"Oh, hai Tuan ….”
Kehadiran Bima di tengah pentingnya obrolan yang sedang Maudy lakukan dengan Bredy membuat dirinya mati kutu. Ia langsung mematikan panggilan dan mengalihkan perhatian Bima.Dengan perasaan yang campur aduk, Maudy tetap mencoba mengalihkan pembicaraan. “Kukira kau sudah kembali. Apa Tuan ingin segelas cocktail?"Bima segera menggeser posisi Maudy dan duduk di sebelahnya."Aku tanya apa yang sedang kau bicarakan dengan seseorang di telepon tadi? Jangan mengalihkan pembicaraan Maudy!""Ah itu .. saya hanya ingin memastikan jika perusahaan Tuan Bima memang terpercaya untuk dapat saya jadikan mitra," jawab Maudy dengan gugup. Ia tak tahu lagi harus menjawab apa kepada Bima."Apa maksudmu? Bukannya aku yang harus bertanya begitu? Memangnya, seberapa besar proyek yang kau tawarkan?" ucap Bima sambil tetap memandang lurus ke depan dengan wajah dingin.Maudy meringis menahan emosi Bima yang mendadak muncul. Ia tidak tahu jika perkataannya dapat membuat Bima menjadi semarah ini.Perlahan Maudy memegang tangan Bima dan mengelus punggungnya."Maafkan saya Tuan, saya hanya ...."CUR.Segelas iced americano milik Maudy meluncur cepat merembes ke pakaian yang dikenakannya.Sedangkan Bima dengan senyum liciknya kemudian bangkit.“Ikuti aku.”Perasaan Maudy tidak enak. Terlebih, saat tahu Bima membawanya ke rumah laki-laki itu. Sesuatu yang buruk pasti menantinya.Kendati begitu, ia tetap mengikuti Bima dari belakang dengan pakaian yang basah karena kopi tadi.Terlihat Bima mulai duduk di sofa ruang tamunya, memanggil pelayan untuk mengganti pakaian Maudy."Bi ajak dia membersihkan diri dan berganti pakaian.""Baik Tuan."Maudy hanya mengikuti arahan si pelayan sambil menyiapkan diri untuk interogasi selanjutnya yang akan Bima lakukan padanya. Ia tahu Bima tak akan semudah itu percaya. Laki-laki itu cukup cerdik dan teliti, membuat Maudy harus memikirkan banyak cara untuk menutupi kebohongannya.'Kenapa bibi itu hanya memberi baju ganti piyama?' batin Maudy semakin tak mengerti. ‘Apa strategiku salah?’Ia kemudian berjalan perlahan menuju tempat Bima berada. Maudy merasa Bima memperlakukan dirinya bukan sebagai seorang yang dicintai namun hanya sebagai pemuas nafsu saja.Dilihatnya Bima yang tengah asik pada layar ponselnya."Kau mau makan apa?""Emm, tidak usah, Tuan," jawab Maudy ragu-ragu takut salah ucap."Begitu? Jangan panggil aku Tuan lagi, mengerti?" Bima langsung melemparkan ponselnya dan beranjak memeluk Maudy. "Panggil aku Bima saja.”Maudy hanya bisa mengangguk. "Baik."Tanpa disangka sebuah lagu diputar pada ruangan itu. Nuansa yang semula sepi, kini berubah romantis. Bima memeluk pinggang kecilnya dan mengajaknya berdansa. Tak lupa kedua manik hitam bundar itu terus saja memandanginya lekat-lekat, membuat perasaan Maudy menjadi tidak enak.Semakin ia menatap lama kedua bola mata Bima, semakin ia bisa merasakan kebencian yang suaminya rasakan pada laki-laki brengsek ini."Kenapa kau mengincarku?"Hati Maudy mendadak berdetak kencang. Sebuah pertanyaan meluncur begitu saja dari mulut Bima. Membuatnya mati rasa seketika."Apa maksudmu?"Pertanyaan yang dijawab dengan pertanyaan selalu membuat Bima kesal, dan Maudy menyadari itu. Mendadak Bima mengencangkan pelukannya pada pinggang Maudy dan hampir membuatnya sulit bernapas."Semua wanita yang mendekatiku pasti mempunyai tujuan tertentu, bukannya begitu? Aku rasa itu sudah bukan rahasia lagi."Hati Maudy makin berdegup kencang, ia tidak ingin usahanya selama berbulan-bulan ini menjadi sia-sia hanya karena ia ketahuan secara konyol seperti ini."Aku hanya ingin perusahaanku bisa menjadi bagian dari Bimara Group, itu saja," jawab