara Mas Nizar terdengar menggelegar.
Oh, no! Ponsel mahalku yang seharga sepuluh juta itu, kok bisa seteledor ini? Dengan gelagapan, aku memutar otak untuk mengarang kebohongan.
Bersambung ....
Pura-pura RebahanBab 36 : TamatEh, panggilan videoku langsung tersambung padanya dan tampaklah si oppa dari layar pipih di tanganku. Aku beranjak dari tempat tidur lalu membuka pintu dan melangkah ke ruang tengah, soalnya takut anak-anak terbangun karena suara berisik teman kolab yang kini sudah menjadi teman main film.“Hay, Tante .... “ sapanya dengan selalu tebar senyum.Zidan terlihat sedang berbaring di tempat tidur, dan sendirian saja, tak ada siapa pun di sampingnya.“Ada kejutan apa besok? Jangan suka ngerjain, ya!” ujarku sambil duduk di atas kasur bulu depan tv.“Siapa juga yang mau ngerjain? Suka su’udzon aja nih tante-tante!” ejaknya.“Enaknya gue dibilang tante-tante, kalau dilihat dari umur ... masih mudaan elu om dari gue,” jawabku dengan mengerucutkan bibir.“Oh, ya?” Dia menahan senyum.“Iya!”“Besok aku minta fotocopy ktpnya deh biar percaya.” Dia menahan tawa.“Buat apaan? Jangan aneh-aneh deh, Om. Kasih tahu gak, besok itu ada apa? Apa Pak Mahmud mau ngontrak kit
#Pura_Pura_RebahanPart 35 : Ajakan Rujuk“Nggak usah repot-repot, Mas, aku bisa kok menjaga Aisha. Tadi aku cuma panik aja, mau bawa dia sendiri ke rumah sakit, repot juga .... “ ujarku saat dia beranjak ke ruang tengah dan sok akrab dengan Naffa yang sedang menonton acara kartun di tv.“Ya sudah kalau gitu,” jawabnya dengan raut wajah yang berubah muram.Aku beranjak menuju dapur, lalu mulai memasak makanan untuk makan malam. Yang simple-simple saja, yang mudah dimasak dan nggak repot yaitu bikin sup dengan dicampur bulatan bakso, gitu aja soalnya Naffa suka. Kalau aku mah, apa aja dimakan, sandal jepit disaosin juga ludes.Aisha menolak untuk makan, dia hanya meminta mimik susu saja, sedangkan Naffa kini sedang makan dengan papanya di dapur sana. Mas Nizar kok pulang-pulang juga, ya? Sok baik banget dia. ***Pukul 20.00, Naffa sudah kusuruh untuk tidur di samping adiknya yang sudah terlelap sejak tadi, mungkin karena habis minum obat dia jadi selalu mengantuk. Mas Nizar masih terl
#Pura_Pura_RebahanPart 34 : Undangan dari MantanRutinitas super sibuk pun dimulai, aku harus berlatih sungguh-sungguh agar aktingku tak banyak mengulang dan lancar sebab sudah seminggu ini aku menjalani syuting film perdana. Ternyata jadi artis itu capek, gaes, enakan aja rebahan sambil menghalu.Bu Desi sudah kukontrak selama sebulan menjadi pengasuh juga asisten rumah tangga karena anak-anak sudah akrab dengannya dan aku percaya dengannya. Dia juga menerima pekerjaan itu dengan senang hati.Yang bikin tak tenang itu, kini setiap waktu aku selalu bersama Zidan dan beradegan mesra karena kami sedang berakting jadi suami istri. Berat godaannya, gaes, kalo nggak karena aku mau jadi artis, aku nggak akan kuat selalu bersama dan baper sepanjang waktu. Mana dia makin sok perhatian lagi, ‘kan jadi bikin ngenes karena pastinya aku cuma di-php doang soalnya doi udah punya Maemunah, eh istrinya bernama Maemunah. Isshh ... bibit pelakor seakan mulai berakar saja. Ups!“Tante, ayo makan dulu.
