Share

Bab 5.2 | Dua Nasib

Gunung Lawu, beberapa tahun yang lalu

Mimpi itu kembali lagi. Aryanaga berubah dengan wujud hybrid-nya. Dia berlari dengan kecepatan luar biasa menembus rimba. Dari belakang terdengar suara gemerisik dedaunan dan patahan ranting. Suara geraman dan auman terdengar jelas. Mata naganya menembus kegelapan, memancarkan cahaya yang bisa membuatnya melihat dalam kegelapan.

Kabut dari atas gunung mulai turun menghalangi jarak pandang, sementara itu suara yang mengikutinya sedari tadi terasa makin dekat. Dia tak tahu Bandi ada di mana sekarang. Di saat ia sangat membutuhkan bantuan pembantunya itu, yang terjadi malah sebaliknya. Dia sendirian menghadapi para goblin yang mengejarnya.

Ada sesuatu yang tiba-tiba menghantam punggungnya. Hal itu membuatnya tersungkur dan berguling-guling beberapa kali sebelum tubuhnya menghantam sebuah pohon besar. Terlihat sesosok bayangan hitam gelap dan besar berdiri tak jauh di dekatnya.

Aryanaga mendengus kesal. Sosok bayangan itu menyeringai dengan gerigi tajam seperti gergaji. Wajahnya terlihat oleh sinar rembulan. Mata sosok itu lebar dengan iris gelap dan pupil menyipit. Rambutnya botak di bagian depan, namun panjang di bagian belakang, telinganya juga lebar. Sosok itu juga memiliki hidung panjang berbentuk paruh burung. Tubuhnya cukup besar, berotot kekar, pakaiannya hitam dengan jubah sewarna.

“Tertangkap akhirnya,” ucap goblin. Siluman ini bukan siluman biasa. Dia merupakan siluman yang memiliki kemampuan sebagai seorang pembunuh. Goblin sebenarnya makhluk yang tidak akan tertarik melainkan dengan uang dan kekayaan. Mereka terlatih bisa membunuh apapun, termasuk para naga. Sebagian di antara mereka bekerja sama dengan para penyihir untuk melakukannya.

“Tidak semudah itu,” geram Aryanaga. Dia mempersiapkan cakarnya sebelum menyerang goblin yang ada di hadapannya.

Goblin tadi menghunus goloknya. “Aku harus menangkapmu hidup-hidup Pangeran, tapi tidak masalah kalau tangan atau kakimu terpotong.”

Aryanaga melakukan inisiatif menyerang terlebih dahulu. Cakarnya berbenturan dengan golok. Aryanaga mengayunkan cakarnya ke perut, kepala dan kaki. Sang goblin dengan mudah menghindarinya.

“Kau masih butuh seribu tahun untuk mengalahkanku, Pangeran. Kau tidak pernah berada di medan pertempuran, kau kurang pengalaman!” ledek sang goblin.

Aryanaga melompat ke udara hendak memberikan serangan mematikan kepada sang goblin. Namun, goblin tadi dengan cepat menangkap kakinya lalu melemparkannya. Aryanaga dilemparkan seperti sampah. Ia memang lemah, maksud hati ia berlatih di gunung bersama Bandi, tetapi malah bertemu dengan para goblin yang memburunya.

“Dan yang lebih menguntungkanku, kau tak bisa berubah menjadi naga,” ucap sang goblin sambil mendekati Aryanaga.

Aryanaga meringis kesakitan. Bantingan goblin tadi benar-benar sangat telak. Di saat ia hendak bangkit, datanglah beberapa goblin yang lain. Kini dia benar-benar terdesak. Salah satu goblin menarik rambutnya. Aryanga meronta.

“Kau tahu pangeran, di Dunia Bawah ada yang sangat menginginkanmu,” ucap salah satu goblin.

“Siapa? Siapa yang menginginkanku? Kalian dulu mengusirku dan Ibuku lalu kenapa aku harus kembali?” tanya Aryanaga.

“Kau bisa tanyakan sendiri ke orangnya,” ujar sang goblin.

Aryanaga diseret hingga ke tempat lapang. Di sana ada orang yang sudah menunggu. Seseorang dengan jubah gelap, bertubuh jakung serta ada suara lirih seperti orang sesak napas. Orang berjubah gelap itu berjalan perlahan menghampiri Aryanaga. Wajahnya tak terlihat karena ia tertutup penutup kepala, tetapi dari wajahnya ada keluar uap air.

