Share

Bab 6.1 | Tanda Sang Ratu

Kota Malang, sekarang

Aryanaga membuka mata. Dia terjaga saat matahari masih belum sempurna. Di luar embun masih menyelimuti daerah Tidar. Tidak ada ayam berkokok, karena tempat tinggalnya jauh dari perkampungan, apalagi di sekitar tempat itu tak ada yang memelihara ayam jantan. Aryanaga menggeliat di atas kasurnya yang empuk. Ia enggan untuk segera bangun. Berkali-kali Bandi selalu menasihatinya untuk tidak bermalas-malasan, latihan tiap hari dan jangan tidur terlalu nyenyak. Namun, apa yang dilakukan oleh Aryanaga ini lebih baik daripada dirinya dulu, sebelum peristiwa yang nyaris mencelakainya di Lereng Gunung Lawu.

Pemuda itu beranjak dari tempat tidur menuju ke jendela. Dari atas, ia mengintip bangunan kos yang ada di samping rumah. Dia sangat merindukan Asri, lebih dari apa yang diketahui. Dia juga terkejut bertemu dengan gadis itu di kota ini. Ia sama sekali tak pernah menduganya.

Aryanaga melihat Asri keluar dari kamar kosnya. Gadis itu melakukan stretching. Kuliah libur, jadinya tak aneh melihat gadis itu tak buru-buru berangkat. Aryanaga agak kasihan sebenarnya melihat Asri. Dia tahu kalau perempuan itu sedang dalam masalah. Terutama masalah dengan keluarganya.

Dari kejauhan terlihat tubuh Asri yang sempurna. Kaosnya sedikit terangkat memperlihatkan pusarnya saat ia menekuk tubuhnya. Perutnya rata, siapapun pasti iri kalau melihatnya. Celana leggingnya membentuk lekukan bokong dan pahanya dengan sempurna. Setelah melakukan peregangan otot, Asri melanjutkan dengan melakukan senam pemanasan. Sepertinya Asri sebentar lagi akan melakukan jogging. Aryanaga pun langsung mendapatkan ide. Dia segera mencuci muka, gosok gigi, lalu memakai kaos serta celana pendek untuk olahraga.

Tak berapa lama kemudian Aryanaga muncul dari rumah. Asri yang sedang melakukan senam melihatnya, lalu melambaikan tangan kepadanya. Aryanaga pun menghampiri gadis itu.

“Mau ikut jogging?” ajak Aryanaga.

Asri mengangkat alis. “Boleh. Di sekitar sini aja?”

“Iyalah. Emang mau sampai kemana?”

Asri mengangguk. Mereka pun akhirnya jogging di sekitar daerah Tidar. Pagi yang cerah tanpa polusi, butiran-butiran embun terlihat menetes di dedaunan membuat suasana kian sejuk.

“Kau rajin olahraga ya?” tanya Asri.

“Kenapa?” tanya Aryanaga balik.

“Terlihat dari bentuk tubuhmu.”

“Kau juga. Pasti rajin olahraga. Terlihat dari bentuk tubuhmu.”

Asri nyengir. Baru kali ini ia dipuji secara langsung. “Makasih.”

Mereka terus berlari-lari kecil melewati kompleks perumahan, sesekali mereka menepi saat ada beberapa rombongan sepeda lewat. Mereka tak banyak bicara selama jogging, Aryanaga memang mengajak Asri melewati rute yang mudah. Setelah selesai jogging, Aryanaga mengajak Asri untuk mampir di mini market untuk membeli air mineral. Mereka lalu duduk di bangku yang disediakan sambil membasahi kerongkongan mereka yang kering.

“Makasih loh,” ucap Asri.

“Ah, santai saja,” ujar Aryanaga. Dia memperhatikan Asri yang mulai membuka tutup botol air kemasan, kemudian meminumnya. Setetes keringat mulai mengalir mengikuti lekukan wajah Asri. Butiran keringat itu dengan nakal membelai pipinya, lalu terus turun ke lehernya yang jenjang, hingga berakhir di kaosnya. Aryanaga juga bingung bagaimana ia bisa melihat sedetail itu. Di matanya, Asri seperti memancarkan aura seksi yang tak bisa ditolak oleh pria manapun. Padahal yang dilakukannya hanya minum seteguk dua teguk air.

Asri mendesah lega. Dia lalu memperhatikan Aryanaga menelan ludah lalu ternganga melihatnya. “Kenapa?” tanya Asri.

Aryanaga terkejut. “Ah, nggak. Nggak apa-apa. Kamu sepertinya lega sekali setelah minum.”

“Iyalah, habis lari-lari kok. Pastinya haus dong.”

