Keesokan harinya, saat Arief hendak mandi, Celine merasa harus membantu. Ia tahu, betapa sulitnya bagi Arief, untuk melakukan segalanya sendiri dalam kondisi seperti sekarang ini. Tapi Celine juga tahu bahwa harga diri suaminya sedang rapuh.
“Mas, biar aku bantu ya... Aku tahu ini sulit, tapi kita pasti bisa melaluinya.” Celine dengan lembut, mencoba menawarkan bantuan. Namun, sebelum ia bisa mendekat, Arief tiba-tiba meledak, dengan amarah yang sudah terpendam sejak lama, ia melemparkan sabun, shampo, dan benda-benda lainnya ke lantai. Suara benda-benda jatuh itu berderai memenuhi kamar mandi, sementara Celine hanya bisa berdiri terpaku dan ketakutan. "Aku tidak butuh bantuanmu, Lin! Aku bukan bayi yang harus kamu rawat! Aku bisa melakukan ini sendiri!” Arief membentak, wajahnya merah padam karena marah dan frustasi. Celine beringsut mundur, hatinya terasa semakin remuk. Tangisnya terasa mau pecah, namun ia berusaha menahannya, Celine tak ingin Arief semakin marah. “Mas, aku hanya ingin membantu...” Celine berbisik hampir tak terdengar. Arief yang masih emosi, menatap Celine dengan mata yang berkilat. “Kamu pikir aku tidak bisa mengurus diriku sendiri hah? Kamu pikir aku sudah tidak berguna, ya? Aku tidak butuh belas kasihanmu, pergi!” Celine hanya bisa terdiam, menahan isak tangis yang semakin mengoyak hatinya. Setiap kali ia berusaha memberi cinta, Arief selalu menolaknya dengan kemarahan yang membludak. ---*-*-*--- Siang itu, Celine menyiapkan makan siang dengan sabar dan sepenuh hati, berharap bisa menyentuh hati suaminya lewat hal sederhana. Ia membuat makanan kesukaan Arief, meletakkannya di meja dengan hati-hati. Namun ketika Arief melihat makanan itu, ia hanya menatapnya dingin, lalu pergi tanpa sepatah kata pun. Pintu kamar terdengar dibanting dengan keras. Arief meninggalkan Celine sendiri di meja makan, dengan air mata yang mulai mengalir perlahan. “Mas... kenapa kamu terus menolakku, kenapa tidak mau berbicara padaku lagi? Apa aku benar-benar tidak berarti lagi bagimu?” Celine berbisik pada dirinya sendiri, suaranya gemetar menahan tangis. Malam harinya, Celine berusaha kembali mendekati Arief. Kali ini, ia mengenakan daster tidur, karena ia merasa udara sedikit panas. Namun ketika Arief melihatnya, ia langsung salah paham. Wajahnya berubah marah. “Jadi, begini caramu mengejekku? Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan? Kamu pikir aku masih bisa...” Arief dengan suara sinis, penuh kemarahan yang tertahan. “Mas, aku tidak bermaksud begitu... Aku hanya ingin kita dekat lagi, seperti dulu...” Celine terkejut, air matanya mulai mengalir lagi. “Jangan pura-pura, Lin. Aku tahu kamu merasa kasihan padaku! Kamu pikir aku nggak tahu? Aku bukan laki-laki yang dulu kamu nikahi!” Arief membentak, matanya penuh dengan rasa sakit dan amarah. Dengan cepat, Arief memutar kursi rodanya keluar kamar, meninggalkan Linda yang duduk di tepi ranjang, menangis dalam diam. Suara isak tangisnya yang pelan menggema di dalam kamar yang sepi. Malam itu, untuk kesekian kalinya, Celine merasa semakin jauh dari suaminya, meskipun mereka berada di bawah atap yang sama. Celine berbisik dalam isakan tangisnya. “Mas... aku hanya ingin kita bisa bersama, Ya Tuhan kenapa kita jadi seperti ini? ternyata ucapan dokter itu benar, sungguh nggak mudah menjalani kehidupan seperti ini." ---*-*-*--- "Besok kita pindah ke Bali, persiapkan dirimu mulai sekarang. Cukup