#Pura_Pura_RebahanPart 33 : Artis Dadakan[Selamat siang Mas Zidan, kami sudah melakukan casting kepada beberapa calon pemeran film kita, tapi kayaknya belum ketemu juga karakter yang cocok untuk pemeran Hana dan Alwinya. Gimana kalau Mas Zidan dan Mbak Viona saja yang memerankan tokoh ini? Soalnya ‘kan kalian penulis cerita ini, jadi pasti mendalami sekali karakternya.]Zidan mengirimkan sebuah chat yang ia teruskan kepadaku.[Itu chat dari Pak Mahmud, Penerbit sekaligus produser Cahaya Media. Gimana, menurutmu, Tan?]Aku melongo dan membaca chat itu hingga sepuluh kali, maklum, otakku yang hanya tamatan SMP ini agak lemot untuk memahami sesuatu yang kaya makna seperti ini. Melihat chatnya hanya kubaca tanpa dibalas, eh Si Oppa malah video call. Duh, bikin hidup tak tenang aja nih orang. Mana tampangku sedang kusut lagi soalnya baru bangun tidur siang.Rencananya cuma mau ngelon Aisha dan Naffa saja, tahunya aku yang malah tidur sedang kedua bocil itu meninggalkanku untuk main di ru
#Pura_Pura_RebahanPart 32 : Klarifikasi Samuel Ataya[Tante, sore nanti kita diundang ke salah satu acara di stasiun televisi. Mereka ingin berbincang-bincang tentang Novel kita yang sudah laku 2000 eksemplar hanya dalam kurun waktu satu bulan, serta tentang film yang diangkat dari novel kita yang akan tayang bulan Juli mendatang.]Sebuah chat dari Zidan kembali menyejukan hati sekaligus mendebarkan juga. Ya Tuhan, Viona Adella akan masuk tv, duh ... jadi berdebar-debar deh. Debarannya lebih keras saat sedang di dekatnya. Isshh ... aku benci perasaan ini. Aku bukan janda gatel, ya, gaes, tapi janda kaya, amin.Belum sempat membalas chat, dia malah menelepon. ‘Kan, nih oppa yang tak hentinya tebar pesona. Nggak tahu aja dia, kalau teman kolabnya ini lemah iman jika di dekatnya. Aku ‘kan nggak mau jadi pelakor.“Assalammualaikum, Tante.” Suara gantengnya kembali terdengar di layar pipih ini.“Waalaikumsalam. Ada apa?” tanyaku pura-pura bego.“Udah baca chat aku ‘kan? Acaranya pukul 16.
#Pura_Pura_RebahanPart 31 : Segera DifilmkanHingga sore, Mas Nizar belum datang juga untuk mengembalikan anak-anak. Chatku juga hanya ia baca tanpa dibalas, ditelepon pun tak diangkat. Apa maksudnya, coba? Dia takkan mengambil Naffa dan Aisha ‘kan? Hati jadi bimbang. Sebenarnya waktu di saat anak-anak sedang tak ada begini, bisa kumanfaatkan untuk menulis tapi aku malah tak bisa berpikir dengan santai dalam keadaan resah begini. Mood nulis juga ambyar sebelum dua putriku kembali ke rumah.Taklama kemudian, terdengar deru mobil di depan rumah dan aku langsung berlari menuju pintu lalu membukanya. Terlihatlah sebuah mobil merah di depan sana dengan seorang wanita yang turun dengan menggandeng dua putriku. Aku langsung melangkah turun dan mengambil Naffa dan Aisha darinya.“Mas mana Nizar mana? Kok bukan dia yang mengantar anak-anak pulang?” tanyaku kepada wanita dengan tubuh ideal namun berwajah tua itu.“Mas Nizar sedang sibuk, maaf ya,” jawabnya dengan senyum ramah.“Bilang Mas Niza