Maudy sambil berusaha mungkin terlihat tidak gugup."Pembohong!"Tanpa Maudy sadari, kini Bima telah menggendongnya ke arah kamar utama. "Kau pasti mau mendapatkan lebih dari itu kan?" tanya Bima sambil membaringkan tubuh Maudy ke atas ranjang."Tidak, benar-benar hanya itu tujuanku, Bima."Maudy yang tak bisa menatap lagi ke arah Bima itu langsung melemparkan pandang ke arah jam dinding mewah yang menempel pada sisi lemari."Hm .. tak masalah buatku. Lagipula kau cukup bisa memuaskanku, Maudy! Aku punya wanita lain yang ia bahkan tidak bisa bermain sepertimu."Setelahnya, laki-laki itu kembali menjadikan Maudy alat pemuas nafsunya lagi dan lagi. Ucapan yang dikatakan Bima agaknya bukan bualan semata. Sebab, baru saja Maudy selesai membersihkan badan, pintu kamar mandi yang ia gunakan tiba-tiba sulit dibuka.“Berengs*k!” Maudy memaki pelan. Kemudian ia mencoba menggedor-gedor pintu yang terkunci dari dalam itu sekuat tenaga sembari meneriaki nama Bima. “Bima! Buka pintunya.” Namun, nihil. Tidak satu pun usahanya membuahkan respons.Tidak lama kemudian, di saat ia mulai pasrah untuk terkurung seharian di kamar mandi … samar-samar ia mendengar sebuah suara seorang wanita yang membuat Maudy waspada memasang telinga.“Bae, I miss you so much!"Bredy langsung bergegas menyembunyikan dirinya di balik pilar-pilar besar gedung perusahaan itu. Dirinya bersembunyi dari Bima dan juga istrinya yang berurutan melewatinya keluar dari gedung perusahaan."Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku melewatkan sesuatu? Lalu hal apa yang tidak aku ketahui selama ini?" gumam Bredy sambil terus berpikir keras, "apa Nyonya Maudy menyembunyikan sesuatu yang tidak aku ketahui? Karen pun?" lanjutnya.Sambil terus menerka, Bredy melanjutkan perjalanannya menuju tempat tujuan pertamanya hari ini. Di balik dirinya terdapat banyak pertanyaan yang belum menemukan jawaban dan ia sadar harus segera menemukan jawaban itu secepatnya.**Suasana rumah kala itu seperti sedang berada di dua dunia yang berbeda. Baik itu Maudy maupun Arga, keduanya kini membawa suasananya masing-masing. Keduanya sibuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini membebani jiwanya."Si brengs*k itu bilang jika ada perempuan yang memiliki tahi lalat di perutnya dan Mau
Maudy tak bisa berkomentar apa-apa lagi. Dirinya sudah terlempar ke dalam kebingungannya sendiri."Ayo pulang."Ajakan dari suaminya hanya bisa ia setujui tanpa mengucap apa pun.Begitu juga saat sampai di rumah. Maudy terus diam tanpa bisa mengucap apa-apa.Tanpa disangka, Arga datang dari belakang dan langsung memeluk dirinya.Maudy merasakan tepat di samping telinganya, suaminya membisikkan sesuatu, "maafkan aku sayang, aku benar-benar hanya terlalu antusias. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi, kau juga tak perlu khawatir. Dia tak mengatakan ancaman apa pun padaku."Maudy tahu betul jika perkataan suaminya hanya kebohongan yang dimaksudkan untuk menenangkan hatinya. Namun tetap saja jika dirinya terus merasa khawatir."Baiklah aku mengerti .. maafkan aku juga karena telah membatasi pergerakanmu. Aku hanya takut hal buruk akan menimpamu lagi sayang."Keduanya berpelukan dengan hangat. Namun tiba-tiba saja Maudy merasa jika dadanya kembali sesak, jantungnya berdebar tak menentu,