pakaian dan barang penting saja yang kamu bawa, rumah dan isinya kita jual!" Arief tiba-tiba berkata bak petir disiang bolong. "Loh, tapi Mas, aku sudah mengirimkan beberapa lamaran pekerjaan di Bandung?" Celine bingung ketika mendadak Arief minta pindah setelah ia menerima telpon dari seseorang. "Aku masih kepala rumah tangga, jadi turuti saja, jangan banyak tanya atau membantah!" Arief berkata dengan sorot mata yang aduhai sangat dingin. Celine menatap suaminya yang terasa asing itu masuk ke dalam kamar, dengan berjuta rasa sedih yang mengoyak jiwanya. ---*-*-*--- Karena ingin membuktikan cinta dan kesetiaannya. Celine menuruti perkataan suaminya. Ia membereskan dan membawa barang yang terpenting saja, seperti surat-surat, ijazah, surat nikah dan lain-lain. "Ayo berangkat. Jangan lama-lama nanti kita kemalaman!" Arief tiba-tiba muncul diatas kursi rodanya, lalu pergi ke depan rumah. Celine hanya terdiam sedih, setelah selesai ia pun pergi ke depan dan sejenak memandang rumah yang setahun ini selalu menemani dia dan suaminya. Rumah yang dihasilkan dari jeri payahnya bersama Arief. tak terasa air mata Celine menetes. ---*-*-*--- Selama sehari semalam, Celine mengendarai mobilnya menuju kota Bangli, di Bali. Celine tidur hanya dua jam lalu kembali melanjutkan perjalanan. Atas panduan Arief, Celine memasuki sebuah komplek perumahan di daerah Bangli,. Terlihat nama yang terukir besar di depan komplek bertulisan "Perumahan Permata Indah Regency." Celine lalu memasuki Cluster Ruby dan berhenti di depan sebuah rumah bernomor blok C/07. Celine kemudian membantu suaminya memakai kursi roda dan mendorongnya masuk rumah. ketika Celine mengambil tas dan koper dari bagasi, terlihat tiga wanita di seberang rumahnya yang memperhatikan. Celine pun mencoba ramah dan menyapa, lalu masuk ke dalam. Diluar sepengetahuan Celine, ada satu sosok lain di kejauhan, yang diam-diam memperhatikannya sambil tersenyum misterius. ---*-*-*--- Esoknya Celine terlihat bingung ketika melihat ada beberapa mobil yang datang membawa perabot-perabot baru, lalu barang-barang elektronik beserta tukang servis nya. Celine merasa heran, masa baru sehari rumahnya sudah laku, tapi ia tak sempat berfikir lama karena mendengar ketukan di pintu. "Tok..tok..tok, permisi, selamat siang." Celine lalu membuka pintu dan menemukan seorang pria paruh baya berdiri di sana, tukang servis yang dikirim untuk memasang salah satu barang elektronik baru. "Ibu Celine, maaf mengganggu, kami datang untuk memasang televisi baru," katanya singkat. "Oh, silahkan Pak." Celine tersenyum, namun ada kerutan di keningnya. "Sejak kapan mereka membeli televisi baru? Bukankah barang-barang ini belum pernah dibahas?" Sore harinya, setelah sebagian pekerjaan telah beres, Celine mendekati Arief yang duduk di kursi roda, wajahnya kadang tersenyum menonton TV, seolah terbebas dari beban yang selama ini membelenggu. "Mas, dari mana datangnya semua ini? Rasanya terlalu cepat. apakah mungkin rumah kita yang di Bandung sudah terjual dalam sehari?" Suaranya gemetar, meski ia berusaha terdengar tenang. "Iya sudah terjual, jangan terlalu dipikirkan. Rumah itu memang sudah waktunya kita tinggalkan. Uang hasil penjualannya cukup untuk kita memulai hidup baru di sini." Arief menatap Celine dengan tatapan tenang, tapi ada sesuatu yang terasa aneh, sesuatu yang tidak pernah bisa Celine pahami. Hatinya seperti terselimuti kabut, tak