Aryanaga mengangguk. Dia kemudiian yang ganti minum. Kali ini Asri yang memperhatikan cara minum pemuda ini. Sama seperti Asri tadi, keringat di kening Aryanaga mengalir turun ke lehernya lalu merembes ke kaos yang dikenakan. Asri menelan ludah saat baru sadar kalau keringat cowok itu benar-benar membuat tubuh altetisnya tercetak di kaos. Dari dadanya yang bidang hingga perutnya yang rata. Asri mengira Aryanaga tak pernah sadar akan potensi dirinya.

Sama seperti Asri tadi. Aryanaga juga merasa lega. Mengetahui keduanya saling memperhatikan, mereka lantas tertawa.

“Ngomong-ngomong, kalau hari libur seperti ini biasanya kegiatanmu apa aja?” tanya Aryanaga.

“Yah, paling nge-gym, nongkrong bareng temen atau tidur seharian. Kegiatanku setiap hari banyak soalnya,” jawab Asri.

“Oh, aku bisa mengerti.”

“Kemarin aku sudah berikan fotokopi KTP ke Bandi.”

“Sudah, sudah diterima dan sudah diberikan kepada Pak RT.”

“Itu Bandi emangnya usianya berapa sih? Sudah lama ikut?”

“Usianya 900 tahun dan sudah ikut semenjak aku belum lahir, orang kepercayaan ayahku.”

Asri mengernyit. Dia yakin Aryanaga bercanda meskipun tidak lucu, “Kau bercanda? 900 tahun?”

Aryanaga tertawa. “Anggap saja seperti itu.”

“Hush, orang tua kok dibecandain! Terus orang tua kamu?”

“Orang tuaku...,” Aryanaga memperhatikan wajah Asri yang penasaran.

“Yah, orang tuaku memimpin perusahaan. Ayahku pemimpin tertingginya.”

“Wow, kamu anak konglomerat berarti?”

“Yaah, dibilang konglomerat sih nggak masuk di orang terkaya se-Indonesia.”

“Hahaha, emangnya daftar orang terkaya di Indonesia itu valid? Orang-orang kaya yang low profile juga banyak di Indonesia. Aku tahu orang dengan penghasilan ratusan juta per bulan tapi setiap hari naik sepeda motor ke kantor. Dan dia punya tiga usaha yang sudah berskala nasional.”

Aryanaga tersenyum. “Ya, ya, ya. Aku tahu di Malang ini banyak orang kaya yang nggak nampak. Sering aku bertemu dengan mereka di acara-acara penting.”

“Terus, Ibu kamu? Saudara-saudara kamu?”

“Aku tak punya saudara. Aku anak tunggal. Dan Ibuku... beliau sedang sakit.”

“Oh, maaf. Sakit apa emangnya?”

“Beliau tak bisa bergerak. Sudah lama dan sampai sekarang belum sembuh.”

Asri mengusap lengan Aryanaga untuk mengisyaratkan bagaimana dia juga bisa memahami perasaan seorang anak yang orang tuanya sedang sakit. Dari wajah cowok itu bisa dibilang kalau dia sangat menyayangi Ibunya.

“Ya udah, aku turut berdoa semoga beliau lekas sembuh.”

“Makasih. Aku sangat menghargainya.”

Asri menghela napas panjang. “Aku juga sangat menyayangi Ibuku. Boleh dibilang aku ke Malang ini juga karena terpaksa.”

“Terpaksa?”

Asri mengangguk. “Iya. Aku ada masalah di keluargaku. Aku dan Ayahku cekcok, terus karena kami tidak satu pemikiran akhirnya aku pergi.”

“Itu masalah yang sedang kamu hadapi sampai sekarang?”

“Sebenarnya, aku tak ingin pergi. Terlebih aku masih sayang ama Ibu dan adik-adikku. Mereka sangat terpukul ketika aku pergi. Hanya saja, kalau aku tak pergi, aku tak bisa memberi pelajaran kepada Ayahku. Aku jahat, yah?”

Aryanaga tak memberi tanggapan. Dia mendengarkan dengan saksama.

“Aku sebenarnya pergi juga karena terpengaruh oleh janji-janji manis lelaki brengsek. Nahasnya, saat aku pergi kepadanya, aku baru tahu kalau dia hanya memanfaatkanku saja selama ini. Setelah itu aku tak tahu harus kemana lagi. Akhirnya, aku sampai juga di Malang. Aku cari-cari pekerjaan dan juga sambil kuliah. Intinya aku tak mau berpangku tangan. Semua perhiasanku aku jual untuk bertahan hidup sampai aku bisa mendapatkan pekerjaan. Kau lihat! Aku tak memakai perhiasan sama sekali.” Asri menunjukkan tangan dan memperlihatkan daun telinganya yang tak ada satupun perhiasan yang menempel.

Keduanya lalu terdiam. Pikiran Aryanaga dipenuhi dengan memori peristiwa masa lalu. Ada memori penyesalan kenapa dia harus pergi waktu itu. Namun, ia memang tak punya pilihan lain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status