Jemari sosok misterius itu terlihat dari lengan jubahnya. Jemarinya panjang, kering dan mengerikan seperti kulit dan tulang saja.

“Gagak Ireng, Penyihir Agung. Apa sekarang rencanamu? Kita harus ke Dunia Bawah tanpa ketahuan kalau membawa dia?tanya salah satu goblin.

Aryanaga melotot ke arah orang yang disebut Gagak Ireng. Sosok bertubuh jakung tadi memberi isyarat agar semuanya diam. Suasana makin mengerikan saat itu, tak ada suara binatang yang berani bersuara. Hutan malam itu seolah-olah takut kepada satu orang ini.

“Aku tak suka kebisingan, kalian terlalu berisik,” terdengar suara Gagak Ireng. Serak, parau dan mengerikan. Tidak pernah terdengar manusia pernah bersuara seperti itu.

Gagak Ireng kemudian membaca mantra-mantra. Setelah itu tangan kanannya dihadapkan ke depan wajah Aryanaga. Pupil Aryanaga menyipit, dia tak bisa berbuat banyak, kekuatannya seperti terhisap ke dalam tangan sang penyihir. Tubuh Aryanaga menyusut, dan menyusut hingga ia menjadi sebesar kadal. Aryanaga kini berubah menjadi kadal kecil dengan sisik di punggung berwarna biru kemerahan. Di kepalanya ada tanduk kecil.

“Nah, kalau begini kita bisa membawanya ke hadapan Antabogo tanpa ketahuan. Kalau sampai kehadiran putra Primadigda di Dunia Bawah diketahui, bisa-bisa akan timbul perlawanan,” ujar salah satu goblin.

Aryanaga sedikit kebingungan dengan apa yang sedang terjadi. Ia baru menyadari kalau sudah menjadi sesuatu yang lain. Ia menjadi kadal sebesar iguana. Dari atas udara terdengar suara erangan dan udara yang bergerak. Para goblin mendongak dan mendapati seekor naga sedang melayang di atas mereka. Insting Aryanaga langsung bereaksi. Menyadari bahaya, segera ia melarikan diri sebelum tangan goblin menangkapnya.

“Tangkap dia!” perintah Gagak Ireng.

Kejar-kejaran pun terjadi. Dua goblin mengejar Aryanaga. Tetapi gerakan si kadal kecil ini sangat gesit. Dengan tubuh kecilnya Aryanaga mampu masuk ke lubang-lubang kecil, sela-sela batu lalu lebih dalam lagi masuk ke lubang-lubang di dalam tanah. Kedua goblin tadi kebingungan. Mereka gusar mencari keberadaannya.

Aryanaga tak tahu apa yang terjadi di belakangnya. Ia terus berlari hingga akhirnya ia sadari kalau ia sedang dalam masalah yang lain. Ia salah masuk ke dalam lubang. Di hadapannya sudah ada ular besar. Ular tersebut belum makan selama dua minggu. Melihat ada makanan yang menghampirinya ular sanca tersebut segera mengejar Aryanaga. Si kadal pun melesat, berlari menghindari kejaran.

Ternyata, yang mengejar Aryanaga tak cuma satu ular, beberapa ular lain yang melihatnya pun ikut mengejar. Terjadilah kejar-kejaran yang menegangkan. Aryanaga tahu nyawanya terancam. Kalau ia tertangkap, ia akan dijadikan santap malam yang lezat. Dari kejauhan ia melihat tumbuhan talas berduri. Ular tak akan ada yang mau mendekat, bukan saja ular tetapi hewan melata manapun akan menghindari tanaman berduri itu. Aryanaga bukan hewan melata, ia cuma disihir hingga berubah menjadi reptil. Ia bisa bersembunyi di sana.

“Brengsek! Tak ada cara lain!” gerutunya. Segera ia masuk di antara sela-sela tanaman itu. Para ular pun berhenti mengejarnya saat Aryanaga masuk ke dalam rerimbunan tumbuhan berduri. Kulitnya tergores, ia terluka. Rasa sakitnya tak bisa dilukiskan.

Aryanaga kelelahan. Ular-ular tadi terus mengelilingi tanaman berduri itu. Sementara Aryanaga pun pingsan tak sadarkan diri dalam tubuh kadalnya.

* * *

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status