mampu menembus kejelasan yang dicarinya. "Tapi, kenapa aku merasa ada sesuatu yang tidak kuketahui? Semua ini terlalu cepat, terlalu mudah. Seolah-olah kita diarahkan, tapi aku tak tahu siapa yang mengarahkan kita." "Kadang, hidup memang berjalan seperti itu, Lin. Kamu tidak perlu khawatir." Tatapan Arief seperti melintasi sesuatu yang jauh. "Aku takut, Mas. Aku merasa kita melangkah dalam kegelapan." Mata Celine berlinang, tapi ia cepat menghapus air matanya. "Bisakah kamu diam dan membiarkan aku menonton TV dengan tenang. Bukannya kamu sendiri yang bilang, selama masih bersama, kita akan selalu menemukan jalan keluar. Sudah! jangan sok puitis, pergilah sana!" Arief marah. Celine terdiam. Kata-kata Arief seperti kembali menusuk relung jiwanya. Dengan langkah gontai dan air mata mengalir, ia pun masuk kamar. -------*-*-*------- BersambungBab 55 "Akhir Yang Menyakitkan"Celine yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan langsung mendekat, tak bisa lagi menahan dirinya. "Daniel, apa-apaan kamu bicara seperti itu pada Bi Minah? Dia sudah tua dan perlu istirahat!"Daniel menoleh ke arah Celine dengan tatapan santai. "Kenapa, Tante? Dia itu kan pembantu, tugasnya melayani. Kalau nggak becus, ya sudah, cari yang lain. Simple kan?""Dia bukan robot yang bisa kamu suruh sesukamu! Ini jam dua pagi, Daniel! Tidak sopan menyuruh seseorang bangun tengah malam hanya untuk memenuhi permintaan sepele!" suara Celine meninggi, emosi mulai menguasainya.Daniel menyeringai. "Kalau Tante mau bantuin, Tante juga boleh bikin nasi goreng buat saya. Tapi saya nggak yakin Tante bisa masak enak."Celine terkejut dengan ucapannya. "Kamu sudah keterlaluan, Daniel!"Daniel mendekat dengan sikap santai. "Santai aja, Tante. Ini rumah Om Alex, kan? Saya cuma menikmati fasilitas keluarga. Lagipula, Tante cuma istri barunya. Jadi, jangan sok mengatur,
Bab 54 "Daniel Berulah"Daniel menyeringai lebar, matanya memandanginya dengan nafsu yang menjijikan, membuat Celine merasa tidak nyaman. "Santai saja, Tante."Celine langsung menegakkan tubuhnya, menahan kimono yang terikat di pinggangnya. "Apa-apaan ini? Kenapa kamu di kamar saya?"Daniel bangun melangkah maju, senyumnya tetap lebar. "Ah, Tante Celine... saya hanya ingin bilang kalau Tante itu cantik sekali. Om Alex benar-benar beruntung punya istri seperti Tante."Wajah Celine memerah, bukan karena tersanjung, tapi karena amarah dan merasa terhina. "Keluar sekarang juga, Daniel! Sebelum saya memanggil Hera!"Daniel tidak bergerak. "Kenapa marah? Saya hanya memuji. Lagian mama tidak pernah marah, ketika saya bergaul dengan wanita manapun.""Keluar!" Celine menghardik dengan nada tinggi, matanya membara. "Saya tantemu sendiri, bukan wanita manapun!"Daniel tertawa kecil, tapi akhirnya melangkah mundur. "Baiklah, baiklah. Jangan terlalu tegang, Tante. Saya pergi sekarang. Tapi lain ka
Bab 53 "Keluarga Arogan"Malam itu, kamar pengantin dihiasi cahaya lampu temaram. Celine duduk di atas ranjang, mengenakan gaun tidur sutra berwarna putih gading. Ia memandang Alex yang tampak sibuk melepaskan dasinya, lalu duduk di kursi di dekatnya.Alex menghela napas, seakan sedang mempersiapkan sesuatu yang berat untuk dibicarakan."Sayang," ucapnya, memecah keheningan. "Ada yang perlu kamu tahu soal Hera."Celine menoleh, alisnya sedikit terangkat. "Apa itu?" tanyanya lembut, meski hatinya berdebar.Alex menarik napas dalam-dalam. "Hera adalah satu-satunya keluargaku yang tersisa. Saat dia melahirkan Daniel, ayah kami meninggal dunia. Lalu, ketika Daniel berusia sepuluh tahun, ibu kami juga pergi."Celine menyentuh tangan Alex, merasakan kesedihannya yang tersirat dalam suara. "Aku tidak tahu kamu melalui semua itu sendiri," katanya pelan.Alex melanjutkan, "Setelah Daniel berusia tiga tahun, Latif membawa mereka ke Kanada karena pekerjaannya di sana. Hera hanya sempat dua kali
