LOGINNegara Tarbo.Hujan musim gugur di Kota Yuzo selalu datang tiba-tiba dan berlangsung lama.Surya berdiri di lantai dua Paviliun Lestari, di tepi jendela. Jari-jarinya yang panjang dan ramping perlahan menyingkap sedikit tirai bambu. Matanya menembus tirai hujan, menyapu pandangan ke arah jalanan di bawah.Dia mengenakan jubah panjang berwarna nila, dengan liontin kuno tergantung di pinggangnya. Sekilas tampak seperti pedagang biasa, hanya saja sorot matanya tajam bagaikan elang, memancarkan aura yang luar biasa."Silakan, Tuan, tehnya." Pelayan meletakkan cangkir teh panas di atas meja dengan hati-hati, lalu mundur dengan langkah ringan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.Surya tidak menoleh, hanya sedikit mengangguk.Di tengah aroma teh yang menguar, dia mendengar suara langkah berat dari arah tangga. Setiap langkah seolah-olah ditahan kekuatannya, tetapi tetap terdengar pincang karena rasa sakit yang tersembunyi.Pintu didorong terbuka. Seorang pria bertubuh kekar melangkah masuk. D
Andini merasa panik. Seluruh ruang kerja mulai bergetar hebat. Buku-buku di rak berjatuhan, tempat tinta berguling dan jatuh dari meja, meninggalkan noda hitam pekat di atas karpet.Dari kejauhan, terdengar suara gemuruh berturut-turut. Seperti guntur atau longsoran gunung.Andini berpegangan pada meja agar tidak terjatuh. Jantungnya berdetak kencang. Dia tahu itu adalah mekanisme yang sudah lama dipasang oleh Bilal. Dia ingin menutup rapat ruang rahasia itu selamanya, agar tak ada siapa pun yang bisa mengganggu tidurnya dan Wulan lagi.Getaran bumi berlangsung sekitar lima menit lamanya. Begitu semuanya tenang kembali, Andini berjalan keluar dari ruang kerja itu dengan langkah gontai."Kepala Lembah!" Seorang pelayan bergegas mendekat dengan wajah cemas. "Entah kenapa setengah sisi bukit belakang runtuh. Untung saja, mata air obatnya masih ada."Mendengar itu, Andini refleks berlari menuju bukit belakang. Dari kejauhan, dia sudah melihat Bahlil. Dia menarik napas dalam-dalam, berjalan
Di depan ruang kerja Bilal, suasananya sangat hening. Andini mengetuk pintu pelan. "Guru, ini aku."Namun, dari dalam tidak terdengar jawaban. Dia mengetuk lagi. Kali ini sedikit lebih keras, tetapi tidak ada respons."Guru?" Andini mencoba mendorong pintu. Ternyata tidak dikunci.Terdengar bunyi dan pintu kayu itu terbuka perlahan. Sinar matahari pun masuk, menerangi ruang kerja yang remang-remang.Jendela tertutup rapat, sementara lilin di atas meja sudah lama padam. Sisa lilin menumpuk seperti bukit kecil.Bilal tidak ada di ruang kerja? Padahal tadi ketika Andini bertanya kepada para pelayan, mereka bilang Bilal sejak beberapa hari lalu tidak pernah keluar dari ruangan ini. Jangan-jangan ....Jantung Andini berdebar keras. Dia segera menekan tuas rahasia di sisi rak buku. Pintu menuju ruang bawah tanah terbuka. Semburan hawa dingin langsung menerpa keluar.Andini menarik napas panjang, menekan rasa panik di dadanya, lalu melangkah masuk ke ruang rahasia itu.Di sana, peti es batu g
Begitu mendengarnya, Andini benar-benar terpaku di tempat. Rangga dan para Pasukan Harimau ternyata menghilang! Itu berarti lawan mereka sangatlah kuat!Bilal benar. Kalau tidak memiliki dukungan dari Lembah Raja Obat, mungkin dia hanya bisa menatap tanpa daya saat mereka semua mati.Untuk sesaat, Andini merasa panik, ingin segera meninggalkan lembah dan bergabung dengan Surya.Namun, Bilal berkata dengan suara dingin, "Nggak perlu terburu-buru. Pelajari dulu semua yang harus kamu pahami. Waktu tiga hari cukup untuk mengenal cara kerja Lembah Raja Obat. Itu akan membantumu saat pergi ke Negara Tarbo untuk menyelamatkan mereka."Andini memaksa dirinya untuk tenang. Dia tahu Bilal benar, jadi dia pun menunduk dan berkata dengan hormat, "Saya akan mematuhi perintah."Bilal tiba-tiba terkekeh-kekeh. "Sudah sampai sejauh ini, tapi masih nggak mau memanggilku 'Guru'?"Bagaimanapun juga, semua ilmu pengobatan di lembah ini sudah diajarkan Bilal kepadanya dengan berbagai cara.Mendengar itu, A
Menatap keempat keping token itu, hati Andini terasa berat. "Kepala Lembah, tanggung jawab ini terlalu besar. Aku takut nggak sanggup memikulnya, mungkin sebaiknya ...."Bilal tak mendengarkan kata-katanya, hanya berseru, "Ada yang datang!"Pintu aula segera terbuka. Empat orang dengan jubah berbeda warna melangkah masuk satu per satu. Di antara mereka ada Bahlil.Keempatnya serempak berlutut memberi hormat. "Salam hormat untuk Kepala Lembah.""Berdirilah." Bilal mengangkat tangan. "Mulai hari ini, Andini adalah pemimpin baru Lembah Raja Obat. Kalian harus mendukungnya sepenuh hati, nggak boleh menentangnya."Raut terkejut muncul di wajah keempat orang itu. Pemimpin Aula Mekanisme, Martaka, maju selangkah dengan ekspresi sedikit khawatir."Nona Andini memang sangat berbakat dalam ilmu pengobatan. Kalau Kepala Lembah ingin mewariskan seluruh ilmu kepada beliau, saya nggak berani membantah. Tapi, keadaan Lembah Raja Obat sangat rumit, penuh jalinan kepentingan. Takutnya Nona Andini sulit
Seberapa putus asanya seseorang sampai merasa kematian adalah sebuah bentuk pembebasan?Rasa dikhianati oleh orang terdekat itu ... Andini sangat memahaminya. Namun, apa yang dialami Wulan jauh lebih menyedihkan dan menyakitkan darinya."Wulan ...." Suara yang menyedihkan itu keluar dari mulut Bilal. Setelah itu, darah segar memancar dan menodai gulungan sutra di depannya.Andini terkejut dan buru-buru hendak memeriksa nadinya, tapi Bilal menahan tangannya. "Nggak perlu, hanya karena terlalu banyak pikiran."Sambil berbicara, dia menyeka darah di atas gulungan sutra itu dengan hati-hati. Gerakannya lembut seperti menyentuh wajah seseorang yang dicintai. Andini menarik kembali tangannya, dadanya terasa dingin dan sesak."Guru, Nenek buyut pasti nggak ingin melihat Guru bersedih seperti ini."Bilal tertegun sejenak, lalu tertawa pelan. Air mata jatuh setetes demi setetes."Benar .... Aku ini gurunya, tapi seumur hidup justru selalu ditolong olehnya. Dulu saat aku nggak bisa mengingat res