"Apa-apaan ruangan ini, bahkan masih sama seperti terakhir kali aku ke sini, tidak berubah sama sekali," batin laki-laki itu setelah memasuki ruang tunggu VIP untuk tamu perusahaan.Beberapa detik kemudian si laki-laki itu berjalan-jalan berkeliling ke seluruh bagian ruangan itu. Pada salah satu dinding terdapat foto masa kecil sang CEO, Arga bersama dengan teman masa kecil yang tak lain adalah si laki-laki itu sendiri."Ternyata kau masih menganggap aku sebagai temanmu? Hebat betul si sial*n ini!" gumam si laki-laki sambil setengah memukul tembok.**Mobil mewah yang dikendarai Bredy akhirnya sampai di gedung Argawica. Sambil mempersilakan sang CEO turun dari mobil dan memasuki gedungnya sendiri, Bredy melihat ke sekeliling untuk berjaga-jaga jika ada sesuatu yang menurutnya mencurigakan."Silakan turun Tuan," ucap Bredy.Keduanya masuk beriringan menuju gedung megah Argawica Group itu.Arga berjalan sambil mengamati sekeliling. Terlihat jika Arga baru memahami kenapa orang-orang ker
Sudah lebih dari satu jam Maudy hanya mondar-mamdir di dalam ruang kerjanya. Setelah menyuruh suaminya agar tetap diam di rumah, Maudy tiba-tiba kepikiran sesuatu. Bagaimana jika si brengs*k itu datang menemui suaminya tanpa ia ketahui?Di tengah kebingungannya, ia dikejutkan oleh Karen yang tiba-tiba masuk tanpa permisi. Terlihat jelas wajah paniknya saat masuk ke dalam ruang kerja Maudy."Nyonya .. begini .. jadi ..," Karen menghentikan kalimatnya, mencoba untuk menenangkan dirinya lebih dulu."Ada apa Karen? Apa yang terjadi? Tenangkan dirimu lebih dulu, baru kau mulai bicara ya?"Karen mengangguk, namun Maudy tetap dapat merasakan kepanikan di wajah asistennya itu."Oke .. bisa kau jelaskan sekarang? Apa yang terjadi?"Sambil sesekali memegang dan meremas ujung bajunya, Karen akhirnya mengatakan sesuatu yang tidak Maudy duga, "Nyonya Maudy .. sekarang perusahaan kita sedang gawat, nilai saham turun dan para calon investor sepenuhnya tidak akan melanjutkan investasi ke perusahaan k
Maudy memasang wajah setenang mungkin walaupun di dalam dirinya jelas sangat panik dan gelisah."Tidak sayang .. aku tidak tahu itu bunga dari siapa .. karena bisa saja itu orang iseng," ucap Maudy berusaha sedantai mungkin.Sedangkan Arga yang percaya dengan Maudy langsung membuang bouquet itu ke dalam tempat sampah.Sambil mengikuti langkah suaminya masuk ke dalam rumah, Maudy diam-diam mengambil amplop yang ada di antara selipan bunga-bunga pada bouquet itu."Apa kau mau makan? Aku akan membuatkanmu makanan yang enak."Maudy melihat suaminya hanya menggeleng sambil berkata, "tidak usah sayang .. lagipula kau kan pasti lelah. Aku mau mempersiapkan diri untuk mulai bekerja besok. Kau juga istirahat saja."Maudy menelan ludah. Perasaan gelisah tidak dapat membohongi dirinya.Alih-alih melakukan sesuatu yang konyol guna meyakinkan suaminya agar percaya kepadanya, Maudy lebih memilih untuk diam dan tidak terlalu memikirkan hal itu.Di sisi lain, hal yang tidak diketahui oleh Maudy sedan
Kepanikan Maudy semakin menjadi-jadi saat suaminya tiba-tiba berteriak seperti orang yang sangat ketakutan."Sayang tenangkan dirimu .. jangan takut ya? Aku ada di sini bersamamu."Dipeluknya tubuh gemetar suaminya dengan penuh kehangatan. Maudy bahkan merasakan detak jantung suaminya yang berdetak sangat cepat seperti sedang melakukan lomba lari."Tenangkan dirimu, ada aku di sini .. kau tak perlu takut ya?"Dalam kungkungan Maudy perlahan tangan Arga dengan cepat menunjuk ke arah jendela, "aku tidak mau ada benda itu di ruangan ini! Ayo kita pulang saja!" teriaknya.Maudy tidak ingin kegaduhan yang terjadi di dalam kamarnya sampai diketahui oleh orang lain. Salah satu cara yang harus ia lakukan adalah dengan membungkam suaminya agar percaya jika dirinya aman bersama Maudy.CUP.Sebuah kecupan ringan mendarat di bibir Arga. Perlahan kepanikan suaminya itu mereda.Maudy menatap kedua bola mata suaminya yang juga sedang menatapnya dengan sayu.Kecupan ringan itu merupakan obat untuk ke