Bab 52 "Lembaran Baru"Pesta pernikahan Alex dan Celine berlangsung megah di sebuah aula yang dihiasi bunga putih dan lilin mewah. Hari itu, kebahagiaan pasangan pengantin terpancar dari wajah keduanya. Walaupun sudah berjam-jam berdiri menyambut 3000 tamu undangan, tapi Alex dan Celine tetap tersenyum cerah, menyalami tamu undangan yang datang dari berbagai kalangan."Selamat ya, Alex! Akhirnya kau menemukan pasangan hidup yang tepat," ujar seorang kolega Alex sambil tertawa ringan."Terima kasih," jawab Alex hangat.Tak jauh dari pelaminan, antrean panjang masih terlihat mengular. Namun, perhatian Alex tiba-tiba tertuju pada sekelompok tamu yang baru saja tiba, seorang wanita paruh baya yang anggun dengan aura tegas, seorang pria berkacamata dan dua anaknya.Alex membelalakkan mata. "Hera?" bisiknya tak percaya.Ketika wanita itu sudah dekat, Alex tak bisa menahan diri. Ia langsung memeluk wanita yang wajahnya tak asing baginya."Mbak Hera!" seru Alex penuh keharuan, mencium pipi
Bab 51 "Vonis Untuk Vera"Ruang sidang sore itu penuh sesak. Suasana tegang sangat terasa. Banyak pengunjung yang berbisik-bisik karena penasaran.Di kursi pesakitan, Vera duduk dengan wajah penuh amarah, meskipun ia berusaha menyembunyikannya. Di sebelahnya ada Arman, Evi, Arief, dan Ario Bayu, masing-masing menunduk menanti vonis hakim.Alex duduk di bangku pengunjung, ditemani Celine yang memegang erat tangannya. Di belakang mereka, para pegawai Alex seperti Pak Made, Eva, Vina, Maya, Dion, dan Anto turut hadir untuk menyaksikan akhir dari perjuangan panjang mereka.Hakim mengetukkan palu tiga kali, menandakan sidang dimulai."Sidang putusan terdakwa Vera dimulai," ujar Hakim dengan suara tegas.Vera menatap hakim dengan tatapan dingin, sementara para pengunjung menahan napas menanti putusan.“Setelah melalui serangkaian persidangan dan mempertimbangkan semua bukti yang ada, terdakwa Vera, sebagai otak utama dalam kasus penculikan dan percobaan pembunuhan terhadap saudara Alex Subr
Bab 50 "Pertemuan"Pak Made lalu berbalik ke arah petugas polisi. “Pak, di mana tepatnya Pak Alex sekarang? Kami ingin segera ke sana.”Petugas itu membuka catatannya, lalu menjawab, “Pak Alex saat ini berada di sebuah perkampungan nelayan di Lombok. Beliau ditemukan oleh nelayan di daerah itu, lalu dibawa ke Puskesmas setempat untuk mendapatkan perawatan.”Pak Made mengangguk mantap. “Baik, kami akan segera ke sana.”Eva menatap Pak Made dengan raut cemas. “Tapi, Pak, bagaimana kita bisa sampai ke Lombok dengan cepat? Perjalanan ke sana tidak mudah.”Pak Made berpikir sejenak, lalu berkata, “Kita akan cari penerbangan secepat mungkin. Ini soal hidup dan mati. Aku tidak peduli berapa biayanya, kita harus ke sana sekarang juga.”Anto ikut menyela. “Aku bisa bantu mengatur tiket pesawat. Aku punya kenalan di travel agent, mungkin dia bisa mempercepat urusannya.”“Bagus,” jawab Pak Made. “Kau urus itu. Eva dan aku akan mengabari Celine. Dia harus tahu bahwa Pak Alex masih hidup.”Dion me