#Pura_Pura_RebahanPart 30 : Oppa MeresahkanPonsel di tanganku berdering, mau tak mau aktifitas menari-nari ala penari balet ini terhenti mesti dua putriku masih tetap berputar-putar dengan sambil berpegangan tangan. Eh, ini Zidan. Kulihat nama teman kolabku itu terpampang di depan layarnya. Aku duduk di sofa dengan untuk mengontrol pernapasan yang kini jadi ngos-ngosan.“Hmm ... Assalammualaikum,” ucapku. “Waalaikumsalam. Tante kok nggak balas chat sih?” Terdengar suara gantengnya dari benda pipih yang kutempelkan ke telinga.“Ini baru mau balas,” jawabku dengan masih berbunga-bunga, membayangkan sebentar lagi bakalan bisa meluk Zidan, eh bukan! Meluk karya sendiri alias novel cetak perdanaku, walau bikinnya kolab ma dia.“Tante bisa ‘kan? Nanti pukul 15.30 aku jemput, anak-anak dibawa saja. Oke, Tante?”“Oke, Om, siap!” jawabku bersemangat.“Ya sudah kalau gitu, sampai jumpa nanti sore. Assalammualaikum .... “ Suaranya terdengar makin ganteng aja.“Waalaikumsalam.” Aku mengakhiri
#Pura_Pura_RebahanPart 29 : Kontrak Novel Kolaborasi“Tante, rumahnya di sini sekarang?” tanya pria berjas hitam itu, dia masih suka sok akrab saja dan seolah-olah aku ini udah tante-tante saja padahal masih muda gini. Kalau dipakaikan seragam SMA, aku bakalan terlihat sebagai anak sekolahan malah.“Hay, Om-om .... “ Naffa malah melambaikan tangannya kepada pria berwajah ala oppa itu.“Hay!” Dia makin sok akrab saat putri tertuaku itu menyapanya.Naffa dan Aisha terus berputar-putar dengan sepedanya di halaman rumah, aku mengerucutkan bibir sembari menghampiri dia, sang teman kolab alias oppa alias Zidan Rizaldi.“Hay, Tante, makin cakep aja. Nggak terasa, kita udah lama nggak ketemu dan pas ketemu ... Eh, malah satu kompleks begini,” ujarnya lagi.“Jadi, rumah kamu di sekitar sini juga?” Aku menatapnya sinis.“Iya, rumah paling ujung. Ayok, main-main ke rumah!” Dia semakin sok ramah.“Hmm ... entar dikira pelakor oleh istrimu pula kalo gue ke rumah lo bawa anak-anak.” Aku memutar bo
#Pura_Pura_RebahanPart 28 : Masing-masing Satu JutaAku segera pulang ke rumah sebab tak mau meninggalkan Naffa dan Aisha terlalu lama, walau sudah ada Bu Desi yang menjaganya. Di kepalaku masih saja terbayang Mas Nizar dan wanita ini. Tega sekali dia, dada terasa nyeri. Semua ini sungguh mengganggu mood dalam menulis, walau cintaku terhadapnya tak terlalu dalam tapi aku tetap sakit hati karena dia mencampakkan kami hanya karena wanita kaya itu. Kuhembuskan napas kasar dan berusaha menenangkan diri. Aku dan anak-anak akan baik-baik saja tanpamu, Tuan Crab. Kusapu buliran air mata yang kembali berjatuhan. Ayolah Vio, berhentilah menjadi sosok lebay, kembalilah menjadi wanita jenaka yang akan segera melupakan segala permasalahan dan mengukir senyum di wajah. Aku mensugesti diri. Kutatap dua putriku yang sedang tertidur di kamar, aku tak apa menjadi janda, tapi aku kasihan dengan kedua putriku akan kehilangan papanya. Mama janji, kalian takkan kekurangan kasih sayang walau nanti hanya